Pendeketan dan Aliran Yang Ada Dalam Sos

BUKU AJAR
SOSIOLOGI HUKUM
Kode Mata Kuliah

:

HM.101

Pengajar:
M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO
NIPS: 137 030 233

e-mail: chairulbasrun@gmail.com
telp: 085243025000

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS IQRA BURU
2013

Pendekatan Dan Aliran Yang Ada Dalam Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan
Dalam berbagai disiplin ilmu yang ada sudah barang tentu terdapat pendekatan yang
dipakai guna mencapai tujuan dari disiplin ilmu tersebut. Pendekatan dipergunakan untuk
mempermudah mengkonstruksi struktur pemahaman, dengan memperhatikan ruang lingkup
serta objek yang ingin dipahami.
Aliran Sosiologis dalam ilmu hukum – yang karena berasal dari pemikiran orang
Amerika bernama Roscoe Pound yang dalam bahasa asalnya disebut The Sociological

Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam Jurisprudence yang berkembang di
Amerika Serikat sejak tahun 1930-an.
Aliran dalam Ilmu Hukum ini disebut Sociological karena dikembangkan dari pemikiran
dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes perintis pemikiran realisme dalam ilmu
hukum yang mengatakan bahwa sekal”pun “ukum ”tu memang benar merupakan sesuatu
yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperativimperativ logika, namun t“e l”fe of law “as not been log”c, ”t ”s exper”ence .
Adapun yang dimaksudkan dengan experience oleh Holmes di sini tak lain adalah The

social atau mungkin pula The socio-psychological experience.
Maka dapatlah dimengerti mengapa dalam Sociological jurisprudence ini sekalipun
fokus kajian tetap dalam persoalan kaidah positif (berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk
mengembangkan sistem normatif hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna

kepentingan praktik profesional) faktor-faktor sosiologis lalu secara realistis (dan tak selalu
harus secara normatif-positvistik) mesti senantiasa ikut diperhatikan di dalam setiap kajian
(Wignjosoebroto, 2002).

B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendekatan Hukum Sebagai Nilai
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Eksistensi dan
kemampuan hukum lalu diukur seberapa jauh ia telah mewujudkan keadilan tersebut. Dengan
demikian, moral keadilan telah menjadi dasar untuk mensahkan kehadiran dan bekerjanya
hukum (Raharjo 2010; 66).
Dalam buku Sosiologi karangan Satjipto Raharjo (2010) dikemukakan keberatan Donald
Black, seorang Sosiolog Hukum Amerika terkemuka yang sama sekali menolak untuk
membicarakan nilai-nilai, sebab Sosiologi Hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu tentang
fakta, jadi sesautu itu harus berdasarkan pada apa yang dapat diamati dan dikualifikasikan.
Di Amerika Serikat, moral untuk menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan
”nd”v”du mela“”rkan perad”lan p”dana adversary s”stem dan apa yang d”sebut exclusionary

rules . Dem” menjunjung kemerdekaan individu, maka dalam peradilan pidana fakta dan
kebenaran dapat dipinggirkan oleh pertimbangan melindungi hak-hak tersangka (Raharjo

2010; 71).

Pendekatan Hukum Sebagai Institusi
Dalam Sosiologi Hukum, institusi adalah suatu sistem hubungan sosial yang
menciptakan keteraturan dengan mendefenisikan dan membagikan peran-peran yang saling
berhubungan di dalam institusi. Para pihak dalam institusi menempati dan menjalankan
perannya masing-masing, sehingga mengetahui apa yang diharapkan orang darinya dan apa
yang dapat diharapkannya dari orang lain. Institusi menjadikan usaha untuk menghadapi
tuntutan-tuntutan dasar dalam kehidupan tersebut berlangsung tertib, berkesinambungan
dan bertahan lama (enduring). keadaan yang demikian itu dimungkinkan, karena institusi
memuat peraturan, prosedur dan praksis. Institusi tersusun dari (1) nilai, (2) kaidah, (3) peran
dan (4) organisasi.

