Penerapan Fair Value dan Dampaknya bagi

Oleh Kelompok (Kelas B) :
Vania Eunike Setiabudi ( 3203009254)
Alexander Arif Christian ( 3203012189)
Chandra Arianto ( 3203012211)
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Fakultas Bisnis
Jurusan Akuntansi
Tahun 2015
Semester Genap

Pendahuluan

Latar Belakang
Dewasa ini peranan laporan keuangan sebagai informasi keuangan yang
dapat menggambarkan kondisi perusahaan semakin penting. Apalagi bagi
perusahaan – perusahaan menengah dan perusahaan besar yang melantai di Bursa
Efek Indonesia, laporan keuangan yang mereka buat setiap tahunnya sangatlah
diperlukan bagi para stakeholder baik di dalam maupun luar perusahaan untuk
membuat suatu keputusan ekonomik, misalnya saja lembaga perbankan yang
bertindak sebagai kreditor bagi perusahaan. Lembaga perbankan tentunya
membutuhkan laporan keuangan perusahaan yang relevance dan reliable yang

dapat mencerminkan kondisi sebenarnya dari perusahaan sebelum membuat
keputusan untuk dapat memberikan kredit atau tidak bagi perusahaan. Karena
lembaga perbankan juga harus dapat memastikan bahwa perusahaan sebagi
kreditur mampu untuk melunasi hutang beserta bunganya. Maka laporan
keuangan yang dibuat oleh perusahaan haruslah laporan keuangan yang
bermanfaat, relevan, dan terpercaya. Laporan keuangan yang relevance dan
reliable tercermin dari jumlah asset dan kewajiban pada Laporan Posisi Keuangan
( Neraca ). Sebelum Indonesia mengacu pada IFRS yang telah diterbitkan IASB
( Badan Standar Akuntansi Internasional ) sebagai Standar Pelaporan Keuangan
Internasional ( dimana sejak 27 Agustus 2008 lebih dari 113 negara di seluruh
dunia, termasuk seluruh Eropa mengadopsi IFRS ) , Indonesia mengacu pada US
– GAAP yang diterbitkan oleh FASB ( Amerika Serikat ). Ketika mengacu pada
US-GAAP pengukuran terhadap asset dan kewajiban perusahaan menggunakan
metode historical cost yakni dengan mencatat asset berdasarkan harga perolehan
yang kemudian disusutkan setiap tahunnya menggunakan metode penyusutan dan
kewajiban sebesar jumlah yang tertera pada surat hutang. Seiring perkembangan
zaman, ternyata penggunaan historical cost tidak lagi relevan karena kredibilitas
dan kegunaan laporan keuangan telah terhambat oleh tantangan yang serius. Dan
banyak orang yang berpendapat dan yakin bahwa standard akuntansi yang
menggunakan historical cost memainkan peranan penting sebagai penyebab

kerusakan perekonomian, terutama lembaga simpan pinjam tahun 1980an dan

masalah perbankan 1990an. Karena pada waktu itu banyak laporan keuangan yang
tidak mengungkapkan kerugian segera pada saat terjadi. Sehingga terdapat
kesepakatan bahwa standard akuntansi yang ada perlu diperbaiki untuk
memastikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, relevan, dan terpercaya. Dan
dibuatlah laporan keuangan berbasis Fair Value. Dengan metode Fair Value
artinya laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan dapat mencerminkan
kondisi sesungguhnya bagi perusahaan. Yang dimaksud dengan kondisi
sesungguhnya yaitu nilai asset dan kewajiban dari perusahaan telah sesuai dengan
kondisi perekonomian yang ada yang tercermin dengan dicatatnya asset dan
kewajiban tersebut menggunakan nilai wajar ( Fair Value ). Dengan demikian
maka laba atau rugi terhadap kenaikan atau penurunan asset dan kewajiban dari
perusahaan juga akan terlihat dalam laporan keuangan. Maka IASB di dalam
standar IFRSnya memutuskan untuk menggunakan metode Fair Value dalam
mengukur asset dan kewajiban perusahaan.

Rumusan Masalah
1. Mengapa dibutuhkan Metode Fair Value untuk memastikan bahwa laporan
keuangan bermanfaat, relevan, dan terpercaya ?

2. Bagaimanakah penerapan Metode Fair Value yang telah terjadi selama
ini ?
3. Bagaimanakah pandangan masyarakat tentang penggunaan Metode Fair
Value dalam Laporan Keuangan.

Tujuan Pembuatan Makalah
1. Ingin mengetahui alasan penggunaan metode Fair Value untuk memastikan
bahwa laporan keuangan relevance dan reliable.
2. Ingin mengetahui penerapan Metode Fair Value yang telah terjadi selama
ini.
3. Ingin mengetahui keunggulan dan kelemahan dari Metode Fair Value.
4. Ingin mengetahui kesulitan dalam penggunaan Metode Fair Value.

5. Ingin mengetahui pro dan kontra dari penerapan Metode Fair Value dalam
laporan keuangan.

Teori – teori yang Terkait
Akuntansi
Pengertian dan Definisi Akuntansi



Suatu proses mencatat, mengklasifikasi, meringkas, mengolah dan
menyajikan data, transaksi serta kejadian yang berhubungan dengan

keuangan sehingga dapat digunakan oleh orang yang menggunakannya
dengan mudah dimengerti untuk pengambilan suatu keputusan serta tujuan


lainnya.
Pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai informasi
yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat
keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam
perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi adalah seni
dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas
keuangan. Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai "bahasa bisnis".[1]
Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang
akurat agar dapat dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan,
dan pihak berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau
pemilik. Pencatatan harian yang terlibat dalam proses ini dikenal dengan
istilah pembukuan. Akuntansi keuangan adalah suatu cabang dari

akuntansi dimana informasi keuangan pada suatu bisnis dicatat,
diklasifikasi, diringkas, diinterpretasikan, dan dikomunikasikan. Auditing,
satu disiplin ilmu yang terkait tapi tetap terpisah dari akuntansi, adalah
suatu proses dimana pemeriksa independen memeriksa laporan keuangan
suatu organisasi untuk memberikan suatu pendapat atau opini - yang
masuk akal tapi tak dijamin sepenuhnya - mengenai kewajaran dan
kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang berterima umum.



Akuntansi berasal dari kata asing accounting yang artinya bila
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia adalah menghitung atau
mempertanggungjawabkan. Akuntansi digunakan di hampir seluruh
kegiatan bisnis di seluruh dunia untuk mengambil keputusan sehingga
disebut sebagai bahasa bisnis.

