Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu Tun

Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu: Tuntutan Pertanggungjawaban versus Impunitas

Daniel Hutagalung

Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Dignitas, Vol. 3 (1) (2005)

Pendahuluan

Setelah turunnya Soeharto dari jabatan presiden, Indonesia memasuki sebuah fase politik yang baru, yaitu menurunnya legitimasi dan otoritas politik negara atas masyarakat. Beberapa indikasi bisa dijadikan ukuran, di antaranya: menguatnya tuntutan masyarakat sipil yang memaksa pemenuhan dalam bentuk sejumlah akomodasi negara terhadap tuntutan masyarakat sipil, terutama dalam hubungan pusat-daerah, dan juga dalam persoalan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia; menguatnya peran politik lembaga legislatif hasil pemilihan umum 1999; melemahnya peran politik militer (yang sebelumnya merupakan “wajah yang sesungguhnya” dari otoritas politik negara) dalam percaturan politik nasional, yang salah satu contohnya adalah pengurangan jatah kursi TNI di lembaga legislatif; semakin bebasnya media massa menyampaikan berita, gagasan dan ekspresi dalam melakukan kritik terhadap negara, dan lain-lain.

Kejatuhan Soeharto ditandai dengan lahirnya semangat politik baru yang dinamai reformasi. Semangat politik baru ini merupakan bentuk resistensi masyarakat sipil terhadap otoriterianisme Orde Baru di bawah Soeharto, yang dinyatakan dengan tuntutan reformasi terhadap sistem politik dan bernegara di Indonesia. Reformasi diterjemahkan di antaranya ke dalam bentuk-bentuk tuntutan: mengurangi kekuasaan dan wewenang eksekutif; penghapusan Dwi Fungsi ABRI (TNI) dan penghapusan peran sosial-politik militer; perluasan otonomi daerah dan desentralisasi; kebebasan pers; penguatan dan perluasan wewenang dan otoritas lembaga legislatif dan yudikatif; serta pemenuhan keadilan terhadap berbagai tindak kejahatan HAM dan kemanusiaan di masa lalu, pada saat Orde Baru berkuasa.

Tulisan ini mencoba atau berusaha untuk melakukan evaluasi terhadap Tulisan ini mencoba atau berusaha untuk melakukan evaluasi terhadap

Karena tulisan ini mempunyai pretensi untuk menguraikan, menganalisa dan mengevaluasi perkembangan politik dan hak asasi manusia selama masa reformasi, tanpa mengabaikan problem politik dan hukum selama masa Orde Baru sebagai pijakan, maka sejumlah syarat-syarat sedapatnya coba dipenuhi dalam tulisan ini. Pertama, situasi politik pasca-Soeharto secara umum dikategorisasikan sebagai sebuah masa transisi, karenanya penting untuk menjelaskan posisi teoritis dalam melihat keadaan transisional secara umum, dan juga dalam perkembangan politik Indonesia dari pemerintahan rejim Orde Baru juga pada rejim-rejim periode transisi. Apakah prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam masa transisi, baik oleh negara maupun oleh masyarakat sipil? Sejauh mana kontestasi antara tuntutan justice atau pemenuhan rasa keadilan dan kebutuhan penguatan otoritas politik negara menemukan titik kompromi? Atau jika yang satu melampaui yang lainnya?

Kedua, pentingnya fakta empiris dari evaluasi ini karena wilayah pembahasan adalah politik dan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu politik dalam artian pertarungan politik antara kekuatan-kekuatan politik dan sejauh mana pertarungan ini memberikan ruang bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, maupun masa setelah jatuhnya Soeharto. Apakah pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto – Habibie – Aburrahman Wahid – Megawati memberikan ranah positif bagi penegakan HAM? Ataukah hanya memperlihatkan terjadinya fragmentasi politik kepartaian? Apakah menguatnya peran lembaga legislatif DPR memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan pemenuhan rasa keadilannya melalui wakil- wakil yang merepresentasikan kepentingan mereka? Atau justru menjadi batu sandungan baru yang di masa Orde Baru rintangan terbesar berada pada lembaga eksekutif?

Ketiga, untuk kepentingan analisis dan evaluasi atas fakta-fakta empiris dibutuhkan sejumlah norma-norma sebagai pegangan normatif untuk melakukan evaluasi atau penilaian. Aturan-aturan hukum seperti apa yang bisa dijadikan dasar pijakan dalam melihat sejauh mana akomodasi negara terhadap Ketiga, untuk kepentingan analisis dan evaluasi atas fakta-fakta empiris dibutuhkan sejumlah norma-norma sebagai pegangan normatif untuk melakukan evaluasi atau penilaian. Aturan-aturan hukum seperti apa yang bisa dijadikan dasar pijakan dalam melihat sejauh mana akomodasi negara terhadap

Dalam tulisan ini sejumlah fakta-fakta empiris yang coba diangkat dan disajikan adalah sejumlah proses pro-justitia dalam masa pemerintahan- pemerintahan pasca Soeharto, yang di awal tulisan ini dikategorisasikan sebagai masa transisional, dan apakah hasil-hasil keputusan lembaga yudikatif secara normatif sudah dapat dinilai memenuhi rasa keadilan korban, dan juga apakah praktik-praktik politik lembaga eksekutif dan legislatif mampu menjalankan ketetapan-ketetapan hukum tersebut atau justru melanggarnya. Meskipun demikian tulisan ini sama sekali tidak berpretensi untuk mengabaikan sangat pentingnya pemenuhan tuntutan keadilan sosial (social justice) dan kesetaraan ekonomi bagi masyarakat/korban di masa transisi, tetapi fokus tulisan ini semata-mata lebih berupaya untuk mencoba melakukan analisa dan evaluasi terhadap sejumlah kegagalan penyelenggaraan akuntabilitas dan tanggungjawab negara dalam wilayah hak-hak sipil dan politik.

