Rohingya dan Kekerasan Junta Militer

Rohingya dan Kekerasan Junta Militer
FAJAR KURNIANTO
Tragedi pembantaian terhadap masyarakat muslim Rohingya, Myanmar, oleh sebagian
penganut Buddha radikal yang disokong junta militer Myanmar seperti sepi reaksi dan kecaman
dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika yang mengaku sebagai
pembela HAM seperti bungkam.
Meski masyarakat Rohingya sudah puluhan tahun ada di Myanmar sebagai komunitas
muslim, tetapi pemerintah junta militer Myanmar tetap menganggap mereka sebagai pendatang
illegal yang harus diusir. Kalau perlu dengan tindakan kekerasan. Sementara penganut Buddha
radikal menganggap mereka tidak berhak menginjakkan kakinya di “tanah suci” Myanmar yang
mayoritas Buddha.
Pembunuhan, dalam agama mana pun jelas dilarang. Dalam agama Buddha, misalnya,
dikenal lima ajaran moral, yaitu: pertama, Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Aku
bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup). Kedua, Adinnadana
Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Aku bertekad akan melatih diri menghindari
pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan).
Ketiga, Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam (Aku bertekad akan melatih diri
menghindari melakukan perbuatan asusila). Keempat, Musavada Veramani Sikkhapadam
Samadiyami (Aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta). Kelima,
Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami (Aku bertekad akan
melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya

kesadaran).
Siddharta Gautama, pendiri agama Buddha, pertama melatih diri untuk melaksanakan
amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang
diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu: pertama, Tubuh (kaya): pembunuhan,
pencurian, perbuatan zinah. Kedua, Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan
kasar, percakapan tiada manfaat. Ketiga, Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan
kepercayaan yang salah.

Bukan hanya Buddha, semua agama juga mengajarkan kasih. Islam, misalnya, melarang
keras penganutnya membunuh manusia. Perbuatan ini dikategorikan sebagai dosa besar. Dalam
Islam, misalnya, disebutkan bahwa Tuhan sangat mencintai orang-orang yang mencintai
sesamanya. Bahkan, dalam Islam ditegaskan, seseorang bisa masuk neraka gara-gara mengurung
seekor kucing tanpa diberi makan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Budhis Indonesia pada 22 Juli lalu memberikan
pernyataan sikap mengutuk keras tindakan pemerintah Myanmar dan umat Buddha Myanmar
terhadap muslim Rohingya karena tidak sesuai akidah agama Buddha yang penuh welas asih dan
cinta kasih. Mereka juga menyatakan, tindakan pemerintah Myanmar tidak sesuai serta
melanggar Piagam PBB lahir berdasarkan Konferensi San Francisco yang ditandatangani pada
tanggal 26 Juni 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan
diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A

(III).
Pemerintah Indonesia secara resmi belum menyatakan sikap mengutuk Myanmar, meski
mengaku sudah berupaya keras untuk membela muslim Rohingya dari kekejaman junta militer.
Padahal, posisi Indonesia di lingkaran ASEAN sangat penting. ASEAN sendiri juga masih
bungkam, meski sudah bertekad akan memajukan demokratisasi di kawasan ASEAN, terutama
Myanmar. Dibebaskannya Suu Kyi oleh junta militer setelah mengalami penahanan rumah
selama 15 sampai 21 tahun terakhir, serta diberinya kebebasan untuk kembali berpolitik, juga
keinginan pemerintah Myanmar untuk lebih serius mengembangkan demokrasi di negara itu,
sebetulnya memberi harapan demokrasi Myanmar.
Tragedi Rohingya jelas menunjukkan belum seriusnya junta militer mendemokrasikan
negara itu. Pemerintah masih melakukan kekerasan tidak hanya kepada para pejuang pro
demokrasi untuk Myanmar seperti Suu Kyi, tetapi juga terhadap kaum minoritas. Myanmar
memang dikenal sebagai negara dengan pelanggaran HAM berat di dunia. PBB tentu layak
mengecam dan kembali menghukum pemerintah Myanmar atas tragedi Rohingya. Itu jika
memang PBB benar-benar pembela HAM yang tegas dan adil.
*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Senin 6 Agustus 2012