Institusionalisasi adalah usaha untuk membuat institusi menjadi mapan. Persoalan yang
dihadapi negara berkembang pada umumnya adalah bagaimana membuat hukum itu
memiliki otoritas yang cukup agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Raharjo 2010;
83-84).

Aliran-Aliran Yang Mempengaruhi Terbentuknya Sosiologi Hukum
Mazhab Formalitas

Tokoh terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon Austin (1790-1859), ia mengatakan
bahwa: hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasan tertinggi ( law is

command of the lawgivers), atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum
adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, perintah mana yang
dilakukan oleh mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin
menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dan karena
ajarannya dinamakan Analitical Jurisprudence. Ajaran Austin kurang/tidak memberi tempat
bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:
1.

Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia

2.

Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia, hukum ini terbagi lagi menjadi 2
(dua) bagian:
a.


Hukum yang sebenarnya; hukum yang tepat disebut sebagai hukum, jenis
hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sebenarnya
mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum yang
sebenarnya terbagi 2 (dua):
Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan
pemerintah dan lain-lain.
Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang
dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya,

misalnya: hak kurator terhadap badan/orang dalam kuratele atau hak wali
terhadap orang yang berada dibawah perwalian.
b.

Hukum yang tidak sebenarnya; adalah bukan hukum yang merupakan hukum
yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan
yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.

Tokoh yang kedua adalah Hans Kelsen (1881), dari unsur Sosiologis berarti bahwa ajaran
Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
didalam masyarakat. Ajaran Kelsen memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata

yang sama sekali terlepas dari das sein / kenyataan sosial. Hukum merupakan sollens

kategori (seharusnya) dan bukan seins kategori (adanya): orang menaati hukum karena ia
merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain
merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana
seharusnya.
Ajaran stufen theory berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkhis
dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum
lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar. Ringkasnya ajaran Kelsen ini
adalah:
o

Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai
mahluk rasional.

o

Hukum t”dak mempersoalkan baga”mana “ukum se“arusnya (what the law ought

to be), tetap” apa “ukumnya (what the law is).

o

Hukum tidak lain adalah kemauan negara, namun orang taat kepada hukum bukan
karena negara menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai
perintah negaranya.

o

Bagi Kelsen Hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan dengan isi (materia).

o

Suatu hukum dapat saja tidak adil, namun tetap saja merupakan hukum karena
dikeluarkan oleh penguasa.

o

Keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum.

o


Kelsen dipandang sebagai tokoh pencetus Teori Jenjang (Stufentheorie), yang
semula diperkenalkan oleh Adolf Merkl.

o

Hukum adalah suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida.
Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih
tinggi.

o

Semakin tinggi suatu norma, maka akan semakin abstrak sifatnya, sebaliknya
semakin rendah suatu norma, maka akan semakin konkrit.

Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
Mazhab sejarah dan kebudayaan ini adalah senyatanya mempunyai pemikiran yang
bertentangan dengan mazhab formalisme. Dalam hal ini mazhab sejarah dan kebudayaan
menekankan bahwasanya hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah
dan kebudayaan dimana hukum tersebut timbul.

Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi oleh tiga hal :
1.

Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada hukum alam yang dipandang tidak
memperhatikan fakta sejarah.

2.

Semangat revolusi Perancis yang menentang tradisi dan lebih mengutamakan
rasio.

3.

Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena undang-undang dipandang telah
dapat memecahkan semua masalah hukum.

