UNSUR TEKS MEDIA MASSA doc
UNSUR TEKS MEDIA MASSA
KORAN JAWA POS DAN REPUBLIKA
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi
Tugas UTS 2016/2017 Analisis Wacana
Dosen Pengampu:
Cicik Trijayanti, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh:
FATHOR RAHMAN
NIM: 140621100083
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekarang Indonesia telah memasuki era di mana media massa mengalami
mengalami perkembangan sangat pesat, baik dari sisi teknologi media maupun
konten media itu sendiri. Media massa yang jumlahnya semakin meningkat
hingga saat ini, menuntu mahasiswa untuk lebih cerdas menggunakan medua.
Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mampu mengoperasikan media, namun
juga kritis terhadap konten-konten yang ada di dalamnya. Pesan-pesan yang
disampaikan oleh medua massa sangat banyak dan beragam. Selain itu, perlu
diketahui bahwa media massa sesungguhnya lebih dari sekedar merefleksi realitas
melainkan merepresentasikan realitas lainnya.
Semua media massa merekonstruksi realitas, namun hasil konstruksi itu tentu
saja tidak sam dengan fakta. Bahasa yang digunakan media kha untuk setiap
bentuk komunikasi. Khalayak menegosiasi makna, dan media mengandung bias
nilai dan komersial. Semua itu menunjukkan bagaimana media massa di Indonesia
bukan menjalan peran merefleksi realitas, melainkan merepresentasikan realitas.
Konsekuensinya, media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan
kekuasaan untuk merumuskan tentang realitas politik, cultural, dan sosial
Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang
dialami rakyat banyak.
Media di Indonesia memang sudah menjadi hegemoni penguasa ataupun
pengusaha dalam membentuk opini public, karena media merepresentasikan
kepentingan pemilik saha, para elit dan para politikus dalam melanggengkan
kekuasaan dan pengaruhnya di bumi pertiwi ini.
Berangkat dari beberapa argumen di atas, maka perlu adanya analisis terkait
tajuk yang ditulis oleh redaktur pada suatu koran.
Kedua koran tersebut cukup
berkuasa di kawasan jawa timur.
1.2 Rumusan Masalah
a) Bagaimana Struktur Teks Tajuk Rencana Koran Jawa Pos Edisi 11 Oktober
2016?
b) Bagaimana Struktur Teks Tajuk Rencana Koran Republika 11 Oktober 2016?
c) Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Tajuk Rencana dari Kedua Koran
Tersebut?
d) Bagaimana Fungsi Bahasa dari Tajuk Rencana Kedua Koran Tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan
dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Djik adalah model yang sering
digunakan. Hal ini kemungkinan karena van Djik mengolaborasi elemen-elemen
sehingga didayagunakan dan dipakai secara praktis.
Di antaranya adalah struktur teks. Teks bukan suatu yang datang dari
langit, bukan juga ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi dibentuk dalam suatu
praktik diskursus, suatu praktik wacana. Elemen-elemen di dalam struktur teks ini
sebagi berikut.
a) Tematik
Tema termasuk ke dalam tingkatan analisis teks pertama yakni struktur
makro. Tema merupakan gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu
teks. Tema atau kadang disebut topik ini menggambarkan apa yang ingin
diungkapkan oleh pemberita dalam berita yang dibuatnya, (Eriyanto, 2012:
229).
b) Skematik
Tingkatan yang kedua dalam analisis wacana van Djik adalah superstruktur.
Skematik ini merupakan bagian dalam tingkatan superstruktur. Teks wacana
pada umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan serta akhir.
Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan
diurutkan sehingga membuat kesatuan arti, (Eriyanto, 2012: 232).
c) Latar
Latar termasuk dalam bagian tingkat analisis struktur mikro. Latar merupakan
bagian berita yang dapat memengaruhi semantik yang ingin ditampilkan.
Latar biasanya ditulis sebagai latar belakang berita atau peristiwa. Latar yang
ditulis tersebut menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa
oleh wartawan atau penulis. Latar dapat dijadikan alasan pembenaran gagasan
yang diajukan dalam suatu teks. Sebab itu, latar teks merupakan elem yang
berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh
wartawan, (Eriyanto, 2012: 235).
d) Detil
Detail juga termasuk dalam semantik. Detil ini merupakan wacana yang
berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorangan.
Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan
sikapnya dengan cara yang implisit.
e) Maksud
Elemen maksud, hampir sama dengan elemen detil. Bedanya, jika dalam detil
informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan detil
panjang, maka dalam elemen Maksud, informasi yang menguntungkan
komunikatorakan diuraikan secara eksplisit. Sebaliknya, informasi yang
kurang mendukung akan diuraikan secara sama atau implisit, (Eriyanto, 2012:
240-241).
f) Koheren
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks.
Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren. Fakta yang tidak berhubungan
sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya,
(Eriyanto, 2016: 242).
g) Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional di antaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat
sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua merupakan
penjelas dari kalimat pertama.
h) Koherensi Pembeda
Kalau koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua
peristiwa dihubungkan atau dijelaskan, maka koherensi pembeda
berhubungan dengan pertanmyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu
hendak dibedakan.
i) Pengingkaran
Pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan
bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara
implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukkan seolah
wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan
argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuan tersebut, (Eriyanto,
2012: 249).
j) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir
logis, yaitu prinsip kausalitas. Prinsip ini menanyakan apakah A yang
menjelaskan B, atau B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini jika
diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan)
dan predikat (yang diterangkan).
k) Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan
menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang
dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang
dalam wacana, (Eriyanto, 2012:254).
l) Leksikon
Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta
umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Pilihan kata
yang dipakai menunjukkan sikap dan ideology tertentu. Peristiwa sama dapat
digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda, (Eriyanto, 2012: 255).
m) Praanggapan
Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks. Hampir serupa dengan latar yang berupaya mendukung
pendapat dengan jalan memberikan latarbelakang pada suatu teks.
Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis
yang dipercayai kebenarannya, (Eriyanto, 2012: 256).
n) Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau
ditonjolkan (apa yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat
diamati dari teks. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat
bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain.
o) Metafora
Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan
pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan
sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita.
2.2 Analisis Teks Koran Jawa Pos Edisi 11 Oktober 2016
Setelah Ahok
Minta Maaf
AHOK akhirnya meminta maaf. Meski semula tak merasa bersalah terkait
ucapannya tentang Al-quran surah Al Maidah 51, toh ya Ahok menyatakan, “Saya
sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya
sampaikan mohon maaf”.
Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja
Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah
hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang
solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para
kandidat.
Cukup banyak yang perlu dibicarakan dalam setiap kampanye pilkada,
termasuk di DKI. Pekerjaan yang mengurus rakyat itu luar biasa banyak. Untuk
itu, Ahok-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan
Anies Baswedan-Sandiaga Uno perlu didorong untuk berada dir el kerja konkret.
Bagaimana mereka akan mengatasi kemacetan, banjir, transparansi anggaran,
reklamasi, hak nelayan, hak rakyat kecil, partisipasi masyarakat, dan aneka kerja
pemerintahan lainnya.
Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara. Mengajak, yakni
lewat kampanye atau pengunggulan kandidat, boleh saja. Tetapi akan produktif
bila terpacak pada program yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan
karena keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak boleh
dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.
Coblosan Pilgub DKI 15 Februari 2017 itu jadi pelajaran penting. Karena
panggungnya Jakarta, seakan seluruh anak bangsa merasa berkepentingan. Tak
peduli bahwa yang punya hak pilih hanya yang ber-KTP DKI. Raihan Joko
Widodo (Jokowi) yang menjadikan kursi gubernur DKI sebagai lompatan ke-RI
membuat panggung Pilgub DKI makin seru dan gampang panas.
Karakter dan lisan Ahok yang “kayak gitu” turut mengundang serangan
yang melebar ke mana-mana. Ahok benar-benar akan diuji di bilik suara, apakah
masih direstui rakyat. Sebab, dalam Pilgub DKI 2012, diyakini pendulang suara
utama adalah Jokowi, pasangan Ahok. Memang Ahok dianggap sudah melakukan
banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.
Hal-hal konkret seperti itu yang perlu banyak dikupas dalam perdebatan
kampanye (dan prakampanye) Pilgub. Jangan tergoda overdosis bicara SARA
(yang sebagian memang dari sononya, bukan?). Rakyat perlu diajak makin cerdas
untuk
mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap
masyarakat.
Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya juga jadi tuntunan. (*)
2.2.1
Tematik
Adanya pilgub DKI Jakarta yang akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017
ini telah menuai banyak kontroversi, terutama dari kandidat Basuki Tjahaja
Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok. Tema yang terkandung dalam Tajuk
Rencana “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah “bagaimana masyarakat mampu
bersikap mandiri dalam pilgub; tidak terprovokasi. Penulis ingin menyampaikan
kepada pembaca bahwa momentum pilgub ini, masyarakat DKI Jakarta harus
secara cerdas dalam menghadapinya. Tidak boleh terkecoh dengan isu-isu yang
berbau SARA (provokasi) kemudian memarginalkan satu pihak tanpa telaah yang
objektif dari berbagai sudut pandang.
“Ahok Sudah Minta Maaf” merupakan judul yang disajikan oleh penulis
untuk mengangkat kembali citra Ahok yang termarginalkan oleh pernyataannya
sendiri tentang Al-quran surah Al-maidah. Namun, ternyata penulis masih tetap
menggunakan prinsip keberimbangan. Artinya, pihak lawan dari Ahok juga dibela
agar tidak terkesan timpang sebelah seperti pada kutipan berikut.
“Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi
(langkah hukum itu sah, bukan?)”.
“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan.
Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Penulis berusaha tidak ikut terjerat dalam isu-isu yang sarat akan intrik dan
profokasi satu pihak. Sebab itu, penulis menekankan pada opini pada masyarakat
untuk menjadi peserta pilgub yang cerdas. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipat
berikut.
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Dominasinya
harus bicara kerja dan solusi.”
Kemudian, penulis mengajak pembaca (terutama penduduk DKI) untuk lebih
melihat pada aksi nyata atau rekam jejak yang telah dilakukan oleh masing-
masing kandidat. Tentu penulisan tersebut sebagai sarana pendukung terhadap
‘tema utama’ yang telah ditetapkan oleh penulis. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipat berikut.
“Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja
konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.
Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat
Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”
2.2.2
Skematik
Mula-mula redaktur sebagai penulis menampilkan judul “Setelah Ahok
Minta Maaf”. Kemudian, penulis menampilkan lead berupa ringkasan apa yang
ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara utuh. Hal itu dilakukan
dengan menampilkan kalimat verbal langsung dari Ahok terkait fakta permintaan
maafnya.
“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang
merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf”.
Setelah itu, pada paragraph kedua, penulis juga menyuguhkan pihak yang
mempermasalahkan Ahok.
“Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi
(langkah hukum itu sah, bukan?).”
Hal ini merupakan strategi bagi penulis dalam mencapai tema yang dipilih, yakni
bagaimana masyarakat mampu bersikap mandiri dalam pilgub; tidak terprovokasi.
“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.
Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan
dilakukan para kandidat.”
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak
boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”
Proses selanjutnya yakni kembali pada permasalahan yang terjadi, yaitu
pesoalan apa yang telah dialakukan oleh Ahok.
“Karakter dan lisan Ahok yang “kayak gitu” turut mengundang
serangan yang melebar ke mana-mana. Ahok benar-benar akan
diuji di bilik suara, apakah masih direstui rakyat. Sebab, dalam
Pilgub DKI 2012, diyakini pendulang suara utama adalah
Jokowi, pasangan Ahok. Memang Ahok dianggap sudah
melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa
dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Namun, itu hanya sebagai stimulus saja untuk dijadikan referensi bagi masyarakat
dalam membentuk pola pikir dan sikap mandiri tentang pemilu. Akhirnya, pada
bagian akhir, penulis kembali pada alur dan tema utama.
“Hal-hal konkret seperti itu yang perlu banyak dikupas dalam
perdebatan kampanye (dan prakampanye) Pilgub. Jangan
tergoda overdosis bicara SARA (yang sebagian memang dari
sononya, bukan?). Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk
mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap
masyarakat.”
“Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat
Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”
Tentu dengan menempatkan tema utama pada alur terakhir, pembaca secara tidak
sadar diberi kesan bahwa mereka harus memiliki pola pikir yang sama dengan
penulis.
Skematik yang telah dirancang dan ditulis tersebut akhirnya membentuk
satu kesatuan yang koheren dan padu. Apa yang diungkap dalam superstruktur
pertama didukung oleh bagian-bagian lain dalam berita, (Eriyanto, 2012: 233).
2.2.3
Latar
Latar dalam opini atau tajuk rencana “Setelah Ahok Minta Maaf” ini muncul
pada kalimat, bagaimanapun, pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya juga jadi tuntunan. Penulis ingin menyampaikan bahwa merupakan
hal biasa jika DKI akan menjadi rebutan para calon pemimpin. Karena melalui
DKI yang merupakan ibukota Negara, tentu citra yang dihasilkannya pun akan
besar. Tentu juga hal itu akan cukup berpengaruh jika mereka hendak
mencalonkan diri sebagai presiden RI.
Dari asumsi itulah, penulis ingin menegaskan bahwa rakyat harus jeli
terhadap permasalah yang ada. Adanya “gesekan” antar kandidat pasti tidak akan
terakkan. Oleh sebab itu, kembali penulis menyampaikan bahwa masyarakat
haruslah cerdas untuk bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan hak suaranya
nanti.
2.2.4
Detail
Detil yang hendak disampaikan penulis dalam tajuk “Setelah Ahok Minta
Maaf” adalah:
“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.
Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan
dilakukan para kandidat.”
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak
boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”
“Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja
konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.”
“Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat
Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”
Kalimat pertama, gagasan tentang pentingnya telaah rekam jejak para
kandidat tidak begitu diuraikan secara detil. Kalimat kedua, barulah detil itu
terlihat dari bagaimana penulis berpendapat bahwa sebagai wujud demokrasi yang
sportif hendaknya masyarakat tidak saling menjatuhkan dukungan lawan. Setujutidak-setuju terhadap isu yang beredar, penulis lebih menyarankan agar
masyarakat sampaikan melalui pemilihan langsung di bilik suara atas hak
suaranya. Kalimat ketiga, barulah penulis menyampaikan maksud dari pemaparan
kalimat satu dan dua bahwa rakyat perlu berpikir cerdas untuk mengoreksi secara
objektif dari masing-masing kandidat. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak
muda dibohongi dan terbohongi oleh isu yang ada. kalimat keempat, penulis
memberikan saran dan penutupnya, bahwa DKI adalah kota yang bersar dengan
tanggungjawab yang besar pula. Bisa jadi hal itu adalah ajang bagi politisi untuk
medobrak popularitas di media untuk selanjutnya menuju ke meja Presiden
Republik Indonesia. Oleh sebab itu, maka tidak ayal jika meski bukan penduduk
yang berdomisili Jakarta seakan ikut andil dalam prosesnya.
2.2.5
Maksud
Elemen maksud yang terdapat dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf’ dapat dilihat
pada tabel berikut.
Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk
Ekplisit
mengukur kinerja konkret serta rekam
jejak perlakuan terhadap masyarakat.
Kita hargai permintaan maaf sosok
bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama
Implisit
itu. Kita hargai juga yang membawa kasus
tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah,
bukan?).
Tabel di atas menunjukkan dua contoh kalimat yang ekplisit dan implisit.
Kalimat pertama digambarkan secara jelas bahwa rakyat perlu cerdas dalam
mengukur kinerja konkret serta rekam jejak masing-masing kandidat atas
pelayanannya kepada masyarakat. Kalimat kedua, penulis secara tidak langsung
mengajak pembaca atau masyarakat agar tidak terjebak dan larut dalam
permasalahan politik yang terjadi. Tentu tujuannya adalah agar pembaca atau
masyarakat mampu berpikir cerdas sesuai dengan kalimat eksplisit tadi yang
sesuai dengan tema yang ambil.
2.2.6
Koherensi
Bentuk koherensi yang terkandung dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf”
adalah pada kutipan berikut.
“Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki
Tjahaja Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi
(langkah hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.
Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan
dilakukan para kandidat.”
Kalimat pertama dan kalimat kedua saling bertentangan. Kalimat pertama
seakan membela Ahok dan kalimat kedua seakan membela pihak oposisi. Namun
pada kalimat ketiga dengan menggunakan konjungsi “Tapi” pada awal kalimat,
membuat kedua kalimat tadi menjadi berhubungan. Sehingga, maksud yang ingin
disampaikan akan selaras dengan tema.
2.2.7
Koherensi Kondisional
Koherensi Kondisional yang terkandung dalam tajuk “Setelah Ahok Minta
Maaf” adalah pada kutipan berikut.
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa
anggapan apapun dari
masyarakat terkait dengan isu yang beredar tentang kandidat gubernur DKI
Jakarta, agar dibesar-besarkan di luar. Lebih baik hal itu menjadi privasi masingmasing individu untuk diselesaikan di dalam bilik suara pada saat pemilihan tiba.
Sebab itu, penulis menjabarkan lebih lanjut tentang gagasannya melalui kalimat
berikutnya atau yang biasa disebut anak kalimat. Penjelas yang digunakan
merupakan penjelas yang positif, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak
boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”
2.2.8
Pengingkaran
Pengingkaran yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah
pada kutipan berikut.
“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan.
Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Pada kalimat pertama, penulis terkesan menyetujui Ahok yang mencalonkan
diri sebagai gubernur DKI. Penulis mengungkapkan opini bahwa Ahok memang
telah melakukan banyak perubahan. Namun, pada kalimat berikutnya, penulis
melakukan pengingkaran dengan berpendapat bahwa Ahok bisa saja melakukan
keberpihakan pada suatu partai, perusahaan, organisasi, dll. dalam melakukan
pembangunan di DKI Jakarta. Dengan kata lain, wartawan secara tidak tegas dan
eksplisit menyampaikan gagasannya kepada khalayak, (Eriyanto, 2012: 249).
2.2.9
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah
pada kutipan berikut.
“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.”
Kalimat di atas menitik tekankan pada kata “kita”. Kata tersebut berusaha untuk
mengajak ataupun penyatuan emosional sebagai usaha dari penulis. Sebab itu,
kata kita diletakkan pada awal kalimat. Dapat dikatakan penulis menerapkan
kalimat aktif dalam strategi penulisannya. Namun, akan berbeda jika seandainya
kalimat tersebut disusun seperti, Demokrasi yang solutif perlu kita fokuskan
kembali. Maka penitik tekanan di situ akan berkurang. Pembaca tidak akan merasa
terajak oleh penulis karena “kita” yang mengandung arti “penulis dan pembaca”
sudah diletakkan sebagai predikat. Maka jika demikian, penulis menggunakan
kalimat yang pasif dalam penulisannya.
2.2.10 Kata Ganti
Elemen kata ganti yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf”
adalah pada kutipan berikut.
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.”
Penggunaan kata ganti “kita” pada kutipan di atas menjadikan sikap
tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu.
Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk
menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap
komunitas/pembaca secara keseluruhan.
2.2.11 Leksikon
Leksikon yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” dapat cermati
pada kutipan berikut.
“Karakter dan lisan Ahok yang ‘kayak gitu’ turut mengundang
serangan yang melebar ke mana-mana.”
Kutipan di atas mengandung banyak unsure leksikon. Pemilihan frasa lisan Ahok
dapat diartikan sebagai bagaimana cara bicara Ahok. Namun, penulis
menggunakan pilihan kata lain agar tercipta suatu penekanan atau berkadar
emosional yang lebih. Apalagi, ditambahi frasa kayak gitu yang kental akan
penilaian yang subjektif akan mendukung terhadap interpretasi apa yang hendak
penulis inginkan pada diri pembaca. Selanjutmya, pemilihan frasa serangan dapat
diartikan sebagai respon negatif dari orang-orang atau pihak lain yang tidak
sependapat dengan Ahok. Namun, penulis kembali menggunakan kata yang
berkonotasi
negatif
sehingga
pembaca
terkesan
vulgar
dalam
penginterpretasiannya. Terakhir, lagi-lagi penulis menggunakan pemilihan kata
yang sarat kadar subjektivitasnya dengan menggunakan kata melebar untuk
sebuah arti berimplikasi pada hal-hal yang lain. Sehingga, secara bertubi-tubi
pembaca akan tertarik masuk kedalam penilaian penulis terhadap apa yang
diberitakannya.
