Fungsionalisme Pentingnya Persamaan dan indu (1)

Mata Kuliah:
TEORI ANTROPOLOGI
Dosen Pengampuh:
Dr. Munsi Lampe. MA
Oleh:
Ilham Amir Arsyad
NIM: P1900213406
EMPAT ABSTRAKSI DALAM TEORI FUNGSIONALISME MALINOWSKI
Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh yang mengembangkan teori
fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture (Koentjaraningrat,
1980:162). Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan
itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya, dalam proses
penjelasannya, Malinowski mencoba membagi kedalam tingkatan abstraksi mengenai
fungsi kebudayaan, antara lain:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku
manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat, dalam abstraksi pertama ini,
malinowski mencoba menjelaskan bagaimana suatu adat, pranata atau unsur
kebudayaan dalam masyarakat saling terkait atau mempengaruhi secara otomatis
dalam pelaksanaannya. Contohnya dalam Masyarakat Kajang, secara kontekstual proses

pemenuhan kebutuhan (mata pencaharian) secara normatif memiliki mekanisme yang
diatur dalam aturan adat atau mata pencaharian yang saling terkait dengan sistem
pengetahuan masyarakat kajang.

Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari
payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat
Kajang yakni, “Pasang”. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran
Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup? Hal yang membuktikan bahwa
setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan
sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat
nantinya. Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya
memang diartikulasikan melalui media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan
pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu
sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan
uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem nilai
(value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat
(institution). Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas
dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa
dunia


yang

diciptakan

oleh

Turie’

A’ra’na

beserta

isinya

haruslah

dijaga

keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan
mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya, contoh

lain tergambar dalam konteks menuai padi dalam kebudayaan bertani di Sidrap, dapat
dijelaskan bagaimana kebudayaan tani di Sidrap memiliki aturan sebelum dan setelah
panen, Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada
upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase
sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit
padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk

menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan
massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan
ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi
dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan
Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang
berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan
Mappadendang yan merupakan sebuah kegaiatan dimana semua masyarakat bersamasama merayakan pesta panen sebagai berwujudan rasa syukur kepada Sang Maha
Kuasa yang dianggap telah memberi hasil panen.
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau
pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang di konsepsikan oleh warga
masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan merupakan seebuah hal sakral dan
menjadi kebutuhan manusia secara naluriah dan sebagai mekanisme normatif dalam

reproduksi. Melirik konteks dari proses perkawinan dalam masyarakat Bugis yang
kerap di sebut “botting” berbeda dengan konsep perkawinan budaya lain, dimana salah
satu perbedaannya adalah “panai’” (uang naik) dengan makna sebagai sebuah
kesanggupan dan keseriusan lelaki meminang pasangannya, dalam konteks tingkatan
abstraksi kedua menjelaskan secara ekonomi lelaki harus dipandang mapan (termaknai
dari jumlah uang panai’) oleh keluarga mempelai wanita dalam rangka menuju
kejenjang perkawinan (botting), abstraksi kedua menjelaskan bagaimana konsepkonsep dalam masyarakat saling terkait satu sama lain dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat tersebut.

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk
berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu. Malinowski
dengan teori fungsionalism-nya mencoba menggambarkan konsepsi-konsepsi yang di
pahami masyarakat (emik) dalam rangka mencapai kebutuhannya, contohnya Acara
tudang sipulung adalah yang dibuat dalam rangkaian pesta panen rakyat atau
masyarakat suku bugis. Setelah melaksanakan panen raya masyarakat melakukan ritual
adat sebagai rasa syukur kepada maha pencipta yang telah memberikan hasil panen
yang melimpah sekaligus juga sebagai penghargaan bagi para petani yang telah bekerja
keras mengelola usaha taninya, yakni dengan ditunjukkan hasil panen yang bagus.
Pelaksanaan tudang sipulung biasanya dilakukan dalam suatu areal terbuka atau

lapangan atau biasa juga dilakukan di kolong rumah (panggung) pemuka adat atau
kepala pemerintahan setempat. Peserta yang hadir biasanya dari seluruh petani dan
keluarga tani kampung atau daerah setempat, semuanya berkumpul untuk
memeriahkan acara. Mereka berbondong-bondong bersama para keluarganya, dengan
membawa seluruh anak-anak mereka. Di forum Tudang Sipulung inilah dirumuskan
pola-pola pertanian yang akan dilakukan. Mulai dari waktu menanam, jenis benih yang
disemai, sampai kepada pola pembagian irigasi, semuanya disusun dan disepakati lewat
Tudang Sipulung. Tudang sipulung membuat petani merasa sangat terbantu, yakni
disamping ucapan rasa syukur atas hasil panennya juga mereka dapat memperoleh ilmu
dan wawasan yang lebih. Harapan petani juga sama yakni berharap agar pada musim
tanam

berikutnya

dapat

memperoleh

hasil


panen

yang

lebih

melimpah.

Sebagai petani kecil yang menggantungkan hidupnya kepada hasil panen, baik itu untuk

dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual jika ada kelebihan. Petani akan menjual hasil
panennya kepada tengkulak atau pedagang pengumpul yang bersedia menampungnya.
Selain untuk tujuan di atas, acara tudang sipulung juga memberikan peluang bagi
terciptanya hubungan yang erat antara pemerintah dengan para petani yang
bersangkutan. Untuk itu petani akan merasa terbantu dalam hal kebijakan pemerintah
yang berpihak kepada petani. Silaturahmi antara pemerintah dengan para petani sangat
membantu kepada peningkatan produksi hasil panen daerah, petani sebagai pelaku
utama perlu diberi perhatian khusus agar mereka semakin bersemangat untuk
berusaha


tani.

Ritual yang biasanya dilakukan di dalam acara tudang sipulung ini ada beberapa poin,
selain kegiatan penyuluhan juga ada kegiatan penting yakni mappano’ ase’ (serah
panen), kegiatan ini dilakukan dalam rangkaian acara syukuran. Padi yang diserah
adalah padi hasil panen petani, padi biasanya di simpan di rumah ketua adat setempat
atau yang dipercayakan. Selebihnya hasil panen dapat dikonsumsi atau dijual,
Sedangkan untuk padi yang diserah nantinya akan dijadikan lagi sebagai benih bibit
padi baru untuk musim tamam padi tahun berikutnya.
4. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat
abstraksi keempat mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan dasar
“biologis” manusia. Dalam konteks pemenuhan dasar manusia di era modernitas banyak
hal yang perlu dicapai untuk memenuhi kebutuhan dasar, contohya bekerja (mata
pencaharian), berpendidikan (sistem pengetahuan), menaati aturan dan memiliki
jaringan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasariah, seperti makan, minum, dan
keamanan.