Status pernikahan bagi wanita yang hamil diluar nikah dalam pesepektif para imam mazhab Fiqih,KHI,dan UU Nomor 1 Tahun 1974

(1)

STATUS PERNIKAHAN BAGI WANITA YANG HAMIL DILUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF PARA IMAM MAZHAB FIQIH, KHI,

DAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Ritna Pratama Syahfitriyana NIM. 108044100046

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya haturkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan hidayah-Nya, serta shalawat dan salam atas Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing manusia ke jalan yang benar. Akhirnya tugas penulis tentang, “Status Pernikahan Bagi Wanita Yang Hamil Di Luar Nikah Dalam Persepektif Para Imam Mazhab Fiqih, KHI, dan UU Nomor 1 Tahun 1974”, dapat terselesaikan secara baik seseuai dengan kemampuan penulis.

Dalam penulisan ini sebagai persyaratan akhir guna memperoleh gelar sarjana Strata-1 di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan untuk memberikan sumbangsih penelitian bagi perkembangnya ilmu pengetahuan pada umumnya.

Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan yang dimiliki penulis, sehingga selesainya penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah berjasa dalam penulisan ini, oleh karena itu hanya ucapan terima kasih kepada yang terhomat:

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. H. Kamarusdiana, S.Ag, MA Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. 3. Hj. Sri Hidayati, M. Ag,. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.


(6)

vi sampai dengan selesai.

5. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

7. Kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat. Maafkan anakmu ini yang telah lama lulusnya karena tidak mendengar nasehat-nasehatmu.

8. Untuk suamiku (Fathi Risyad, MA) yang telah banyak memberikan support dalam semua hal demi selesainya pendidikan ku.

9. Teman-teman Musyarofah, Zakia, Hani Nurhanifah, Mawardi, Aliseto, Akbar, Ade Taufik, Fahru Rozi, IBM andika, Wahyudi (legenda terakhir), yang banyak memberikan inspirasi dan pengalaman hidup yang banyak. 10.Teman-teman seperjuangan Program Studi Peradilan Agama Angkatan 2008

terimakasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang.


(7)

vii

Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, semoga jasa dan amal baik kalian semua mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Sebagai manusia yang tidak luput dari salah dan lupa, mungkin karya ilmiah ini tidak sempurna karena keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat berharap karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT.

Jakarta, 08 April 2015

Ritna Pratama Syahfitriyana Penulis


(8)

viii

Fiqih, KHI, dan UU Nomor 1 Tahun 1974”. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. X + 72 Halaman.

Kerancuan yang terjadi ditengah- tengah masyarakat berkaitan dengan banyaknya kasus pernikahan yang dilakukan oleh wanita yang sudah lebih dahlu hamil karena hubungan terlarang sehingga menimbulkan buah bibir masyarakat, ada yang mengatakan pernikahannya tidak sah adapula yang mengatakan sah pernikahannya. Oleh sebab itu penulis mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui skripsi ini semoga bias meredam kekeruahan dimata masyarakat yang berdampak bias bertebarnya fitnah ditengah-tengah masyarakat.

Adapun metode yang penulis ambil ialah library Research, dengan mengumpulan data-data ilmiah dari berbagai buku dan kitab klasik yang mendukung dengan judul skripsi ini, tentunya dengan bimbingan para pembimbing dan guru-guru yang mulia.

Yang pada akhirnya kesimpulan dari karya ilmiah ini adalah keharusan kita menyikapi berbagai perbedaan pendapat para Imam Mazhab dengan melihat konteks keindonesiaan yang penuh kedamaian. Dengan demikian sesuailah ajaran Nabi Muhammad SAW “Perbedaan Pendapat Umatku Adalah Kasih Sayang”. Kata kunci : Wanita yang Hamil di Luar Nikah, Perspektif Imam Mahzab dan

Fiqih

Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, MA Datar Pustaka : Tahun 1981 s/d Tahun 2011


(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PEGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Review Studi Terdahulu ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Sekilas Perkawinan ... 13