2.2.12 Praanggapan
Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks. Hampir serupa dengan latar yang berupaya mendukung
pendapat dengan jalan memberikan latarbelakang pada suatu teks. Praanggapan
adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercayai
kebenarannya.
“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan.
Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak
perlu dipertanyakan. Penulis yang membenarkan bahwa masyarakat harus
bersikap cerdas dan kritis dalam menanggapi isu-isu politik dalam pilgub tersebut,
memakan praanggapan, demokrasi yang solutif. Pernyataan ini adalah suatu
premis dasar yang akan menentukan proposisi dukungan penulis terhadap
praanggapan tersebut. Maka pada kalimat pertama pada kutipan di atas, penulis
memberikan praanggapan Ahok yang telah teruji kepemimpinannya. Namun, pada
kalimat kedua, Ahok diposisikan berbeda untuk suatu hal yang tidak koheren. Hal
itu bertujuan bahwa, penulis ingin memberikan pemikiran yang memperhatikan
pada setiap sudut pandang. Sehingga, diyakini dengan cara seperti itu pembaca
akan belajar berpikir kritis demi terwujudnya demokrasi yang selutif. Maka, jika
hal itu benar terjadi, dapat dikatakan bahwa maksud dari penulis telah diamini
oleh pembaca.
2.4 Persamaan dan Perbedaan
Meskipun kedua media pers tersebut berbeda namun, keduanya memiliki
persamaan dalam bagaimana cara mengajinya, atau sudut pandangnya. Berikut
merupakan beberapa aspek persamaan dan perbedaan antara tajuk rencana di
Koran Jawa Pos dan Republika edisi 11 Oktober 2016.
a.
Secara tematik, keduanya sama-sama membahas tentang pemilu yang
bertujuan kepada masyarakat agar mampu berpikir kritis hanya saja contoh
kasusnya berbeda.
b.
Secara skematik, keduanya menggunakan teknik yang sama yaitu
memberikan judul yang menarik dan peenggunaan elemen pengantar
c.
ringkasan materi yang secara substansi sama.
Secara latar, keduanya sama-sama membahas tentang bagaimana pilihan
gubernur benar-benar dijadikan perhatian dalam momen pilkada oleh
masyarakat. Hanya saja, Republika mengambil kasus di AS dan Jawa Pos
d.
pada pilkada DKI Jakarta.
Scara Detail, keduanya sama-sama menguraikan secara panjang dan dominan
e.
dibandingkan gagasan yang lain.
Secara maksud, hanya penulis di Jawa Pos-lah yang menggunaan struktur
f.
maksud.
Secara koherensi, hanya Jawa Pos-lah yang terdapat struktur koherensi di
g.
h.
i.
dalam tajuk rencana.
Secara koherensi pembeda, keduanya sama-sama terdapat struktur ini.
Secara pengingkaran, hanya Jawa Pos terdapar struktur ini.
Secara bentuk kalimat, Jawa Pos dan Republika menggunakan pola ‘subjek-
j.
menerangkan objek’.
Secara kata ganti, keduanya sama-sama menggunakan menggunakan kata
k.
ganti kita untuk mendapatkan dukungan dari pembaca.
Secara leksikon, keduanya sama-sama menggunakan bahasa yang berdenotasi
negatif.
l. Secara praanggapan,
m. Secara praanggapan, keduanya sama-sama menggunakan praanggapan.
Hanya saja Jawa Pos menggunakan Praanggapan Demokrasi yang Sprortif
sedangkan Republika berpraanggapan Debat bukan. Suatu yang Mudah.
2.3 Analisis Unsur Teks Koran Republika Edisi 11 Oktober 2016
Belajar Debat di AS
Debat dua calon presiden Amerika Serikat, Hilarry Rodham Clinton dan
Donald Trump, menarik untuk dicermati publik Indonesia. Kedua kandidat sudah
dua kali berdebat dan akan menghadapi debat terakhir kalinya sebelum rakyat AS
menentukan pilihan November mendatang.
Dari dua kali debat, yang terakhir Ahad (9/10), terlihat satu hal yang
sangat menonjol. Itu adalah bagaimana kemampuan kedua kandidat membedah
pertanyaan dan kemudian menjawab pertanyaan dalam waktu yang singkat, hanya
dua menit.
Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang matang,
skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus reaksi atas serangan lawan,
serta kedewasaan emosional masing-masing kandidat sepanjang debat berjalan.
Lewat debat itu Clinton, yang maju dari partai democrat dan Trump yang
meluncur dari Partai Republik menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan mereka
kepada rakyat AS. Rakyat menjadi penilainya, apakah kandidat mereka menjawab
dengan baik, menunjukkan kepemimpinan yang solid, menguasai materi, serta
mampu mengupas kelemahan lawan.
Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru “melewatkan”
kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau tidak menjawab pertanyaan, apa
yang mereka lakukan? Yang keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan
lawannya.
Clinton dan Trump akan membuka sesi mereka dengan mengatakan
beberapa kalimat pembuka menjawab pertanyaan, lalu kemudian mereka beralih
menyoroti kekuarangan lawan, kebijakan masa lalu, dan kesalahan-kesalahan
lawan. Begitu seterusnya kedua kandidat sepanjang waktu debat.
Tidak ada upaya untuk menjawab sistematis pertanyaan. Padahal,
pertanyaan itu penting temanya bagi publik AS seperti perekonomian nasional,
utang, lapangan kerja, terorisme, jaminan kesehatan sosal, keamanan nasional,
nuklir, Timur Tengah, dan lain sebagainya.
Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara yang
katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan demokrasi ke Negara lain,
kualitas kandidat ternyata tidak mencerminkan hal itu.
Pada Februari 2017 akan berlangsung pemilihan kepala daerah serentak di
berbagai provinsi, kabupaten/kota. Ratusan kandidat sudah mendaftar.
Sebentar lagi musim kampanye. Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar
program pasti akan dilakukan seluruh kandidat. Perang pernyataan pasti akan
terjadi. Politik akan menjadi sangat riuh. Pada satu titik, masyarakat akan sukar
menentukan pilihan karena terlalu berisik.
Di sinilah pentingnya kita kembali mencermati beberapa hal. Bagi
sebagian kelompok, faktor yang menentukan dalam memilih pemimpin adalah
agama. Bagi kelompok lain, faktor itu dapat berupa sosok, pembawaan, perilaku,
kesantunan, gaya bicara, ketampanan, atau kegagahan.
Bagi sekelompok lainnya, faktor itu adalah bagaimana si kandidat
menjawab dan bagaimana jawaban itu bisa memberikan harapan bakal ada
perbaikan. Atau bagi kelompok lainnya, faktor penentu pilihan itu adalah gabugan
dari semuanya.
Barrack Obama dan Joko Widodo adalah contoh nyata. Keduanya “bukan
siapa-siapa” sebelum mencalonkan diri menjadi calon presiden. Obama adalah
senator pemula di Chicago. Jokowi adalah pengusaha mebel yang menjadi wali
kota.
Namun, kita akui, keduanya memiliki satu faktor utama, yakni jawabanjawabannya mampu membangkitkan optimisme pemilihannya bahwa ada harapan
perbaikan pascapemilihan, terlepas dari apa pun kekuarangan Obama dan Jokowi.
Sementara, kalau kita lihat Hilarry dan Trump, kita tidak merasa aura
optimisme yang serupa. Malah kita menjadi ragu, mampukah keduanya
memerintah Negara super power itu? Optimismee bagi masyarakat adalah barang
langka tempo-tempo ini. Masyarakat lebih sering merasa dan melihat realitas yang
pahit daripada mencecap optimisme yang manis. Pada akumulasinya, realitas
pahit itu menciptakan warga yang cenderung apatis terhadap harapan.
Menemunkan kandidat yang mampu meniupkan optimisme dan harapan
perbaikan kepada pemilih itu sukar. Proses penemuan kandidat macam ini harus
kita mulai dari melihat jawaban-jawabannya atas permasalahan kita: kandidat
yang menjawab dengan solusi cerdas, mengerti permasalahan, tahu peta situasi di
lapangan, dan pandai menempatkan diri di berbagai level masyarakat.
Bangsa ini butuh lebih banyak pemimpin yang membawa angin
optimisme, bukan justru hujan badai pesimisme. Di pilkada 2017 kita semua
berharap itulah yang ditemukan di berbagai daerah. Semoga.
2.3.1
Tematik
Tematik yang dapat ditemui dalam tajuk “Belajar Debat di AS”
adalah
realitas kandidat pemimpin yang tidak memiliki sikap leadership, khususnya sikap
optimisme. Berikut kutipan yang dapat dijadikan sampel.
“Menemunkan kandidat yang mampu meniupkan optimismee
dan harapan perbaikan kepada pemilih itu sukar. Proses
penemuan kandidat macam ini harus kita mulai dari melihat
jawaban-jawabannya atas permasalahan kita: kandidat yang
menjawab dengan solusi cerdas, mengerti permasalahan, tahu
peta situasi di lapangan, dan pandai menempatkan diri di
berbagai level masyarakat.”
Kutipan di atas memaparkan bahwa realitas kandidat yang ada saat ini terkesan
tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Hal itu dapat diamati dalam kampanye
ataupun debat yang terlaksana di dalam sebuah wilayah. Jika dalam hal ini adalah,
Amerika Serikat yang merupakan Negara yang besar. Maka, melalui tajuk ini,
penulis menyampaikan bahwa hal itu harus menjadi koreksi tersendiri bagi
kandidat di Indonesia. Selain itu, secara masyarakat harus peka dengan keadaan
tersebut.
2.3.2
Skematik
Skematik yang terdapat dalam tajuk “Belajar Debat di AS”, pertama pada
kategori summary. Penulis memberikan judul Belajar Debat di AS sebenarnya
ingin mengikat pembaca pada persoalan inti yang hendak dipaparkan di dalamnya.
Kemudian, penulis menggunakan teknik lead berupa pengantar ringkasan apa
yang ingin dikatakan, seperti tampak pada kutipan di bawah.
“Debat dua calon presiden Amerika Serikat, Hilarry Rodham
Clinton dan Donald Trump, menarik untuk dicermati publik
Indonesia. Kedua kandidat sudah dua kali berdebat dan akan
menghadapi debat terakhir kalinya sebelum rakyat AS
menentukan pilihan November mendatang.”
