Reformasi Sektor Keamanan Sebuah Pengant (1)

Kata Pengantar Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forced (DCAF)

Tool Pelatihan untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Kajian Reformasi Sektor Keamanan ini ditujukan khususnya untuk membantu mengembangkan kapasitas OMS Indonesia untuk melakukan riset, analisis dan monitoring terinformasi atas isu-isu kunci pengawasan sector keamanan. Tool ini juga bermaksud untuk meningkatkan efektivitas aksi lobi, advokasi dan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan yang dilakukan oleh institusi-institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.

Kepentingan mendasar aktivitas OMS untuk menjamin peningkatan transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor keamanan telah diakui sebagai instrumen kunci untuk memastikan pengawasan sektor keamanan yang efektif. Keterlibatan publik dalam pengawasan demokrasi adalah krusial untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi diseluruh sektor keamanan. Keterlibatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik: OMS tidak hanya bertindak sebagai pengawas (watchdog) pemerintah tapi juga sebagai pedoman kepuasan publik atas kinerja institusi dan badan yang bertanggungjawab atas keamanan publik dan pelayanan terkait. Aktivitas seperti memonitor kinerja, kebijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah semua memberi masukan pada proses ini.

Sebagai tambahan, advokasi oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil mewakili kepentingan komunitas- komunitas lokal dan kelompok-kelompok individu bertujuan sama yang membantu memberi suara pada aktor- aktor termarjinalisasi dan membawa proses perumustan kebijakan pada jendela perspektif yang lebih luas lagi. Konsekuensinya, OMS memiliki peran penting untuk dijalankan, tak hanya di negara demokratis tapi juga di negara-

negara paskakonlik, paskaotoritarian dan non demokrasi, dimana aktivitas OMS masih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan para elit yang memonopoli proses politik.

Tapi kemampuan aktor-aktor masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengawasan sektor keamanan bergantung pada kompetensi pokok dan juga kapasitas institusi organisasi mereka. OMS harus memiliki kemampuan-kemampuan inti dan alat-alat untuk terlibat secara efektif dalam isu-isu pengawasan keamanan dan reformasi peradilan. Sering kali, kapasitas OMS tidak seimbang dan terbatas, karena kurangnya sumber daya

manusia, keuangan, organisasi dan isik yang dimiliki. Pengembangan kapasitas relevan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil biasanya melibatkan peningkatan kemampuan, pengetahuan dan praktik untuk melakukan analisa

kebijakan, advokasi dan pengawasan, seiring juga dengan kegiatan manajemen internal, manajemen keuangan, penggalangan dana dan penjangkauan keluar.

OMS dapat berkontribusi dalam reformasi sektor keamanan dan pemerintahan melalui banyak cara, antara lain: • Memfasilitasi dialog dan debat mengenai masalah-masalah kebijakan • Mendidik politisi, pembuat kebijakan dan masyarakat mengenai isu-isu spesiik terkait • Memberdayakan kelompok dan publik melalui pelatihan dan peningkatan kesadaran untuk isu-isu spesiik • Membagi informasi dan ilmu pengetahuan khusus mengenai kebutuhan dan kondisi local dengan para pembuat

kebijakan, parlemen dan media • Meningkatkan legitimasi proses kebijakan melalui pencakupan lebih luas akan kelompok-kelompok maupun

perspektif-perspektif sosial yang ada • Mendukung kebijakan-kebijakan keamanan yang representatif dan responsif akan komunitas lokal • Mewakili kepentingan kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan kebijakan • Meletakkan isu keamanan dalam agenda politik • Menyediakan sumber ahli, informasi dan perspektif yang independen • Melakukan riset yang relevan dengan kebijakan • Menyediakan informasi khusus dan masukan kebijakan • Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas institusi-institusi keamanan • Mengawasi/memonitor reformasi dan implementasi kebijakan • Menjaga keberlangsungan pengawasan kebijakan • Mempromosikan pemerintah yang responsif

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar ii

• Menciptakan landasan yang secara pasti mempengaruhi kebijakan dan legitimasi badan-badan di level eksekutif sesuai dengan kepentingan masyarakat

• Memfasilitasi perubahan demokrasi dengan menjaga pelaksanaan minimal standar hak asasi manusia dalam rejim demokratis dan non demokratis

• Menciptakan dan memobilisasi oposisi publik sistematis yang besar terhadap pemerintahan lokal dan nasional yang non demokratis dan non representatif

Menjamin dibangun dan dikelola secara baik sektor keamanan yang akuntabel, responsif dan hormat akan segala bentuk hak asasi manusia adalah bagian dari kehidupan yang lebih baik. Pengembangan kapasitas OMS untuk memberi informasi dan mendidik publik akan prinsip-prinsip pengawasan dan akuntabilitas sektor keamanan, serta norma-norma internasional akan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik hádala satu cara untuk membangun dukungan dan tekanan di bidang ini.

Sejak 1998, demokrasi Indonesia yang semakin berkembang dan kebangkitannya sebagai aktor kunci ekonomi Asia telah memberi latar belakang pada debat reformasi sektor keamanan paska-Suharto. Fokus dari perdebatan reformasi sektor keamanan adalah kebutuhan akan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam hal kebijakan, praktik di lapangan dan penganggaran. Beberapa inisiatif yang terjadi berjalan tanpa mendapat masukan dari comunitas OMS Indonesia.

Institute for Defence, Security and Peace Studies (IDSPS) telah mengelola pembuatan, implementasi dan publikasi dari Tool Pelatihan ini sebagai sebuah komponen dari pekerjaan yang terus berjalan di bidang hak asasi manusia dan tata kelola sektor keamanan yang demokratis di Indonesia. Tool ini merupakan kerangka kunci permasalahan dalam pengawasan sektor keamanan yang mudah dipahami sehingga OMS di luar Jakarta dapat mempelajari dan memiliki akses pada konsep-konsep kunci dan sumber daya relevan untuk menjalankan tugas mereka di tingkat lokal.