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 18

C. Hukum Perkawinan ... 22

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 25

BAB III KAWIN HAMIL DI LUAR NIKAH A. Pengertian Kawin Hamil di Luar Nikah ... 37

B. Sebab-sebab Kawin Hamil di Luar Nikah ... 39


(10)

x

A. Status Hukum Perkawinan Hamil Menurut Para Imam

Mazhab Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 45 B. Status Hukum Kawin Hamil Menurut Undang-undang No.1

Tahun 1974... 60 C. Analisa Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang Status

Hukum Perkawinan Wanita Hamil di Luar Nikah ... 63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran-saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA ... 71


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang utama dalam pergaulan masyarakat, pernikahan merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan serta keturunan manusia yang merupakan makhluk yang dimuliakan dan ditinggikan derajat akalnya dari makhluk lain.

Pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral, baik menurut ajaran agama Islam maupun kedudukannya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah perbuatan hukum yang membawa pengaruh sangat besar dan mendalam bagi orang yang melakukannya maupun bagi masyarakat dan Negara. Sehingga pengertian luas dari perkawinan adalah ikatan lahir batin dan tanggung jawab yang berkelanjutan, tidak hanya sekedar hubungan keperdataan saja, tetapi hubungan antara sesama manusia baik di dunia maupun di akhirat.1

Islam membangun kehidupan keluarga dan masyarakat atas dasar dua tujuan, yakni menjaga keluarga dari kesesatan dan bertujuan untuk menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat lahir sebuah generasi yang berdiri di atas

1

Bakrie A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan


(12)

landasan yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya.2 Oleh karena itu, Islam melarang adanya perzinahan, gundik dan mengambil isteri yang tidak halal tanpa ikatan yang sah sebagaimana larangan Allah SWT.

Lebih jauh dari semua itu, pernikahan merupakan hubungan manusia yang berlawanan jenis, yang menghasilkan kedamaian jiwa, ketenangan fisik dan hati, ketenteraman hidup dan penghidupan, keceriaan ruh dan rasa, kedamaian laki-laki dan wanita, kebersamaan di antara keduanya untuk meretas kehidupan baru dan membuahkan generasi baru pula yang di dalamnya tumbuh rasa kasih sayang dan cinta.3

Perubahan zaman sekarang ini dapat dikatakan “Jahiliyah Modern” karena di dalamnya banyak terjadi kemaksiatan dan keangkaramurkaan yang menjamur terutama di dunia remaja. Perbuatan maksiat yang timbul dari tidak terkendali nafsu syahwat cenderung menjerumuskan seseorang untuk melakukan tindakan yang melanggar norma-norma agama. Perilaku pergaulan bebas, free sex, mengumbar aurat dan seterusnya adalah imbas dari kesalahan para remaja dalam mengartikan cinta.

Akibat dari pergaulan gaya Barat tersebut adalah tersebar perzinahan di mana-mana dan hal itu bukan lagi dianggap sebagai masalah tabu bagi

2

Abduttawab Hakal, Rahasia Perkawinan Rasulullah, Poligami Dalam Islam vs Monogaml

Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. K.e-1, Hal:8-9.

3

Butsainan Al-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, (Jakarta: Pustaka Azzam,


(13)

3

masyarakat. Dewasa ini, sering kali didengar anak-anak yang lahir dari hasil hubungan luar nikah, bahkan untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut yang dilakukan justru mereka menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Ada yang lari kedokter atau dukun kandungan, ada juga yang segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang lain sebagai tumbal agar kehamilannya diketahui masyarakat sebagai kehamilan yang sah.4

Perkawinan akibat hamil di luar nikah dapat dikatakan pernikahan tersebut bukan lagi karena ibadah kepada Allah, akan tetapi karena keterpaksaan untuk menutupi rasa malu karena aib yang ditanggung si wanita, akhirnya pernikahan dilakukan tanpa persiapan yang matang, baik secara lahir maupun batin yang sebagaimana mestinya persiapan bagi calon pengantin pada umumnya.

Pernikahan yang diawali dengan hamil dapat memicu keretakan rumah tangga, dimana seseorang belum siap mental maupun fisik untuk membina sebuah keluarga. Karena dalam hal itu yang berperan adalah keegoisan saja, sehingga sulit untuk menyelesaikan dan memecahkan masalah, baik masalah yang datang dari dalam maupun dari luar. Bahkan, tidak menutup kemungkinan perkawinan berakhir dengan perceraian tragis.