Kedua, kategori story, yakni berita secara keseluruhan. Setelah penulis
memberikan ringkasan pengantar yang berlandaskan tema atau topik, penulis
memaparkan jalannya cerita. Seperti pada kutipan berikut.
“Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru
“melewatkan” kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau
tidak menjawab pertanyaan, apa yang mereka lakukan? Yang
keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan
lawannya.”
Kutipan di atas, penulis memaparkan cerita bahwa studi-studi kasus tentang
kandidat pemimpin wilayah yang kurang berkapasitas yang mengambil contoh di
AS. Hal tersebut dilakukan agar penekanan atas tema yang diambil lebih tertonjol
setelah penulis memaparkan ringkasan sebagai pengantar materinya.
2.3.3
Latar
Latar yang terdapat dalam tajuk “Belajar Debat di AS” ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara
yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan
demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak
mencerminkan hal itu.”
Jika disinkronkan dengan tema yang terkandung, maka dapat dikatakan bahwa
kutipan di atas merupakan latar belakang dari tema tersebut. Kondisi kandidat
yang ada di Amerika Seritkat sebaiknya sudah menjadi pelajaran bagi bangsa
Indonesia. Bahkan, Amerika Serikat yang memiliki predikat Negara paling
demokratis pun masih terdapat peluang kualitas kandidat yang tidak berkualitas.
Apalagi Indonesia yang dapat dikatakan masih di bawah Amerika Serikat.
2.3.4
Detail
Detil yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat di amati pada
kutipa berikut.
“Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang
matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus
reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masingmasing kandidat sepanjang debat berjalan.
Lewat debat itu Clinton, yang maju dari partai democrat dan
Trump yang meluncur dari Partai Republik menunjukkan
sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS. Rakyat
menjadi penilainya, apakah kandidat mereka menjawab dengan
baik, menunjukkan kepemimpinan yang solid, menguasai
materi, serta mampu mengupas kelemahan lawan.
Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru
“melewatkan” kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau
tidak menjawab pertanyaan, apa yang mereka lakukan? Yang
keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan lawannya.
Clinton dan Trump akan membuka sesi mereka dengan
mengatakan beberapa kalimat pembuka menjawab pertanyaan,
lalu kemudian mereka beralih menyoroti kekuarangan lawan,
kebijakan masa lalu, dan kesalahan-kesalahan lawan. Begitu
seterusnya kedua kandidat sepanjang waktu debat.
Tidak ada upaya untuk menjawab sistematis pertanyaan.
Padahal, pertanyaan itu penting temanya bagi public AS seperti
perekonomian nasional, utang, lapangan kerja, terorisme,
jaminan kesehatan sosal, keamanan nasional, nuklir, Timur
Tengah, dan lain sebagainya.
Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di
Negara yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan
demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak
mencerminkan hal itu.”
Kutipan pertama mencoba memberikan pemahaman terhadap pembaca
bahwa debat bukanlah hal gampang, apalagi debat dari kandidat pemimpin.
Kutipan kedua, penulis mulai mengambil kasus yang terjadi pada kandidat AS
yaitu Clinton dan Trump yang dalam hal ini seluruh bangsa Amerika Serikat
menyaksikan dan menilai bagaimana keduanya. Kutipan ketiga penulis
menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh kedua kandidat dari Amerika
Serikat tersebut. Keempat, kesalahkaprahan dari kedua kandidat tersebut
diperjelas dengan kasus nyata. Kelima, penulis berpendapat untuk memberikan
kesan bahwa apa yang dilakukan oleh kedua kandidat tersebut memang salah
kaprah dan menyeleweng. Kemudian, terakhir penulis memberikan saran kepada
pembaca agar kasus tersebut dapat dijadikan referensi bagi pembaca.
Dari penjelasan di atas, titik tekan yang terkadung adalah mirisnya
kandidat di AS yang salah kaprah dan mengedepankan ego. Dari parangraf ke
paragraph berikutnya, penulis lebih mendetilkan permasalahan dari stori yang
digunakan.
2.3.5
Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” adalah
pada kutipan berikut.
“Lewat debat itu Clinton yang maju dari partai demokrat dan
Trump yang meluncur dari Partai Republik menunjukkan
sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS.”
Kalimat kutipan di atas tidak akan berubah arti kalimat seumpama anak kalimat
dihilangkan. Contoh, lewat debat itu menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan
mereka kepada rakyat AS. Anak kalimat Clinton yang maju dari partai democrat
dan Trump yang meluncur dari Partai Republik berfungsi sebagai penjelas.
Padahal meskipun tidak diberi anak kalimat, kalimat itu sudah bisa dimaknai
karena pada akhir kalimat sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah Clinton dan
Trump dengan menyebut “rakyat AS”.
2.3.6
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat diamati
pada kalimat, Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar program pasti akan
dilakukan seluruh kandidat. Tebar janji, bedah masalah, dan program diposisikan
di awal untuk menjelaskan bagaimana lumrah dilakukan oleh kandidat manapun.
Selain itu, dengan penempatan tersebut penulis menginginkan agar akibat-akibat
yang selalu dilakukan objek terkesan lebih menonjol. Dengan cara seperti itu,
maka akan lebih sinkron dengan tema yang diangkat.
2.3.7
Kata Ganti
Kata ganti yang terdapat pada tajuk “Belar Debat di AS” dapat dikatakan
banyak. Berikut salah satu contoh sampelnya.
“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak.”
“Di sinilah pentingnya kita kembali mencermati beberapa hal.”
“Namun, kita akui, keduanya memiliki satu faktor utama, yakni
jawaban-jawabannya mampu membangkitkan optimisme
pemilihannya bahwa ada harapan perbaikan pascapemilihan,
terlepas dari apa pun kekuarangan Obama dan Jokowi.”
“Sementara, kalau kita lihat Hilarry dan Trump, kita tidak
merasa aura optimismee yang serupa.”
Kutipan di atas, penulis tampak sering menggunakan kata ganti “kita” dapat
menyampaikan argumentasinya. Tentu hal ini bukan semata-mata tidak disengaja.
Pemakaian kata ganti jamak mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas,
aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi ke pada diri sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata ganti ini bertujuan untuk menarik
simpati pembaca untuk menyetujui sudut pandangnya.
2.3.8
Leksikon
Leksikon yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat di amati pada
kutipan berikut.
“Optimisme bagi masyarakat adalah barang langka tempotempo ini.”
“Sebentar lagi musim kampanye. Tebar janji, bedah masalah,
sampai umbar program pasti akan dilakukan seluruh kandidat.
Perang pernyataan pasti akan terjadi. Politik akan menjadi
sangat riuh. Pada satu titik, masyarakat akan sukar menentukan
pilihan karena terlalu berisik. “
Penggunaan kata langka pada kutipan pertama memiliki arti jarang atau sukar
ditemukan. Namun, penulis menggunakan kata yang berbeda dengan konotasi
yang cenderung negatif untuk menunjukkan persamaan arti dan kondisi.
Kemudian, penulis menggunakan kata,
Tebar janji, bedah masalah, umbar
program, perang pernyataan, dan berisik, juga merupakan contoh yang sama.
Penggunaan leksikon tersebut secara implisit menjelaskan bagaimana ideologi
penulis. Dalam hal ini, penulis hendak melegitimasi untuk mendapatkan posisi
dominasi. Eriyanto (2012: 13) menjelaskan bahwa penulis membuat kesadaran
kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima.
2.3.9
Praanggapan
Praanggapan yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat dicermati
pada kutipan berikut.
“Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang
matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus
reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masingmasing kandidat sepanjang debat berjalan.”
Penulis
memberikan
praanggapan
melalui
presmis
bahwa
debat
merupakan hal yang sulit sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Meskipun
praanggapan tersebut merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi
dijadikan dasar untuk mendukung gagasannya.
2.5 Fungsi Bahasa
2.5.1 Fungsi Bahasa pada Koran Jawa Pos
Dari keseluruhan, koran ini memiliki dominasi fungsi bahasa konatif.
Penggunaan kata ”kita” oleh penulis mengandung unsur mengajak atau
memengaruhi. Maka dapat dicermati pada kutipan berikut.
“Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki
Tjahaja Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus
tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita
perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni
berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para
kandidat.”
Penulis mengajak pembaca dengan menggunakan bahasa “kita” untuk turut
sependapat dengannya. Selaras dengan tema yang diguankan adalah untuk
mengajak masyarakat agar berpikir kritis dalam menghadapi pemilu raya. Jadi,
tulisan tersebut sarat akan subjektivitas.
2.5.2 Fungsi Bahasa pada Koran Republika
Fungsi bahasa yang terdapat dalam tajuk Republika edisi 11 Oktober 2016
adalah fungsi konatif. Di dalamnya penulis sering berpendapat dengan cara
menghilangkan batasan antara si penulis dan si pembaca. Fungsi konatif tersebut
dapat dicermati pada kutipan berikut.
“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara
yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan
demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak
mencerminkan hal itu.”
Penggunaan kata “kita” oleh penulis dengan tujuan hendak memengaruhi pikiran
pembaca. Dari awal sampai akhir paragraf, banyak ditemui unsur konatif yang
mendominasi. Jadi, dalam hal ini, sarat akan unsur subjektivitas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Model penelitian wacana dari van Djik merupakan model yang paling
banyak digunakan. Teori van Djik ini meneliti teks dari segi tematik, skematik,
latar, detil, maksud, koheren, koherensi kondisional, koherensi pembeda,
pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, praanggapan, grafis, dan
metafora.
Kora Jawa Pos dan Republika pada tanggal 11 Oktober 2016 sama-sama
membahas tentang bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi pemilihan
umum. Setelah dianalisis menggunakan teori van Djik, tidak semua aspek terdapat
di dalam kedua koran tersebut. Namun, pada intinya, kedua koran tersebut
memiliki fungsi bahasa memengaruhi atau fungsi konatif.
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata baik dan benar. Sebab itu, adanya kritik,
saran, dan arahan sangat diharap demi menyempurnakan pemahaman pada diri
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2012. Analisis Wacana. Cetakan ke X.Yogyakarta: IKAPI
Lampiran.
Lampiran.