Laporan Keuangan adalah
Catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Laporan


keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang
lengkap biasanya meliputi :
Neraca
Laporan laba rugi komprehensif
Laporan perubahan ekuitas
Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa laporan
arus kas atau laporan arus dana
Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian
integral dari laporan keuangan
Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan
adalah aset, kewajiban,dan ekuitas. Sedangkan unsur yang berkaitan dengan
pengukuran kinereja dalam laporan laba rugi adalah penghasilan dan beban.
Laporan posisi keuangan biasanya mencerminkan berbagai unsur laporan laba
rugi dan perubahan dalam berbagai unsur neraca.
GAAP ( Generally Accepted Accounting Principles atau Prinsif-prinsif
Standar Akuntansi Keuangan berlaku umum )
Standar umum akuntansi dan perusahaan go public yang telah dikembangkan
selama bertahun-tahun, dan yang digunakan oleh bisnis untuk mengatur informasi
keuangan mereka menjadi catatan transaksi akuntansi yang ringkas dalam
pelaporan keuangan, serta mengungkapkan informasi pendukung tertentu.


IFRS adalah
IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh
International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional
(International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama
dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat

Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi
Akuntansi Internasioanal (IFAC).
Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi
Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk
menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan
mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat
dipahami dan dapat diperbandingkan (Choi et al., 1999 dalam Intan Immanuela,
puslit2.petra.ac.id)
IASB (International Accounting Standards Board)
Agreement

and


Contitution IASB

memberikan

IASB

otoritas

untuk

menyebarluaskan standard penyajian laporan keuangan yang telah diaudit oleh
setiap organisasi bisnis dan mengendalikan penerimaan standard di seluruh dunia.
Penyelarasan berbagai perbedaan antara standar nasional diharapkan dapat
meningkatkan keandalan dan tingkat komparatif laporan keuangan asing untuk
dapat meningkatkan ketepatan dalam pengambilan keputusan. Tujuan IASB yaitu
merumuskan dan menerbitkan standar akuntansi yang dapat dipatuhi dalam
penyajian laporan keuangan dan untuk mengendalikan penerimaan dan ketaatan
standard di seluruh dunia. Anggota IASB setuju untuk mendukung dan bekerja
keras untuk memastikan bahwa laporan keuangan telah disusun sesuai dengan
standard, auditor berkewenangan untuk menegakkan standard dan untuk persuasi

kepada pemerintah, bursa, dan lembaga lainnya untuk mendukung standard yang
telah ditetapkan.
Standar pelaporan keuangan internasional (IFRS) diadaptasi oleh Badan Standar
Akuntansi Internasional (IASB). Pada tanggal 1 April 2001, IASB baru
mengambil alih tanggung jawab guna menyusun Standar Akuntansi Internasional
dari IASC. Selama pertemuan pertamanya, Badan baru ini mengadaptasi IAS dan
SIC yang telah ada. IASB terus mengembangkan standar dan menamai standarstandar barunya dengan nama IFRS.

Fair Value
Berdasarkan FASB Concept Statement No.7 dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau
pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara
partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (Perdana, 2011).
FASB, dalam Statement yang terbaru 157, pengukuran fair value mengesahkan
fair value sebagai exit value, dengan tanda setuju dari IASB kepada beberapa
reservasi minor : “ fair value adalah harga yang akan diterima dengan menjual
satu aset atau yang dibayar untuk memindahkan suatu kewajiban dalam transaksi
antara peserta-peserta pasar di tanggal pengukuran.” (Penman, 2007;33)
Menurut Suwardjono (2008;475) fair value adalah jumlah rupiah yang disepakati
untuk suatu obyek dalam suatu tranksaksi antara pihak-pihak yang berkehendak

bebas tanpa tekanan atau keterpaksaan.
IAI dalam buletin teknis no.3, Paragraf PA84 manyatakan bahwa: Dasar dari
definisi fair value adalah asumsi bahwa entitas merupakan unit yang akan
beroperasi selamanya tanpa ada intensi atau keinginan untuk melikuidasi, untuk
membatasi secara material skala operasinya atau transaksi dengan persyaratan
yang merugikan. Dengan demikian, fair value bukanlah nilai yang akan diterima
atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang
dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai adalah nilai yang
wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.

Pembahasan
Historical Cost
Definisi Historical Cost
Menurut Suwardjono (2008;475) kos historis merupakan rupiah kesepakatan atau
harga pertukaran yang telah tercatat dalam sistem pembukuan. Prinsip historical

cost menghendaki digunakannya harga perolehan dalam mencatat aktiva, utang,
modal dan biaya. Yang dimaksud dengan harga perolehan adalah harga pertukaran
yang disetujui oleh kedua belah pihak yang tersangkut dalam tranksaksi. Harga
perolehan ini harus terjadi pada seluruh traksaksi diantara kedua belah pihak yang

bebas. Harga pertukaran ini dapat terjadi pada seluruh tranksaksi dengan pihak
ektern, baik yang menyangkut aktiva, utang, modal dan transaksi lainnya.
Kelebihan Historical cost
Kegunaan historical cost pada akuntansi conventional sudah banyak ditentang.
Mereka yang mempertahankan historical cost mempunyai argumentasi mengenai
posisinya: (http://one.indoskripsi.com/node/6031 )
1) Historical cost relevan dalam membuat keputusan ekonomi
2) Historical cost berdasarkan pada transaksi yang sesungguhnya, tidak pada
kemungkinan.
3) Selama sejarah, laporan keuangan yang menggunakan historical cost
sangat berguna.
4) Pengertian terbaik mengenai konsep keuntungan adalah kelebihan dari
harga jual dari historical cost.
5) Akuntan harus menjaga integritas datanya dari modifikasi internal
6) Seberapa bergunanya laporan keuangan tergantung dari current cost atau
exit price.
7) Perubahan dalam harga pasar dapat diungkapkan sebagai data tambahan.
8) Terjadi ketidakcukupan data dalam membenarkan penolakan historical
cost accounting.
Kelemahan historical cost
Kelemahan penggunaan nilai historis menurut Muljono yang dikutip dari Kodrat
(http://www.petra.ac.id/~puslit/journals) antara lain:
1) Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk
suatu hal tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan
pada suatu nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu
pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut,

2) 2.Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih
rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang
terakhir. Di samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat
atas aktiva dan pasiva dalam valuta asing yang dikuasai persahaan
sehingga mengalami kesulitan dalam perhitungan selisih kurs yang tepat,
3) Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil
dan mengakibatkan laba dihitung terlalu besar,
4) Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang
didasarkan pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil
apabila diukur dengan perkembangan daya beli uang yang sedang
berlangsung,
5) Perusahaan tidak akan memperahankan real-capital-nya dan ada
kecenderungan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan
pembayaran pajak Vol. 2 No. 1, Pebruari 2010 Kajian Akuntansi 7
perseroan dan pembangian laba yang lebih besar daripada semestinya,
6) Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak
sama dijumlahkan menjadi satu dan
7) Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi
manajemen perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi
yang disusun atas dasar asumsi adanya stable monetary unit.