Masa Transisional: Pertarungan Kepentingan Elit Politik versus Kepentingan Masyarakat

Dalam kajian-kajian masa transisi di sejumlah negara, terdapat perdebatan mengenai skala prioritas soal upaya apa yang bisa disebut konsolidasi demokrasi politik. Proses transisi sendiri menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter disebutkan sebagai “the interval between one political

1 Ignas Kleden, “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998 – Mei 2003)”, dalam Analisis CSIS No.2, Tahun XXXII (2003), hal. 161.

regime and another”. 2 O’Donnel dan Schmitter menilai, dalam periode transisi upaya untuk mengakkan sejumlah peraturan-peraturan tertentu mengenai

kompetisi politik yang teratur dan sah (legitimate) patut mendapatkan prioritas tertinggi, meski dapat menghilangkan banyak kesempatan untuk meningkatkan keadilan sosial atau kesetaraan ekonomi. 3 Pandangan ini sangat kuat menunjukkan pandangan politik liberal, di mana proses demokratisasi juga berarti “liberalisasi”. Sekalipun demikian, tudingan ini kerap dibantah dengan mengemukakan argumen historis mengenai perbedaan substansial antara “demokratisasi” dan “liberalisasi”. Dalam pandangan O’Donnel dan Schmitter, tanpa adanya jaminan bagi kebebasan kelompok dan individu yang melekat dalam liberalisasi, maka demokratisasi akan turun derajatnya, dan hanya menjadi sekedar formalisme belaka. 4

Usulan-usulan yang diajukan O’Donnel dan Schmitter ialah memenuhi prosedur demokrasi, seperti proses pemilihan umum. Sebagaimana pandangan Huntington yang menilai bahwa demokratisasi abad duapuluh akan terwujud pada saat “the most powerful collective decision makers are selected through fair, honest and periodic elections”. 5 Dalam pandangan ini proses transisi dianggap selesai pada saat seluruh kelompok-kelompok politik yang signifikan telah menerima rule of law. 6 Pandangan-pandangan ini nanti dapat dievaluasi dan diuji apakah bisa digunakan atau relevan dalam melihat konteks Indonesia.

Pandangan O’Donnel dan Schmitter melengkapai dua pandangan yang dominan dalam teori-teori keadilan di masa transisional (transitional justice). Secara umum ada dua pandangan dominan yang saling bertentangan dalam melihat bagaimana keadilan dipenuhi di masa transisi. Namun, kedua pandangan tersebut mengacu kepada dilema awal keadilan di masa transisional, yakni problem negara hukum (rule of law) dalam sebuah periode perubahan politik radikal. Dalam situasi seperti itu banyak bermunculan berbagai perubahan paradigma dalam memahami keadilan. Masyarakat pada umumnya akan memperjuangkan bagaimana mentransformasikan sistem politik, hukum dan ekonomi yang berpihak kepada mereka, dan akan berhadapan dengan kepentingan negara (rejim di masa transisional) dalam mempertahankan dan menjalankan otoritas politiknya.

2 Guillermo O’Donnel and Philippe C. Schmitter, Transitions From Authoritarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies (Baltimore: John Hopkins University Press, 1986),

hal. 6. 3 Ibid., hal 2.

4 Ibid., hal. 10-14. 5 Samuel. P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century

(Norman: University of Oklahoma Press, 1991), hal. 7. 6 Ruti G. Teitel, Transitional Justice (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 5.

Dua pandangan tersebut adalah pandangan yang umum disebut realis dan pandangan idealis. Dua pandangan ini pun tidak luput dari pandangan dominan, yaitu memperdebatkan bagaimana hubungan antara hukum dan keadilan menuju liberalisasi. Pandangan politik mahzab realis secara umum menjawab persoalan mengapa sebuah tindakan negara dalam memenuhi sesuatu diambil dalam konteks merespon apa yang mungkin dilakukan, 7 atau dalam istilah Alan Cassels bisa dikatakan negara semata-mata melaksanakan/menjalankan secara rasional. 8 Jadi menurut pandangan mahzab realis, dalam konteks masa transisi negara akan melakukan hal-hal “sejauh yang dapat dilakukan”.

Pandangan lainnya yaitu perspektif idealis, memandang bahwa pertanyaan mengenai keadilan transisional (transitional justice) harus dikembalikan kepada konsepsi universal tentang keadilan, yaitu gagasan mengenai keadilan retributif dan korektif secara penuh terhadap masa lalu. Hal itu menjadi pertimbangan yang sangat penting untuk merintis perubahan yang liberal. 9 Ruti Teitel menilai bahwa mahzab ini tidak dapat menjelaskan dengan baik mengenai apa yang khusus mengenai keadilan dalam periode transisi. 10 Teitel sendiri berpandangan bahwa transisi harus dipahami dan diteliti secara lebih luas sampai pada praktik-praktik yang menandakan penerimaan terhadap demokrasi liberal dan negara hukum (rule of law). Kedua pandangan ini memang memiliki aroma gagasan liberal yang sangat kental. Namun, dalam konteks pandangan yang sarat dengan nafas liberalisme inilah elaborasi dan evaluasi terhadap proses transisi di Indonesia coba dilihat dan digali.

Secara umum pertentangan kedua pandangan ini dapat dipakai dalam melihat praktik politik di Indonesia, terutama di masa reformasi (transisi) untuk menilai perilaku politik negara. Pemerintahan-pemerintahan setelah Soeharto, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati, mengambil sebuah praktik politik pragmatis realis, yakni dengan mencoba untuk melakukan tindakan- tindakan politik sejauh yang mungkin dilakukan dalam upaya memberikan pemenuhan keadilan terhadap sejumlah pelanggaran HAM masa lalu. Praktik politik yang dilakukan adalah melakukan konsolidasi politik, dengan tetap memberikan ruang yang besar bagi para pelaku pelanggaran HAM masa lalu dalam pemerintahan yang mereka pimpin, atau setidak-setidaknya tidak melakukan tindakan hukum yang substansial terhadap kekuatan-kekuatan utama politik Orde Baru (dalam hal ini TNI dan Golkar). Karena itu, dengan

7 Charles R. Beitz, Political Theory and International Relation (Princeton: Princeton University Press, 1979), hal.15-66.