KORAN JAWA POS DAN REPUBLIKA
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi
Tugas UTS 2016/2017 Analisis Wacana
Dosen Pengampu:
Cicik Trijayanti, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh:
FATHOR RAHMAN
NIM: 140621100083
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekarang Indonesia telah memasuki era di mana media massa mengalami
mengalami perkembangan sangat pesat, baik dari sisi teknologi media maupun
konten media itu sendiri. Media massa yang jumlahnya semakin meningkat
hingga saat ini, menuntu mahasiswa untuk lebih cerdas menggunakan medua.
Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mampu mengoperasikan media, namun
juga kritis terhadap konten-konten yang ada di dalamnya. Pesan-pesan yang
disampaikan oleh medua massa sangat banyak dan beragam. Selain itu, perlu
diketahui bahwa media massa sesungguhnya lebih dari sekedar merefleksi realitas
melainkan merepresentasikan realitas lainnya.
Semua media massa merekonstruksi realitas, namun hasil konstruksi itu tentu
saja tidak sam dengan fakta. Bahasa yang digunakan media kha untuk setiap
bentuk komunikasi. Khalayak menegosiasi makna, dan media mengandung bias
nilai dan komersial. Semua itu menunjukkan bagaimana media massa di Indonesia
bukan menjalan peran merefleksi realitas, melainkan merepresentasikan realitas.
Konsekuensinya, media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan
kekuasaan untuk merumuskan tentang realitas politik, cultural, dan sosial
Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang
dialami rakyat banyak.
Media di Indonesia memang sudah menjadi hegemoni penguasa ataupun
pengusaha dalam membentuk opini public, karena media merepresentasikan
kepentingan pemilik saha, para elit dan para politikus dalam melanggengkan
kekuasaan dan pengaruhnya di bumi pertiwi ini.
Berangkat dari beberapa argumen di atas, maka perlu adanya analisis terkait
tajuk yang ditulis oleh redaktur pada suatu koran.
Kedua koran tersebut cukup
berkuasa di kawasan jawa timur.
1.2 Rumusan Masalah
a) Bagaimana Struktur Teks Tajuk Rencana Koran Jawa Pos Edisi 11 Oktober
2016?
b) Bagaimana Struktur Teks Tajuk Rencana Koran Republika 11 Oktober 2016?
c) Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Tajuk Rencana dari Kedua Koran
Tersebut?
d) Bagaimana Fungsi Bahasa dari Tajuk Rencana Kedua Koran Tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan
dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Djik adalah model yang sering
digunakan. Hal ini kemungkinan karena van Djik mengolaborasi elemen-elemen
sehingga didayagunakan dan dipakai secara praktis.
Di antaranya adalah struktur teks. Teks bukan suatu yang datang dari
langit, bukan juga ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi dibentuk dalam suatu
praktik diskursus, suatu praktik wacana. Elemen-elemen di dalam struktur teks ini
sebagi berikut.
a) Tematik
Tema termasuk ke dalam tingkatan analisis teks pertama yakni struktur
makro. Tema merupakan gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu
teks. Tema atau kadang disebut topik ini menggambarkan apa yang ingin
diungkapkan oleh pemberita dalam berita yang dibuatnya, (Eriyanto, 2012:
229).
b) Skematik
Tingkatan yang kedua dalam analisis wacana van Djik adalah superstruktur.
Skematik ini merupakan bagian dalam tingkatan superstruktur. Teks wacana
pada umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan serta akhir.
Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan
diurutkan sehingga membuat kesatuan arti, (Eriyanto, 2012: 232).
c) Latar
Latar termasuk dalam bagian tingkat analisis struktur mikro. Latar merupakan
bagian berita yang dapat memengaruhi semantik yang ingin ditampilkan.
Latar biasanya ditulis sebagai latar belakang berita atau peristiwa. Latar yang
ditulis tersebut menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa
oleh wartawan atau penulis. Latar dapat dijadikan alasan pembenaran gagasan
yang diajukan dalam suatu teks. Sebab itu, latar teks merupakan elem yang
berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh
wartawan, (Eriyanto, 2012: 235).
d) Detil
Detail juga termasuk dalam semantik. Detil ini merupakan wacana yang
berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorangan.
Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan
sikapnya dengan cara yang implisit.
e) Maksud
Elemen maksud, hampir sama dengan elemen detil. Bedanya, jika dalam detil
informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan detil
panjang, maka dalam elemen Maksud, informasi yang menguntungkan
komunikatorakan diuraikan secara eksplisit. Sebaliknya, informasi yang
kurang mendukung akan diuraikan secara sama atau implisit, (Eriyanto, 2012:
240-241).
f) Koheren
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks.
Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren. Fakta yang tidak berhubungan
sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya,
(Eriyanto, 2016: 242).
g) Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional di antaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat
sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua merupakan
penjelas dari kalimat pertama.
h) Koherensi Pembeda
Kalau koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua
peristiwa dihubungkan atau dijelaskan, maka koherensi pembeda
berhubungan dengan pertanmyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu
hendak dibedakan.
i) Pengingkaran
Pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan
bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara
implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukkan seolah
wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan
argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuan tersebut, (Eriyanto,
2012: 249).
j) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir
logis, yaitu prinsip kausalitas. Prinsip ini menanyakan apakah A yang
menjelaskan B, atau B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini jika
diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan)
dan predikat (yang diterangkan).
k) Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan
menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang
dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang
dalam wacana, (Eriyanto, 2012:254).
l) Leksikon
Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta
umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Pilihan kata
yang dipakai menunjukkan sikap dan ideology tertentu. Peristiwa sama dapat
digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda, (Eriyanto, 2012: 255).
m) Praanggapan
Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks. Hampir serupa dengan latar yang berupaya mendukung
pendapat dengan jalan memberikan latarbelakang pada suatu teks.
Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis
yang dipercayai kebenarannya, (Eriyanto, 2012: 256).
n) Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau
ditonjolkan (apa yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat
diamati dari teks. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat
bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain.
o) Metafora
Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan
pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan
sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita.
2.2 Analisis Teks Koran Jawa Pos Edisi 11 Oktober 2016
Setelah Ahok
Minta Maaf
AHOK akhirnya meminta maaf. Meski semula tak merasa bersalah terkait
ucapannya tentang Al-quran surah Al Maidah 51, toh ya Ahok menyatakan, “Saya
sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya
sampaikan mohon maaf”.
Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja
Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah
hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang
solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para
kandidat.
Cukup banyak yang perlu dibicarakan dalam setiap kampanye pilkada,
termasuk di DKI. Pekerjaan yang mengurus rakyat itu luar biasa banyak. Untuk
itu, Ahok-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan
Anies Baswedan-Sandiaga Uno perlu didorong untuk berada dir el kerja konkret.
Bagaimana mereka akan mengatasi kemacetan, banjir, transparansi anggaran,
reklamasi, hak nelayan, hak rakyat kecil, partisipasi masyarakat, dan aneka kerja
pemerintahan lainnya.
Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara. Mengajak, yakni
lewat kampanye atau pengunggulan kandidat, boleh saja. Tetapi akan produktif
bila terpacak pada program yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan
karena keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak boleh
dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.
Coblosan Pilgub DKI 15 Februari 2017 itu jadi pelajaran penting. Karena
panggungnya Jakarta, seakan seluruh anak bangsa merasa berkepentingan. Tak
peduli bahwa yang punya hak pilih hanya yang ber-KTP DKI. Raihan Joko
Widodo (Jokowi) yang menjadikan kursi gubernur DKI sebagai lompatan ke-RI
membuat panggung Pilgub DKI makin seru dan gampang panas.
Karakter dan lisan Ahok yang “kayak gitu” turut mengundang serangan
yang melebar ke mana-mana. Ahok benar-benar akan diuji di bilik suara, apakah
masih direstui rakyat. Sebab, dalam Pilgub DKI 2012, diyakini pendulang suara
utama adalah Jokowi, pasangan Ahok. Memang Ahok dianggap sudah melakukan
banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.
Hal-hal konkret seperti itu yang perlu banyak dikupas dalam perdebatan
kampanye (dan prakampanye) Pilgub. Jangan tergoda overdosis bicara SARA
(yang sebagian memang dari sononya, bukan?). Rakyat perlu diajak makin cerdas
untuk
mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap
masyarakat.
Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya juga jadi tuntunan. (*)
2.2.1
Tematik
Adanya pilgub DKI Jakarta yang akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017
ini telah menuai banyak kontroversi, terutama dari kandidat Basuki Tjahaja
Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok. Tema yang terkandung dalam Tajuk
Rencana “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah “bagaimana masyarakat mampu
bersikap mandiri dalam pilgub; tidak terprovokasi. Penulis ingin menyampaikan
kepada pembaca bahwa momentum pilgub ini, masyarakat DKI Jakarta harus
secara cerdas dalam menghadapinya. Tidak boleh terkecoh dengan isu-isu yang
berbau SARA (provokasi) kemudian memarginalkan satu pihak tanpa telaah yang
objektif dari berbagai sudut pandang.
“Ahok Sudah Minta Maaf” merupakan judul yang disajikan oleh penulis
untuk mengangkat kembali citra Ahok yang termarginalkan oleh pernyataannya
sendiri tentang Al-quran surah Al-maidah. Namun, ternyata penulis masih tetap
menggunakan prinsip keberimbangan. Artinya, pihak lawan dari Ahok juga dibela
agar tidak terkesan timpang sebelah seperti pada kutipan berikut.
“Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi
(langkah hukum itu sah, bukan?)”.
“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan.
Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Penulis berusaha tidak ikut terjerat dalam isu-isu yang sarat akan intrik dan
profokasi satu pihak. Sebab itu, penulis menekankan pada opini pada masyarakat
untuk menjadi peserta pilgub yang cerdas. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipat
berikut.
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Dominasinya
harus bicara kerja dan solusi.”
Kemudian, penulis mengajak pembaca (terutama penduduk DKI) untuk lebih
melihat pada aksi nyata atau rekam jejak yang telah dilakukan oleh masing-
masing kandidat. Tentu penulisan tersebut sebagai sarana pendukung terhadap
‘tema utama’ yang telah ditetapkan oleh penulis. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipat berikut.
“Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja
konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.
Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat
Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”
2.2.2
Skematik
Mula-mula redaktur sebagai penulis menampilkan judul “Setelah Ahok
Minta Maaf”. Kemudian, penulis menampilkan lead berupa ringkasan apa yang
ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara utuh. Hal itu dilakukan
dengan menampilkan kalimat verbal langsung dari Ahok terkait fakta permintaan
maafnya.
“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang
merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf”.
Setelah itu, pada paragraph kedua, penulis juga menyuguhkan pihak yang
mempermasalahkan Ahok.
“Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi
(langkah hukum itu sah, bukan?).”
Hal ini merupakan strategi bagi penulis dalam mencapai tema yang dipilih, yakni
bagaimana masyarakat mampu bersikap mandiri dalam pilgub; tidak terprovokasi.
“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.
Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan
dilakukan para kandidat.”
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak
boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”
Proses selanjutnya yakni kembali pada permasalahan yang terjadi, yaitu
pesoalan apa yang telah dialakukan oleh Ahok.
“Karakter dan lisan Ahok yang “kayak gitu” turut mengundang
serangan yang melebar ke mana-mana. Ahok benar-benar akan
diuji di bilik suara, apakah masih direstui rakyat. Sebab, dalam
Pilgub DKI 2012, diyakini pendulang suara utama adalah
Jokowi, pasangan Ahok. Memang Ahok dianggap sudah
melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa
dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Namun, itu hanya sebagai stimulus saja untuk dijadikan referensi bagi masyarakat
dalam membentuk pola pikir dan sikap mandiri tentang pemilu. Akhirnya, pada
bagian akhir, penulis kembali pada alur dan tema utama.
“Hal-hal konkret seperti itu yang perlu banyak dikupas dalam
perdebatan kampanye (dan prakampanye) Pilgub. Jangan
tergoda overdosis bicara SARA (yang sebagian memang dari
sononya, bukan?). Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk
mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap
masyarakat.”
“Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat
Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”
Tentu dengan menempatkan tema utama pada alur terakhir, pembaca secara tidak
sadar diberi kesan bahwa mereka harus memiliki pola pikir yang sama dengan
penulis.
Skematik yang telah dirancang dan ditulis tersebut akhirnya membentuk
satu kesatuan yang koheren dan padu. Apa yang diungkap dalam superstruktur
pertama didukung oleh bagian-bagian lain dalam berita, (Eriyanto, 2012: 233).
2.2.3
Latar
Latar dalam opini atau tajuk rencana “Setelah Ahok Minta Maaf” ini muncul
pada kalimat, bagaimanapun, pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia.
Hendaknya juga jadi tuntunan. Penulis ingin menyampaikan bahwa merupakan
hal biasa jika DKI akan menjadi rebutan para calon pemimpin. Karena melalui
DKI yang merupakan ibukota Negara, tentu citra yang dihasilkannya pun akan
besar. Tentu juga hal itu akan cukup berpengaruh jika mereka hendak
mencalonkan diri sebagai presiden RI.
Dari asumsi itulah, penulis ingin menegaskan bahwa rakyat harus jeli
terhadap permasalah yang ada. Adanya “gesekan” antar kandidat pasti tidak akan
terakkan. Oleh sebab itu, kembali penulis menyampaikan bahwa masyarakat
haruslah cerdas untuk bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan hak suaranya
nanti.
2.2.4
Detail
Detil yang hendak disampaikan penulis dalam tajuk “Setelah Ahok Minta
Maaf” adalah:
“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.
Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan
dilakukan para kandidat.”
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak
boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”
“Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja
konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.”
“Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat
Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”
Kalimat pertama, gagasan tentang pentingnya telaah rekam jejak para
kandidat tidak begitu diuraikan secara detil. Kalimat kedua, barulah detil itu
terlihat dari bagaimana penulis berpendapat bahwa sebagai wujud demokrasi yang
sportif hendaknya masyarakat tidak saling menjatuhkan dukungan lawan. Setujutidak-setuju terhadap isu yang beredar, penulis lebih menyarankan agar
masyarakat sampaikan melalui pemilihan langsung di bilik suara atas hak
suaranya. Kalimat ketiga, barulah penulis menyampaikan maksud dari pemaparan
kalimat satu dan dua bahwa rakyat perlu berpikir cerdas untuk mengoreksi secara
objektif dari masing-masing kandidat. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak
muda dibohongi dan terbohongi oleh isu yang ada. kalimat keempat, penulis
memberikan saran dan penutupnya, bahwa DKI adalah kota yang bersar dengan
tanggungjawab yang besar pula. Bisa jadi hal itu adalah ajang bagi politisi untuk
medobrak popularitas di media untuk selanjutnya menuju ke meja Presiden
Republik Indonesia. Oleh sebab itu, maka tidak ayal jika meski bukan penduduk
yang berdomisili Jakarta seakan ikut andil dalam prosesnya.
2.2.5
Maksud
Elemen maksud yang terdapat dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf’ dapat dilihat
pada tabel berikut.
Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk
Ekplisit
mengukur kinerja konkret serta rekam
jejak perlakuan terhadap masyarakat.
Kita hargai permintaan maaf sosok
bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama
Implisit
itu. Kita hargai juga yang membawa kasus
tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah,
bukan?).
Tabel di atas menunjukkan dua contoh kalimat yang ekplisit dan implisit.
Kalimat pertama digambarkan secara jelas bahwa rakyat perlu cerdas dalam
mengukur kinerja konkret serta rekam jejak masing-masing kandidat atas
pelayanannya kepada masyarakat. Kalimat kedua, penulis secara tidak langsung
mengajak pembaca atau masyarakat agar tidak terjebak dan larut dalam
permasalahan politik yang terjadi. Tentu tujuannya adalah agar pembaca atau
masyarakat mampu berpikir cerdas sesuai dengan kalimat eksplisit tadi yang
sesuai dengan tema yang ambil.
2.2.6
Koherensi
Bentuk koherensi yang terkandung dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf”
adalah pada kutipan berikut.
“Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki
Tjahaja Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi
(langkah hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.
Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan
dilakukan para kandidat.”
Kalimat pertama dan kalimat kedua saling bertentangan. Kalimat pertama
seakan membela Ahok dan kalimat kedua seakan membela pihak oposisi. Namun
pada kalimat ketiga dengan menggunakan konjungsi “Tapi” pada awal kalimat,
membuat kedua kalimat tadi menjadi berhubungan. Sehingga, maksud yang ingin
disampaikan akan selaras dengan tema.
2.2.7
Koherensi Kondisional
Koherensi Kondisional yang terkandung dalam tajuk “Setelah Ahok Minta
Maaf” adalah pada kutipan berikut.
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.
Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa
anggapan apapun dari
masyarakat terkait dengan isu yang beredar tentang kandidat gubernur DKI
Jakarta, agar dibesar-besarkan di luar. Lebih baik hal itu menjadi privasi masingmasing individu untuk diselesaikan di dalam bilik suara pada saat pemilihan tiba.
Sebab itu, penulis menjabarkan lebih lanjut tentang gagasannya melalui kalimat
berikutnya atau yang biasa disebut anak kalimat. Penjelas yang digunakan
merupakan penjelas yang positif, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat,
boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program
yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena
keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak
boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”
2.2.8
Pengingkaran
Pengingkaran yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah
pada kutipan berikut.
“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan.
Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Pada kalimat pertama, penulis terkesan menyetujui Ahok yang mencalonkan
diri sebagai gubernur DKI. Penulis mengungkapkan opini bahwa Ahok memang
telah melakukan banyak perubahan. Namun, pada kalimat berikutnya, penulis
melakukan pengingkaran dengan berpendapat bahwa Ahok bisa saja melakukan
keberpihakan pada suatu partai, perusahaan, organisasi, dll. dalam melakukan
pembangunan di DKI Jakarta. Dengan kata lain, wartawan secara tidak tegas dan
eksplisit menyampaikan gagasannya kepada khalayak, (Eriyanto, 2012: 249).
2.2.9
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah
pada kutipan berikut.
“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.”
Kalimat di atas menitik tekankan pada kata “kita”. Kata tersebut berusaha untuk
mengajak ataupun penyatuan emosional sebagai usaha dari penulis. Sebab itu,
kata kita diletakkan pada awal kalimat. Dapat dikatakan penulis menerapkan
kalimat aktif dalam strategi penulisannya. Namun, akan berbeda jika seandainya
kalimat tersebut disusun seperti, Demokrasi yang solutif perlu kita fokuskan
kembali. Maka penitik tekanan di situ akan berkurang. Pembaca tidak akan merasa
terajak oleh penulis karena “kita” yang mengandung arti “penulis dan pembaca”
sudah diletakkan sebagai predikat. Maka jika demikian, penulis menggunakan
kalimat yang pasif dalam penulisannya.
2.2.10 Kata Ganti
Elemen kata ganti yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf”
adalah pada kutipan berikut.
“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.”
Penggunaan kata ganti “kita” pada kutipan di atas menjadikan sikap
tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu.
Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk
menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap
komunitas/pembaca secara keseluruhan.
2.2.11 Leksikon
Leksikon yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” dapat cermati
pada kutipan berikut.
“Karakter dan lisan Ahok yang ‘kayak gitu’ turut mengundang
serangan yang melebar ke mana-mana.”
Kutipan di atas mengandung banyak unsure leksikon. Pemilihan frasa lisan Ahok
dapat diartikan sebagai bagaimana cara bicara Ahok. Namun, penulis
menggunakan pilihan kata lain agar tercipta suatu penekanan atau berkadar
emosional yang lebih. Apalagi, ditambahi frasa kayak gitu yang kental akan
penilaian yang subjektif akan mendukung terhadap interpretasi apa yang hendak
penulis inginkan pada diri pembaca. Selanjutmya, pemilihan frasa serangan dapat
diartikan sebagai respon negatif dari orang-orang atau pihak lain yang tidak
sependapat dengan Ahok. Namun, penulis kembali menggunakan kata yang
berkonotasi
negatif
sehingga
pembaca
terkesan
vulgar
dalam
penginterpretasiannya. Terakhir, lagi-lagi penulis menggunakan pemilihan kata
yang sarat kadar subjektivitasnya dengan menggunakan kata melebar untuk
sebuah arti berimplikasi pada hal-hal yang lain. Sehingga, secara bertubi-tubi
pembaca akan tertarik masuk kedalam penilaian penulis terhadap apa yang
diberitakannya.