Proyek ini adalah satu dari tiga proyek yang ditangani antara IDSPS dan Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), sementara proyek lainnya berfokus pada membangun kapasitas OMS di seluruh kawasan Indonesia untuk bekerja sama dalam isu-isu tata kelola sektor keamanan melalui berbagai pelatihan (workshop) dan pembuatan Almanak Hak Asasi Manusia dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Tool ini menggambarkan kapasitas komunitas OMS Indonesia untuk menganalisa isu-isu pengawasan sektor keamanan dan mengadvokasi reformasi jangka panjang, tool ini juga mengindikasikan kepemilikan lokal yang menjadi pendorong internal dari proses reformasi sektor keamanan Indonesia.

Akhirnya, DCAF berterimakasih pada dukungan Kementrian Luar Negeri Republik Jerman yang mendanai keseluruhan proyek ini sebagai bagian dari program dua tahun untuk mendukung pengembangan kapasitas dari reformasi sektor keamanan di Indonesia di seluruh institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.

Jenewa, Agustus 2009

Eden Cole Deputy Head Operations NIS and Head Asia Task Force

iii Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit

Kata Pengantar Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS)

Penelitian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) tentang Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008), IDSPS menyimpulkan bahwa kalangan masyarakat sipil telah melakukan pelbagai upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi sektor keamanan (RSK), terutama paska 1998. Upaya- upaya tersebut dilakukan seiring dengan transisi politik di Indonesia dari Rezim Orde Baru yang otoriter menuju satu rezim yang lebih demokratis dan menghargai Hak Asasi Manusia.

Pelbagai upaya yang telah dilakukan kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tersebut antara lain berupa: (1) pengembangan wacana-wacana RSK, (2) advokasi reformulasi dan penyusunan legislasi atau kebijakan strategis maupun operasional di sektor keamanan, (3) dorongan akuntabilitas dan transparansi dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan keamanan, dan (4) pengawasan dan komplain atas penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan serta pelanggaran hukum yang melibatkan para pihak di level aktor keamanan, pemerintah dan parlemen, serta memastikan adanya pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, IDSPS mencatat bahwa peran-peran OMS dalam mengawal RSK pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono umumnya bergerak dalam orientasi yang tersebar, parsial, tanpa konsensus dan distribusi peran yang ketat, serta terkesan lebih pragmatis bila dibanding dengan perannya dalam 2 periode pemerintahan sebelumnya —pemerintahan B. J. Habibie dan pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Kecenderungan ini di satu sisi menunjukkan bahwa tantangan advokasi RSK seiring dengan perjalanan waktu, dimana konsentrasi dan kemauan politik pemerintah cenderung menurun sehingga strategi dan pola advokasi OMS berubah. Di sisi lain, seiring dengan tumbangnya Rezim Soeharto sebagai musuh bersama, kemungkinan terjadi kegamangan dalam hal isu dan strategi advokasi juga muncul.

Ini ditunjukkan dalam temuan IDSPS lainnya perihal fakta bahwa OMS belum dapat menindaklanjuti opini dan wacana yang telah dikembangkannya hingga menjadi wacana kolektif pemerintah, DPR dan masyarakat sipil. Strategi advokasi yang dijalankan OMS belum diimbangi dengan penyiapan perangkat organisasi yang kredibel, jaringan kerja yang solid, komunikasi dan diseminasi informasi kepada publik yang kontinyu, serta pola kerja dan jaringan yang konsisten.

Mengingat OMS merupakan salah satu kekuatan sentral dalam mengawal transisi demokrasi dan RSK sebagaimana terlihat dalam perubahan rezim politik Indonesia tahun 1997-1998, maka OMS dipandang perlu melakukan konsolidasi dan reformulasi strategi advokasinya seiring perubahan politik nasional dan global serta dinamika transisi yang kian pragmatis. Paling tidak OMS dapat memulai upaya konsolidasi dan reformasi strategi advokasinya dengan mengevaluasi dan mengkritik pengalaman advokasi yang telah dilakukannya sembali melihat efektivitas dan persinggungan stretegis di lingkungan OMS dalam memastikan tercapainya tujuan RSK.

Penelitian IDSPS menyimpulkan setidaknya ada tiga pola advokasi RSK yang bisa dilakukan lebih lanjut oleh OMS. Pertama, menguatkan pengaruh di internal pemerintah dan pengambil kebijakan. Kedua, menjaga konsistensi peran kontrol dan kelompok penekan terhadap kebijak-kebijakan strategis di sektor keamanan. Ketiga, memperkuat wacana dan pemahanan tentang urgensi RSK yang dikembangkan.

Berdasarkan pada temuan dan rekomendasi penelitian IDSPS di atas, muncul serangkaian inisiatif untuk menyusun agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK, antara lain berupa diseminasi wacana, pelatihan-pelatihan serta upaya-upaya advokasi lainnya.

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar iv

Buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit, merupakan serial Tool yang terdiri dari 17 topik isu-isu RSK yang relevan di Indonesia, yang disusun dan diterbitkan untuk menunjang agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK di atas. Seluruh topik dan modul disusun oleh sejumlah praktisi dan ahli dalam isu-isu RSK yang selama ini terlibat aktif dalam advokasi agenda dan kebijakan strategis di sektor keamanan. Penulisan dan penerbitan Tools ini merupakan kerjasama antara IDSPS dengan Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), dengan dukungan pemerintah Republik Federal Jerman.

Dengan adanya buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit ini, seluruh pihak yang berkepentingan melakukan advokasi RSK dan mendorong demokratisasi sektor keamanan dapat memiliki tambahan referensi dan informasi, sehingga upaya untuk mendorong kontinuitas advokasi RSK seiring dengan upaya mendorong demokratisasi di Indonesia dapat berjalan maksimal.