Pengunaan Metode Historical Cost dalam Laporan Keuangan
IFRS-FASB Akhirnya Sepakati Definisi Nilai Wajar (Fair Value)
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya IFRS dan FASB (yang selama ini
menggunakan GAAP sebagai pedoman dalam menyusun Laporan Keuangan)
menyepakati definisi ‘Fair Value’ (atau Nilai Wajar ) yang dituangkan dalam
standar baru yang diberi kode IFRS 13, Fair Value Measurement. Lain daripada
itu, kedua dewan pengatur Akuntansi paling berpengaruh ini juga menyepakati
beberapa hal terkait dengan persayaratan yang harus dipenuhi dalam
pengungkapan ‘nilai wajar (fair value)’ pada Laporan Keuangan.

Standar baru yang ini diyakini [oleh IFRS dan FASB] dapat memberikan suatu
definisi yang tepat mengenai ‘fair value’ (nilai wajar) untuk pertama kalinya.
Untuk perusahaan-perusahaan yang selama ini menggunakan GAAP, update
standar dan menjelaskan pengukuran nilai wajarnya berdasarkan aturan yang
sudah ada pada Accounting Standard Codification – 820 [buatan FASB].
Dengan aturan baru ini, ketua dewan telah sepakat bahwa nilai wajar harus diukur
dengan menggunakan harga di pasar utama untuk aset tertentu atau kewajiban.
Jika tidak ada pasar utama, maka nilai yang dipakai adalah harga/nilai yang paling
“menguntungkan” pasar untuk itu. Hal ini juga berlaku sebagai standarisasi atas
hirarki penilaian untuk kategori Level 1, 2, dan 3—yang mengklasifikasikan
tingkat penilaian yang digunakan dalam pengukuran aset tertentu atau kewajiban,
sebesar nilai wajarnya.
Berikut adalah hirarki nilai wajar yang dimaksudkan:
 Level 1 – Harga dikutip di pasar aktif untuk aktiva dan kewajiban yang
identik. Tingkat 1 input harus digunakan tanpa penyesuaian, jika tersedia.
 Level 2 – Input tidak termasuk dalam Level 1 yang diamati untuk aktiva
atau kewajiban, baik secara langsung maupun tidak langsung.
 Level 3 – input tidak teramati, termasuk data entitas itu sendiri, yang
disesuaikan jika diperlukan untuk mencerminkan asumsi pasar.
Esensi IFRS 13 [dengan persayaratan baru]
Berikut adalah esensi dari IFRS 13 dengan persyaratan baru:
Nilai wajar diukur dengan menggunakan harga di pasar utama bagi aktiva atau
kewajiban (yaitu pasar dengan volume terbesar dan tingkat aktifitas untuk aktiva
atau kewajiban) atau, dalam hal tidak adanya pasar utama maka yang dipakai
adalah pasar yang paling menguntungkan bagi aktiva atau kewajiban tersebut.
Rincian pedoman untuk mengukur nilai wajar suatu kewajiban, termasuk
deskripsi kompensasi yang oleh dibutuhkan oleh pelaku pasar.

Aset dan kewajiban keuangan yang melawankan posisi dalam risiko pasar (atau
risiko kredit pihak lawan), dapat diukur berdasarkan eksposur risiko bersih entitas.
Kelas-kelas aktiva atau kewajiban, untuk tujuan pengungkapan ditentukan
berdasarkan karakteristik alam, dan risiko dari aset atau kewajiban dan tingkat
dari hirarki nilai wajar (yaitu Level 1, 2 atau 3) di mana pengukuran nilai wajar
dikategorikan .
Sebuah diskusi narasi diperlukan tentang sensitivitas pengukuran nilai wajar
dikategorikan dalam Tingkat 3 dari hirarki nilai wajar untuk perubahan masukan
tidak teramati signifikan dan ada keterkaitan antara input yang mungkin
memperbesar atau mengurangi efek pada pengukuran. Selain itu, analisis
sensitivitas kuantitatif diperlukan untuk instrumen keuangan yang diukur pada
nilai wajar.
Informasi tentang proses penilaian entitas diperlukan untuk pengukuran nilai
wajar dikategorikan dalam Tingkat 3 dari hirarki nilai wajar.
IFRS 13 akan diberlaku efektif mulai 1 Januari 2013 nanti. Penerapan lebih awal
diperkenankan oleh IFRS.
Dewan percaya bahwa IFRS 13 dapat membantu meningkatkan transparansi
ketika suatu entitas (organisasi) menggunakan model pengukuran nilai wajar (fair
value), khususnya ketika pengguna Laporan Keuangan memerlukan informasi
lebih lanjut tentang ketidakpastian pengukuran, seperti ketika pasar untuk aktiva
atau kewajiban menjadi kurang aktif. (Sumber: IFRS.org dan FASB.org, “IFRS 13
Fair Value Measurement“)
Fair Value
Berdasarkan FASB Concept Statement No.7 dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau

pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara
partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (Perdana, 2011).
FASB, dalam Statement yang terbaru 157, pengukuran fair value mengesahkan
fair value sebagai exit value, dengan tanda setuju dari IASB kepada beberapa
reservasi minor : “ fair value adalah harga yang akan diterima dengan menjual
satu aset atau yang dibayar untuk memindahkan suatu kewajiban dalam transaksi
antara peserta-peserta pasar di tanggal pengukuran.” (Penman, 2007;33)
Menurut Suwardjono (2008;475) fair value adalah jumlah rupiah yang disepakati
untuk suatu obyek dalam suatu tranksaksi antara pihak-pihak yang berkehendak
bebas tanpa tekanan atau keterpaksaan.
IAI dalam buletin teknis no.3, Paragraf PA84 manyatakan bahwa: Dasar dari
definisi fair value adalah asumsi bahwa entitas merupakan unit yang akan
beroperasi selamanya tanpa ada intensi atau keinginan untuk melikuidasi, untuk
membatasi secara material skala operasinya atau transaksi dengan persyaratan
yang merugikan. Dengan demikian, fair value bukanlah nilai yang akan diterima
atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang
dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai adalah nilai yang
wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.
Konsep di belakang akuntansi fair value. Meletakkan pada isu pengukuran,
akuntansi fair value menyampaikan informasi tentang nilai kekayaan dan
kepengurusan manajemen dengan menyatakan semua aset dan kewajiban pada
neraca sebagai nilai kepada pemegang saham (Penman, 2007;36) :
Neraca menjadi sarana utama untuk menyampaikan informasi kepada
pemegang saham;
Semua aset dan kewajiban dicatat dalam neraca pada fair value, nilai buku
dari equity melaporkan nilai equity (Price/Book ratio =1.0);