8 Alan Cassels, Ideology and International Relations in the Modern World (London: Routledge, 1996), hal. 246.

9 Ruti G. Teitel, op.cit. hal. 4. 10 Ibid.

gamblang bisa dikatakan bahwa rejim-rejim pasca-Soeharto belum mampu melepaskan diri dari kerangka dan praktik politik Orde Baru, dan hanya merupakan kelanjutan Orde Baru, terutama dalam hal kebijakan ekonomi, sosial, politik dan hukum.

Dalam tulisan Ignas Kleden, dengan cukup jelas dan jernih ia menguraikan soal orientasi kekuasaan politik. Menurut Kleden, Indonesia sebelum dan sesudah reformasi tidaklah mengalami perubahan apa pun. Orientasi pokok dalam realpolitik (istilah dalam bahasa Jerman yang digunakan Ignas dalam tulisannya) adalah pada usaha memperebutkan kekuasaan (power building) dan bukan untuk efektifitas penggunaan kekuasaan (the use of power). 11 Jadi secara umum Ignas Kleden menilai politik Indonesia di masa transisi lebih berfokus pada hubungan antar aktor politik, sirkulasi elit politik yang berhubungan dengan patronase politik, permainan money politics dan kedekatan pribadi antar tokoh-tokoh politik. Orientasi politik ini mengabaikan wilayah politik sebagai tempat terjadinya tukar-menukar antara kekuatan- kekuatan sosial di mana yang mengambil peran adalah agregat-agregat politik seperti negara, masyarakat sipil, struktur politik, sistem hukum, peran militer dan kekuatan internasional.

Maka dalam orientasi praktik politik seperti yang sekarang ini terjadi, politik Indonesia di masa transisi secara umum masih sangat condong kepada kepentingan negara (baca juga sebagai elit politik) dan sama sekali belum bergerak kepada wilayah kepentingan masyarakat. Upaya menjaga stabilitas politik jauh lebih penting ketimbang menegakkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Sebagai contoh, mantan anggota TNI atau yang masih aktif akan sangat sulit untuk dimintai pertanggnugjawabannya terhadap kejahatan HAM di masa lalu, seperti untuk kasus 1965, Aceh (baik masa DOM maupun sesudahnya), Tanjung Priok, dan lain-lain, dengan melihat bahwa orang-orang tersebut masih memiliki posisi politik yang sangat strategis di tingkat nasional, sehingga upaya untuk melakukan tindakan hukum akan diartikan sebagai tindakan menggoyah stabilitas politik nasional, karena diasumsikan akan menghasilkan perlawanan politik dari kelompok militer secara kuat. Contoh lain yang dapat dilihat adalah kasus korupsi Akbar Tanjung. Dalam hal ini diskriminasi hukum terjadi di mana keputusan pengadilan tidak otomatis merupakan keputusan eksekusi bagi penahanan Akbar Tanjung, sebagaimana diberlakukan terhadap sejumlah terdakwa-terdakwa lainnya, terutama yang dituduh kasus-kasus politk dan terorisme. Upaya mengeksekusi keputusan pengadilan terhambat oleh kepentingan praktik politik di mana Akbar Tanjung merupakan ketua DPR sekaligus ketua partai politik pemenang pemilihan umum nomor dua yang merupakan koalisi politik sangat signifikan dalam

11 Ignas Kleden, op.cit., hal. 162.

pemilihan umum (pemilihan presiden), sehingga keputusan pengadilan, menundukkan dirinya kepada kepentingan praktik politik, dalam hal ini menjadi terang bahwa aturan dan ketetapan hukum dengan begitu saja dilanggar oleh praktik politik.

Dalam situasi transisional ini kemudian terlukis sebuah gambaran nyata bahwa kepentingan negara berbanding terbalik dengan kepentingan masyarakat, dan sebagaimana coba diuraikan di atas kepentingan masyarakat kemudian dikorbankan. Gambaran ini bisa dengan jelas dilihat pada dua perbandingan jenis kasus yang terjadi, yakni kasus di Aceh dan di wilayah- wilayah seperti Maluku, Poso dan Sampit. Atas nama keutuhan teritorial negara masalah yang terjadi di Aceh, yakni masalah separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dipandang jauh lebih gawat secara nasional, di bandingkan dengan konflik di Maluku yang mengakibatkan kurang lebih 9.000-11.000 korban jiwa. Bagi pemerintahan-pemerintahan transisional pasca Soeharto tersebut, keutuhan kehidupan sosial masyarakat, integrasi sosial masyarakat, tidaklah begitu penting jika harus dibandingkan dengan keutuhan teritorial negara. Dalam hal ini negara melihat separatisme politik jauh lebih berbahaya ketimbang terjadinya kekerasan politik atau pun potensi disintegrasi sosial sebagaimana terjadi di Maluku, Poso dan Sampit.

Impunitas: Biasa Proyek Politik Kepentingan Kekuasaan

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian di atas, di tingkat politik yang berkembang adalah politik mikro yakni hubungan transaksi antar aktor politik dan sirkulasi antar elit politik, sementara masyarakat sipil sebagai kekuatan pengontrol berjalannya sebuah tata pemerintahan demokratis belum tumbuh menjadi sebuah kekuatan yang kuat, sehingga kepentingan-kepentingan masyarakat terbaikan oleh kepentingan-kepentingan transaksi politik antar elit politik. Bias orientasi kepentingan kekuasaan yang cenderung kepada transaksi politik ketimbang membangun kekuatan-kekuatan sosial politik, struktur politik, sistem hukum, dan lain-lain, menjadikan politik sebagai alat pertukaran kepentingan semata. Praktik politik ini kemudian memberikan ruang bagi kekuatan-kekuatan politik lama (kekuatan politik militer dan birokrasi masa Orde Baru) masuk ke dalam wilayah transaksi politik, dan muncul sebagai aktor penting, yang kemudian secara politik sanggup “menyandera” negara ke dalam sebuah transaksi politik yang melembaga menjadi bentuk impunity (impunitas).