Beberapa pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) berasala
dari jerman, tokoh ini juga ini dianggap sebagai pemuka sejarah hukum (bahkan Georges
Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha adalah peletak dasar mazhab sejarah ini). Ia
berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat

(valksgeist). Yang mana semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan serta bukan
berasal dari pembentukan undang-undang. Ringkasnya pendapat Savigny yaitu:

o

Hukum adalah suatu produk dari kekuasaan yang tidak disadari (unconscious

force).
o

Hukum beroperasi secara diam-diam di tengah masyarakat.

o

Sumber utama hukum adalah adanya kesetiaan dari anggota masyarakat,
kebiasaan dan kesadaran dari anggota masyarakat.

o

Di setiap masyarakat, tradisi dan kebiasaan tertentu yang secara terus menerus

dipraktekkan berkembang menjadi peraturan hukum dan diakui oleh organ-organ
negara.
Tokoh lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888), ia mengatakan

bahwa perkembangan hukum dari status kontrak yang sejalan dengan perkembangan
masyarakat yang mana masih sederhana kepada masyarakat yang senyatanya sudah modern
dan kompleks serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada masyarakat sederhana secara
berangsur-angsur akan hilang dan berkembang kepada kaidah-kaidah hukum sudah modern
dan kompleks.
Mazhab ini membangun kajian-kajian adaptif atas masyarakat yang relatif bersifat
statis homogen, dengan masyarakat yang komplek (modern), dinamis dan relatif heterogen.
Sehingga sangat membantu dalam perkembangan bahkan memprediksi bangunan Sosiologi
hukum baik secara teoritis maupun secara aplikatif. Sehingga apa yang dikatakan Satjipto
Rahardjo bahwa benturan-benturan antara hukum dan negara dengan masyarakat dengan
segala budayanya yang lebih alami memang tidaklah dapat dihindari, apalgi suatu negara dan
bangsa yang sangat majemuk (seperti Indonesia), makanya agar proses hukum itu tidak
dibatasi sebagai proses hukum, melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo adalah
juga proses sosial.
Puchta adalah murid Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran
gurunya. Ia berpendapat sama dengan gurunya, bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa
bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut menurutnya dapat berbentuk:
1)

Langsung berupa adat istiadat,

2)

Melalui undang-undang,

3)

Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Aliran Utilitarianisme
Prinsip aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan
dan mengurangi penderitaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jeremy Bentham (17481832) yaitu:

Dalam teor”nya tentang “ukum, Bent“am menggunakan sala“ satu pr”ns”p dar” al”ran
utilitarianisme yakni bahwa manusia bertindak untul memperbanyak kebahagiaan dan
mengurang” pender”taan… set”ap keja“atan “arus d”serta” dengan hukuman-hukuman
yang sesuai dengan kejahatan tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan
t”dak leb”“ dar” apa yang d”perlakukan untuk mencega“ terjad”nya keja“atan .

Jeremy Bentham (1748-1832)
Berpendapat : Bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kerusakan. Tugas Hukum
adalah memelihara kebahagiaan dan mencegah kejahatan. Menurutnya pemidanaan haruslah
bersifat spesifik untuk tiap jenis kejahatan, dan seberapa besar pidana itu boleh diberikan, hal
ini tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah timbulnya kejahatan.
Yang menjadi kelemahan teori Bentham ini adalah bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan
dan penderitaan itu sendiri diinterpretasikan relatif berbeda antara manusia yang satu dengan
yang lainnya. Sehingga keadilan dan penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti
sama bagi setiap manusia.
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von Ihering (1818-1892) yang ajarannya
disebut sosial utilitarianisme. Ihering berpendapat:

… “ukum sebaga” sarana untuk mengendal”kan ”nd”v”du-individu agar tujuannya sesuai
dengan tujuan masyarakat d”mana merela menjad” warganya… “ukum juga merupakan
suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-peruba“an sos”al .

