Pro Kontra UU Organisasi Kemasyarakatan

Edbert Gani
1206243141
Mata Kuliah Perubahan Sosial Ekonomi dan Dinamika Politik
Ilmu Politik – FISIP UI , Depok

Pro Kontra UU Organisasi Kemasyarakatan :
Pencegahan Anarkisme dan Pembatasan Ruang Gerak Buruh
Abstrak
UU Ormas yang telah dibahas bertahun-tahun di legislatif akhirnya diresmikan. Salah satu
ancaman paling riil dari UU tersebut adalah pembatasan ruang gerak organisasi buruh.
Pandangan yang muncul kemudian adalah adanya kepentingan dari kelas pengusaha
terhadap munculnya UU ini. Sehingga pada kondisi ini negara sedang mengakomodir
kepentingan ekonomi pengusaha yang dapat terancam dengan menguatnya gerakan buruh.
Di luar hal itu, UU Ormas ini nyatanya juga dirasa penting sebagai pemagaran aksi ormas
yang di luar batas toleransi.

Kata Kunci: organisasi kemasyarakatan, buruh, pengusaha, negara.

Demokratisasi yang terjadi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari kebangkitan civil
society atau masyarakat madani. Simbol dari masyarakat madani salah satunya adalah


organisasi kemasyarakatan yang menjamur di tengah masyarakat. Ormas ini didirikan dengan
berbagai macam latarbelakang kelompok baik ras, suku bangsa, agama , hingga ideologi.
Dalam masa pergerakan kemerdekaan kita tentu akan teringat akan peran dari ormas-ormas
seperti Budi Utomo, Serikat Islam, Muhammadyah, dan lain-lain. Masyarakat yang tergabung
didalam ormas dapat dimobilisasi dengan begitu cepatnya untuk menuju sebuah tujuan
tertentu.
Pada masa Orde Baru masyarakat kita dipertemukan dengan sebuah masa
pengekangan akan kebebasan berpendapat. Rezim represif yang dilakukan Soeharto secara
nyata membisukan suara-suara yang berlawanan dengannya. Secara konstitusional ia
menggunakan Pancasila sebagai tameng untuk memberantas semua yang berlainan pendapat.
1

Dijadikannya Pancasila sebagai Asas Tunggal membuat Pancasila begitu sakral dan suci.
Sehingga adalah sebuah kesalahan berat bila tidak mengikuti Pancasila.
Asas tunggal ini diberlakukan tidak saja kepada partai politik, melainkan juga kepada
semua ormas. Undang-undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dengan
jelas memerintahkan semua ormas untuk mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya
asas. 1 Jumlah ormas tentu berkali-kali lipat lebih banyak jumlahnya dibanding dengan jumlah
partai, yang bahkan dikurangi lagi oleh Soeharto menjadi hanya 2 partai dan Golkar. Dengan
demikian penanaman Pancasila telah merangsek bukan hanya dalam masalah politik

melainkan juga pada kehidupan sosial masyarakat.
Soeharto melakukan itu semua untuk mendapatkan kestabilan kekuasaan. Dengan
kerjasama ABRI ia menekan masyarakat untuk patuh dan tidak memilih bersebrangan dengan
Pancasila. Ormas terus diawasi agar tidak menjadi tempat munculnya gerakan menentang
pemerintah. Pejabat-pejabat dan pensiunan militer tidak hanya ditempatkan didalam partaipartai tapi juga ke ormas-ormas yang penting. Dengan cara demikian tindak-tanduk ormas
bisa dengan mudah diawasi.
Pendanaan ormas juga dipagari oleh rezim Soeharto. Ormas begitu kesulitan untuk
mendapatkan dana. Kucuran dari asing sangat sulit didapat lantaran diberlakukan larangan.
Dengan demikian ruang gerak ormas akan semakin sempit lantaran sulitnya mendapatkan
biaya. Bahkan setiap proyek yang ingin dilakukan oleh ormas harus dilaporkan terlebih
dahulu kepada pemerintah dan harus menunggu persetujuannya. Bisa dibayangkan
bagaimana ormas kesulitan untuk berperan aktif dalam membangun demokratisasi.
Reformasi akhirnya datang ke Indonesia sebagai sebuah momentum kebangkitan yang
baru. Setelah berjalan hampir 15 tahun, masyarakat Indonesia masih berjuang untuk benarbenar keluar dari kekangan masa lalu. Berbagai langkah telah dilakukan untuk itu. Termasuk
pemberdayaan civil society sebagai motor penggerak pembangunan. Masyarakat Indonesia
seketika

menjadi „demam‟

kebebasan.


