HUKUM BONGKAR KUBURAN UNTUK VISUM DAN INSEMINASI BUATAN

  

HUKUM BONGKAR KUBURAN UNTUK VISUM DAN INSEMINASI

BUATAN

I. PENDAHULUAN

  Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memungkinkan manusia melakukan insemenasi buatan, yaitu; suatu kegiatan untuk mengusahakan kelahiran anak dengan cara melakukan pembuahan tanpa melalui persetubuhan antara suami istri yang sah, melainkan dengan jalan mempertemukan mani (sperma) seorang laki-laki dengan ovum (indung telur) seorang wanita melalui proses tertentu seperti suntikan. Insemenasi buatan, pada satu sisi dapat membantu suami istri memperoleh keturunan yang sah, terutama bagi suami yang tidak mampu ereksi dan melakukan coitus (jima'). Akan tetapi di sisi lain dapat menimbulkan kelahiran anak di luar perkawinan yang sah sehingga dapat mengacaukan kemurnian dan kesucian anak yang dilahirkan; serta dapat mengakibatkan timbulnya kegoncangan- kegoncangan jiwa di kemudian hari, baik bagi anak maupun bagi orang tuanya.

  Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Oleh karena pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 1981. Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”.

II. RUMUSAN MASALAH

  A. Hukum bongkar kuburan untuk visum

  B. Hukum inseminasi buatan

III. PEMBAHASAN

A. Hukum bongkar kuburan untuk visum

  Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati,

  

  Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya . Menghormati orang yang meninggal sama sebagai menghormati orang yang hidup.Berpegang kepada firman Tuhan dalam surat Al-Isra' ayat 70 yang berbunyi:"Dan sesungguhnya Kami menghormati-memuliakan manusia keturunan Adam.....".Perintah penghormatan itu berlaku kepada manusia yang sudah meninggal, sebagai halnya kepada manusia yang masih hidup. Kita hormati dia sewaktu hidup, maka setelah manusia itu meninggal, penghormatan itu harus diteruskan. Jenazahnya dipelihara dengan baik, diletakkan dengan tenteram di pekarangan rumah, atau di lokasi pekuburan sehingga dapat dilihat dan diziarahi oleh para sahabat dan sanak saudara.Saat orang baru saja meninggal, seharusnya ia dimandikan sampai bersih, lalu disembahyangkan, dibungkus rapi dengan kain kafan dan diletakkan menghadap ke kiblat, dengan dibacakan doa semoga arwahnya diterima Tuhan dengan baik. Selesai segala upacara kehormatan, lalu dibawa ke pekuburan dan dimasukkan dengan khitmat ke liang lahat yang sudah digali untuknya. kalau semuanya sudah selesai, maka masing-masing meninggalkan kuburan itu dengan membacakan doa semoga dia dibebaskan dari azab kubur yang akan menyiksa dirinya.Demikian tata tertib penghormatan yang harus diberikan kepada seorang yang baru saja meninggal, yang tiada kurang daripada penghormatan yang diberikan kepadanya sewaktu dia masih hidup. Sebagai halnya orang yang hidup harus dihormati hak rumah tempat tinggalnya, maka terhadap manusia yang sudah meninggal, Tuhan menyuruh pula supaya tempat peristirahatan terakhir itu dihormati pula dan tidak diganggu, serta tiada alasan apapun yang dapat disyahkan oleh agama untuk memindahkan jenazah atau kerangka orang yang sudah meninggal itu ke tempat lain. Lebih- lebih bila kemudian digusur, tulang-tulangnya dibuang sembarangan dan tidak dipindahkan ke tempat yang lebih baik, namun justru di atas komplek pekuburan itu dibangun jalan raya, atau mungkin perumahan mewah, pusat perbelanjaan /plasa dan sebagainya, sungguh yang demikian itu perbuatan yang sangat keji (dan sudah banyak terjadi di negeri ini). Perbuatan yang demikian itu, sama saja halnya dengan mengusir seseorang yang hidup dipaksa pindah dari rumah yang sudah menjadi tempat tinggal yang syah baginya. Perbuatan yang demikian