4

Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001),


(14)

Pernikahan wanita hamil akibat zina ini menjadi salah satu masalah yang diperdebatkan di antara para ulama, para ulama mazhab sepakat akan kebolehan menikahi wanita yang berzina dengan pria yang menzinahinya. Sedangkan hukum pernikahan laki-laki yang bukan menghamilinya, ada dua pendapat di antara para ulama: Pertama, Abu Hanifah dan Al-Syafi'i mereka mengatakan sah nikah bagi pria yang bukan menghamilinya dengan syarat tidak boleh menggauli wanita tersebut sampai melahirkan. Kedua, pendapat Malik dan Ahmad mereka mengatakan bahwa pernikahan wanita zina dengan laki-laki yang bukan menzinainya tidak sah dan tidak boleh digauli.5

Dari perdebatan itu, Indonesia sebagai negara hukum dalam hal ini, mengatur masalah perkawinan pada Undang-undang No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan juga dalam Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hanya saja, dalam ketentuan-ketentuan tersebut banyak adanya perbedaan dalam pengaturannya. Misalkan saja pada KHI yang hanya mengatur masalah kebolehan pernikahan wanita hamil dengan pria yang mengahamilinya saja. Sedangkan menurut Burgerlijk Wetboek (BW) melarang adanya pernikahan.

Selain itu ada perbedaan pendapat para ulama tentang kewajiban akad nikah ulang setelah anak hasil zina itu lahir. Dari pendapat ulama tersebut.

5

Huzaemah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:


(15)

5

Bagaimana KHI menyikapi hal itu dengan ketentuan hukum yang tergolong singkat?.

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa kehamilan di luar pernikahan masih dijadikan bahan perdebatan terutama mengenai hukumnya, baik dari hukum positif atau UU Keperdataan, dan hukum Islam (fiqih). Dari uraian di atas penulis mencoba mengulas tema tersebut dalam sebuah skripsi yang berjudul “Status Perkawinan Bagi Wanita Yang Hamil Diluar Nikah Dalam Perspektif Para Imam Mahzab Fiqih, KHI, Dan UU Nomor 1 Tahun 1974”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, penulis membatasi masalah pada perbedaan pendapat tentang hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab viii pasal 53 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sekalipun secara teori wanita hamil diluar nikah hanya boleh dinikahi oleh yang menghamilinya, namun pada kennyataannya yang terjadi dimasyarakat banyak wanita hamil diluar nikah dinikai oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, sehingga terjadi simpang siur persepsi ditengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu penulis juga mencoba untuk memberikan pencerahan, tentunya berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang dibenarkan oleh para Imam-imam Mahzab yang tentunya sejalan dengan hukum positif.


(16)

Sedangkan perumusan masalah, penulis merumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana status pernikahan wanita hamil di luar nikah menurut para Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimana status pernikahan wanita hamil di luar nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974?

3. Bagaimana perbedaan pendapat yang muncul dalam masalah pernikahan wanita hamil di luar nikah antara Mazhab Fiqih, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan bagaimana pendapat terpilih yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuannya adalah :

a. Mengetahui status pernikahan wanita hamil diluar nikah menurut para Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam,

b. Mengetahui status pernikahan wanita hamil diluar nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

c. Mengetahui perbedaan pendapat dalam masalah wanita hamil diluar nikah antara fiqh, Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(17)

7

a. Manfaat bagi penulis guna menambah pengetahuan terhadap pentingnya ketentuan atau perbedaan pendapat hukum Islam dan hukum positif, b. Manfaat bagi Fakultas untuk menambah bahan referensi di perpustakaan, c. Dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat pada umumnya dan para

remaja khususnya tentang akibat dari perbuatan zina yang diantaranya dapat merusak moral bangsa.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah deskriptif komperatif. Metode ini dilakukan dengan membandingkan Undang-undang No. 1 (UU) satu dengan UU lain atau aturan satu dengan yang lainnya mengenai hal yang sama. Dalam hal ini penulis membandingkan permasalahan perkawinan wanita hamil di luar nikah menurut fiqh, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penelitian ini merupakan studi eksploratif yang mengkombinasikan normatif dan empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hokum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder.6

6

Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo


(18)

2. Data Penelitian

Dalam hal ini, data primer diperoleh dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dan diperoleh juga dari sumber-sumber pendapat para Imam Mazhab.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan pendukung seperti tulisan-tulisan yang tersebar dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang terkait dengan masalah ini. Data sekunder juga didapat dari Media Massa, (surat kabar baik yang cetak maupun elektronik).