Dimana-mana terdengar

dengungan untuk

menyuarakan aspirasi. Gerakan mahasiswa yang menjadi motor penggerak perlawanan
terhadap Soeharto adalah salah satu contoh bagaimana kemerdekaan pendapat saat ini begitu
nyata.
Selain itu organisasi buruh juga mulai tumbuh sebagai sebuah kekuatan baru
masyarakat sipil Indonesia. Kebebasan berserikat memberikan implikasi langsung dari
keberanian para buruh memperkuat basis organisasi mereka. Banyak perusahaan yang mulai
1

Lihat UU No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Bab II mengenai Asas dan Tujuan
Ormas.

2

mengakomodir kepentingan para buruh untuk mendirikan serikat. Organisasi buruh ini
penting untuk memuluskan langkah para buruh untuk mendorong kenaikan upah dan

berbagai kepentingan lain yang mereka ingin ajukan kepada para pemilik modal dan juga
negara.
Namun ditengah gelombang kebebasan ini muncul sebuah perdebatan baru.
Pemerintah merancang sebuah UU tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini dibuat untuk
mengganti UU No.18 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini dirasa perlu
untuk mengatur gerak ormas yang jumlahnya sudah sangat banyak. Lebih khusus lagi UU ini
digadang-gadang untuk memberikan rel yang jelas antara mana yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh ormas, menyusul banyak tindakan anarkis yang dilakukan oleh ormas-ormas
tertentu.
UU Ormas ini kemudian menjadi kontroversi karena banyak pihak, terutama ormasormas itu sendiri, yang menentang pasal-pasal yang dirasa mengeberi semangat kebebasan
berserikat. Ketakutan akan UU ini melahirkan aksi protes yang begitu banyak. Gelombang
penolakan dengan deras masuk ke para legislator di DPR. Masyarakat kembali diingatkan
akan situasi yang penuh tekanan seperti pada masa Orde Baru. Para tokoh takut bahwa UU
ini akan menjadi pintu kembalinya rezim otoriter di Indonesia. Selain itu UU ini sarat
kepentingan para pengusaha yang terancam keuntungannya dengan kekuatan aksi para buruh.
Meski mendapatkan penolakan akhirnya UU ini disahkan. Namun ternyata itu tidak
meredakan aksi penolakan. Perdebatan masih terus berlangsung antar para tokoh masyarakat
dan ahli-ahli. Menjadi menarik kemudian untuk melihat relevansi UU Ormas ini dengan
situasi sosial politik Indonesia saat ini. Karena tentu kita tidak dapat menyamakan
latarbelakang situasi dengan Indonesia pra-reformasi.

Sehingga paper ini ingin mengupas mengenai apa urgensi dari UU no.17 tahun 2013
tentang Ormas ini? Serta siapa sebenarnya pihak yang diuntungkan dari UU Ormas ini?

Mengontrol Anarkisme
Perdebatan yang timbul di masyarakat terkait UU Ormas adalah hak setiap warga
negara untuk berserikat dan berkumpul. Dengan adanya regulasi yang mengatur hal tersebut
maka timbul kekhawatiran bahwa kebebasan itu akan terenggut. Apalagi di era reformasi ini
masyarakat Indonesia sedang merasakan keranjingan akan kebebasan setelah lama diperintah
oleh rezim otoriter.
Masyarakat mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 yang memberikan kebebasan untuk
berserikat dan berkumpul. Pasal itu diperkuat dengan tegas pada Pasal 28E Ayat 3 Perubahan
3