Jakarta, 8 September 2009

Mufti Makaarim A Direktur Eksekutif IDSPS

v Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit

Daftar Isi

Akronim vii

1. Pengantar

2. Kendala Membangun TNI yang Profesional

3. Reformasi Polri

4. Reformasi Intelijen

5. Perlunya Pengawasan Intelijen

5.1. Jaring-Jaring Pengawasan Intelijen 16

6. Penutup

7. Daftar Pustaka

8. Bacaan Lanjutan

9. Lampiran

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar vi

Akronim

ABRI

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD Angkatan Darat

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ASIS Australian Secret Intelligent Service BIN Badan Intelijen Negara

CIA

Centre Intelligence Agency CSO Civil Society Organization

DK-PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

DPD

Dewan Perwakilan Daerah DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD-GR Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong DPR-GR Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong GCPP Government’s Global Conlict Prevention Pool HAM Hak Asasi Manusia KIRIN Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara Kowil Komando Kewilayahan Kowilhan Komando Wilayah Pertahanan

LIPI

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs Millennium Development Goals

MPR

Majelis Pemusyawaratan Rakyat MPRS Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia OECD-DAC The Organization for Economic Co-Operation and Development-Development

Assistance Committee Polri Kepolisian Republik Indonesia

RSK

Reformasi Sektor Keamanan RUU Rancangan Undang-Undang

SANDI Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen SASS South African Secret Service SSR Security Sector Reform TNI Tentara Nasional Indonesia UU Undang-Undang

vii Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar

Tanpa terasa, lebih dari sepuluh tahun sudah reformasi bergulir. Awalnya, mahasiswa yang bergerak pada 1998 menginginkan terjadinya reformasi total di segala bidang. Sejalan dengan itu, berbagai kelompok masyarakat sipil berupaya agar reformasi sektor keamanan (security sector reform) juga berjalan searah dengan reformasi politik untuk membangun suatu sistem demokrasi yang diidam-idamkan. Namun kenyataan di sana sini menunjukkan betapa hal tersebut masih menjadi impian yang amat panjang. Terlepas dari berbagai kendala yang ada, satu hal terpenting bagi masyarakat sipil ialah agar kita tetap memiliki semangat dan daya tahan yang tinggi agar cita-cita reformasi menjadi kenyataan. Demokrasi memang bukan tujuan akhir dari reformasi total, melainkan bagaimana melalui sistem demokrasi itu negeri yang kita cintai ini dapat mencapai masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan dan terjadi checks and balances dalam sistem politik yang berjalan.

Secara khusus, reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi TNI, Polri dan Intelijen Negara, masih menunjukkan berbagai kendala. Reformasi TNI dan Polri dapat dikatakan baru menyentuh aspek-aspek legal (hukum) dan struktural yang amat terbatas, dan belum menyentuh aspek-aspek budaya tingkah laku aparat-aparatnya. Sedangkan reformasi intelijen dapat dikatakan masih sedang merangkak dan belum ada aturan hukumnya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang digagas oleh Badan Intelijen Negara (BIN) hanya sebatas ingin memberikan payung hukum bagi institusi-institusi intelijen negara, namun belum menyentuh aspek-aspek praktek-praktek intelijen yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan aspek- aspek pengawasan intelijen negara.

Lebih khusus lagi, terlalu naif dan membahayakan jika reformasi sektor keamanan secara privilege diserahkan kepada institusi-institusi TNI, Polri dan Intelijen Negara, tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan pemangku kepentingan, seperti politisi, akademisi, lembaga-lembaga non-pemerintah, praktisi hukum dan kalangan masyarakat sipil lainnya. Karena jika ini diserahkan kepada ketiga institusi tersebut, aturan legal yang mereka buat tentunya hanya ingin memberi kerangka hukum bagi aktivitas keseharian mereka. Jika ini terjadi, berarti kita memberikan cek kosong bagi institusi-institusi tersebut untuk membuat aturan-aturan perundang-undangan yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan sektoral mereka. Lebih buruk lagi, reformasi internal yang ketiga institusi tersebut jalankan tentunya sesuai dengan

yang mereka inginkan, dengan deinisi keamanan negara yang tidak berubah, yaitu bagaimana mencapai

stabilitas keamanan untuk kepentingan negara (baca: pemerintah yang berkuasa dan ketiga institusi

tersebut) dengan menaikan keamanan insani (human security). Pada gilirannya, reformasi internal semacam

itu hanya akan membuka kotak pandora, yaitu secara lambat tapi pasti metamorfosa peran sosial politik ketiga institusi itu seperti pada masa Orde Baru akan menjelma kembali dalam bentuknya yang lain. Alih-

1. Pengantar

Reformasi Sektor Keamanan :

Sebuah Pengantar

RSK adalah sebuah konsep reformasi di bidang keamanan yang :

1. Bersifat holistik, mulai dari aktor,

disiplin dan aktivitas;

2. Bergerak di dalam prinsip dan norma

demokratis;

3. Dengan demikian tujuan akhir dari SSR

adalah terbentuknya sebuah sistem keamanan nasional yang integratif, demokratis dan humanis.

Kotak 1

Apa yang Dimaksud Dengan RSK?

Reformasi Sektor Keamanan (RSK) atau Security Sector Reform (SSR) merupakan sebuah konsep untuk mereformasi atau membangun kembali sektor keamanan negara sejalan dengan prinsip demokrasi, profesionalisme dan penegakan HAM. Bahkan, RSK juga dapat dikaitkan sebagai bagian dari tren internasional dalam memberikan perlindungan terhadap keamanan insani (human security) setiap manusia.

Konsep ini pertama kali muncul pada awal 1990-an di Eropa Timur. RSK dilaksanakan ketika sector keamanan di sebuah negara mengalami disfungsi dan kehilangan kemampuan untuk memberikan keamanan pada negara dan warga negaranya secara efektif dan sejalan dengan prinsip-prinsp demokratis.

Terkait dengan deinisi, hingga hari ini belum ada kesepakatan bersama diantara masyarakat internasional dalam mendeinisikan pengertian RSK. Dalam kebutuhan menjelaskan deinsi RSK, tulisan ini akan mengambil tiga contoh deinisi yang masing-masing diberikan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), UK Government’s Global Conlict Prevention Pool (GCPP) dan The Organisation for Economic Co-operation and Development–Development Assistance Committee (OECD- DAC).