Laporan laba-rugi (profit and loss) melaporkan ‘economic income’ karena
itu hanyalah perubahan nilai atas suatu periode;
Mengikuti prinsip ekonomi yang berubah dalam nilai yang tidak
meramalkan perubahanperubahan masa depan, earning tidak bisa
meramalkan earning masa depan. Tetapi ini tidak menyangkut untuk
penilaian, karena neraca menyediakan penilaian;
(unexpected) earning, menjadi kejutan untuk nilai, melaporkan tentang
resiko dari investasi ekuitas. volatility dalam pendapatan adalah informatif
nilai pada resiko;
Rasio P/E adalah Price/Shock-to-value, adalah realisasi nilai pada resiko
(dengan penafsiran yang sangat berbeda untuk hal tersebut pada historical
cost);
Income melaporkan kepengurusan manajemen dalam menambahkan nilai
untuk pemegang saham.
Singkatnya, neraca memuaskan tujuan penilaian dan ikhtisar rugi laba
menyediakan informasi tentang resiko dan kinerja manajemen.

Konsep di belakang akuntansi fair value. Akuntansi historical cost sering
ditafsirkan keliru di dalam debat, dengan kritik bahwa Vol. 2 No. 1, Pebruari 2010
Kajian Akuntansi 5 historical cost melaporkan neraca dengan cara lama. Latar
belakang akuntansi historical cost sebagai berikut: (Penman, 2007;36)
 Ikhtisar rugi laba adalah sarana utama untuk menyampaikan informasi
tentang
 nilai kepada pemegang saham, bukan neraca
 Laporan income seberapa baik perusahaan sudah melaksanakan dalam
harga
 arbitraging dalam input (penyalur) pasar dan output (pelanggan) pasar; ini
adalah, earning historical cost melaporkan nilai tambah pem-belian input,
mentransformasi mereka menurut suatu model bisnis, dan menjual mereka
pada lain harga;

 Berlawanan dengan akuntansi fair value, current income meramalkan
pendapatan masa depan dimana suatu penilaian dapat dibuat;
 Rasio P/B pada umumnya bukan sama dengan 1.0 dan rasio P/E
mengambil current earning yang ada sebagai suatu dasar dan kalikan
menurut peramalan earning masa depan ;
 Earning tidak melaporkan kejutan untuk harga, hanya kejutan untuk
menukar input dan output pasar
 Earning mengukur kepengurusan manajemen dalam arbitraging input dan
output pasar, dalam menambahkan nilai pada pasar.
Akuntansi historical cost memandang nilai yang dihasilkan dalam bisnis dengan
pembelian input (dari para penyalur), mentransformasi mereka menurut suatu
rencana bisnis dan menjual produk yang sebagai akibat (kepada customer)
melebihi biaya; singkatnya, nilai ditambahkan oleh arbitraging (entry dan exit)
harga di dalam input dan output pasar untuk barang dan jasa menurut perencanaan
bisnis. Akuntansi historical cost tidak laporkan nilai dari hasilhasil yang
diharapkan dari perencanaan bisnis. lebih pada melaporkan tentang kemajuan
yang dibuat dalam melaksanakan rencana, mengenali nilai tambah (earning) dari
tranksaksi aktual dalam input dan output pasar menjadi arbitraged.
Pengukuran Fair Value
FASB baru-baru ini mengeluarkan draft mengenai pengukuran fair value untuk
mengembangkan konsistensi, reliability dan comparability dengan aset keuangan
dan bukan keuangan dan kewajiban yang dilaporkan. Ini digambarkan fair value
sebagai “harga dimana asset dan liability dapat dipertukarkan pada tranksaksi
lancar antara yang banyak mengetahui, tidak berhubungan dengan pihak yang
sukarela (FASB 2004, para. 4) Karena sasaran dari pengukuran fair value untuk
menaksir harga pertukaran dalam ketidaknyataan suatu transaksi, FASB bergulat
dengan keandalan pengukuran fair value, keandalan ukuran-ukuran ini
dibandingkan dengan keandalan dari ukuran-ukuran lain didasarkan pada
penilaian-penilaian dan perkiraan-perkiraan, dan penyebab ukuran-ukuran yang

tak dapat dipercaya. (dikutip dari Reis and Stocken, http://papers.ssrn.com/sol3/
papers.cfm?abstract_id=975445)
Menurut Suwardjono (2004;200) Fair value menjadi sasaran pengukuran dengan
nilai sekarang karena pengukuran fair value menangkap secara penuh kelima
unsur (SFAC no.7, prg.23):
a. Suatu estimat aliran kas masa datang atau, dalam beberapa kasus yang
kompleks, serangkaian aliran kas masa datang yang tiba pada saat berbeda
b. Harapan-harapan tentang variasi yang mungkin terjadi dalam jumlah dan
saat tibanya aliran kas tersebut
c. Nilai waktu uang yang ditunjukan dengan oleh bunga bebas resiko
d. Harga atau nilai penanggungan risiko atau ketidakpastian yang melekat
pada aset atau kewajiban
e. Faktor-faktor lain termasuk ilikuiditas dan ketidak sempurnaan pasar
Keandalan fair value bergantung pada masukan-masukan dalam proses
pengukuran. SFAS No. 157 menyediakan satu hirarki masukan untuk mengukur
fair value: level 1, level 2, dan level 3. level tertinggi dari input: level 1, adalah
pengamatan dari pasar aktif, seperti pasar bursa, untuk aset atau kewajiban yang
serupa. Untuk Yolinda Yanti Sonbay Kajian Akuntansi 6 memperluas pengukuran
fair value tingkat didasarkan pada level 1 pengamatan pasar, kebanyakan individu
akan setuju pengukuran yang dapat dipercaya. Tim Krumwiede, CPA (2008;36)
Input level 2, yang mana FASB menyukai atas input level 3, termasuk semua
input yang tampak yang lain yang bukan input level 1. Satu contoh dari suatu
input level 2 untuk satu aset akan diamati harga penjualan untuk suatu aset yang
serupa. input level 3 bersifat masukan-masukan tidak bisa diamati. Dalam banyak
kasus, input level 2 dan level 3 digunakan untuk aktiva jangka panjang dan aktiva
yang tak berwujud karena input level 1 tidak akan ada tersedia. Ketika input level
2 dan level 3 bersifat perlu, keandalan dari pengukuran-pengukuran fair value
diragukan.
Tim Krumwiede, CPA (2008;36) Menggunakan peramalan, keandalan dari teknik
penilaian ini terbuka untuk kritik. Studistudi sudah menemukan bahwa DCF