Kedua tahun 2000 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. ” Jimly Asshiddiqie dalam bukunya menyatakan

bahwa penempatan pasal tersebut pada Bab X tentang Hak Asasi Manusia memang
merupakan jaminan yang tegas terhadap kebebasan berserikat. Namun tidak boleh dilupakan
bahwa jaminan tersebut tetap membutuhkan pengaturan lebih lanjut perihal pelaksanaannya.2
UU Ormas bisa dipandang sebagai salah satu pengaturan lebih lanjut tersebut. Sehingga

perdebatan seputar UU Ormas ini akan banyak berkutat masalah kebebasan berserikat
sebagai hak dasar masyarakat dan kepentingan pemerintah untuk mengaturnya.
Pertama-tama bila pemerintah akan merumuskan sebuah UU yang harus ditanyakan
adalah apa alasan diperlukannya UU tersebut. Sebuah kebijakan publik akan dibutuhkan bila
menyangkut masalah publik. Bagaimana kita mengkategorisasikan masalah tersebut sebagai
masalah publik adalah dengan melihat dampak dari masalah tersebut. Fokusnya terletak
bukan pada pelakunya melainkan kepada akibat dari perbuatannya. Isu publik tentu tidak
hanya berdampak pada segelintir orang melainkan mempengaruhi masyarakat secara
keseluruhan.3
Bila kita menghubungkannya dengan konteks UU Ormas, maka pemerintah sudah
merasa bahwa ada kepentingan publik yang harus diatur terkait dengan Ormas. Dengan
logika demikian maka Ormas bisa mengganggu kepentingan publik apabila tidak
diberlakukan kebijakan untuk mengaturnya. Bila mengambil teori Theodore J.Lowi, Ormas
sebagai organisasi yang memberdayakan masyarakat lebih dekat dengan masalah yang
sifatnya substansif. Yang termasuk kedalam permasalahan substansif adalah yang berkenaan
dengan tindakan-tindakan manusia yang memiliki dampak langsung. 4 Kita kemudian bisa
menyambungkannya dengan tindakan-tindakan anarkis yang kerap dilakukan oleh oknumoknum ormas. Atau juga dari tindakan minimal seperti mengganggu ketertiban umum.
Menurut penuturan Kemendagri, jumlah ormas yang tercatat di Indonesia saat ini
adalah sejumlah 65.577.5 Dari jumlah tersebut menjadi wajar apabila pemerintah memberikan
pagar kepada ormas dalam bertindak dan berdiri. Apalagi bila terdapat ancaman-ancaman

terhadap perilaku anarkisme. Bisa kita lihat fungsi adanya pasal 59 dalam UU Ormas yang
2

Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat , Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal.10
3
Budi Winarno, Kebijakan Publik (Yogyakarta: CAPS, 2012), hal. 74.
4
Ibid., hal.75.
5
Penulis kesulitan untuk mendapatkan jumlah total Ormas di Indonesia. Angka tersebut diambil dari ungkapan
Kepala Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kementerian Dalam Negeri
(Kesbangpolinmas Kemendagri) Tantribali Lamo kepada detik.com
http://news.detik.com/read/2012/02/17/173316/1845443/10/wow-kemendagri-catat-jumlah-ormas-di-indonesia65577

4

menyatakan larangan untuk “melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial ”. Bisa kita lihat kaitan


pasal ini dengan perilaku anarkis yang dilakukan oleh Ormas. Selanjutnya juga dikatakan
bahwa, “melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian dengan jelas

pemerintah ingin menjauhkan ormas dari perilaku „main hakim sendiri‟.
Terkait persoalan ini, yang menarik adalah diskursus yang kerap muncul ke
permukaan adalah seputar ulah ormas Islam. Di media begitu banyak tekanan dari
masyarakat yang menyayangkan tindakan ormas Islam yang kerap melakukan tindakan
anarkis dengan alasan melakukan penertiban. Dalam perumusan sebuah kebijakan pemerintah
dan masyarakat menjalani sebuah proses yang dinamis antara kepentingan dan tuntutan.
Tindakan yang anarkis dilakukan oleh oknum ormas menghasilkan tuntutan dari masyarakat.
Bila dengan kondisi yang seperti sekarang sebuah ormas memiliki kesempatan berbuat
anarkis, maka pemerintah wajib untuk memberlakukan peraturan yang bisa menangkal
perilaku itu dimasa mendatang. Sehingga kurang tepat bila kita hanya menyederhanakan
bahwa UU Ormas semata-mata hanya untuk menahan golongan Islam saja. Karena sejatinya
sebuah kebijakan harus mempertimbangkan relevansinya dalam kondisi dan situasi yang
berbeda. 6 Dan dalam hal ini tindakan anarkis yang dilakukan oleh ormas Islam hanyalah
pemicu dari timbulnya masalah tersebut.
Jumlah ormas dan perilaku ormas yang cenderung anarkis memang bisa dijadikan
alasan untuk memberlakukan UU Ormas di Indonesia. Namun itu juga belum bisa dikatakan

cukup untuk menjelaskan urgensi dari kebijakan tersebut.