Rudolf Von Jhering (1818-1892)
Jhering mengajarkan tentang utilitarian sosial. Mulanya ia penganut paham sejarah
(yang dikembangkan oleh Savigny). Namun pada akhirnya ia justru menentang pendapat dari
Savigny. Menurut Savigny hukum Romawi adalah pernyataan dari jiwa bangsa Romawi, dan
oleh karena itu ia adalah hukum nasional (Romawi). Hal inilah yang dibantah oleh Jhering,
Jhering mengatakan seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa
terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya.
Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Hukum Romawi pada hakekatnya juga
mengalami hal ini. Suatu barang tentu lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat nasionalis
tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan berikutnya hukum itu makin mendapat ciri
universal.
Lebih lanjut Jhering mengatakan bahwa hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum
Jerman bukan karena hukum Romawi bersifat nasional, akan tetapi justru karena hukum
Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan aturan hidup lain, sehingga
hukum tersebut lebih bersifat universal daripada nasional (Darmodiharjo, 1999: 112-116).

John Stuart Mill (1806-1873)
Pemikirannya dipengaruhi oleh pertimbangan psikologi. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia mencari kebahagiaan. Yang ingin dicapai manusia bukanlah benda atau sesuatu hal
tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya. Ia dalam pemikirannya menjelaskan
hubungan antara keadilan, kegunaan, kapentingan individu dan kepentingan umum.

Aliran Sociological Jurisprudence
Ajaran-ajaran aliaran Sociological Juriprudence berkembang dan menjadi popular di
Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-1964). Roscoe berpendapat, bahwa
hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk
mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi
secara maksimal.

Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (Law in Action)
yang dibedakannya dengan hukum tertulis (Law in The Books). Pembedaan ini dapat
diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum subtansif maupun hukum ajektif.
Ajarannya tersebut menonjolkan masalah, apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan polpola perikelakuan. Ajarannya tersebut dapat diperluas lagi sehingga mencakup masalah
keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan
dengan efek-efeknya yang nyata.
Baik Sosiological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum mempunyai pokok perhatian yang
sama. Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian
sosial, bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan-pertentangan.
G. W Paton lebih suka menggunakan istilah metode fungsional untuk menggantikan
istilah Sociological Jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kerancuan
antara Sociological Jurisprudence dengan Sos”olog” Hukum (Sociology of law). Menurut Lily
Rasjidi, ada perbedaan antara keduanya, Sosiologi Hukum memandang hukum sebagai gejala
soaial

belaka,

dengan

pendekatan

dari

masyarakat

ke

hukum,

untuk Sosiological

Jurisprudence mendekati hubungan hukum dengan masyarakat, mulai dari hukum ke
masyarakat (Rasjidi, 1993:84). Pelopor aliran Sosiological Juriprudence adalah Eugen Ehrlich
dan Roscoe Pound.

Eugen Ehrlich (1862-1922)
Ia melihat adanya perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat di pihak yang lain. Titik pusat perkembangan hukum tidak terletak
pada undang-undang, putusan hukum atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri.
Menurutnya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Aliran Realisme Hukum
Aliran

ini

diprakarsai

oleh Karl

Liewellyn (1893-1962), Jereme

Frank

(1889-1957)

dan Justice Oliver Wendell Halmes (1841-1935) ketiga orang tersebut berasal dari Amerika.
Konsep mereka sangat radikal tentang proses peradilan, dikatakannya bahwa hakim-hakim
tidaklah hanya menentukan hukuman, tetapi bahkan membentuk hukum. Seorang hakim
selalu harus memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dalam
menentukan pemeriksaan di pengadilan dan pihak-pihak mana yang akan menang dalam
suatu perkara. Sering kali suatu keputusan hakim telah mendahului penggunaan prinsipprinsip hukum yang formal. Kemudian konsep keadilan dirasinalisasikan di dalam suatu
pendapat tertulis.
Aliran realisme hukum sangat memperhatikan tentang konsep keadilan, namun secara
ilmiah mereka menyadari bahwa keadilan, atau hukum yang adil itu sendiri paling tidak sangat
sulit ditentukan kalau tidak dikatakan tak bisa ditetapkan. Sementara itu tugas hukum tidak
lebih hanyalah proses dugaan bahwa apabila seseorang berbuat dan atau tidak berbuat
sesuatu, maka dia akan menerima derita sebagai sanksi dan atau sebaliknya sesuai dengan
proses keputusan yang ditetapkan.
-

Essensi hukum ada pada penerapannya, yang terdapat dalam putusan-putusan
pengadilan.