adalah teknik penilaian paling umum digunakan untuk goodwill. Sebagai
tambahan, pada SFAS No. 144, FASB mengakui adanya suatu teknik PV yang
biasanya digunakan untuk mengukur fair value dari asset jangka panjang. Marilah
kita sekarang berfokus kepada DCF karena penggunaannya yang tersebar luas
dalam mengukur fair value untuk asset jangka panjang dan yang tak berwujud.
Dalam Buletin Akuntan Muda edisi April 2011 dikatakan bahwa terdapat tiga
hirarki dalam mengestimasi fair value, yaitu dengan menggunakan nilai pasar,
komparasi dengan harga pasar dari item yang dapat diperbandingkan dengan item
yang dinilai, dan dengan menggunakan estimasi (Hitz 2007). Meskipun fair value
dapat diukur dengan menggunakan current market value, namun tidak berarti fair
value itu sepenuhnya adalah current market value. Untuk item-item tertentu di
dalam laporan keuangan yang berasal dari transaksi yang lazim terjadi (arm’s
length transaction) dan harga-harganya juga dapat dengan mudah diukur dengan
harga pasar, fair value dapat diukur dengan menggunakan current market value.
Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark to market. Namun
untuk item-item yang harga pasarnya tidak tersedia, fair value diukur dengan
menggunakan model penilaian yang didasarkan atas perhitungan-perhitungan dan
estimasi tertentu. Pengukuran fair value seperti ini disebut juga dengan mark to
model.

Dengan

demikian

penggunaan

fair

value

sesungguhnya

dapat

menimbulkan implikasi yang bersifat subyektif terutama yang berkaitan dengan
penilaian (Blommaert dalam Verhog 2003).
Kelebihan Fair Value
Penman (2007;33) mengemukakan argument mengenai kelebihan dari Fair Value:
1) Investor-investor berkaitan dengan nilai, bukan biaya, maka melaporkan
fair value
2) Dengan berlalunya waktu, harga historis jadinya tidak relevan di dalam
menaksir posisi keuangan suatu entitas. Harga menyediakan informasi
terbaru sekitar nilai dari aset-aset.

3) Auntansi fair value melaporkan aset dan kewajiban dalam cara yang
ekonomis akan memperhatikan mereka; fair value mencerminkan unsur
pokok ekonomi yang benar.
4) Akuntansi fair value melaporkan economic income: seturut diterima secara
luas defenisi Hicksian dari pendapatan sebagai perubahan dalam kekayaan,
perubahan dalam fair value dari aset bersih pada neraca menghasilkan
pendapatan. Akuntansi fair value adalah solusi kepada permasalahan
akuntan dalam pengukuran pendapatan, dan lebih disukai dibanding
ratusan peraturan yang mendasari pendapatan historical cost
5) Fair value adalah penukuran berbasis pasar yang tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor

khusus

untuk

entitas

tertentu;

secara

setimpal

itu

menunjukkan satu pengukuran yang tidak bias yang konsisten dari periode
ke periode dan lintas entitas.
Kelemahan Fair Value
Meskipun fair value dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari historical cost
namun terdapat kelemahan dari fair value. Menurut Tim Krumwiede (2008;38)
terdapat berapa kritik penting terhadap fair value:
1) Meskipun bermaksud baik namun perkiraan manajemen tentang fair value
bisa menjadi salah pada luas berbagai prediksi dan asumsi yang salah.
2) Oportunistik dan ketidakjujuran manajemen dapat mengambil keuntungan
dari penilaian dan estimasi yang digunakan dalam proses manipulasi dan
mengurutkan angka pada hasil dalam angka pendapatan yang diinginkan
Sukar Menakar Nilai Wajar ( Tinjauan atas IFRS 13 Fair Value
Measurement )
Khusus untuk Indonesia yang sebelum 2008 sangat setia menggunakan konsep
nilai historis, mau tak mau mulai mengadopsi nilai wajar dalam standar
akuntansinya. PSAK 16 Aset Tetap misalnya, berlaku efektif 1 Januari 2008
memperkenalkan konsep model revaluasi yang menggunakan nilai wajar. Begitu
pula dengan PSAK 13 Properti Investasi dengan tanggal efektif sama dengan
PSAK 16, yang menawarkan model nilai wajar sebagai pilihan.

Banyaknya penggunaan nilai wajar dalam IFRS membuat beberapa nilai wajar
dalam standar-standar IFRS tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya
definisi nilai wajar untuk PSAK 13 dan PSAK 16 memiliki perbedaan. Nilai wajar
dalam PSAK 13 ditentukan dengan exit price (harga keluaran), didasarkan pada
partisipasi pasar dan ditentukan pada tanggal pengukuran. Sedangkan PSAK 16
pengukuran nilai wajar menggunakan entrance price, nilai masukan, didasarkan
atas dasar transaksi yang wajar dan tanggal pengkuran tidak ditentukan.
Pembahasan nilai wajar dalam IAS 41 Agriculture (belum diadopsi di Indonesia)
juga hanya mengatur apa yang harus diukur dengan nilai wajar (aset bilogis) dan
kapan mengukurnya. IAS 41 tidak menjelaskan bagaiamana metode pengukuran
nilai wajar diterapkan.
Melihat definisi nilai wajar yang kurang jelas dan tidak konsisten, pada bulan
May 2011 IASB mengeluarkan IFRS 13 Fair Value Measurement dan mulai
berlaku efektif 1 Januari 2013. Bila anda berprofesi sebagai penilai, maka
membaca IFRS 13 tidak akan terasa asing karena sangat harmonis dengan
ketentuan nilai pasar yang tertuang dalam IVS (International Valuation
Standards), kitab pegangan profesi penilai. IVS adalah produk yang dikeluarkan
oleh IVSC (International Valuation Standard Council) yang diketuai saat ini oleh
Sir David Tweedie, mantan ketua IASB selama sepuluh tahun.
IFRS 13 Fair Value Measurement: Ruang Lingkup dan Definisi
IFRS 13 mengatur prinsip-prinsip pengukuran nilai wajar yang telah termuat
dalam standar-standar IFRS sebelumnya. IFRS 13 memberikan definisi baru
tentang nilai wajar yang sebelumnya diatur berbeda-beda dalam beberapa IFRS.
Selain definisi, IFRS 13 juga memberikan cara bagaimana nilai wajar tersebut
diukur dan bagaimana pengungkapannya. Hal ini menjadi penting karena dalam
beberapa IFRS terdapat petunjuk atau contoh-contoh penghitungan nilai wajar
yang akhirnya tidak konsisten satu sama lain.
Definisi Nilai Wajar dalam IFRS Sebelumnya