Istilah impunity berkembang dan memiliki makna sosial dan politik di Amerika Latin akibat dari pelanggaran hak asasi manusia secara massif pada masa rejim-rejim otoriterianisme militer berkuasa di hampir semua negara- Istilah impunity berkembang dan memiliki makna sosial dan politik di Amerika Latin akibat dari pelanggaran hak asasi manusia secara massif pada masa rejim-rejim otoriterianisme militer berkuasa di hampir semua negara-

Ketika rejim-rejim militer tersebut mulai goyah, dan memberikan ruang bagi tampilnya rejim-rejim sipil untuk mengambil kepemimpinan politik formal lewat pemilihan umum yang demokratis, kelompok militer membuat dekrit tentang amnesti (pengampunan) bagi semua orang yang menduduki posisi- posisi yang bertanggungjawab pada sejumlah kasus pelanggaran HAM pada masa rejim-rejim militer berkuasa. Pemerintahan dan parlemen yang baru terpilih di dalam proses transisi demokratisasi yang dinilai masih sangat rentan tersebut, kadangkala melakukan ratifikasi ataupun mengadopsi dekrit mengenai amnesti hukum (pengampunan hukum) tersebut atas dasar kemauan politik sendiri, ini dilakukan berdasarkan ketakutan yang amat sangat bahwa para bekas penguasa-penguasa militer tersebut, yang masih memiliki kekuasaan, mungkin akan mencoba untuk menjatuhkan institusi-institusi demokratik yang baru terbentuk jika ada langkah hukum yang diambil untuk melawan atau menghukum mereka. Bentuk-bentuk akomodasi pengampunan hukum atas kejahatan masa lalu inilah yang kemudian di Amerika Latin lahir istilah impunitas atau biasanya disebut impunity.

Secara umum impunity dipahami sebagai “tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi manusia)”, atau dalam kepustakaan umum diterjemahkan sebagai “absence of punishment”. Namun dalam perkembangan sampai sekarang ini istilah impunity digunakan hamper secara ekslusif dalam konteks hukum untuk menandakan suatu proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai tindakan ilegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan. 13 Kemudian istilah ini disepakati sebagai istliah hukum yang berhubungan dengan pelanggaran HAM yang “sangat serius”. “Sangat serius” di sini dihubungkan dengan hukum internasional seperti kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, genosida, penyiksaan, dan juga bentuk “gross and systemic violations” terhadap hak-hak sipil dan politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

12 Ifdhal Kasim, “‘Jalan Ketiga’ Bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre (Ed), Pencarian Keadilan di Masa Transisi

(Jakarta: ELSAM, 2003), hal. 16. 13 Genevieve Jacques, Beyond Impunity: An Ecumenical Approach to Truth, Justice and

Reconciliation (Geneva: WWC Publication, 2000), hal. 1.

Suatu kejahatan kemanusiaan yang sering terjadi dalam sebuah sistem pemerintahan yang otoriter, atau juga pemerintahan sipil yang sangat lemah yang selalu berada di bawah dikte kekuatan militer, kejahatan yang menurut Geoffrey Robertson disebut sebagai, “inhumane acts of a very serious nature committed as part of a widespread or systematic attack against a civilian population on political, ethnic or religious ground”. 14

Pelaku kejahatan HAM dalam kategori tersebut bukan saja dilakukan oleh negara (state) atau aparat negara (state agents) – dalam hal ini termasuk di dalamnya individu atau kelompok yang bertindak atas perintah negara atau keterlibatan, persetujuan atau juga dorongan dari pemerintah yang berwenang – tetapi juga pelaku di luar negara (non-state actors), misalnya kelompok- kelompok

semi polisi, organisasiorganisasi pemuda bentukan penguasa, dan lain-lain. Dalam konteks keadilan, pelaku-pelaku pelanggaran HAM ini harus dibawa ke dalam sebuah proses yang termasuk di dalamnya investigasi terhadap fakta-fakta pelanggaran HAM, dikenai tuduhan, diadili, dijatuhi hukuman, dan rehabilitasi dan reparasi bagi para korban. Sementara, impunity sendiri berarti peniadaan proses tersebut di atas, sebagaimana dinyatakan UN Special Rapporteur Louis Jonnet bahwa impunity adalah:

The impossibility, de jure or de facto, of bringing the perpetrators of human rights violations to account – whether in criminal, civil, administrative or disciplinary proceedings – since they are not subject to any inquiry that might lead o their being accused, arrested, tried and, if found guilty, convicted, and to reparations

being made to their victims. 15

Bagaimana kemudian melihat impunity dalam konteks Indonesia, terutama setelah jatuhnya rejim Orde Baru Soeharto? Peralihan kekuasan dari Soeharto ke Habibie menyisakan sejumlah catatan penting dalam politik Indonesia, di mana sosok Habibie dilihat sebagai bagian utama dari format politik Orde Baru Soeharto, yang kemudian melahirkan sejumlah resistensi masyarakat terhadap peralihan kekuasaan tersebut. Tuntutan masyarakat terhadap kesalahan dan dosa-dosa rejim Orde Baru berupa pengadilan dan tindakan hukum tidak dapat diwujudkan oleh pemerintahan Habibie, mengingat Habibie mengangkat sejumlah pejabat rejim Orde Baru Soeharto ke dalam kabinet yang dibentuknya, sekali pun orang-

14 Geoffrey Robertson, Crime Against Humanity: The Struggle for Global Justice (London: Penguin Press, 1999), hal. 274.

15 Louis Jonnet, Issues of Impunity for the Perpetrators of (Civil and Political) Human Rights Violations. Final Report to the UN Sub-Commission for the Prevention of Discrimination and

the Protection of Minorities, 49th Session, August 1997, E/CN.4/Sub.2/1997/20.

orang tersebut merupakan orang-orang yang menduduki posisi-posisi yang bertanggung jawab terhadap sejumlah pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru.