3. Teknik dan Instrumen Pengumpul Data

Data yang telah dikumpulkan akan diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk dapat mengali dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Data yang diperoleh dari kajian bahan hukum, dalam hal ini undang-undang, serta dokumentasi dan tulisan-tulisan yang berkenan lainnya akan dianalisis dan ditinjau lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, dengan didukung oleh referensi lain yang memperkuat materi hukum.

Kajian terhadap undang-undang serta artikel dan tulisan lainnya bertujuan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, khususnya yang menyangkut perkawinan wanita hamil.


(19)

9

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data dan analisis dokumen/naskah (studi pustaka), surfing,7

Internet, artikel-artikel, jurnal-jurnal, ataupun dari sumber lainnya.

4. Analisis Data

Teknis analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinteprstasikan,8 atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisa. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa kualitatif atau analisa isi (content anlysis), yaitu penguraian data melalui kategorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat, baik menggunakan analisa deduktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan), maupun metode analisa induktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian dihubungkan dengan pertanyaan yang lebih sempit).

Data kualitatif dianalisis dan diinterpretasi bersamaan dengan proses pengumpulan data. Cara yang digunakan untuk menjadikan data siap

7

Bahasa ini sering digunakan untuk mencari sumber dan bahan dari internet atau dunia maya, surfing yang artinya berselancar.

8

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. I, h. 263. dan Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h. 244.


(20)

dianalisis melalui beberapa tahap berikut:9 1) Konseptualisasi Desain Penelitian, adalah langkah awal sebelum collecting data dan analisis data dengan menyusun kategori, basis teori atau konsep; 2) Coding Data, adalah mengklasifikasi data-data atau catatan yang telah terkumpul melalui dua cara; 3) Analisis Catatan, Data yang berupa catatan dan lainya direduksi menjadi nota, yang selanjutaya diberi komentar dan interpretasi.

Sedangkan pengolahan data dilakukan dengan cara: pertama, mengedit (editing) data. Kedua, mengklasifikasikan data berdasarkan masing-masing permasalahan yang telah dirumuskan.

Setelah data diolah, kemudian dianalisis dengan cara mendeskripsikan dan menimbang data-data tersebut dengan tori-teon yang ada dan diinterpretasikan dengan bahasa penulis sendiri. Hal ini agar jelas rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

E. Review Studi Terdahulu

Dari sekian banyak literatur skripsi di Perpustakaan Unit Fakultas Syariah dan Hukum, penulis mengambil beberapa skripsi untuk melakukan perbandingan. Antara lain:

Dalam skripsi ini, penulis menguraikan pengertian zina, dan bagaimana hukum perkawinan yang didahului dengan perbutan zina, serta bagaimana status

9

Ipah Farihah, Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 50-51.


(21)

11

anak berdasarkan apa yang di jelaskan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif. Dijelaskan juga persamaan dan perbedaan akibat perkawinan yang didahului oleh perbuatan zina yang ada di hukum Islam dan hukum Positif. Judul kripsi “Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya Terhadap Kedudukan Anak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.” Penulis: Sumiyati, 2003. Pembahasan skripsi ini meliputi dampak dari pekawinan hamil di luar nikah, yang berkaitan dengan status anak dari hasil zina itu, dengan analisa perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif.

Judul Skripsi “Nikah Wanita Hamil di Luar Nikah Menurut KHI (studi Kasus di KUA Kelapa Gading, Jakarta Utara).” Penulis: Muhammad Fitroh. 2007. Penulis skripsi ini menguraikan bagaimana aturan KHI terhadap pelaksanaan nikah wanita hamil di KUA Kelapa Gading Jakarta Utara. Judul Skripsi “Perkawinan Wanita Hamil Dalam Perspektif Imam Malik dan Imam Syafi’i.” Penulis: Muhammad Iqbal, 2007.