“Fair value is the amount for which an asset could be exchanged between
knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction”
Definisi Nilai Wajar Yang Baru
IAS 13 Investment property and IAS 16 Property Plant and Equipment “This
IFRS defines fair value as the price that would be received to sell an asset or paid
to transfer a liability in an orderly transaction between market participants at the
measurement date. “ IFRS 13 Paragraph 9.
Definisi nilai wajar dalam IFRS 13 lebih jelas daripada definisi sebelumnya.
Misalnya kata “could be exchanged” tidak jelas apakah harga jual atau harga beli?
Hal itu diperjelas dalam definisi IFRS 13 yang menggunakan harga yang
didapatkan bila kita menjual aset. Definisi sebelumnya juga tidak jelas harga
kapan yang digunakan yang diperjelas kemudian dalam IFRS 13 sebagai harga
pada saat pengukuran.
Dengan definisi yang baru maka yang dimaksud dengan nilai wajar dari aset atau
liabilitas yang diukur adalah harga yang digunakan di pasar (market-based
measurement) dan bukan harga yang bergantung pada faktor-faktor internal
perusahaan (entity-specific measurement). Namun harus dicermati kata orderly
transaction (transaksi dalam keadaan wajar teratur) terkadang menuai diskusi
hangat di kalangan akuntan karena untuk menentukan apakah transaksi tersebut
“orderly” bukanlah perkara mudah.
Dalam mengukur nilai wajar, perusahaan harus berusaha mencari harga pasar
utama dari aset dan liabilitas yang dimaksud. Bila pasar utama tidak ada, maka
perusahaan harus mencari harga dari pasar yang paling menguntungkan (most
advantageous market) untuk aset atau liabilitas tersebut. Kata most advantageous
market juga dapat menuai kontroversi karena sulit untuk menentukannya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah, nilai transaksi tidak selalu berarti
sama dengan nilai wajar. Walaupun dalam banyak hal, nilai transaksi biasanya
adalah nilai wajar, namun bisa saja nilai transaksi tidak mencerminkan nilai wajar.

Bila ada suatu standar IFRS yang mensyaratkan suatu aset/liabilitas diakui
pertama kali sesuai dengan nilai wajarnya, maka perusahaan mengukur nilai wajar
sesuai dengan ketentuan IFRS 13. Jika ada perbedaan antara harga transaksi
dengan nilai wajarnya, maka selisihnya diakui dalam laporan laba rugi, kecuali
diatur berbeda dalam standar lain.
Hirarki Nilai Wajar
Pentingnya harga pasar membuat banyak akuntan di negara berkembang cemas.
Merupakan tantangan yang besar bagi negara berkembang untuk menentukan nilai
pasar karena volatilitas pasar di negara berkembang lebih tinggi daripada negaranegara maju. IFRS 13 tidak serta merta secara kejam memaksakan yang dimaksud
nilai wajar haruslah nilai pasar. Oleh sebab itu sangat penting untuk memahami
hirarki nilai wajar dalam IFRS 13
Berdasarkan hirarki di atas maka nilai wajar untuk aset non keuangan seperti
gedung dan peralatan biasanya menggunakan level 2 dan level 3. Perusahaan
sedapat mungkin harus menggunakan level 1 untuk mencari nilai wajar aset dan
liabilitas. Namun level 2 dan level 3 digunakan bila memang tidak ada nilai pasar
terhadap aset dan liabilitas yang akan diukur, tentunya level 2 diutamakan
sebelum perusahaan akhirnya harus menggunakan level 3. Unobservable input
termasuk juga informasi internal perusahaan (anggaran dan prakiraan/forecast)
yang senantiasa disesuaikan bila asumsi perusahaan berubah.
High and Best Use Model
Secara khusus, IFRS 13 memberikan persyaratan untuk aset-aset non-keuangan
(semisal gedung) yakni pemanfaatan terbaik dan tertinggi dari aset tersebut.
“A fair value measurement of a non-financial asset takes into account a market
participant’s ability to generate economic benefits by using the asset in its highest
and best use or by selling it to another market participant that would use the asset
in its highest and best use.” IFRS 13 Paragraph 27.

Sebutlah misalnya perusahaan XYZ memiliki sebuah gedung di sebuah jalan
protokol ibu kota yang sangat bergengsi. Perusahaan ingin mengukur property
investasi ini menggunakan nilai wajar. Saat ini gedung tersebut hanya digunakan
sebagai gudang. Bila menggunakan definisi nilai wajar sebelumnya, perusahaan
XYZ bisa menggunakan harga penawaran calon pembeli terhadap gedung
tersebut. Bisa jadi harga yang ditawarkan pembeli lebih murah dari harga wajar
gedung-gedung disekitarnya karena pembelinya juga akan memanfaatkan gedung
tersebut sebagai gudang.
Namun bila menggunakan definisi nilai wajar yang baru perusahaan harus
mengukur harga dari pasar yang paling menguntungkan. Seharusnya gedung
tersebut bila dimanfaatkan sebagai perkantoran (dan bukan sebagai gudang)
karena berada di daerah bisnis bergengsi, perusahaan bisa mendapatkan nilai
wajar yang lebih tinggi. Maka menilai gedung tersebut sebagai gudang tidak bisa
diterapkan karena tidak memenuhi definisi “Highest and Best Use”.
Bila perusahaan bertujuan menggunakan aset non-keuangan tidak dalam kapasitas
maksimum atau pemanfaatan terbaik, maka pengukuran nilai wajar aset tersebut
harus menggunakan harga pasar dimana pelaku pasar menggunakan aset tersebut
dengan pemanfaatan dan kapasitas terbaik. Bila aset memiliki nilai wajar yang
lebih baik bila digunakan bersama-sama aset lain (misalnya sebuah mesin yang
nilainya lebih baik bila dijual sebagai sekelompok mesin pabrik lengkap), maka
nilai tersebut yang digunakan daripada nilai aset yang terjual sendirian.
Konsep High and Best Use ini tidak digunakan dalam pengukuran nilai wajar aset
dan liabilitas keuangan.
Pengungkapan
Secara umum perusahaan harus mengungkapkan nilai wajar di akhir periode serta
teknik penilaian dan nilai masukan (input value) yang digunakan dalam teknik
penilaian tersebut. Level penilaian berapa yang digunakan oleh perusahaan juga
harus diungkapkan. Apabila ada transfer aset dan liabilitas antara satu level
dengan level lainnya, hal tersebut juga harus diungkapkan. Transfer aset atau