Peradilan militer dibentuk di masa Habibie untuk mengadili sejumlah petinggi dan anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar, atas kejahatan HAM berat penculikan dan penghilangan orang secara paksa, sekalipun semua pelaku yang dihadapkan ke depan pengadilan, dikenai tuduhan terhadap korban-korban penculikan yang sudah dilepaskan, sementara korban-korban yang masih belum kembali dinilai bukan merupakan tanggungjawab Tim Mawar tersebut, dan tidak pernah ada penjelasan mengenai siapa yang harus bertanggungjawab atas korban-korban penghilangan paksa yang belum kembali sampai sekarang ini.

Peradilan militer kasus penculikan ini menjadi paradoks, pada satu sisi ditujukan untuk mengakomodir tuntutan sejumlah masyarakat dan keluarga korban, pada sisi lain tidak mampu memberikan keadilan terhadap tindakan itu sendiri, juga terhadap korban-korban dan keluarganya. Peradilan ini lebih kepada kompromi politik elit-elit politik dan militer, untuk tidak menjatuhkan hukuman yang dinilai mampu mengakibatkan keguncangan dalam tubuh militer, sekaligus mencoba untuk berkompromi dengan korban-korban yang sudah dilepaskan. Yang pasti peradilan militer kasus penculikan tersebut gagal memenuhi prinsip-prinsip keadilan.

Norma-norma politik yang bersifat universal yakni penghormatan terhadap hak asasi manusia, dilanggar oleh praktik politik elit yang mengutamakan transaksi kepentingan politik, dalam artian memilih untuk tidak melakukan tindakan politik dan tindakan hukum yang frontal terhadap institusi maupun para petinggi militer, yang dianggap masih memiliki kekuatan politik signifikan dalam peta politik Indonesia.

Upaya Akomodasi Negara Terhadap Tuntutan Keadilan di Masa Transisi

Upaya-upaya yang dilakukan lembaga-lembaga negara dalam masa transisi adalah mencoba untuk menciptakan landasan normatif bagi upaya penyelenggaraan negara yang dinilai lebih baik. Sejumlah upaya-upaya dilakukan untuk menghasilkan kesepakatan normatif yang menjadi dasar bagi pembentukan ke arah konsepsi good governance yang menjadi tuntutan komunitas internasional terhadap negara-negara yang dinilai baru saja keluar dari kegelapan sistem negara otoriterianisme birokratis (atau juga militeris). Pada bagian ini sejumlah kesepakatan dan ketetapan normatif dalam wilayah hak asasi manusia yang dihasilkan akan dilihat dan dianalisa secara umum, dan juga dengan melihat konstruksi diskursus yang melingkupinya.

Sejumlah negara-negara seperti di Uruguay, Brasil, Chili, Afrika Selatan, dan lain-lain, mencoba untuk memberikan ruang bagi akomodasi tuntutan masyarakat dan korban pelanggaran hak asasi manusia di masa pemerintahan rejim-rejim diktator militer, dengan membentuk semacam komisi untuk mengusut berbagai tindak kejahatan HAM masa lalu, dan mencari kebenaran akan terjadinya kejahatan tersebut. Komisi semacam ini dikenal dengan Komisi Kebenaran yang secara umum memiliki tujuan untuk mencoba mengungkapkan bagaimana kejahatan masa lalu berlangsung dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi para korban dan saksi untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Komisi ini memiliki orientasi lebih kepada kepentingan korban, dan bukan semata-mata hanya ingin menghukum si pelaku kejahatan HAM. 16 Ada juga sejumlah negara seperti Yugoslavia dan Malawi yang kemudian membentuk semacam peradilan HAM untuk mengadili pelaku kejahatan HAM di masa lalu. Atau ada juga yang melakukan keduanya yakni membentuk Komisi Kebenaran sekaligus membentuk peradilan HAM, seperti di Argentina, Ethiopia dan Rwanda. 17 Komisi-komisi dan peradilan- peradilan yang dibentuk di sejumlah negara ini mempunyai hasil yang berbeda-beda pula. Ada yang sampai mencapai pembentukan peradilan HAM, ada juga yang gagal di tengah jalan, sesuai dengan konteks politik di masing- masing negara.

Di Indonesia sendiri sampai saat ini, di tahun keenam proses transisi, upaya untuk mengungkap kejahatan HAM masa lalu sudah mulai dilakukan dengan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk kasus Tanjung Priok di tahun 1984, dan kejahatan mantan presiden Soeharto. Selain dibentuknya sejumlah KPP, digelar juga peradilan HAM dan peradilan militer untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM yang baru terjadi seperti kasus Penculikan, Timor-Timur, Trisakti, Semanggi, Bulukumba, Papua, dan lain-lain. Juga dibentuknya jenis peradilan koneksitas untuk pelanggaran HAM kasus Beutong Ateuh (Pesantren Tengku Bantaqiyah) di Aceh.

Bagaimana melihat kasus-kasus peradilan untuk pelanggaran HAM di masa transisi, dan menghubungkannya dengan praktik politik rejim-rejim pasca Orde Baru?

Penting untuk memisahkan antara upaya akomodasi negara terhadap “upaya penyelesaian” kasus pelanggaran HAM di masa transisi dan di masa lalu. Upaya penyelesaian terhadap pelanggaran HAM di masa lalu akan berkaitan dengan kekuatan-kekuatan politik masa lalu (Orde Baru), yang masih belum dapat ditundukkan atau dinegosiasikan oleh rejim-rejim sesudahnya.

16 Agung Putri, “Berjuang Mengungkap Kebenaran dan ‘Mengadili’ Masa Lampau: Pengalaman Rakyat Negeri Tertindas”, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre (Ed), op.cit., hal. 113.

17 Ifdhal Kasim, op.cit., hal. 22-23.

Bukan hal yang aneh ketika pelanggaran HAM berat masa lalu seperti di Aceh (masa DOM), maupun peristiwa 1965 belum ada upaya untuk menyelidiki dan mengungkapnya secara khusus, meskipun sebuah langkah coba dilakukan yaitu dengan membentuk KPP HAM untuk kasus Soeharto, yang mencoba untuk “memagar” dan “melokalisir” seluruh kejahatan HAM masa lalu hanya pada Soeharto semata.