Serikat Buruh vs Pengusaha
Selepas masa Orde Baru, gerakan-gerakan buruh mulai menapaki kebangkitannya.
Perjuangan yang dilakukan oleh buruh-buruh di Indonesia telah berlangsung sangat lama.
Pertentangan kelas seperti yang digagas oleh Marx tetap menjadi acuan pergerakan buruhburuh. Namun pergerekan buruh di Indonesia pada masa sebelum reformasi cenderung tidak
teroganisir. Hal ini menyebabkan kekuatan buruh tidak begitu kuat dalam menentang para
pemilik modal. Terbukanya kebebasan berserikat dan berkumpul pasca reformasi merubah itu
semua. Sejak reformasi mulai bermunculan banyak serikat buruh di Indonesia.

6

Budi Winarno, Op.Cit., hal.95.

5

Kemunculan serikat-serikat buruh ini menjadikan gerakan mereka lebih terorganisir
secara rapih. Untuk tingkat nasional, tercatat pada tahun 2000 sudah 40 serikat butuh yang
terdaftar. Bahkan di tahun yang sama serikat buruh di level perusahaan telah menyentuh
angka tidak kurang dari 10.330 organisasi. Terjadi transformasi yang besar dalam pergerakan

para buruh lewat jalur organisasi. 7 Angka-angka tersebut menunjukkan bagaimana
perjuangan buruh dalam mendapatkan kesejahteraan semakin terorganisir dengan baik.
Disaat kepentingan buruh mulai mendapatkan wadahnya, para pengusaha atau pemilik
modal mendapatkan dampak berupa tekanan yang besar. Tekanan untuk memberikan
kesejahteraan kepada karyawan menjadi tidak terelakan lagi. Serikat buruh di tiap perusahaan
adalah salah satu jalan bagi para buruh untuk menyatukan kekuatan untuk menekan para
pemilik modal. Embrio dari itu adalah Konvensi ILO No.78 yang diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia dengan dikeluarkannya Kepmenaker No.05 tahun 1998. Hasil dari konvensi itu
adalah kebebasan berserikat bagi para buruh. 8 Sehingga perusahaan mau tidak mau harus
memberikan kelonggaran untuk itu.
Pertumbuhan ekonomi negara kita yang ditopang oleh kelas menengah memang
menjadikan para pengusaha sebagai aktor utamanya. Lapangan pekerjaan begitu meluas
dengan semakin banyaknya pemilik modal yang muncul. Logika yang terjadi dengan
peningkatan lapangan pekerjaan adalah bertambahnya jumlah buruh yang ada. Baik sektor
formal maupun informal. Dengan demikian jumlah buruh yang memiliki kepentingan untuk
melakukan gerakan semakin banyak pula. Disatu sisi hal ini tentu positif karena berarti
semakin banyak masyarakat Indonesia yang mendapatkan penghasilan. Namun ini akan
menghasilkan pertentangan ketika berbenturan dengan kepentingan kapitalis yang
mengedepankan efektivitas biaya. Tuntutan untuk menaikkan upah adalah beban yang harus
para pengusaha tanggung. Bahkan tuntutan itu tidak membutuhkan waktu lama setelah

tuntutan yang lama dikabulkan.
UU Ormas yang juga memayungi organisasi buruh bisa menjadi celah yang bisa
dimanfaatkan para pengusaha bila pengawasannya tidak dilakukan dengan baik. Para
pengusaha dalam hal ini memiliki kepentingan untuk UU Ormas disahkan. Sederhananya
ialah pertumbuhan serikat buruh dapat diredam dengan diberlakukannya UU tersebut. Yang
dapat mendukung hal tersebut adalah persyaratan pendaftaran ormas tersebut yang diatur oleh
UU Ormas.

7
8

Nor Hiqmah, Indonesia Menapak Demokrasi (Jakarta: YAPPIKA, 2002), hal.163
Ibid.