liabilitas masuk ke level tertentu harus dipisahkan dengan transfer keluar dari
level tersebut.
Pengukuran nilai wajar menggunakan level 3 membutuhkan banyak pertimbangan
profesional (professional judgement) sehingga menjadi perhatian IASB dalam
pengaturan pengungkapan dalam IFRS 13. Pada prinsipnya, bila perusahaan
memutuskan menggunakan level 3 maka pengguna laporan keuangan harus dapat
mengetahui dampak dari level 3 tersebut terhadap laba/rugi perusahaan atau
terhadapat pendapatan komprehensif lain.
Bila perusahaan menggunakan teknik penilaian nilai wajar level 3, nilai input dan
asumsi-asumsi yang digunakan harus diungkapkan secara rinci. Perusahaan juga
harus menjelaskan langkah-langkah proses penilaian yang dilakukan dengan nilai
input tersebut. Analisis sensitivitas juga harus dibuat oleh perusahaan dalam
pengungkapan. Diskusi narasi tentang analisis sensitivitas tentang perubahan nilai
masukan tak terobservasi (Unobservable inputs) termasuk hubungan antar nilainilai masukan tersebut yang dapat mempengaruhi pengukuran.
IFRS 13 Fair Value Measurement adalah salah satu standar akuntansi yang cukup
rumit dan membutuhkan ilmu-ilmu penilaian yang mungkin tidak dipelajari oleh
para akuntan yang mengenyam ilmu pendidikan akuntansi tradisional. DSAK-IAI
belum mengambil keputusan kapan IFRS 13 ini akan diadopsi, kemungkinan
besar setelah 2013. Namun demikian mengingat standar akuntansi ini pasti akan
diadopsi di Indonesia dan cukup signifikan membawa perubahan, tidak ada
salahnya para akuntan bersiap diri mempelajari standar ini bahkan sebelum
diadopsi oleh DSAK-IAI.
Pro Kontra Fair Value, Kebaikan dan Keburukan Fair Value Sebagai Dasar
Pengukuran Aset
Fair value ditetapkan oleh International Accounting Standard Board (IASB)
sebagai dasar untuk mengukur aset. Dengan diperkenalkannya International
Financial Reporting Standard (IFRS) di berbagai belahan dunia, penggunaan
metode fair value secara benar menjadi sangat penting. Akan tetapi, jika kekuatan

ekonomi terbesar di dunia tidak termasuk di dalamnya (Amerika Serikat), maka
tidak dapat benar-benar disebut seluruh dunia. Amerika Serikat tidak mengadopsi
IFRS, akan tetapi mereka mempunyai standar akuntansi sendiri yang disusun oleh
Financial Accounting Standard Board (FASB). FASB tidak mengakui fair value
sebagai dasar untuk mengukur aset, mereka mencatat aset dengan dasar biaya
historis (historic cost). Meskipun demikian, FASB dan IASB bekerja sama untuk
berusaha mengharmonisasikan standar akuntansi masing-masing. Pertanyaan
mengenai bagaimana aset seharusnya diakui di neraca merupakan salah satu isu
penting yang harus dicari solusinya. Untuk itu baik IASB maupun FASB
melakukan pengujian secara seksama terhadap fair value, tentang arti dari fair
value dan bagaimana seharusnya diaplikasikan. Sementara itu FASB secara
serentak melakukan investigasi sendiri terhadap fair value dan telah menerbitkan
sebuah exposure draft.
Seiring perkembangan zaman, ternyata penggunaan historical cost tidak lagi
relevan karena kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan telah terhambat oleh
tantangan yang serius. Dan banyak orang yang berpendapat dan yakin bahwa
standard akuntansi yang menggunakan historical cost memainkan peranan penting
sebagai penyebab kerusakan perekonomian, terutama lembaga simpan pinjam
tahun 1980an dan masalah perbankan 1990an. Karena pada waktu itu banyak
laporan keuangan yang tidak mengungkapkan kerugian segera pada saat terjadi.
Sehingga terdapat kesepakatan bahwa standard akuntansi yang ada perlu
diperbaiki untuk memastikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, relevan, dan
terpercaya. Dan dibuatlah laporan keuangan berbasis Fair Value
Ada banyak diskusi dalam beberapa waktu terakhir mengenai peran akuntansi
dalam penurunan ekonomi baru-baru ini. Sejak krisis keuangan dimulai, dan
perdebatan tentang akuntansi nilai wajar semakin intensif. Bank-bank dan pihakpihak lain berpendapat bahwa akuntansi nilai wajar bertanggung jawab atas
kelemahan dan ketidakstabilan yang mereka alami, sedangkan akuntan dan
pengacara investor berpendapat bahwa kebenaran (fakta tentang aset milik bankbank) adalah apa yang akhirnya menyebabkan masalah mereka.

Pada tahun 1938, Presiden Franklin D. Roosevelt menghapuskan akuntansi MTM;
Milton Friedman menuduh akuntansi MTM sebagai sumber utama yang
menyebabkan melemahnya modal yang menyebabkan bank-bank dilikuidasi
dalam “Great Depression” (Berry 2008). Pertanyaan berikutnya adalah apakah fair
value memainkan peran dalam krisis keuangan baru-baru ini?
Untuk memahami implikasi dari fair value, kita harus mulai dengan pentingnya
akuntansi terhadap sistem ekonomi kita. Pusat kapitalisme adalah identifikasi
harga dan perhitungan laba rugi. Penilaian paling penting yang dibuat oleh
manajer adalah apakan keputusan mereka menghasi paling penting yang dibuat
oleh manajer adalah apakan keputusan mereka menghasilkan keuntungan (laba)
atau kerugian. Apalagi, investor, kreditor, dan partner bisnis menggunakan data
akuntansi untuk membuat keputusan untuk alokasi investasi, memperpanjang
kredit, dan mengevaluasi kerja sama.
Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat perubahan yang terusmenerus pada laporan keuangan perusahaan ketika nilai aset mengalami kenaikan
dan penurunan serta laba dan rugi yang dicatat. Hal ini membuat semakin sulit
untuk memastikan apakah laba dan rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang
dibuat manajemen atau oleh perubahan yang terjadi di pasar.
Masalah lain muncul saat akan mengubah nilai aset berdasarkan harga pasar.
Siapa yang menentukan harga pasar? Ini mungkin pertanyaan yang mendasar,
misalnya bagaimana menentukan harga pasar dari hutang obligasi yang dijamin.
Kubu yang menentang akuntansi berdasarkan nilai pasar menggunakan
argumentasi bahwa market value accounting kurang dapat dipercaya dan menjadi
halangan utama dalam penerapannya dan kukuh menganggap model historical
cost lebih unggul sebab lebih dapat dipercayai (tingkat reliabilitas-nya lebih
tinggi). Mereka ngotot bahwa subjectivity estimasi nilai wajar aktiva (fair value
asset) dan liabilities tanpa pasar yang likuid membuat laporan keuangan menjadi
tidak dapat dipercaya. Tetapi ada juga sebagian orang beranggapan bahwa
subjectivity selalu menjadi bagian dari akuntansi dan masalah pengukuran dalam