Skripsi ini membahas tentang perbedaan pendapat Imam Mazhab, yaitu Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah. Berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu, skripsi yang penulis buat ini membahas tentang perbedaan hukum antara pendapat para imam mazhab fiqh, KHI dan tentang pernikahan bagi wanita yang hamil di luar nikah.


(22)

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab dan disusun dengan sistematika penyusunan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang membahas tentang. Latar belakang masalah, perumusan dan pembatasaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, review study terdahulu. serta sistematika penulisan.

Bab II Gambaran umum tentang perkawinan meliputi : Sekilas tentang perkawinan, dasar hukum perkawinan, hukum perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan.

Bab III Pembahasan tentang pengertian kawin hamil di luar nikah, sebab-sebab kawin hamil di luar nikah. Dampak perkawinan hamil di luar nikah.

Bab IV Membahas tinjauan tentang kawin hamil di luar nikah, meliputi: status kawin hamil menurut fiqh dan kompilasi hukum islam (KHI), Status hukum kawin hamil menurut undang-undang No 1 Tahun 1974, analisa terhadap perbedaan pendapat tentang status hukum perkawinan wanita hamil di luar nikah.


(23)

13 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Sekilas Perkawinan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1

Perkawinan disebut juga nikah, berasal dari kata lafadz yang

menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan arti bersetubuh (wathi).2Pernikahan sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus).Juga untuk arti akad nikah.3

Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:

1

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet.Ke-3

edisi kedua, h. 456.

2

Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan.t.t), Jilid 3, h. 109.

lihat pula al-Syarif AH bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat (Beirut: Dar Kutub

al-'Ilmiyah, 1998), cetkeS.h. 249

3

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989), Cet.Ke-3,

h. 9.

4


(24)

Artinya: Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan:

*

Artinya: Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata – katayang semakna dengannya.

Kemudian Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, beliau memberikan definisi sebagai berikut:

*

Artinya: Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.

5

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana, 2006), h. 8.

6


(25)

15

Menurut bahasa nikah berarti berkumpul atau menindas dan saling memasukkan. Menurut ahli ushul, nikah berarti setubuh, dan secara majazi

(metaphoric) ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita ini menurut pendapat Ahli Ushul Hanafiyah.Sedangkan menurut Ahli Ushul Syafi’iyah nikah ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita sedang menurut arti majazi ialah bersetubuh. Menurut Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibn Hazm dan sebagian Ahli Ushul dari sahabat.

Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh, Menurut Ahli Fiqh nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita itu (isteri) dan membentuk rumah tangga.7

Sedangkan menurut Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”8

7

Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Get. Ke-1, h. 53-54

8

Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia,


(26)

Sedangkan perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “miitsaaqan gholiizhan” atau akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan perintah ibadah.9

Menurut Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.10

Menikah merupakan salah saru fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia (akil baligh), siap secara lahir dan batin serta memiliki rasatanggung jawab dalam membangun rumah tangga.Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan.Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang.11

Menurut ajaran Agama Islam, bahwa nikah atau perkawinan itu dibolehkan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.Kepada umat manusia sesuai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu, saling butuh membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami isteri yang sah yang terang dalam hukum agama atau undang-undang yangberlaku.12

Al-Qur’an menyebut kata “nikah” sebagai suatu bentuk perjanjian

(mitsaq) antara lak-laki dan perempuan yang telah terikat dalam sebuah

9

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), Get.

Ke-I, h. 118

10

Subekti.Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 1987), Get. Ke-21, h. 23.

11

Happy Susanto, Nikah siri apa untungnya? (Jakarta: Visimedia, 2007), Cet. Ke-1, h.1

12

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam, (Jakarta : CV. Pedoman Ilmu


(27)

17

hubungan pernikahan yang sah. Atas dasar itulah, Imam Taqiyuddin mendefinisikan pernikahan sebagai :

Artinya: “Suatu ungkapan menyangkut tentang suatu perikatan yang mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu.”