DK-PBB menulis, “Dewan Keamanan PBB meyakini bahwa RSK ‘penting untuk konsolidasi perdamaian dan stabilitas, mempromosikan penurunan kemiskinan, peratuhan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan otoritas legal pemerintah, dan mencegah negara jauh ke dalam konlik”. Oleh karena itu, Dewan Keamanan menekankan bahwa reformasi sektor keamanan harus didorong oleh konteks dan kebutuhannya akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lain. Dewan Keamanan mendukung negara untuk memformulasikan program reformasi sektor keamanannya secara holistik yang mencakup rencana strategis, struktur institusi, manajemen sumberdaya, kapasitas operasional, pengawasan sipil dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dewan Keamanan menekankan kebutuhan akan realisasi yang seimbang di semua aspek reformasi sektor keamanan, termasuk kapasitas institusi, kemampuan pembayaran (affordability) dan keberlangsungan dari program-program tersebut. Dewan Keamanan melihat keterkaitan antaran reformasi sektor keamanan dan faktor-faktor penting lain dalam stabilisasi dan rekonstruksi, antara lain keadilan transisi, pelucutan senjata, demobilisasi, repatriasi/pembayaran ganti rugi, reintegrasi dan rehabilitasi dari mantan pejuang, kontrol atas senjata kecil dan ringan, termasuk juga isu-isu kesetaraan jender, anak dan konlik bersenjata, dan hak asasi manusia”.

Sementara GCPP mendeinisikan RSK sebagai, “sebuah konsep luas yang meliputi berbagai disiplin ilmu, actor dan aktivitas. Dalam bentuk yang paling sederhana, RSK merujuk pada kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu keamanan, legislasi, structural dan pengawasan, semua dalam kerangka norma-norma dan prinsip-prinsip demokrasi.” ”

Sedangkan menurut OECD-DAC, RSK adalah, “bertujuan untuk meningkatkan negara-negara partner untuk memenuhi cakupan kebutuhan keamanan dalam masyarakat mereka melalui cara yang konsisten dengan norma-norma demokrasi dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi dan peraturan hukum. RSK mencakup, dan juga lebih dari, fokus sempit bantuan keamanan tradisional dalam pertahanan, intelijen dan kepolisian.”

Sumber: GFN-SSR,

A Beginner’s Guide to Security Sector Reform (SSR), Maret 2007, http://www. peacewomen.org/resources/SSR/Gender&SSR.pdf

2 Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit

Kotak 2 Empat Dimensi Penting RSK

RSK memiliki 4 dimensi penting yaitu: • Dimensi politik: penerapan prinsip kontrol

• Dimensi ekonomi: dimensi ini terkait dengan

sipil atas lembaga-lembaga keamanan dan penganggaran dan pembiayaan lembaga- lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor

lembaga keamanan.

• Dimensi sosial: ini terkait dengan peran • Dimensi institusional: transformasi isik dan

keamanan.

pengawasan yang dilakukan masyarakat teknis atas lembaga-lembaga keamanan.

sipil atas kebijakan-kebijakan dan program- program keamanan.

Sumber: OECD DAC, Security System Reform and Governance Guidelines, 2004, http://www.oecd.org/ dataoecd/8/39/31785288.pdf

alih kematangan demokrasi yang terbentuk, malah No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU demokrasi itu sendiri akan berada di ujung tanduk.

No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Berbagai perangkat UU lain yang terkait dengan TNI

Secara umum, reformasi sektor keamanan tidak saja dan Polri masih harus dibuat agar kedua institusi melingkupi aktor-aktor konvensional seperti TNI, POLRI

tersebut dapat menjadi masing-masing sebagai dan BIN, namun juga termasuk aktor-aktor lain seperti

kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang Parlemen, Departemen Pertahanan, serta Pemerintah

profesional dan patut dibanggakan oleh seluruh Daerah dan Institusi Satuan Polisi Pamong Praja. Dari

rakyat Indonesia. TNI dan Polri secara institusional sisi isu, reformasi sektor keamanan terkait dengan

dan bersamaan juga sudah keluar dari peran sosial isu-isu seperti otonomi daerah, penegakan Hak Asasi

politik mereka, seperti tidak lagi berada di MPR, DPR, Manusia, pengarusutamaan gender, polisi masyarakat,

DPD dan DPRD. Namun, Panglima TNI dan Kapolri anggaran dan pembiayaan sektor keamanan, seleksi

masih ikut di dalam sidang-sidang kabinet, yang dan pengawasan terhadap aktor-aktor keamanan,

berarti secara langsung atau tak langsung menjadi komisi pengawas intelijen, manajemen perbatasan,

anggota kabinet. Idealnya TNI dan Polri diwakili kebebasan informasi, serta peran penjagaan

oleh kementerian sipil. Generasi kedua reformasi perdamaian.

TNI dan Polri masih belum terbentuk, yaitu adanya kerangka kerja demokratik yang memungkinkan

Seluruh isu-isu di atas dirangkum dalam serial Tools lembaga-lembaga perwakilan politik dan Civil Society ini, dengan pertimbangan bahwa ini merupakan

Organization (CSO) dapat berpartisipasi aktif untuk sekumpulan tema dan isu yang dipandang relevan

mengawal jalannya reformasi itu, sehingga kedua dengan advokasi reformasi sektor keamanan yang

institusi itu benar-benar profesional dan menjalankan dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil

tugas, fungsi dan perannya sesuai dengan UU yang di Indonesia.

berlaku.

Seperti telah disebutkan di atas, reformasi sektor Lebih parah lagi ialah institusi-institusi intelijen keamanan yang terjadi di dalam tubuh TNI dan Polri,

negara yang masih belum berubah dan bahkan belum barulah pada tahapan awal atau generasi pertama,

memiliki perangkat hukum bagi kerja mereka. RUU yaitu baru pada tahapan terbentuknya UU No 2/2002

yang mereka buat masih sekedar memberi payung tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU

hukum yang membenarkan aktivitas mereka, dengan

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar

2. Kendala Membangun TNI yang Profesional

mengenyampingkan kerangka kerja demokratik yang Sejak lahirnya pada 5 Oktober 1945 hingga kini, menjunjung tinggi HAM, demokrasi dan kebebasan

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak pernah lepas sipil.

dari keterlibatannya dalam kehidupan politik bangsa. Perannya yang kuat semasa revolusi kemerdekaan

Tulisan singkat ini berupaya untuk mendeskripsikan 1945-1949, terbangunnya NKRI pada 17 Agustus dan menganalisis reformasi sektor keamanan yang

1950, perannya dalam mengatasi pemberontakan- telah berjalan di Indonesia. Sudah sampai tahap mana

pemberontakan daerah 1957-1961 dan peran sentral reformasi berjalan dan langkah-langkah positif apa