  1 itu sangatlah zalim, dengan mengusir seseorang dari rumahnya, bahkan lebih zalim lagi karena sikap itu dilakukan kepada jenazah yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa untuk Kuburan harus dihormati.Hampir semua buku-buku hadist memuat ajaran Nabi bahwa setiap kuburan harus dihormati, dipandang sebagai tempat yang harus dipelihara (kebersihan dan kesuciannya) dengan khidmat. Kitab "Aunul ma'bud, syarah Sunan Abi Daud" menyebutkan tidak kurang 39 buah hadist yang mengatur soal penghormatan. Tidak kurang dari 24 macam banyaknya persoalan penghormatan itu, mulai dari memasukkan jenazah ke dalam kubur sampai kepada soal ziarah yang dilakukan.Diantaranya ada 7 macam larangan yang ditegaskan sehubungan dengan kesucian dan ketertiban lokasi pekuburan:1. Dilarang mendirikan bangunan di atas tanah pekuburan.2. Dilarang duduk di atas pekuburan.3. Dilarang melakukan penyembelihan hewan di atas tanah pekuburan.4. Dilarang duduk-duduk dan berbincang-bincang soal duniawi di lokasi pekuburan.5. Dilarang berjalan melangkahi makam/nisan di pekuburan, terlebih bila menginjak atau melintasi makam dengan alas kaki (sekarang sudah banyak dilanggar karena ketidaktahuan).6. Dilarang memecahkan tulang- belulang sewaktu penggalian liang lahat di lokasi pekuburan.7. Dilarang memindahkan jenazah dari suatu kuburan tanpa kebutuhan yang mendesak.Demikian 7 macam larangan

  

  Kebutuhan yang mendesak dan keadaan darurat.Sebagaimana telah disebutkan di atas, termasuk dalam larangan ialah memindahkan kuburan, kecuali ada hal yang memaksa untuk pemindahan itu. Di dalam hal ini terdapat dua kategori.a. Terhadap kuburan pribadi, maka disyaratkan harus diperoleh "kebutuhan yang mendesak" yang menyebabkan pembongkaran dilakukan. Di dalam hadist Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan juga oleh Imam Bukhari di atas, disebutkan perkataan "hajah", yang maksudnya adalah hajat, kebutuhan yang mendesak yang menyebabkan pembongkaran itu dilakukan. Baik kebutuhan itu datangnya dari pihak keluarga jenazah yang bersangkutan, ataukah dari penguasa atau badan hukum yang memerlukannya, seperti untuk pemeriksaan mayat atau jenazah dalam soal visum untuk penelitian laboratorium kriminal, dan sebagainya.Misalnya, pernah terjadi di zaman Nabi, bahwa seorang sahabat yang menggali dan menimbuni kuburan telah kehilangan gigi palsunya yang menyebabkan dia susah makan atau lainnya, maka diizinkan baginya menggali kembali sampai giginya itu diperoleh lagi. 2 B. Hukum inseminasi buatan

  Inseminasi buatan adalah proses bantuan reproduksi di mana sperma disuntikkan dengan kateter ke dalam vagina (intracervical insemination) atau rahim (intrauterine insemination) terasa seperti pemeriksaan papsmear. Dalam dua minggu, keberadaan janin sudah bisa dicek dengan tes kehamilan. Bila gagal, prosesnya bisa diulang beberapa kali sampai berhasil. (Umumnya bila setelah 3-6 siklus tidak juga berhasil, dokter akan merekomendasikan metode bantuan reproduksi lainnya

3 Untuk meningkatkan peluang keberhasilan–seperti halnya pada proses bayi tabung –calon ibu

  yang akan menjalani inseminasi buatan dirangsang kesuburannya dengan hormon dan obat- obatan lainnya. Pemberian rangsangan ini dimulai pada awal siklus menstruasi agar pada saat ovulasi indung telur menghasilkan beberapa telur yang matang (dalam keadaan normal, hanya satu telur yang dilepaskan per ovulasi). Sperma yang diinjeksi melalui kateter juga diproses terlebih dahulu agar terseleksi dan terkonsentrasi, sehingga kualitasnya baik dan jumlahnya cukup.