Senada dengan pengertian tersebut, Abbas Mahmud al-Aqqad mendefinisikan pernikahan sebagai suatu perjanjian atau kesepakatan untukbercampur atau bergaul dengan sebaik-baiknya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam status suami isteri yang sah.13

Ada beberapa definisi nikah menurut fuqaha, menurut ulama golongan Syafi'iyah melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami isteri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin.14

Beberapa sarjana juga memberikan pengertian tentang perkawinan, menurut Mahmud Yunus, perkawinan adalah akad antara calon laki-laki untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut yang diatur oleh

13

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam, h. 4.

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Fajar Interpratama


(28)

syariat.15Selanjutnya menurut Sayuti Thalib perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.16

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat antara seorang pria dan seorang wanita yang dengan hal tersebut, seorang laki-laki dibolehkan untuk bersenang – senang dengan wanita dan sebaliknya, dengan tujuan membentuk rumah tanggayang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Dasar Hukum Perkawinan

Pada hakekatnya Allah menciptakan manusia di dunia ini sebagai khalifah. Allah menciptakan untuknya pasangan dari jenisnya sendiri, sehingga masing-masing dari keduanya mendapatkan ketenangan. Pria dan wanita bersyarikat untuk memakmurkan dunia ini. Masing-masing mempunyai tugas kewajiban yang sesuai dengan bakat dan pembawaan.

Hubungan suami isteri antara pria dan wanita dan kasih sayang yang mendalam terhadap anak-anak yang merupakan perhiasan kehidupan adalah hal-hal yang dapat memperkokoh ikatan persyarikatan antara pria dan wanita. Selain itu, adanya sang isteri disamping suami akan menentramkan suami dalam menghadapi suatu kesulitan. Manusia menurut fitrahnya tidak sanggup menahan nafsu seksual.Hanya manusia yang sakit yang dapat meninggalkan

15

H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung,

1981), Cet.Ke-1, h.l.

16

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1989), Cet.


(29)

19

perkawinan. Islam sebagai agama yang fitrah, menyalurkan sesuatu menurut semestinya. Mengenai penyaluran hasrat seksual, Islam mensyariatkan pernikahan.17

Para ulama sependapat bahwa nikah disyariatkan oleh agama Islam. Perbedaan pendapat di antara mereka tentang masalah hukum menikah dan masalah Kondisi seseorang yang berhubungan dengan pernikahan, demikian juga tentang ketentuan jumlah wanita yang boleh dinikahi. Dasar hukum yang menunjukkan pensyariatan nikah adalah sebagai berikut:

a. Dalil dari Al-Qur'an Surat An- Nisaa Ayat 1 :

















































































Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.

b. Dalil dari Sunnah

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:

17

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,


(30)

Artinya: Dari Abdillah bahwa kami bersama Rasulullah SAW,seorang pemuda tidak mendapatkan yang ia inginkan, maka Rasulullah

berkata kepada kami: “Hai golongan pemuda barang siapa yang telah sanggup kawin, maka kawinlah. Karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memeliharafaraj.Dan bagi yang tidak sanggup melaksanakannya hendaklah berpuasa

karena dapat melemahkan syahwat.” (HR. Bukhari)

Dari Al-Qur’an dan Al-Hadits di atas, dapat diuraikan bahwa perkawinan adalah perintah Allah dan merupakan Sunnah Rasul yang harus diikuti oleh umat-Nya. Kewajiban melaksanakan perkawinan merupakan kewajiban bagi orang yang mampu untuk menikah. Tentunya, kesanggupan tersebut tidak hanya dinilai atau dilihat dari segi materi saja, akan tetapi harus dilihat dari segi non materi, sedangkan bagi yang tidak mampu hendaklah berpuasa. Sedangkan tujuan perkawinan dari dalil diatas adalah untuk menundukkan mata yang menjadi sumber hawa nafsu.

Sedangkan, syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam: 1). Harus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan

yang telah aqil dan baligh.

2). Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin tersebut. 3). Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan.

4). Harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim yang adil.

5). Harus ada mahar (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada isterinya.