2.2.12 Praanggapan
Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks. Hampir serupa dengan latar yang berupaya mendukung
pendapat dengan jalan memberikan latarbelakang pada suatu teks. Praanggapan
adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercayai
kebenarannya.
“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan.
Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam
pembangunan juga banyak dipersoalkan.”
Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak
perlu dipertanyakan. Penulis yang membenarkan bahwa masyarakat harus
bersikap cerdas dan kritis dalam menanggapi isu-isu politik dalam pilgub tersebut,
memakan praanggapan, demokrasi yang solutif. Pernyataan ini adalah suatu
premis dasar yang akan menentukan proposisi dukungan penulis terhadap
praanggapan tersebut. Maka pada kalimat pertama pada kutipan di atas, penulis
memberikan praanggapan Ahok yang telah teruji kepemimpinannya. Namun, pada
kalimat kedua, Ahok diposisikan berbeda untuk suatu hal yang tidak koheren. Hal
itu bertujuan bahwa, penulis ingin memberikan pemikiran yang memperhatikan
pada setiap sudut pandang. Sehingga, diyakini dengan cara seperti itu pembaca
akan belajar berpikir kritis demi terwujudnya demokrasi yang selutif. Maka, jika
hal itu benar terjadi, dapat dikatakan bahwa maksud dari penulis telah diamini
oleh pembaca.
2.4 Persamaan dan Perbedaan
Meskipun kedua media pers tersebut berbeda namun, keduanya memiliki
persamaan dalam bagaimana cara mengajinya, atau sudut pandangnya. Berikut
merupakan beberapa aspek persamaan dan perbedaan antara tajuk rencana di
Koran Jawa Pos dan Republika edisi 11 Oktober 2016.
a.
Secara tematik, keduanya sama-sama membahas tentang pemilu yang
bertujuan kepada masyarakat agar mampu berpikir kritis hanya saja contoh
kasusnya berbeda.
b.
Secara skematik, keduanya menggunakan teknik yang sama yaitu
memberikan judul yang menarik dan peenggunaan elemen pengantar
c.
ringkasan materi yang secara substansi sama.
Secara latar, keduanya sama-sama membahas tentang bagaimana pilihan
gubernur benar-benar dijadikan perhatian dalam momen pilkada oleh
masyarakat. Hanya saja, Republika mengambil kasus di AS dan Jawa Pos
d.
pada pilkada DKI Jakarta.
Scara Detail, keduanya sama-sama menguraikan secara panjang dan dominan
e.
dibandingkan gagasan yang lain.
Secara maksud, hanya penulis di Jawa Pos-lah yang menggunaan struktur
f.
maksud.
Secara koherensi, hanya Jawa Pos-lah yang terdapat struktur koherensi di
g.
h.
i.
dalam tajuk rencana.
Secara koherensi pembeda, keduanya sama-sama terdapat struktur ini.
Secara pengingkaran, hanya Jawa Pos terdapar struktur ini.
Secara bentuk kalimat, Jawa Pos dan Republika menggunakan pola ‘subjek-
j.
menerangkan objek’.
Secara kata ganti, keduanya sama-sama menggunakan menggunakan kata
k.
ganti kita untuk mendapatkan dukungan dari pembaca.
Secara leksikon, keduanya sama-sama menggunakan bahasa yang berdenotasi
negatif.
l. Secara praanggapan,
m. Secara praanggapan, keduanya sama-sama menggunakan praanggapan.
Hanya saja Jawa Pos menggunakan Praanggapan Demokrasi yang Sprortif
sedangkan Republika berpraanggapan Debat bukan. Suatu yang Mudah.
2.3 Analisis Unsur Teks Koran Republika Edisi 11 Oktober 2016
Belajar Debat di AS
Debat dua calon presiden Amerika Serikat, Hilarry Rodham Clinton dan
Donald Trump, menarik untuk dicermati publik Indonesia. Kedua kandidat sudah
dua kali berdebat dan akan menghadapi debat terakhir kalinya sebelum rakyat AS
menentukan pilihan November mendatang.
Dari dua kali debat, yang terakhir Ahad (9/10), terlihat satu hal yang
sangat menonjol. Itu adalah bagaimana kemampuan kedua kandidat membedah
pertanyaan dan kemudian menjawab pertanyaan dalam waktu yang singkat, hanya
dua menit.
Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang matang,
skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus reaksi atas serangan lawan,
serta kedewasaan emosional masing-masing kandidat sepanjang debat berjalan.
Lewat debat itu Clinton, yang maju dari partai democrat dan Trump yang
meluncur dari Partai Republik menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan mereka
kepada rakyat AS. Rakyat menjadi penilainya, apakah kandidat mereka menjawab
dengan baik, menunjukkan kepemimpinan yang solid, menguasai materi, serta
mampu mengupas kelemahan lawan.
Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru “melewatkan”
kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau tidak menjawab pertanyaan, apa
yang mereka lakukan? Yang keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan
lawannya.
Clinton dan Trump akan membuka sesi mereka dengan mengatakan
beberapa kalimat pembuka menjawab pertanyaan, lalu kemudian mereka beralih
menyoroti kekuarangan lawan, kebijakan masa lalu, dan kesalahan-kesalahan
lawan. Begitu seterusnya kedua kandidat sepanjang waktu debat.
Tidak ada upaya untuk menjawab sistematis pertanyaan. Padahal,
pertanyaan itu penting temanya bagi publik AS seperti perekonomian nasional,
utang, lapangan kerja, terorisme, jaminan kesehatan sosal, keamanan nasional,
nuklir, Timur Tengah, dan lain sebagainya.
Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara yang
katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan demokrasi ke Negara lain,
kualitas kandidat ternyata tidak mencerminkan hal itu.
Pada Februari 2017 akan berlangsung pemilihan kepala daerah serentak di
berbagai provinsi, kabupaten/kota. Ratusan kandidat sudah mendaftar.
Sebentar lagi musim kampanye. Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar
program pasti akan dilakukan seluruh kandidat. Perang pernyataan pasti akan
terjadi. Politik akan menjadi sangat riuh. Pada satu titik, masyarakat akan sukar
menentukan pilihan karena terlalu berisik.
Di sinilah pentingnya kita kembali mencermati beberapa hal. Bagi
sebagian kelompok, faktor yang menentukan dalam memilih pemimpin adalah
agama. Bagi kelompok lain, faktor itu dapat berupa sosok, pembawaan, perilaku,
kesantunan, gaya bicara, ketampanan, atau kegagahan.
Bagi sekelompok lainnya, faktor itu adalah bagaimana si kandidat
menjawab dan bagaimana jawaban itu bisa memberikan harapan bakal ada
perbaikan. Atau bagi kelompok lainnya, faktor penentu pilihan itu adalah gabugan
dari semuanya.
Barrack Obama dan Joko Widodo adalah contoh nyata. Keduanya “bukan
siapa-siapa” sebelum mencalonkan diri menjadi calon presiden. Obama adalah
senator pemula di Chicago. Jokowi adalah pengusaha mebel yang menjadi wali
kota.
Namun, kita akui, keduanya memiliki satu faktor utama, yakni jawabanjawabannya mampu membangkitkan optimisme pemilihannya bahwa ada harapan
perbaikan pascapemilihan, terlepas dari apa pun kekuarangan Obama dan Jokowi.
Sementara, kalau kita lihat Hilarry dan Trump, kita tidak merasa aura
optimisme yang serupa. Malah kita menjadi ragu, mampukah keduanya
memerintah Negara super power itu? Optimismee bagi masyarakat adalah barang
langka tempo-tempo ini. Masyarakat lebih sering merasa dan melihat realitas yang
pahit daripada mencecap optimisme yang manis. Pada akumulasinya, realitas
pahit itu menciptakan warga yang cenderung apatis terhadap harapan.
Menemunkan kandidat yang mampu meniupkan optimisme dan harapan
perbaikan kepada pemilih itu sukar. Proses penemuan kandidat macam ini harus
kita mulai dari melihat jawaban-jawabannya atas permasalahan kita: kandidat
yang menjawab dengan solusi cerdas, mengerti permasalahan, tahu peta situasi di
lapangan, dan pandai menempatkan diri di berbagai level masyarakat.
Bangsa ini butuh lebih banyak pemimpin yang membawa angin
optimisme, bukan justru hujan badai pesimisme. Di pilkada 2017 kita semua
berharap itulah yang ditemukan di berbagai daerah. Semoga.
2.3.1
Tematik
Tematik yang dapat ditemui dalam tajuk “Belajar Debat di AS”
adalah
realitas kandidat pemimpin yang tidak memiliki sikap leadership, khususnya sikap
optimisme. Berikut kutipan yang dapat dijadikan sampel.
“Menemunkan kandidat yang mampu meniupkan optimismee
dan harapan perbaikan kepada pemilih itu sukar. Proses
penemuan kandidat macam ini harus kita mulai dari melihat
jawaban-jawabannya atas permasalahan kita: kandidat yang
menjawab dengan solusi cerdas, mengerti permasalahan, tahu
peta situasi di lapangan, dan pandai menempatkan diri di
berbagai level masyarakat.”
Kutipan di atas memaparkan bahwa realitas kandidat yang ada saat ini terkesan
tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Hal itu dapat diamati dalam kampanye
ataupun debat yang terlaksana di dalam sebuah wilayah. Jika dalam hal ini adalah,
Amerika Serikat yang merupakan Negara yang besar. Maka, melalui tajuk ini,
penulis menyampaikan bahwa hal itu harus menjadi koreksi tersendiri bagi
kandidat di Indonesia. Selain itu, secara masyarakat harus peka dengan keadaan
tersebut.
2.3.2
Skematik
Skematik yang terdapat dalam tajuk “Belajar Debat di AS”, pertama pada
kategori summary. Penulis memberikan judul Belajar Debat di AS sebenarnya
ingin mengikat pembaca pada persoalan inti yang hendak dipaparkan di dalamnya.
Kemudian, penulis menggunakan teknik lead berupa pengantar ringkasan apa
yang ingin dikatakan, seperti tampak pada kutipan di bawah.
“Debat dua calon presiden Amerika Serikat, Hilarry Rodham
Clinton dan Donald Trump, menarik untuk dicermati publik
Indonesia. Kedua kandidat sudah dua kali berdebat dan akan
menghadapi debat terakhir kalinya sebelum rakyat AS
menentukan pilihan November mendatang.”