ABRI melalui penerapan Darurat Militer, masuknya saja yang dapat kita lakukan agar perjalanan reformasi

TNI dalam Kabinet, Dewan Nasional dan Perusahaan- tersebut mulus. Namun, harus diakui, penulis lebih

perusahaan Negara sejak Juli 1957, masuknya TNI ke otoritatif dan percaya dalam mengupas reformasi di

dalam MPRS, DPR-GR, DPRD-GR sejak Dekrit 5 Juli tubuh TNI dan Intelijen Negara, ketimbang reformasi

1959, disusul dengan Trikora 1961-1963, Dwikora Polri, karena sejak 1995 penulis memang sudah aktif

1963-1966, dan peran dominannya di bidang politik, dalam mengupas reformasi TNI yang berawal dari

ekonomi dan sosial budaya pada era Orde Baru 1966- rencana Presiden Soeharto untuk mengakhiri peran

1998, menyebabkan jiwa pretorian sebagai “the sosial politik ABRI, disusul dengan keikutsertaan

guardian of the state” dan citra “mesianistik” sebagai penulis secara akademis dan praktis dalam reformasi

satu-satunya institusi yang paling berhak menafsirkan TNI sejak 1998. Ini dilanjutkan dengan keikutsertaan

dan menjamin kepentingan tertinggi bangsa dan penulis di Propatria, Departemen Pertahanan RI dan

negara, begitu melekat pada korps perwira TNI. Sesko TNI dalam membuat RUU Pertahanan Negara

Dengan kata lain, jiwa pretorian dan citra mesianistik sampai menjadi UU, RUU TNI, RUU Perbantuan TNI

itu sudah mengental dalam hati sanubari para perwira (masih sekedar rancangan), pengaturan Dewan

TNI. Dalam diri para prajurit ABRI/TNI, terinternalisasi Keamanan Nasional (versi LIPI dan masyarakat sipil)

dua prinsip dasar, yaitu: pertama, Prinsip Kelahiran dansebagainya. Reformasi intelijen juga menjadi

(The Birth Right Principle) di mana mereka merasa pantauan penulis sejak 2005, khususnya sejak

berhak untuk menentukan ke mana arah negara ini keikutsertaan penulis di Pacivis UI (dan Sandi) untuk

sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam membangun kerangka kerja demokratik bagi intelijen

proses kelahiran negara RI; kedua, prinsip kompetensi negara. Sedangkan dengan reformasi Polri, hanya

(the Competence Principle) di mana mereka merasa sedikit pengalaman yang penulis ikuti bersama

militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola Kelompok Kerja Propatria untuk Reformasi Sektor

negara. Ini menyebabkan sangat sulit bagi TNI untuk Keamanan di bidang Polri, serta RiDep dan Imparsial.

mengubah dan mereformasi diri dari paradigma Karena itu, penulis harus mengakui bahwa dirinya

“Tentara Politik” (dan “Tentara Niaga”), menjadi bukanlah orang yang otoritatif berbicara soal reformasi

“Tentara Profesional”, yaitu tentara yang lebih Polri.

mengedepankan paradigma militer profesional yang

berlaku secara universal. 1

4 Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar

Paradigma sebagai “Tentara Politik” (Political Army) ini amat berpengaruh kuat pada terhambatnya reformasi internal TNI, termasuk dalam hal ini reformasi doktrin dan validasi organisasi TNI, serta reformasi dalam penentuan jabatan dan jenjang kepangkatan di dalam TNI. Faktor-faktor lingkungan sosial, budaya, politik, ekonomi dan keamanan domestik dan internasional juga memberi kendala bagi reformasi internal TNI tersebut.

Mungkin sangat sedikit dari kita yang mau menerima kenyataan bahwa setiap perubahan politik di Indonesia pasti melibatkan ABRI ataupun TNI, baik sebagai aktor dominan maupun, lebih sering lagi, sebagai aktor di belakang layar. Sebagai contoh, penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan dikembalikannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, tak terlepas dari desakan dan dukungan TNI kepada Presiden Soekarno untuk mengakhiri sistem Demokrasi Liberal/Konstitusional. Perubahan politik pada 1965 dan gerakan reformasi pada 1998 juga tak terlepas dari campur tangan militer.

Gerakan mahasiswa 1965 yang didukung TNI-AD melahirkan Orde Baru dengan bangunan sebuah sistem Demokrasi Pancasila yang memungkinkan

1 Mengenai reformasi TNI, lihat antara lain, Ikrar Nusa Bhakti, et.al., Tentara yang Gelisah, Bandung: Mizan, 1999; Lihat juga, Ikrar Nusa Bhakti, “Trends in Indonesian Student Movements in 1998,” dalam Geoff Forrester and R.J. May, eds., The fall of Soeharto, Bathurst: Crawford House Publishing, 1998.

ABRI menancapkan kuku-kukunya dalam berbagai bidang kehidupan ipoleksosbudkam. Peranan ABRI dalam politik bahkan sudah melebihi porsinya, atau mencapai military overreach. Tak heran jika seorang wartawan Australia, David Jenkins, mengatakan bahwa yang terjadi pada saat itu bukanlah dwi- fungsi ABRI, melainkan satu fungsi ABRI, yaitu bahwa ABRI menjalankan segalanya (The ABRI is running everythings).

Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil pada 1998 juga tak terlepas dari dukungan dan peranan militer. Lalu apa kepentingan militer ikut serta menjatuhkan pemerintahan Soeharto? Pertama, di mata sebagian perwira tinggi militer, kepentingan Soeharto tidak lagi identik dengan kepentingan militer, khususnya TNI- AD. Soeharto sudah bermain mata dengan kelompok Islam politik, bisnis putra-putri Soeharto juga sudah melebihi batas, bahkan melebihi kepentingan bisnis tentara; kedua, TNI-AD tak ingin melihat hancurnya negeri ini akibat pergolakan politik yang ada; ketiga, perubahan politik harus sesuai dengan kepentingan militer, khususnya TNI-AD. Karena itu, tidaklah mengherankan jika ABRI adalah organisasi pertama yang melakukan reformasi sektor keamanan atau reformasi internal, melalui apa yang mereka sebut

Kotak 3 Komponen-Komponen RSK

Komponen-komponen RSK adalah:

• Reformasi pertahanan ( defence reform ) • Reformasi kepolisian ( police reform ) • Reformasi intelijen ( intelligence reform ) • Reformasi hukum ( judicial reform) • Reformasi penjara ( prison reform ) • Pengawasan sipil ( civilian oversight ) • Pembiayaan yang tepat atas sektor keamanan ( right-inancing) • Pengaturan atas lembaga-lembaga keamanan swasta ( Private Military Companies, PMC dan Private

Security Companies, PSC) Sumber: DCAF, Developing a Security Sector Reform: Concept for the United Nations, 2006

Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah 6 Toolkit

sebagai “Paradigma Baru ABRI.” Melalui dukungan politik atas perubahan itu, khususnya di era Presiden Habibie, tidaklah mengherankan jika reformasi TNI merupakan reformasi internal yang segalanya ditentukan oleh ABRI. Situasi ini menyebabkan betapa sulitnya masyarakat sipil menembus benteng kekuatan militer, karena partai-partai politik dan politisi sebagian besar tidak memiliki keberanian untuk menegakkan kerangka kerja demokratik untuk TNI. Mereka bahkan terpecah-pecah dalam berbagai kepentingan politik dan bahkan mengerdilkan dirinya sendiri dalam berhadapan dengan militer.

Kendala utama dan terbesar bagi TNI untuk menjadi tentara yang profesional ialah masih terjadinya politisasi tentara oleh kalangan elite politik sipil. Tak heran jika pada berbagai kesempatan, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto saat itu mengingatkan “TNI hanya akan menjadi alat pertahanan negara. Tidak boleh partisan, tidak boleh memihak kekuatan sipil manapun”. Peringatan tersebut sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada seluruh prajurit TNI, tetapi juga bagi para elit politik sipil. Ini sejalan dengan dengan paradigma baru TNI yang ingin menanggalkan peran sosial politik yang pernah dinikmatinya sejak 1957 yang kemudian mendominasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa (military overreach) pada era Orde Baru yang berakhir pada runtuhnya rejim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Panglima TNI yang sekarang, Jenderal TNI Djoko Santoso, juga selalu mengingatkan

agar apara anggota TNI bersikap netral dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden pada 2009 ini.

Problem politisasi tentara ini merupakan fenomena nyata yang sungguh sulit untuk diatasi di era reformasi yang menganut sistem multi partai yang sangat kompetitif. Pada situasi ini, upaya untuk melakukan kontrol obyektif melalui berbagai perangkat kebijakan negara akan menghadapi kendala dari kekuatan- kekuatan politik yang saling berkompetisi tersebut. Berbagai elite politik dari partai-partai besar dan kecil, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok, berupaya untuk menarik TNI agar mendukung kebijakan dan kepentingan politiknya.

Dalam kadar yang lebih buruk, elit partai-partai politik yang berkuasa berupaya untuk melakukan kontrol subyektif terhadap institusi TNI. Ini terjadi bukan saja pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Sukarnoputri, melainkan juga berlanjut pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Patut pula disayangkan, para elit partai bukannya memberikan arah pada kalangan masyarakat bahwa TNI merupakan alat pertahanan negara yang tunduk pada otoritas politik sipil dan hanya menjalankan politik negara, tetapi justru mengikuti arus politik massa yang sebagian tidak lagi menentang terjunnya TNI dalam politik. Fenomena ini tampak jelas pada Pemilu Presiden putaran satu dan dua di tahun 2004

Kotak 4

Siapa Sajakah yang Dimaksud Sektor Keamanan

Luasnya komponen RSK ini dengan demikian juga berpengaruh pada luasnya aktor-aktor yang menjadi bagian sektor keamanan, beberapa diantaranya adalah:

• Angkatan bersenjata • Kepolisian • Intelijen • Keamanan swasta • Lembaga peradilan

Sumber: OECD DAC, Security System Reform and Governance Guidelines, 2004

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar

dan Pilkada Langsung pada 2005 ini. Lebih parah lagi, tidak sedikit partai-partai politik yang pada pilkada 2006 yang akan mengajukan calon dari mantan TNI, yang berarti mereka kurang percaya diri atau minder untuk memilih kader-kader partai yang murni sipil sebagai bakal calon dalam berbagai pilkada di daerah. Ini bukan hanya terjadi di Golkar dan PDI-P, tetapi juga di PAN dan bahkan PKS. Tanpa disadari oleh para elite politik sipil, politisasi tentara ini pada gilirannya telah menyebabkan kewenangan otoritas politik sipil terhadap TNI menjadi lemah. Pada pemilu 2009, tampak nyata betapa tarikan bagi TNI untuk berpolitik juga masih kental terjadi. Tengok misalnya bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir adanya perwira tinggi TNI-AD yang diduga mengampanyekan ”Asal Bukan S” atau ABS yang dikonotasikan Asal Bukan SBY. Kita juga tahu bahwa pada pemilu presiden 2009 ini ada beberapa mantan jendera TNI yang giat berkampanye untuk menjadi presiden RI. Mereka adalah SBY sebagai incumbent, Jenderal (Purn) Wiranto, Letjen (Purn) Sutiyoso, Letjen (Purn) Prabowo Soebianto, dan Mayjen (Purn) Saurip Kadi. Dikhawatirkan para mantan Jenderal

ini akan menarik para mantan anak buahnya untuk memobilisasi keluarga besar TNI atau kalangan sipil lainnya pada pemilu presiden Juli (dan September) mendatang.

Kendala kedua adalah tiadanya keinginan para pengambil keputusan politik pada tingkat pusat dan daerah untuk memahami secara benar berbagai perangkat perundang-undangan yang terkait dengan pertahanan negara, khususnya UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tidaklah mengherankan jika, antara lain, mekanisme lama dalam pembelian alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI masih terus berjalan, seperti hiruk pikuk pembelian empat pesawat Sukhoi dan dua helikopter Mi-35, serta rencana pembelian kapal patroli KAL-35 oleh Provinsi Riau Bangka Belitung dan DKI Jakarta pada 2003, kasus senjata Koesmayadi, dan kasus pembelian panser dari Perancis untuk pasukan TNI yang dikirim ke Lebanon pada Oktober 2006.