6

Dita Sari, seorang pejuang buruh, menuliskan bahwa peran serikat buruh sangatlah
penting dan cenderung kuat bila dibandingkan dengan gerakan yang dilakukan oleh LSM
atau LBH. Gerakan buruh sangat terbantu dengan adanya serikat buruh dikarenakan mereka
dapat langsung mengurusi kepentingan mereka sendiri. Pada masa Orde Baru urusan mereka
harus diperjuangkan lewat LSM atau LBH yang kerap tidak efektif dan bertele-tele. Ada
empat indikator yang diberikan oleh Dita untuk menilai peningkatan kualitas pergerakan
buruh ini. Pertama , adanya aksi buruh yang terorganisir. Kedua , tuntutan meluas tidak hanya
masalah domestik mereka namun juga masalah makro. Ketiga , munculnya kesadaran kaum
buruh dalam memperjuangakan demokrasi. Keempat, bangkitnya kaum buruh nonmanufaktur yang turut serta dalam aksi. 9
Serikat buruh memang sudah diatur haknya dalam UU No.21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Namun kedua payung hukum ini, UU Ormas dan UU Serikat
Buruh, bisa saling tumpang tindih bila tidak diawasi dengan baik. 10 Karena bagaimanapun
juga serikat buruh dianggap sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh buruh yang secara
langsung adalah anggota masyarakat. Serikat ini tentu memiliki tujuan tertentu yang ingin
dicapai dalam pembentukannya. Dengan demikian bila kita mengambil definisi dari Ormas
maka serikat buruh masuk didalamnya. Celah ini yang benar-benar perlu menjadi perhatian.
Dalam UU No.21 Tahun 2000 sebenarnya telah mengatur perlindungan kepada para
buruh dari intervensi para pengusaha. Bahkan bila terjadi penghalangan terhadap pendirian
serikat buruh bisa dikenai sanksi pidana. Yang menjadi masalah dalam UU ini hanyalah
pengawasan. 11 Dengan disahkannya UU Ormas pantaslah bila para buruh was-was mengenai
kekuatan dari UU yang selama ini melindungi mereka. Proses pembentukan serikat buruh
bisa terancam kelancarannya bila pengusaha melakukan kerjasama dengan pemerintah.
Menurut Dita salah satu ancaman dari pergerakan buruh ini adalah bila terjadi lobby
antara pengusaha dengan pemerintah. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh pengusaha
untuk bisa meminimalisir gangguan dari para buruh adalah bekerjasama dengan pemerintah
membuat kebijakan yang bisa menyempitkan ruang gerak buruh. Sehingga dalam pandangan
buruh pengusaha membutuhkan landasan konstitusional untuk bisa melakukan tindakan
represif terhadap kaum buruh.

9

Ibid., hal.13.
Lihat UU no.21 Tahun 2000 Pasal 28 ,menyebutkan bahwa “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau
memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk...serikat pekerja/serikat buruh ”
11
Djumadi, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),
hal.107.

10

7

Pengusaha-pengusaha memang memiliki alasan untuk meletakkan kepentingan dalam
UU tersebut. Pasar bebas yang akan dihadapi pasar Asia Tenggara di tahun 2015 menuntut
para pengusaha untuk bisa bersaing dengan ratusan perusahaan dalam dan luar negeri.
Persaingan akan lebih mudah bila tidak lagi direpotkan dengan masalah perburuhan. Karena
tidak jarang aksi para buruh merepotkan proses produksi.