Tanpa harus melepaskan penilaian dan pembahasan atas kejahatan HAM masa lalu, tulisan ini mencoba untuk melihat pelanggaran HAM di masa transisi dan kaitannya dengan hubungan pertanggungjawaban politik dan praktik politik rejim-rejim yang berkuasa di masa transisi, setelah itu pembahasan terhadap upaya pengungkapan kejahatan masa lalu akan ditempatkan kemudian, dan dilihat dalam konteks politik yang berbeda. Sejumlah kasus- kasus peradilan yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat bisa dijadikan ukuran dalam memberikan evaluasi dan penilaian praktik politik rejim- rejim pasca Soeharto dalam menjalankan mandat normatifnya yaitu konstitusi dan undang-undang, serta mandat politiknya untuk menjalankan agenda- agenda reformasi yang salah satunya adalah menegakkan dan melindungi hak- hak asasi manusia.

Kasus pembantaian Tengku Bantaqiah dan para tamu serta santrinya di pesantren Babul Mukaramah, Desa Blang Maurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat, pada hari Jumat 23 Juli 1999 merupakan salah satu kejahatan berat HAM yang sangat menggiriskan dan biadab di masa transisi. Bisa dibayangkan, Tengku Bantaqiah yang sedang mengadakan kendurian atas pembebasan dirinya dari tahanan, bersama tamu dan sanak keluarganya, tanpa alasan yang jelas didatangi sekitar 80an aparat militer dari Korem 011/Lilawangsa dan terjadilah pembantaian yang kemudian diketahui menewaskan 65 orang. 18

Sejumlah alasan pembenar dikeluarkan para petinggi militer atas terjadinya pembantaian itu, di antaranya: Tengku Bantaqiyah dan pengikutnya terlebih dahulu menyerang dengan senjata, jadi sebelum ada pembantaian terlebih dahulu terjadi kontak senjata. 19 Mayor Jenderal Rahman Gaffar, dalam pernyataannya menyebutkan bahwa intelijen TNI telah menemukan sejumlah bukti kuat atas kejahatan Tengku Bantaqiah dan pengikut-pengikutnya, yakni pertama, orang-orang Tengku Bantaqiah melakukan pembunuhan terhadap 9 orang anggota TNI dan Polri, dan disusul dengan pembunuhan terhadap 14 anggota TNI enam hari kemudian. Kedua, Tengku Bantaqiah diyakini terlibat

18 Lihat Laporan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, yang dibentuk berdasarkan Keppres No.88/1999, hal. 430.

19 Pernyataan ini dikeluarkan oleh Komandan Korem 013/Teuku Umar waktu itu yakni Letnan Kolonel Syarifuddin Tippe dan juga Kapolda Aceh Brigjen (Pol) Bachrumsyah. Lihat Serambi

Indonesia, 27 Juli 1999.

aliran sesat. Ketiga, Tengku Bantaqiah terlibat perdagangan senjata. Keempat, Tengku Bantaqiyah terlibat penanaman dan perdagangan ganja. Kelima, Tengku Bantaqiah pernah dihukum 20 tahun penjara. 20

Kasus ini kemudian di bawa ke pengadilan koneksitas yang digelar di Banda Aceh yang kemudian menjatuhkan hukuman terhadap 24 anggota TNI dan seorang warga sipil dengan vonis yang bervariasi antara 8 tahun 6 bulan sampai 10 tahun, dengan tuduhan melakukan penembakan “dalam keadaan terpaksa” karena mendapat serangan dan perlawanan dari para pengikut Tengku Bantaqiyah, dan juga dalam konteks menuruti perintah atasan, sehingga kejahatan yang dilakukan dapat dikategorikan kejahatan biasa saja (ordinary crime), memenuhi unsur-unsur dalam pasal 49 KUHP, dan bukannya sebuah kejahatan HAM berat (gross violation of human rights). 21 Selain itu juga dalam kasus ini tersangka utama perencana dan pelaksana operasi militer tersebut yakni Letnan Kolonel Sudjono, tidak dapat dibawa ke pengadilan karena hilang, dan dinyatakan desersi oleh Markas Besar TNI.

Kasus peradilan HAM ad hoc Timor-Timur juga bisa dilihat sebagai parameter pengukur seberapa jauh prinsip-prinsip hak asasi manusia dijadikan dasar dalam agenda pemerintahan rejim-rejim pasca Orde Baru Soeharto. Dalam sejumlah keputusannya peradilan HAM kasus Timor-Timur dinilai sangat kontroversial, terutama adalah kegagalan pengadilan, dalam hal ini majelis hakim, dalam menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Dalam laporan yang disusun ELSAM bisa dengan jelas menilai sejauh mana negara tidak mampu memenuhi tanggung jawab normatifnya sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi, TAP MPR dan undang-undang. 22

Dalam laporan ELSAM tersebut disimpulkan bahwa peradilan yang mengadili kasus pelanggaran HAM berat berlangsung di bawah standar, bahkan jika dibandingkan dengan sebuah pengadilan pidana biasa, terutama jaksa penuntut umum yang dinilai tidak serius dalam upaya mencari bukti siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan serius terhadap hak asasi manusia pasca jejak pendapat tahun 1999. Yang ada adalah jaksa penuntut umum memiliki tendensi justru untuk membebaskan sejumlah terdakwa (umumnya dari kalangan militer dan kepolisian) dari tuduhan yang

20 Lihat Otto Syamsuddin Ishak, “Aalhamdulillah”, Pengantar dalam Dyah Rahmani. P, Matinya Bantaqiah: Menguak Tragedi Beutong Ateuh (Cordova dan LSPP, 2001), hal. vii.

21 Dyah Rahmani P., ibid. hal. 100-104. 22 ELSAM, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Tanpa Penanggung Jawab. Progres Report No. IX

Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Timor-Timur (Jakarta: ELSAM, 20 Desember 2002).

memiliki bukti-bukti kuat, 23 seperti misalnya yang berkaitan dengan tanggung jawab komando (command responsibility) putusan bebas justru diberikan

kepada para pemegang komando misalnya seperti Mayor Jenderal Adam Damiri (waktu itu Pangdam IX/Udayana), Kolonel Tono Suratman (waktu itu Komandan Korem Wira Dharma) dan Brigadir Jenderal (Pol) Timbul Silaen (waktu itu Kapolda Timor-Timur).