-

Keputusan-keputusan hakim sebagai essensi hukum diputuskan dan dilaksanakan
sesuai kebutuhan masyarakat.

-

Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya pada akar dari hukum itu sendiri,
yaitu yang berada di dalam kebutuhan masyarakat itu sendiri (in social need).

John Chipman Gray (1839-1915)
Gray adalah salah seorang penganut Realisme hukum di Amerika. Semboyannya
terkenal: All the law is judgemade law. Ia menyatakan di samping logika sebagai unsur
undang-undang, maka unsur kepribadian, prasangka dan faktor-faktor lain yang tidak logis
memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum.

Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Holmes memandang apa yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) itulah yang disebut
dengan hukum. Holmes juga menyatakan: Di samping norma-norma hukum bersama
tafsirannya, moralitas hidup dan kepentingan-kepentingan sosial ikut menentukan keputusan
para hakim.
Axel Hagerstorm (1868-1939)
Axel adalah tokoh Realisme Hukum Skandinavia. Pemikirannya tentang (realisme)
hukum dapat dilihat dari pendapatnya tentang bagaimana rakyat Romawi mentaati hukum.
Menurutnya, rakyat Romawi mentaati hukum secara Irrasional, yaitu hukum yang bersumber
dari Tuhan.

C. Penutup
Sosiologi Hukum adalah disiplin ilmu yang sudah sangat berkembang saat sekarang ini.
Pada prinsipnya, sosiologi hukum (Sociology Of Law) merupakan derivatif atau cabang dari
Ilmu Sosiologi, bukan cabang dari ilmu hukum. Ada studi tentang hukum yang berkenaan
dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi tidak disebut sebagai
Sosiologi Hukum, melainkan disebut sebagai Sociological Jurispudence.
Aliran Sosiologi Hukum yang melihat hukum sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas
dari kehidupan masyarakat, kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika proses
pembuatan maupun ketika diberlakukan. Sehingga muncul istilah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup ditengah masyarakat.
Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial merupakan sebuah ikhtiar melakukan
konstruksi hukum yang didasarkan pada fenomena sosial yang ada. Perilaku masyarakat yang
dikaji adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi
ini muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan
perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat perilaku masyarakat sebagai bentuk aksi
dalam mempengaruhi pembentukan sebuah hukum positif.

Ilmu-ilmu sosial yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis tergolong
sebagai ilmu hukum (dalam arti luas). Ilmu hukum pun dibagi ke dalam 2 kelompok yakni:
ilmu hukum normatif, yang juga popular disebut sebagai dogmatika hukum dan ilmu hukum
empirik. Kelompok disiplin ilmu yang masuk ke dalam socio-legal studies, masuk ke dalam
kelompok ilmu hukum empirik.
Dalam konsepsi Meuwissen, ilmu hukum atau dogmatika hukum adalah disiplin hukum
yang paling rendah tingkat abstraksinya. Sedangkan filsafat hukum adalah disiplin hukum
yang tingkat abstraksinya paling tinggi. Di tengah-tengah ilmu hukum dan filsafat hukum
terdapat teori hukum (Jurisprudence).
Penggolongan yang dirumuskan oleh Meuwissen tentulah bertetangan dengan
pendapat yang mengatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu yang masuk ke dalam studi
hukum perspektif sosiologis adalah anak dari induknya yang nota bene adalah ilmu sosial.
Sosiologi Hukum adalah anak dari Ilmu Sosiologi. Antropologi Hukum adalah anak dari
antrpologi budaya dan Sejarah Hukum adalah anak dari Ilmu Sejarah.