Balance of Power

Penulis lebih memilih hal di atas sebagai alasan dan urgensi dari diberlakukannya UU
Ormas ini di Indonesia. Para pengusaha adalah mereka yang paling dirugikan bilamana
gerakan buruh terus-menerus mengganggu proses produksi mereka. Pemerintah yang
memerlukan para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan dan juga modal untuk
pembangunan mau tak mau juga harus memberikan akomodasi kepada para pengusaha
dengan melahirkan UU Ormas tersebut.
Negara bagaimanapun juga memiliki landasannya sendiri dan tak selamanya dikontrol
oleh kepentingan. Negara tidak bisa direduksi pengertiannya sebatas alat yang digunakan
oleh kelompok yang berkuasa. Kita bisa melihat bahwa sebenarnya negara memiliki
otonominya sendiri. Pandangan ini memberikan sebuah konsep yang dinamakan sebagai
otonomi relatif. Kita harus menyadari bahwa memang kekuatan-kekuatan individu maupun
kelompok yang ada didalam masyarakat memang sangat mungkin mempengaruhi negara.
Karena hal itulah maka posisi otonomi negara dikatakan relatif, tidak mutlak. Teori mengenai
otonomi relatif ini yang banyak digunakan oleh analis-analis politik kontemporer.
Gerakan-gerakan buruh dari aspek historis di negara-negara dunia adalah salah satu
hal yang tidak bisa kita lepaskan dari demokratisasi. Buruh sendiri adalah komponen yang
tidak bisa kita lepaskan dari pengusaha, atau pun borjuis itu sendiri. Kebangkitan ekonomi
para pengusaha tak lain adalah jerih payah dari para buruh tersebut. Dengan kata lain buruhburuh tersebut ada di dalam jantung roda kapitalisme yang hidup di negara.
Pada poin tertentu gerakan-gerakan buruh yang menuntut hak mereka secara lebih
besar akan mengganggu kepentingan dari para pengusaha. Sikap akomodasi yang dilakukan
oleh para pengusaha pada titik tertentu akan berbalik dengna usaha represi terhadap gerakan
buruh tersebut. Dalam konteks tersebutlah kita bisa melihat kesaling terkaitan antara negara
dengan pengusaha yang sama-sama memiliki kepentingan ekonomi.
Apa yang dilakukan oleh buruh adalah salah satu motor demokratisasi di sebuah
negara, termasuk Indonesia. Dalam hal ini kita dapat mengambil pemikiran dari Huber et.al.
Mereka berpendapat bahwa industrialisasi yang terjadi bisa merupakan paradoks dari
8

munculnya demokratisasi. Para pengusaha atau borjuis yang dipandang oleh pemikir seperti
Barrington Moore sebagai agen demokrasi ditolak oleh Huber et. al. Kelas pengusaha
memang mendorong adanya industrialisasi. Dalam industrialisasi lahirlah kelas-kelas baru
yang disebut sebagai kelas subordinat. Lambat laun kelas subordinat tersebut semakin
menguat beriringan dengan semakin kuatnya industrialisasi. 12 Dengan kekuatannya itu maka
mereka dapat mengrontrol kekuatan dari kelas pengusaha yang melahirkan mereka. Gerakan
buruh tersebut adalah salah satu contoh nyata dari hal tersebut.
Huber et.al menyebutkan bahwa demokratisasi dapat berkembang bila terdapat
keseimbangan kekuatan (balance of power ) dalam suatu negara. Terlebih lagi, Huber et.al
melihat yang paling penting adalah keseimbangan kekuatan antar kelas yang ada.
Keseimbangan kekuatan kelas itu dapat terjadi hanya dengan hidupnya tekanan dari kelaskelas subordinat yang bergerak dari bawah. 13 Adanya tekanan dari bawah akan membuat
negara dengan sendirinya membuat sistem yang bisa mengakomodir kepentingan dari bawah.
Karena tak dapat dipungkiri kelas subordinat tersebut sebenarnya adalah mayoritas dari
masyarakat. Sehingga adalah sebuah keniscayaan bagi pemerintah untuk membuka akses
yang demokratis bagi kelas tersebut agar stabilitas politik dapat tetap berjalan.
Sehingga bila kita menarik kembali permasalahan pada UU Ormas ini, bisa dikatakan
negara sedang berusaha untuk membatasi akses dari kelas subordinat untuk dapat memiliki
kekuatan yang berimbang dengan kelas pengusaha. Kepentingan yang lebih diakomodir dari
UU ini adalah kepentingan pengusaha.
Dalam kacamata yang lebih besar, UU Ormas ini dapat kita lihat sebagai sebuah
ancaman dari demokrasi itu sendiri. Seperti yang telah disebutka sebelumnya, demokrasi
dapat tercipta ketika adanya perimbangan kekuatan dari kelas yang ada. Apabila kekuatan
kelas subordinat, yakni buruh, diperlemah maka kelas pengusaha akan memiliki kekuatan
besar dalam mengontrol sumberdaya. Hal inilah yang perlu untuk diawasi bersama.