melaporkan informasi keuangannya berdasarkan nilai pasar berhasil diterapkan
perusahaan, juga ketika penggabungan usaha dengan metode pembelian.
Kemungkinan terbaik estimasi konsep relevan adalah bahwa penggunaan estimasi
lebih baik ketimbang menggunakan ukuran yang tidak relevan. Masalah yang
selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah bahwa model akuntansi berdasarkan
historical cost tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis,;dan
cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui
adanya perubahan tersebut. Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang
dilaporkan, dan memperburuk kompromi
Akan tetapi, hal yang cukup menarik adalah bahwa angka-angka yang dilaporkan
dengan sistem akuntansi berdasarkan nilai pasar mempunyai korelasi sangat kuat
dengan harga saham, dan memberi petunjuk bahwa nilai berdasarkan pasar lebih
baik (lebih terpercaya) dari pada nilai berdasarkan historical cost seperti di AS.
Akan tetapi, meskipun mempunyai keunggulan, sistem market value accounting
berpotensi rentan terhadap manipulasi dan kesalahan estimasi, tidak ditemukan
bukti yang menunjukkan bahwa angka-angka nilai berdasarkan pasar dikelola
untuk menghindari peraturan yang membatasi permodalan. Dapat disimpulkan
bahwa, pada akhirnya, penggunaan market value accounting akan memberikan
dukungan berharga kepada lembaga-lembaga keuangan.
Arthur Wyatt, Chairman International Accounting Standards Committee pada
Accounting Horizon (March 1991) mengemukakan beberapa kelemahan standard
akuntansi yang ada selama ini. Dia mengingatkan bahwa mengaitkan investasi
dengan pasar adalah bersumber dari perdebatan kalangan akademik yang akhirnya
berubah menjadi masalah penting yang harus dipraktekan. Salah satu komentar
dari kalangan akademika adalah mengatakan bahwa standard akuntansi yang ada
secara artificial dapat menaikkan capital (modal), dan pihak-pihak yang
menggunakan market value accounting akan mendorong “artificial volatility” dan
menduga bahwa pola pendapatan yang dilaporkan perusahaan yang relatif smooth
selama kurang lebih 50 tahun mungkin benar-benar artifisial. Bapak Wyatt
menjelaskan bahwa terlalu banyak orang percaya pada angka-angka akuntansi

seolah-olah angka tersebut mencerminkan realitas ekonomi, padahal sebenarnya,
akibat penggunaan model historical cost, akuntansi semakin menjauh dari
kenyataan ekonomi. Beliau mengingatkan dan berkepentingan dengan masalah
bahwa akuntansi berdasarkan historical cost, pengakuan kerugian dapat ditunda
hampir tanpa batas dan mengemukakan argumentasinya bahwa model historical
cost dapat mendorong kebijakan manajemen investasi yang tidak baik, menjual
saham yang menguntungkan dan menahan saham yang merugikan.
Kebaikan Menggunakan Fair Value
1. Relevance. Banyak orang percaya bahwa standard akuntansi historical cost
telah banyak kehilangan relevansinya karena kegagalannya mengukur
realitas ekonomi. Hampir semua orang setuju bahwa peristiwa ekonomi--yaitu, kejadian yang mengubah waktu kapan arus kas diterima dan
jumlahnya yang akan datang – harus tercermin (terungkap) dalam laporan
keuangan lembaga. Akan tetapi, seringkali model historical cost hanya
mengukur transaksi sudah selesai dan gagal mengakui adanya perubahan
nilai riil lain yang dapat terjadi.
2. Reliability. Masalah yang selalu ada yang tidak dapat dihindari adalah
bahwa model akuntansi berdasarkan historical cost tidak mengakui adanya
perubahan nilai bersifat ekonomis, dan cenderung membiarkan perusahaan
memilih sendiri apakah dan kapan mengakui adanya perubahan tersebut.
Ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan
memperburuk

kompromi

kenetralan

dan

dipercayainya

informasi

keuangan.
Keburukan Menggunakan Fair Value
a. Fair value berusaha menyediakan informasi yang transparan dengan
menilai aset pada tingkat harga yang dihasilkan jika segera dilikuidasisehingga sangat sensitif terhadap pasar.

b. Akuntansi fair value bekerja melalui akuntansi mark-to-market (MTM),
yaitu aset dicantumkan pada harga pasar mereka jika diperdagangkan
secara terbuka. Menggunakan akuntansi mark-to-market akan berakibat
perubahan yang terus-menerus pada laporan keuangan perusahaan ketika
nilai aset mengalami kenaikan dan penurunan serta laba dan rugi yang
dicatat. Hal ini membuat semakin sulit untuk memastikan apakah laba dan
rugi diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat manajemen atau oleh
perubahan yang terjadi di pasar.
c. Volatility. Lembaga keuangan mengatakan bahwa mereka takut akuntansi
berdasarkan pasar akan menyebabkan volatility kinerja lembaga (karena
semakin mudahnya nilai item-item aktiva dan pasiva berfluktuasi).
Walaupun sebenarnya lembaga keuangan yang senantiasa mengelola
bahaya yang mengancam asset dan liability hanya sedikit takut dengan
market value accounting. Laporan keuangan lembaga keuangan yang
kurang efektif dalam mengelola risiko akan tercermin pada volatility yang
selalu ada dalam setiap usahanya. Para investor dan kreditur akan memiliki
informasi yang lebih berguna dan relevan dalam membedakan risiko antar
perusahaan, ketika mengambil keputusan investasi dan keputusan
pemberian kredit (jika menggunakan MVA).

Penutup
Seiring perkembangan zaman penggunaan historical cost tidak lagi relevan
karena kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan telah terhambat oleh tantangan
yang serius. Dan banyak yang berpendapat dan yakin bahwa standar akuntansi
yang menggunakan historical cost memainkan peranan penting sebagai penyebab
kerusakan perekonomian, terutama lembaga simpan pinjam tahun 1980an dan
masalah perbankan 1990an. Karena pada waktu itu banyak laporan keuangan yang
tidak mengungkapkan kerugian segera pada saat terjadi. Sehingga terdapat
kesepakatan bahwa standard akuntansi yang ada perlu diperbaiki untuk
memastikan bahwa laporan keuangan bermanfaat, relevan, dan terpercaya. Dan
dibuatlah laporan keuangan berbasis Fair Value. Indonesia mengadopsi Metode
Fair Value dalam laporan keuangan dimulai semenjak tahun 2008 yakni sebelum
Indonesia mengadopsi secara penuh IFRS yang dimulai pada tahun 2012. Fair
Value pada awal penerapannya mengakibatkan ketidaksesuaian disebabkan oleh
banyaknya pen