  Inseminasi buatan bisa membantu kehamilan bila:

   Istri memiliki alergi sperma

   Suami memiliki jumlah sperma sedikit atau kurang gesit

   Sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. nseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri. Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan 3 setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di

   Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah

  kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika. Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).

  Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah: Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan 4 sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).

  Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.

  Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari ssperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.

  Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa: 1. percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.

  2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.

  3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.

  4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.

  5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.

  6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).

  Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya

  pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.

  Sedangkan hukum inseminasi buatan pada hewan dan hasilnya sebagaimana yang sering orang lakukan juga harus diddudukkanmasalahnya. Pada umumnya, hewan baik yang hidup di darat, air dan udara, adalah halal dimakan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan/hewan yang dilarang dengan jelas oleh agama. Kehalalan hewan pada umumnya dan hewan ternak pada khususnya adalah berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang ada di planet bumi ini untuk kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang menyatakan bahwa semua hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-An’am:145, An-Nahl:115, Al- Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang pertama tersebut hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat yang disebut terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang tersebut di atas ditambah 6, yakni: 1. Hewan yang mati tercekik, 2. Yang mati dipukul, 3. Yang mati terjatuh, 4. Yang mati ditanduk, 5. Yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih dan 6. Yang disembelih untuk disajikan pada berhala.

  Mengenai hewan yang halal dan yang haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu: a. ulama yang hanya mengharamkan 10 macam makanan/hewan yang tersebut dalam Al- Maidah:3, sebab ayat ini termasuk wahyu terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan

  b. Ulama hadits menambah beberapa larangan berdasarkan hadits Nabi, yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang berkuku tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda dengan keledai (bighal).

  c. Ulama fiqih/mazhab menambah daftar sejumlah hewan yang haram dimakan berdasarkan ijtihad, yaitu antara lain: semua jenis anjing termasuk anjing hutan dan anjing laut, rubah, gajah, musang/garangan, burung undan, rajawali, gagak, buaya, tawon, semua jenis ulat dan serangga.

  d. Rasyid Ridha, pengaran Tafsir Al-Manar berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan nash Al-Qur’an itu ada dua macam: 1. semua jenis hewan yang baik, bersih dan enak/lezat (thayyib) adalah halal. 2. Semua hewan yang jelek, kotor dan menjijikan adalah haram. Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik atau kotor, jelek dan menjijikan tidak ada kesepakatan ulama di dalamnya. Apakah tergantung selera dan watak masing-masing orang atau menurut ukuran yang umum.

  Mengembangbiakkan dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan (artificial insemination). Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah: Pertama; Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma. Setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu. kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi buatan pada hewan juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8).

  Kedua; kaidah hukum fiqih Islam “al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya).

  Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.

  Namun mengingat risalah Islam tidak hanya mengajak umat manusia untuk beriman, beribadah dan bermuamalah di masyarakat yang baik (berlaku ihsan) sesuai dengan tuntunan Islam, tetapi Islam juga mengajak manusia untuk berakhlak yang baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka patut dipersoalkan dan direnungkan, apakah melakukan inseminasi buatan pada hewan pejantan dan betina secara terus menerus dan permanen sepanjang hidupnya secara moral dapat dibenarkan? Sebab hewan juga makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan (sexual pleasure) dan melestarikan jenisnya di dunia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara) diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia. Pengembangbiakan boleh dilakukan dengan inseminasi alami maupun dengan inseminasi buatan. Inseminasi buatan pada hewan tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami sebagaimana proses bayi tabung pada manusia tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah.

  IV. ANAISIS

  V. KESIMPULAN

  VI. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

  Qardhawi, Yusuf, Fatwa- Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) Ash Shiddieqi, Hasan, Kumpulan Soal-Jawab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) Azra, Azyumardi, Islam Dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)

  , Hadis-Hadis Hukum, (Bandung: PT. Al Maarif, 1975)