Kotak 5 Mengapa Perlu RSK?

A da beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk melihat signiikansi RSK, khususnya bagi negara- negara yang sedang mengalami transisi demokrasi:

1. Aktor keamanan merupakan entitas unik yang diberikan hak untuk menggunakan instrumen kekerasan. Aktor keamanan merupakan perwujudan negara dan menggunakan instrument kekerasan hanya melalui persetujuan rakyat dengan tujuan untuk melindungi negara dan warganegara. Dengan demikian aktor keamanan tidak diperbolehkan terlibat di dalam politik dan penggunaan kekerasan hanya diperbolehkan jika mendapatkan persetujuan rakyat. Namun karakter demikian tidak dimiliki oleh aktor-aktor keamanan di negara-negara yang sedang menjalani transisi demokrasi karena pada masa rejim otorritarian aktor-aktor keamanan ini memiliki kekuasaan hampir tak terbatas dan minim kontrol sehingga perlu untuk direformasi.

2. Transisi demokrasi juga menghendaki dituntaskannya persoalan-persoalan pelanggaran HAM masa lalu sebagai landasan untuk melangkah ke masa depan dimana salah satu bentuk penuntasan tersebut adalah dengan memformat ulang sistem dan bentuk dari aktor-aktor keamanan sehingga memiliki karakter yang profesional, akuntabel dan minim pelanggaran HAM.

3. RSK juga berkaitan dengan kebutuhan penyuksesan program global Millenium Development Goals (MDGs). Melalui RSK, diharapkan, program-program MDGs, seperti pembangunan berkelanjutan, demokratisasi, pengentasan kemiskinan, penyebarluasan perdamaian dan keamanan bagi masyarakat dapat terpenuhi.

Sumber: OECD DAC, Security System Reform and Governance Guidelines, 2004

Kendala ketiga adalah dari kalangan masyarakat Kendala keempat berasal dari sebagian kalangan sendiri. Jika dilihat sejak 1997 sampai 2003, terjadi

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masih penurunan yang amat signiikan atas penentangan

mendikotomikan antara anggaran pemerintah di masyarakat terhadap terjunnya kembali TNI ke dalam

bidang pertahanan dengan anggaran bidang sosial. kancah politik nasional maupun lokal. Jika pada

Kalangan ini tidak setuju jika anggaran pertahanan 1997, dari berbagai survei, persentasi mereka yang

dinaikkan, khususnya anggaran kesejahteraan menentang mencapai sekitar 70%, maka sejalan

prajurit TNI dan pembelian persenjataan modern bagi dengan perkembangan waktu tentangan tersebut telah

TNI. Tanpa adanya kompensasi untuk meningkatkan menurun menjadi sekitar 50% pada tahun 2000 dan

kesejahteraan prajurit, membeli persenjataan modern, 37% pada 2003. Angka tersebut mungkin saja berubah

dan amunisi yang cukup bagi latihan tempur, kita tidak pada 2005 lalu khususnya dengan adanya kenaikan

mungkin memiliki TNI yang profesional. Kemampuan harga BBM yang sudah terjadi dua kali dalam setahun

negara untuk mencukupi hanya 30-70 persen di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang

kebutuhan TNI, menyebabkan institusi dan individu Yudhoyono yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita juga

dalam TNI masih berbisnis, mendapatkan anggaran belum tahu apa pandangan masyarakat atas bakal

non-bujeter dari institusi pemerintah dan swasta, dan calon kepala daerah dari kalangan mantan militer

lebih buruk lagi menjadikan institusi dan individu- yang diusung oleh berbagai parpol pada pilkada 2005

individu di dalam TNI sebagai tentara bayaran atau dan 2006. Namun, kenyataannya pada tingkatan

“soldier of fortune”.

pilkada, calon dari mantan militer tampaknya kurang populer, sementara pada tingkatan pelpres, tidak

Kendala kelima dan terakhir adalah dari dalam sedikit masyarakat yang masih menginginkan capres

institusi TNI sendiri. Meski tidak diutarakan secara atau cawapres dari kalangan mantan militer.

tegas di muka umum, sampai kini masih terdapat kecenderungan kembalinya TNI ke pemikiran

Penurunan persentase tersebut mungkin diakibatkan konservatif bahwa otoritas politik sipil kurang mampu oleh persepsi masyarakat bahwa elite politik sipil

mengambil keputusan politik yang cepat dalam lebih asyik memperjuangkan kepentingan ekonomi

mengatasi gejolak keamanan di berbagai daerah yang dan politiknya sendiri ketimbang kepentingan rakyat

berkonlik dan masih kuatnya persepsi bahwa hanya banyak, sehingga mengesankan bahwa para politisi

militer yang memiliki jiwa pretorian dan segalanya sipil tersebut sebagai “penjahat-penjahat yang

demi negara (propatria).

menyabotase demokrasi”. Ini juga terjadi karena masyarakat masih memiliki persepsi bahwa hanya

Fenomena lain, sampai kini sangat sulit bagi kalangan TNI aktif atau pensiunan yang mampu menciptakan

TNI untuk menerima gagasan agar panglima TNI stabilitas keamanan di Indonesia. Sebagian

berada di bawah Menteri Pertahanan. TNI juga masih masyarakat tampaknya tidak menyadari bahwa tanpa

membuat kebijakan sendiri mengenai pembangunan memiliki posisi kekuasaan politik pun, TNI adalah alat

kekuatan TNI yang tidak didasari oleh review atas negara yang memiliki tugas utama menjaga kedaulatan

kemampuan TNI dan perkembangan lingkungan nasional Indonesia dan mengatasi separatisme

strategis atau Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan. bersenjata, serta memiliki tugas perbantuan tidak

Kaji ulang itu sendiri masih dalam bentuk draft awal permanen kepada Polri dalam mengatasi konlik

2004 dan belum disempurnakan. Hingga 2009 ini komunal, terorisme, atau keamanan dan keselamatan

kita tidak tahu pasti bagaimana nasib kaji ulang masyarakat.

pertahanan RI itu.