Kesimpulan
UU ini memang tidak bisa juga disederhanakan sebagai pembatasan atas hak asasi
untuk berserikat dan berkumpul. Karena pada dasarnya kebebasan itu juga memerlukan
regulasi untuk mengaturnya agar tidak salah arah dan merugikan masyarakat luas. Sedangkan
yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan sosialisasi secara merata agar
Evelyne Huber, et.al, “The Paradoxes of Contemporary Democarcy: Formal, Participatory, and Social
Dimensions,” Comparative Politics, Vol.29, No.3. (April, 1997), hal. 325.
13
Ibid., hal. 331.

12

9

masyarakat, khususnya anggota dan pengurus Ormas, bisa memiliki frekuensi yang sama
dalam mengartikan setiap pasal dalam UU.
UU Ormas ini bila dilihat kembali juga bisa bersentuhan dengan isu ekonomi politik.
Dari sudut pandang buruh, pengusaha atau perusahaan-perusahaan besar memiliki
kepentingan didalamnya. Kepentingan tersebut adalah untuk menutup ruang gerak serikat
buruh yang saat ini sangat berkembang jumlahnya. Tindakan protes yang kerap dilakukan
oleh para buruh kerap menyulitkan pengusaha. Sehingga menjadi logis ketika UU ini
disangkutpautkan dengan kerjasama pengusaha dan pemerintah, meskipun ini memerlukan
penelusuran yang lebih mendalam.
Huber et.al. dalam tulisannya telah menjelaskan bagaimana demokrasi dapat terwujud
ketika adanya perimbangan kekuatan antar kelas yang ada di dalam sebuah negara. UU
Ormas yang memiliki indikasi pembatasan ruang gerak buruh ini dengan demikian
merupakan ancaman dari demokrasi. Kelas pengusaha dapat menggunakan UU Ormas ini
sebagai alat untuk membatasi ruang gerak buruh sehingga roda kapitalisme mereka tidak
terganggu perputarannya. Alhasil kekuatan yang melemah dari para buruh ini akan membuat
adanya implikasi jangka panjang dari proses demokratisasi Indonesia.
Ancaman tersebut perlu menjadi perhatian serius di tengah arus liberalisasi ekonomi
yang saat ini telah menyapu Indonesia. Dalam ekonomi neoliberal ini peran negara
diminimalisir dan banyak sektor strategis yang diberikan kepada pihak swasta. Untuk bisa
mengawasi agar kepentingan masyarakat kelas di menengah ke bawah diperlukan sebuah
usaha pengawasan dan kontrol kuat dari masyarakat sipil. Organisasi Kemasyarakatan adalah
salah satu solusi yang muncul setelah rezim otoriter Soeharto berakhir. Kebebasan untuk
berserikat ini sebenarnya adalah modal penting untuk menyeimbangkan kekuatan modal para
pengusaha.
Belajar dari Korea Selatan, masyarakat sipil memiliki kekuatan besar dalam
mendorong serta mempertahankan proses demokratisasi. Ketika partai politik tidak memiliki
kepercayaan dari masyarakat maka organisasi kemasyarakatan menjadi opsi lain penyaluran
aspirasi. Gerakan aksi massa sampai saat ini masih efektif dalam menekan pemerintah disana
dan masih dipercaya sebagai alat masyarakat. Dengan demikian Indonesia pun perlu
memberikan ruang yang lebih jelas kepada masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi secara
politik lewat organisasi kemasyarakatan. Tentunya agar akomodasi negara kepada pengusaha
dapat terus berimbang dengan kekuatan masyarakat sipil.

10

Daftar Pustaka
Buku-buku
Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,

2006.
Djumaidi. Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia . Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005.
Hiqmah, Nor. Indonesia Menapak Demokrasi – Evaluasi Perkembangan Reformasi dan
Peran Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: YAPPIKA, 2002.

Winarno, Budi. Kebijakan Publik : Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS, 2012.

Jurnal
Huber, Evelyne et.al. “The Paradoxes of Contemporary Democarcy: Formal, Participatory,
and Social Dimensions.” Comparative Politics. Vol.29, No.3. (April, 1997), hal.
323-342.

Internet
www.dpr.go.id
http://news.detik.com/read/2012/02/17/173316/1845443/10/wow-kemendagri-catat-jumlahormas-di-indonesia-65577

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang No.17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

11