Dalam laporannya, ELSAM menilai bahwa penyelenggaraan peradilan HAM mempunya tiga tujuan, yaitu; pertama, tujuan utamanya adalah untuk memeriksa terjadinya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan; kedua, untuk menuntut pertanggung jawaban dari para pengambil kebijakan yang telah menyalahgunakan kekuasaan yang ada pada dirinya sehingga terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan; dan ketiga, untuk menyediakan judicial remedies (pemulihan secara hukum) bagi korban. 24 Namun justru ketiga hal tersebut yang diabaikan oleh pengadilan HAM ad hoc tersebut, dengan melihat tidak maksimumnya kerja Jaksa Penuntut Umum dalam menyiapkan tuntutannya, sampai ketidakseriusan dalam menghadirkan saksi-saksi kunci, serta kekurang beranian hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, dan lain-lain. 25

Kalau ditarik lebih jauh ke belakang, apa yang terjadi terhadap kasus penembakan mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti juga tidak menemukan titik yang memuaskan dari rasa keadilan, mengingat terdakwa anggota kepolisian yang diadili dinyatakan bersalah atas tuduhan tidak mematuhi perintah atasan dan bertindak sendiri-sendiri, bukannya sebuah tindakan yang sebenarnya menurut bukti-bukti forensik bisa dibuktikan sebagai penembakan yang direncanakan karena korban ditembak dari jarak jauh oleh – setidak- tidaknya – penembak jitu. Namun peradilan militer yang digelar menjatuhkan hukuman atas dasar tindakan kejahatan pidana biasa, bukan tindakan pembunuhan sistematis (sebagaimana kuat ditemukan bukti-bukti pendukungnya), yang memenuhi unsur-unsur sebagai kejahatan kemanusian. Dalam kasus ini para pejabat militer dan polisi yang dianggap bertanggung jawab berkelit dengan argumen bahwa korban yang jatuh dalam tragedi- tragedi itu lebih disebabkan oleh “beradunya kepentingan politik” sehingga dengan begitu aparat militer ataupun kepolisian yang melakukan pembunuhan terhadap sejumlah mahasiswa tersebut sama sekali tidak dapat diminta pertanggung-jawaban hukumnya. Logika semacam ini nampaknya diterima juga oleh para anggota parlemen Indonesia terutama anggota DPR yang

23 ELSAM, Pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur Di Bawah Standar. Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk (Jakarta: ELSAM, 4 Juli 2002), hal.23-24.

24 ELSAM, Monitoring Pengadilan HAM Timor-Timur: Diskusi Panel Pengadilan HAM Timor- Timur (Jakarta: ELSAM, 28 Januari 2003), hal. 64.

25 ELSAM, Pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur Di Bawah Standar, hal. 24.

berada di Pansus kedua kasus ini; karena merekalah yang secara tragis menutup jalan untuk menyeret para pembunuh mahasiswa ke sidang peradilan HAM dengan menolak adanya unsur pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut.

Bagaimana melihat peradilan koneksitas, peradilan HAM ad hoc dan peradilan militer, dan lain-lainnya, dalam mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam masa transisi, yang masih bergulat dengan transaksi kepentingan politik di tingkat aktor-aktor politik? Pengadilan hanya sekedar upaya untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat dan keluarga korban, tanpa harus memojokkan sebuah institusi (dalam hal ini Polri) yang oleh pemerintahan baru sangat diharapkan memberikan dukungan politik bagi berlangsungnya tata pemerintahan yang berada dalam persimpangan, dan kemudian memilih jalan kompromi politik. Pilihan ini tentu saja menghasilkan bentuk-bentuk peradilan dan keputusan-keputusan pengadilan yang sangat kental dengan aroma kompromi politik elit, sehingga keputusan-keputusannya tidak akan mencapai titik yang diharapkan yaitu “memenuhi rasa keadilan masyarakat dan korban”.

Meski secara politik formal kedudukan dan peran militer telah makin dikurangi, namun tetap ada instrumen hukum Indonesia yang memberikan kekuatan lain kepada militer Indonesia untuk tetap bertindak dan terbebaskan dari tanggung-jawab hukum yang berlaku secara umum. Ini nampak, dari masih berlakunya hukum dan peradilan militer yang mengadili kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh para anggota militer. Dengan kekhusuan dalam sistem peradilan ini, mereka bisa terbebaskan dari tuntutan peradilan sipil umum dan mendapatkan sangsi hukum yang seringkali jauh lebih ringan. Namun demikian persoalannya tentu jauh lebih dari sekadar itu, yang menjadi soal terbesar adalah bahwa dengan peradilan militer semacam itu, militer Indonesia meletakkan dirinya sebagai golongan istimewa di republik ini, di mana hukum yang bisa menyentuh mereka hanyalah hukum yang mereka buat sendiri. Ini menjadi salah satu dasar impunity dan dominasi yang hingga saat ini terus dipertahankan. Contoh telanjang yang bisa dijadikan parameter adalah kasus perkosaan oleh tiga orang aparat militer terhadap empat orang perempuan di Aceh pada masa darurat militer. Ketiga terdakwa pelaku perkosaan dihukum berkisar antara 2 tahun 6 bulan sampai 3 tahun 6 bulan dan dipecat dari kedinasan militer. Dalam hal ini perkosaan dalam situasi perang merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, namun oleh peradilan militer di Aceh hanya menjadi pidana biasa, dan sama sekali tidak dinilai memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM.

Impunitas: Pelanggaran Praktik Politik Terhadap Kesepakatan dan Ketetapan Hukum

Turunnya Soeharto dan dilaksanakannya pemilihan umum dipercepat tahun 1999, menghasilkan sebuah kontrak sosial baru antara masyarakat dan negara. Terlepas dari kontrak sosial baru tersebut masih memiliki bias kepentingan politik elit yang sangat nyata, namun kontrak sosial baru tersebut melahirkan sejumlah kesepakatan dan ketetapan normatif yang lebih baik di bidang hak asasi manusia.