8 Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar

Penghapusan bisnis militer pada 2009 sesuai dengan amanat UU No 34/2004 juga nampaknya bukan suatu hal yang mudah. Rekomendasi dari tim evaluasi yang dipimpin oleh Ery Riyana Hardjapamekas yang sudah diserahkan ke presiden pada akhir 2008 lalu, tampaknya tidak akan diimplementasikan agar persoalan bisnis TNI itu tuntas pada Oktober 2009. Sejak 2004 tampak jelas betapa sudah terjadi pengalihan saham atau pun aset yang dimiliki TNI yang dulu dibisniskan. Upaya untuk mendapatkan dana di luar APBN seperti melalui bisnis militer ini menyimpan suatu bahaya, yaitu terciptanya jejaring bayangan (shadow networks). Karakteristiknya adalah: pertama,

terjadinya interaksi yang leksibel yang melibatkan aktor militer dengan berbagai struktur birokrasi,

bisnis, politik dan beragam lapisan masyarakat; kedua, adanya kemampuan aktor-aktor militer untuk melakukan intrusi ke pembuatan kebijakan-kebijakan

publik di hampir semua sektor. 2

Selain itu, alih-alih komando teritorial yang merupakan “The government skeleton” pada masa Orde Baru akan dihapuskan, malah ia akan menjelma atau bermetamorfosa menjadi Komando Kewilayahan (Kowil) yang lagi-lagi lebih mengedepankan

penanganan keamanan dalam negeri seperti konlik komunal, terorisme, dan penanganan bencana alam,

ketimbang sebagai bangunan pertahanan keamanan untuk menghadapi ancaman dari luar. Bahkan ada rencana TNI untuk menghidupkan kembali Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) seperti sebelum 1982. Bangunan ini bukan suatu hal yang negatif jika memang untuk memperkuat pertahanan nasional dari ancaman luar. Namun jika ini didasari pemikiran untuk memperkuat atau menandingi institusi birokrasi sipil dan Polri, maka berarti tak ada perubahan dalam cara berpikir dan bertindak TNI.

2 Mengenai off-budget militer lihat, Andi Widjajanto, ed., Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Propatria, 2004, hal. 90-91.

Kotak 6 Pengalaman Turki

RSK di Turki dipicu oleh 2 faktor, pertama, adalah persyaratan dari negara-negara Eropa bagi pembentukan sektor keamanan yang demokratis, akuntabel, transparan, terawasi dan terkontrol secara objektif oleh pemerintah dan masyarakat sipil, jika Turki berkeinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Sementara faktor kedua adalah fenomana dominasi militer di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Turki sehingga mendorong masyarakat sipil di Turki menuntut penghapusan dominasi tersebut.

RSK di Turki ditujukan untuk menyeimbangkan kedudukan sipil dan militer di dalam perumusan dan pengawasan kebijakan keamanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan langsung untuk mereformasi sistem keamanan Turki ditargetkan pada dua hal yaitu perubahan konsepsi dan formulasi kebijakan keamanann kearah yang lebih adaptif terhadap nasukan dari pihak sipil. Kedua, menghilangkan kesenjangan pengetahuan antara sipil dan militer tentang keamanan, pertahanan dan strategi.

Sementara pendekatan tidak langsung ditujukan pada penguatan masyarakat sipil, akademisi, dan media massa agar mampu memberikan masukan dalam isu-isu keamanan dan mengawasi sektor keamanan dengan efektif.

Beberapa capaian dari RSK di Turki diantaranya adalah disahkannya Paket Demokrasi Agustus 2003. Paket ini memiliki 3 sasaran yaitu: 1) mengharmonisasikan produkhukum Turki dengan persyaratan menjadi anggota Uni Eropa; 2) menghantikan pengaruh militer di ranah politik, dan; 3) menguatkan legitimasi sipil di sektor keamanan.

Sumber: IDSPS, Seri 8 Penjelasan Singkat ( Backgrounder) Keamanan Nasional, Juni 2008.

3. Reformasi POLRI

Paling sedikit ada empat masalah utama yang muncul Penulis tidak berani menyentuh reformasi Polri karena keberadaan jejaring bayangan ini. Pertama,

karena tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan keterlibatan aktif aktor-aktor militer memungkinkan

hal itu. Namun dari bacaan yang ada, tampaknya jejaring ini untuk mengeksploitasi sumber daya

reformasi Polri pun baru menyentuh tahapan awal, nasional dan lokal atau bahkan menjalankan kegiatan

yaitu perubahan paradigma struktural, instrumental ekonomi sendiri; kedua, minimnya sumber daya

dan kultural setelah Polri dipisahkan dari TNI. Ini juga menyebabkan adanya kompetisi yang tidak sehat antar

masih menyisakan reformasi pada tahap berikutnya, sesama aktor militer; ketiga, keterlibatan militer dalam

yaitu: pengawasan terhadap Polri, masih adanya jejaring ini mempunyai implikasi negatif terhadap

politisasi polri, pentingnya desentralisasi struktur profesionalisme militer, khususnya kesiagaan militer

kepolisian, dan masih adanya citra buruk Polri sebagai dalam menjalankan tugas-tugas utamanya; keempat,

akibat dari belum berubahnya tingkah laku aparat aktor militer dapat memanfaatkan jejaring bayangan

polri dalam kesehariannya. Citra buruk ini mencakup ini ini untuk mendapatkan sumber-sumber dana

masih kuatnya budaya militeristik, korupsi, dan belum non-bugeter itu untuk membiayai operasi-operasi

profesionalnya sebagian besar aparat Polri. 3

militer rahasia, khususnya operasi-operasi intelijen dan teritorial yang menggunakan unit-unit/pasukan

Lihat Tool 5 Tentang

khusus. Ini tentunya dapat membahayakan keamanan

Reformasi Polri

negara dan manusia, serta tidak memungkinkan otoritas sipil menerapkan prinsip supremasi sipil ke institusi militer.

Reformasi TNI memang harus inkremental, melalui proses tawar menawar, dialog, serta membangun konsensus bersama ketimbang membuka konfrontasi. Kondisi ini hanya dapat dilakukan apabila ada kontrol obyektif sipil atas militer dan bukan melalui politisasi militer oleh elite politik sipil.