Kedua, kategori story, yakni berita secara keseluruhan. Setelah penulis
memberikan ringkasan pengantar yang berlandaskan tema atau topik, penulis
memaparkan jalannya cerita. Seperti pada kutipan berikut.
“Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru
“melewatkan” kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau
tidak menjawab pertanyaan, apa yang mereka lakukan? Yang
keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan
lawannya.”
Kutipan di atas, penulis memaparkan cerita bahwa studi-studi kasus tentang
kandidat pemimpin wilayah yang kurang berkapasitas yang mengambil contoh di
AS. Hal tersebut dilakukan agar penekanan atas tema yang diambil lebih tertonjol
setelah penulis memaparkan ringkasan sebagai pengantar materinya.
2.3.3
Latar
Latar yang terdapat dalam tajuk “Belajar Debat di AS” ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara
yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan
demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak
mencerminkan hal itu.”
Jika disinkronkan dengan tema yang terkandung, maka dapat dikatakan bahwa
kutipan di atas merupakan latar belakang dari tema tersebut. Kondisi kandidat
yang ada di Amerika Seritkat sebaiknya sudah menjadi pelajaran bagi bangsa
Indonesia. Bahkan, Amerika Serikat yang memiliki predikat Negara paling
demokratis pun masih terdapat peluang kualitas kandidat yang tidak berkualitas.
Apalagi Indonesia yang dapat dikatakan masih di bawah Amerika Serikat.
2.3.4
Detail
Detil yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat di amati pada
kutipa berikut.
“Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang
matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus
reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masingmasing kandidat sepanjang debat berjalan.
Lewat debat itu Clinton, yang maju dari partai democrat dan
Trump yang meluncur dari Partai Republik menunjukkan
sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS. Rakyat
menjadi penilainya, apakah kandidat mereka menjawab dengan
baik, menunjukkan kepemimpinan yang solid, menguasai
materi, serta mampu mengupas kelemahan lawan.
Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru
“melewatkan” kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau
tidak menjawab pertanyaan, apa yang mereka lakukan? Yang
keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan lawannya.
Clinton dan Trump akan membuka sesi mereka dengan
mengatakan beberapa kalimat pembuka menjawab pertanyaan,
lalu kemudian mereka beralih menyoroti kekuarangan lawan,
kebijakan masa lalu, dan kesalahan-kesalahan lawan. Begitu
seterusnya kedua kandidat sepanjang waktu debat.
Tidak ada upaya untuk menjawab sistematis pertanyaan.
Padahal, pertanyaan itu penting temanya bagi public AS seperti
perekonomian nasional, utang, lapangan kerja, terorisme,
jaminan kesehatan sosal, keamanan nasional, nuklir, Timur
Tengah, dan lain sebagainya.
Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di
Negara yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan
demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak
mencerminkan hal itu.”
Kutipan pertama mencoba memberikan pemahaman terhadap pembaca
bahwa debat bukanlah hal gampang, apalagi debat dari kandidat pemimpin.
Kutipan kedua, penulis mulai mengambil kasus yang terjadi pada kandidat AS
yaitu Clinton dan Trump yang dalam hal ini seluruh bangsa Amerika Serikat
menyaksikan dan menilai bagaimana keduanya. Kutipan ketiga penulis
menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh kedua kandidat dari Amerika
Serikat tersebut. Keempat, kesalahkaprahan dari kedua kandidat tersebut
diperjelas dengan kasus nyata. Kelima, penulis berpendapat untuk memberikan
kesan bahwa apa yang dilakukan oleh kedua kandidat tersebut memang salah
kaprah dan menyeleweng. Kemudian, terakhir penulis memberikan saran kepada
pembaca agar kasus tersebut dapat dijadikan referensi bagi pembaca.
Dari penjelasan di atas, titik tekan yang terkadung adalah mirisnya
kandidat di AS yang salah kaprah dan mengedepankan ego. Dari parangraf ke
paragraph berikutnya, penulis lebih mendetilkan permasalahan dari stori yang
digunakan.
2.3.5
Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” adalah
pada kutipan berikut.
“Lewat debat itu Clinton yang maju dari partai demokrat dan
Trump yang meluncur dari Partai Republik menunjukkan
sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS.”
Kalimat kutipan di atas tidak akan berubah arti kalimat seumpama anak kalimat
dihilangkan. Contoh, lewat debat itu menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan
mereka kepada rakyat AS. Anak kalimat Clinton yang maju dari partai democrat
dan Trump yang meluncur dari Partai Republik berfungsi sebagai penjelas.
Padahal meskipun tidak diberi anak kalimat, kalimat itu sudah bisa dimaknai
karena pada akhir kalimat sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah Clinton dan
Trump dengan menyebut “rakyat AS”.
2.3.6
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat diamati
pada kalimat, Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar program pasti akan
dilakukan seluruh kandidat. Tebar janji, bedah masalah, dan program diposisikan
di awal untuk menjelaskan bagaimana lumrah dilakukan oleh kandidat manapun.
Selain itu, dengan penempatan tersebut penulis menginginkan agar akibat-akibat
yang selalu dilakukan objek terkesan lebih menonjol. Dengan cara seperti itu,
maka akan lebih sinkron dengan tema yang diangkat.
2.3.7
Kata Ganti
Kata ganti yang terdapat pada tajuk “Belar Debat di AS” dapat dikatakan
banyak. Berikut salah satu contoh sampelnya.
“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak.”
“Di sinilah pentingnya kita kembali mencermati beberapa hal.”
“Namun, kita akui, keduanya memiliki satu faktor utama, yakni
jawaban-jawabannya mampu membangkitkan optimisme
pemilihannya bahwa ada harapan perbaikan pascapemilihan,
terlepas dari apa pun kekuarangan Obama dan Jokowi.”
“Sementara, kalau kita lihat Hilarry dan Trump, kita tidak
merasa aura optimismee yang serupa.”
Kutipan di atas, penulis tampak sering menggunakan kata ganti “kita” dapat
menyampaikan argumentasinya. Tentu hal ini bukan semata-mata tidak disengaja.
Pemakaian kata ganti jamak mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas,
aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi ke pada diri sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata ganti ini bertujuan untuk menarik
simpati pembaca untuk menyetujui sudut pandangnya.
2.3.8
Leksikon
Leksikon yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat di amati pada
kutipan berikut.
“Optimisme bagi masyarakat adalah barang langka tempotempo ini.”
“Sebentar lagi musim kampanye. Tebar janji, bedah masalah,
sampai umbar program pasti akan dilakukan seluruh kandidat.
Perang pernyataan pasti akan terjadi. Politik akan menjadi
sangat riuh. Pada satu titik, masyarakat akan sukar menentukan
pilihan karena terlalu berisik. “
Penggunaan kata langka pada kutipan pertama memiliki arti jarang atau sukar
ditemukan. Namun, penulis menggunakan kata yang berbeda dengan konotasi
yang cenderung negatif untuk menunjukkan persamaan arti dan kondisi.
Kemudian, penulis menggunakan kata,
Tebar janji, bedah masalah, umbar
program, perang pernyataan, dan berisik, juga merupakan contoh yang sama.
Penggunaan leksikon tersebut secara implisit menjelaskan bagaimana ideologi
penulis. Dalam hal ini, penulis hendak melegitimasi untuk mendapatkan posisi
dominasi. Eriyanto (2012: 13) menjelaskan bahwa penulis membuat kesadaran
kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima.
2.3.9
Praanggapan
Praanggapan yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat dicermati
pada kutipan berikut.
“Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang
matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus
reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masingmasing kandidat sepanjang debat berjalan.”
Penulis
memberikan
praanggapan
melalui
presmis
bahwa
debat
merupakan hal yang sulit sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Meskipun
praanggapan tersebut merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi
dijadikan dasar untuk mendukung gagasannya.
2.5 Fungsi Bahasa
2.5.1 Fungsi Bahasa pada Koran Jawa Pos
Dari keseluruhan, koran ini memiliki dominasi fungsi bahasa konatif.
Penggunaan kata ”kita” oleh penulis mengandung unsur mengajak atau
memengaruhi. Maka dapat dicermati pada kutipan berikut.
“Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki
Tjahaja Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus
tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita
perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni
berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para
kandidat.”
Penulis mengajak pembaca dengan menggunakan bahasa “kita” untuk turut
sependapat dengannya. Selaras dengan tema yang diguankan adalah untuk
mengajak masyarakat agar berpikir kritis dalam menghadapi pemilu raya. Jadi,
tulisan tersebut sarat akan subjektivitas.
2.5.2 Fungsi Bahasa pada Koran Republika
Fungsi bahasa yang terdapat dalam tajuk Republika edisi 11 Oktober 2016
adalah fungsi konatif. Di dalamnya penulis sering berpendapat dengan cara
menghilangkan batasan antara si penulis dan si pembaca. Fungsi konatif tersebut
dapat dicermati pada kutipan berikut.
“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara
yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan
demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak
mencerminkan hal itu.”
Penggunaan kata “kita” oleh penulis dengan tujuan hendak memengaruhi pikiran
pembaca. Dari awal sampai akhir paragraf, banyak ditemui unsur konatif yang
mendominasi. Jadi, dalam hal ini, sarat akan unsur subjektivitas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Model penelitian wacana dari van Djik merupakan model yang paling
banyak digunakan. Teori van Djik ini meneliti teks dari segi tematik, skematik,
latar, detil, maksud, koheren, koherensi kondisional, koherensi pembeda,
pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, praanggapan, grafis, dan
metafora.
Kora Jawa Pos dan Republika pada tanggal 11 Oktober 2016 sama-sama
membahas tentang bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi pemilihan
umum. Setelah dianalisis menggunakan teori van Djik, tidak semua aspek terdapat
di dalam kedua koran tersebut. Namun, pada intinya, kedua koran tersebut
memiliki fungsi bahasa memengaruhi atau fungsi konatif.
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata baik dan benar. Sebab itu, adanya kritik,
saran, dan arahan sangat diharap demi menyempurnakan pemahaman pada diri
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2012. Analisis Wacana. Cetakan ke X.Yogyakarta: IKAPI
Lampiran.
Lampiran.