Dalam amandemen konstitusi terutama Pasal 28 dicantumkan mengenai hakhak dasar manusia (hak asasi manusia), sekaligus juga tanggungjawab negara dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Konsitusi ini merupakan ketetapan normatif tertinggi yang mengatur hubungan antara negara dan masyarakat (warganegara) dalam hal hak asasi manusia. Pelanggaran terhadap konstitusi oleh pemerintah merupakan pelanggaran berat tata aturan bernegara, jadi bisa dijadikan ukuran seberapa jauh negara mampu menjalankan tanggungjawab yang telah di mandatkan dalam konstitusi tersebut.

Turunan-turunannya adalah ditetapkannya sejumlah undang-undang dan peraturan yang memberikan tempat bagi perlindungan, penegakan dan promosi hak asasi manusia, di antaranya adalah Undang-undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, di mana kedua undang-undang tersebut di dasarkan pada pemahaman bahwa “hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun” (lihat aturan menimbang dalam dua undang-undang tersebut).

Kedua undang-undang tersebut merupakan norma hukum yang harus dipatuhi oleh kedua pihak, yakni negara dan masyarakat, namun pertanyaannya adalah, apakah kedua ketetapan normatif tersebut dijalankan dalam praktik politik rejim yang berkuasa, atau praktik-praktik politik rejim begitu saja mengangkangi dan mengabaikan kesepakatan normatif hasil kontrak sosial baru tersebut?

Dalam bagian awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa salah satu bentuk evaluasi terhadap jalannya proses transisi ini adalah melihat sejauh mana kebijakan hukum dan politik normatif yang dilakukan negara dalam upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan melihat fakta empiris dan ketetapan normatif yang dijadikan norma dan pegangan dalam melakukan penilaian, dengan didasari norma-norma politik yang bersifat tetap dan universal di mana di antaranya adalah penghormatan terhadap hak asasi Dalam bagian awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa salah satu bentuk evaluasi terhadap jalannya proses transisi ini adalah melihat sejauh mana kebijakan hukum dan politik normatif yang dilakukan negara dalam upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan melihat fakta empiris dan ketetapan normatif yang dijadikan norma dan pegangan dalam melakukan penilaian, dengan didasari norma-norma politik yang bersifat tetap dan universal di mana di antaranya adalah penghormatan terhadap hak asasi

Pasal 3

1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat dan serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.

2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

Pasal 4

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pasal 8

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 71

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang di atur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Dengan merujuk pada sejumlah kasus yang sebelumnya sudah dipaparkan dalam tulisan ini menjadi jelas bahwa pemerintah (negara) sama sekali tidak merujuk pada ketetapan normatif undang-undang yang disepakati, terbukti bahwa kasus pembantaian Beutong Ateuh, memenuhi unsur-unsur yang bisa dikategorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia, bukannya sebuah pelanggaran pidana biasa karena dilakukan secara sistematis oleh aparat-aparat negara, yang seharusnya mempunyai kewajiban normatif untuk Dengan merujuk pada sejumlah kasus yang sebelumnya sudah dipaparkan dalam tulisan ini menjadi jelas bahwa pemerintah (negara) sama sekali tidak merujuk pada ketetapan normatif undang-undang yang disepakati, terbukti bahwa kasus pembantaian Beutong Ateuh, memenuhi unsur-unsur yang bisa dikategorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia, bukannya sebuah pelanggaran pidana biasa karena dilakukan secara sistematis oleh aparat-aparat negara, yang seharusnya mempunyai kewajiban normatif untuk

Atau kalau merujuk pada hasil pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur jelas terlihat bahwa telah terjadi pengabaian terhadap UU No.39/1999 maupun UU No.26/2000 serta UUD 1945 dalam melaksanakan praktik politik dan hukum oleh pemerintah (kejaksaan) dan lembaga yudikatif (kehakiman/pengadilan). Hasil-hasil tersebut menunjukkan unwillingness (ketidakmauan) dan inability (ketidakmampuan) dalam hal prinsip national remedies (pemulihan secara nasional). Terlepas dari terdapatnya sejumlah kelemahan mendasar dari kedua undang-undang tersebut, namun sejumlah prasyarat dan syarat awal bagi upaya untuk menghapuskan impunitas cukup terbuka.

Persoalan yang sekarang ada adalah pertarungan antara kekuatan- kekuatan politik bukanlah pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial-politik yang memberikan ruang bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran masa lalu, melainkan pertarungan antara kepentingan elit politik untuk mempertahankan posisi politik, transaksi kepentingan elit politik, patronase politik dan terutama politik uang. Pertarungan antar kekuatan sosial-politik di dasarkan pada upaya memperjuangkan aspirasi para konstituennya, misalnya PDI Perjuangan tentu akan berjuang untuk mengungkap, menangkap dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat pada kasus 27 Juli 1996, di mana para konstituen mereka menjadi korban. Atau sejumlah partai politik akan memperjuangkan penghentian aksi-aksi penggusuran, di mana banyak konstituen partai politik justru menjadi korban penggusuran. Tapi fakta-fakta empiris yang bisa dilihat adalah Fraksi PDI-Perjuangan di DPRD I DKI Jakarta justru mendukung sepenuhnya Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta, padahal dengan jelas diketahui bahwa Sutiyoso adalah salah satu petinggi militer Kodam Jaya yang harus ikut bertanggung jawab dalam Persitiwa 27 Juli 1996. Juga sejumlah partai besar “meng-amini” terjadinya banyak penggusuran, meskipun banyak konstituen parta-partai politik menjadi korban penggusuran.

Atau contoh paling kini adalah ditetapkannya keadaan darurat militer di Aceh, di mana hampir semua elemen dan komponen masyarakat Aceh menyuarakan penolakan mereka terhadap diberlakukannya status darurat Atau contoh paling kini adalah ditetapkannya keadaan darurat militer di Aceh, di mana hampir semua elemen dan komponen masyarakat Aceh menyuarakan penolakan mereka terhadap diberlakukannya status darurat