18


(31)

21

6). Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut. Ijab artrinya pernyataan kehendak dari calon pengantin perempuan yang diwakili olehwalinya dan kabul pernyataan kehendaknya (penerimaan) dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan pernyaataan qabul tersebut.19

Selanjutnya dasar hukum perkawinan juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.20

Menurut KHI, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.21 Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

Pencatatan perkawinan tersebut penting bagi kemaslahatan kedua belah pihak dan kepastian hukum bagi masyarakat demikian juga baik suami

19

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan

Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Ke-I, h. 20.

20

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya

Pramita, 2002), h. 538.

21


(32)

maupun istri tidak demikian saja dapat mengingkari perjanjian perkawinan yang suci tersebut.22

C. Hukum Perkawinan

Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jumhur berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunnah, sedangkan golongan Zahiri mengatakan bahwa menikah adalah wajib. Para ulama Maliki Muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran terhadap kesusahan atau kesulitan dirinya.

Perbedaan pendapat ini disebabkan permasalahan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis berikut serta hadis-hadis lainnya yang berkenaan dengan masalah ini, apakah harus diartikan kepada wajib, sunnah, atau mungkin mubah. Ayat tersebut adalah :

Artinya : “Danberlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian

itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Dan hadist yang dimaksud adalah:

22

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan


(33)

23

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Nikahilah -wanita-wanita yang subur yang bisa memberikan banyak anak, sesungguhnya saya (Nabi) bangga dengan mereka

pada hari kiamat.”

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum nikah itu biasa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Secara rinci hukum pernikahan adalah sebagai berikut :

a. Wajib

Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib, maka jalan yang terbaik adalah dengan menikah. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT :

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”

23


(34)

b. Sunnah

Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi mampu mengendalikan dari perbuatan zinah, maka hukum menikah baginya adalah sunnah.menikah baginya lebih utama daripada berdiam diri menekuni ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta (anti nikah) sama sekali tidak dibenarkan dalam islam. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash:

Artinya: “Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: suatu ketika orang-orang Yahudi pasti akan mengetahui bahwa di Agama kami ada catatan, sesungguhnya aku (Nabi) diutus dengan ajaran yang lurus dan ramah.”

c. Haram

Bagi orang yang tidak menginginkannya karena tidak mampu memberikan nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin kepada isterinya serta nafsunya tidak mendesak, atau dia mempunyai keyakinan bahwa apabila menikah ia akan keluar dari Islam, maka hukum menikah adalah haram.

24


(35)

25

d. Makruh

Hukum menikah menjadi makruh bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya walaupun tidak merugikannya karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu dia berhenti dan melakukan suatu ibadah atau menuntut suatu ilmu. e. Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-alasan yang mewajibkan segera nikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus nenikah, maka hukumnya mubah.25

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan

Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahteraan lahir bathin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.

Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

25

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia,


(36)

Artinya : Dari AbuHurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Nikahilah perempuan karena empat perkara, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena

agamanya.”

Allah SWT mensyari’atkan perkawinan dalam Islam untuk mencapai tujuan-tujuan mulia, di antaranya:

a). Menjaga keturunan. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi generasi yang akan datang.

b). Menjaga wujud manusia. Tanpa perkawinan yang sah, tidak akan langgeng wujud manusia di muka bumi ini dan dengan perkawinan, manusia berkembang biak dengan melalui lahirnya keturunan mereka.

c). Menciptakan rasa kebapaan dan keibuan. Membuahkan rasa kebapaan dan memurnikan rasa keibuan, sehingga terwujudlah tradisi saling tolong-menolong antara suami isteri dalam mendidik anak untuk mencapaikebahagian.27

26

Imam Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Cairo: Daarul Hadits 1988) Nomor Hadits

2047, juz.ke-2,h. 226

27

Muhammad Fu'ad Syakir, Perkawinan Terlarang: al-Misyar (kawin perjalanan), al- 'urfi

(kawin bawah tangan), as-Sirri (kawin rahasia), al-Mut 'ah, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2002), h. 11


(37)

27

2. Hikmah Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”.Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridho dari Allah SWT.

Hikmah perkawinan dilihat dari segi sumber, ada tiga hal: a). Menurut Al-Qur’an

Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertamadalam surat al-A’raaf ayat 189 :27

                                              

Artinya : “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnyajika


(38)

Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”.

Menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya), karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat jasmani dan rohani. Kedua, dalam surat ar-Ruum ayat 21 :

                                    

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri darijenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu. rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dari ayat di atas telah dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan agar ada kedamaian dalam beribadah dan menjalani hidup yang lebih sempurna. Dalam penjalasan ayat ini terkandung tiga makna yang dituju suatu perkawinan itu yakni:

1). Litaskunuu’ilaiha, artinya supaya tenang atau diam. Akar kata

taskunuu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin yang semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau dinamakan sikin,

karena bila diarahkan leher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam.


(39)

29

2). Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah

wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana rasanya cintanya sangat tinggi termuat kandungan cemburu, sedang rahmah

sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang kadang sulit dikontrol, karena intensitasnya tinggi dan meluap-luap.

3). Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cintanya mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik. Sedangkan mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya ketika melihat kakek dan nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak wujud cinta(mawaddah) yang ada pada mereka, tetapi rahmah (sayang). Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta (mawaddah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gosip.28

b). Menurut Hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut :

28

Imam Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Ddud, (Cairo: Daarul Hadits 1988) Nomor Hadits


(40)

Artiya : “Dari Maqal bin Yasar berkata bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi dan bertanya sesungguhnya saya tertarik kepada seorang wanita yang terhormat dan cantik tatapi dia mandul. Apakah saya menikahinya? Nabi menjawab: Jangan. Kemudian ia mendatanginya kedua kali Rasul tetap melarang. Kemudian datang lagi ketiga kalinya, Rasul bersabda : “Menikahlah dengan perempuan yang banyak kasih sayangnya lagi banyak melahirkan anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu di hadapan umat

yang lain.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)

Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadist. Pertama,

untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan).Itulah makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur kemampuan materil belum memungkinkan.Kedua, sebagai kebanggaan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandng kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. Di situlah kendungan makna bahwa kualitas itu sangat diperlukan.30

c). Menurut Akal

Dalam buku Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA menurut sumber akal sehat yang sederhana ada tiga yang dituju suatu perkawinan :

29

Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Semarang: Usaha Bersama, 1956), h. 246)

30


(41)

31

pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah menyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia.Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan atau pernikahan.Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keturunan, terutama yang berkaitan dengan

nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A siapa dan si B anak siapa. Bila nasab

tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana. Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memilki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuktertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.31

Selanjutnya dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah dari perkawinan sebagai berikut:

1). Perkawinan merupakan cara yang tepat dalam penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia.

31


(42)

Perkawinan dapat menciptakan manusia yang mempunyai moralitas tinggi dan terpuji, juga dapat memberikan ketenangan jiwa bagi seseorang dan juga dapat menjaga mata dan kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan agama.

2). Manusia mempunyai naluri untuk melestarikan keturunan serta memelihara nasabnya dan menikah adalah jalan terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Islam sangat memperhatikan hal tersebut.

3). Perkawinan mempunyai peranan yang besar dalam proses pendewasaan seseorang. Naluri orang tua akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak. Seiring dengan itu, lahirlah sifat – sifat baik lainnya yang menyempurnakan jiwa kemanusiaan seseorang yang berguna dalam berinteraksi sosial dalam masyarakat.

4). Perkawinan dapat memotivasi diri dalam memenuhi kebutuhan duniawi serta ukhrawi, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajiban sebagai orang tua.

5). Perkawinan memaksa adanya peranan suami dan isteri dalam pembagian tugas dalam rumah tangga tersebut. Dengan pembagian tugas ini, masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridhoan Ilahi.


(43)

33

6). Perkawinan melahirkan perasaan saling menyayangi dan menghormati antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.

7). Perkawinan merupakan langkah awal dari terciptanya sebuah bangsa, sebab dengan perkawinan terciptalah sebuah keluarga yang merupakan bagian terkecil dari sebuah bangsa.32

3. Syarat dan Rukun Perkawinan

Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi keabsahan pernikahan. Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal pernikahan, keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam pernikahan. Suatu acara perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, artinya perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.33

Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam:

a). Harus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah aqil dan baligh.

b). Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin tersebut.

c). Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan. d). Harus ada 2 (dua) orang saksi laki – laki muslim yang adil.

32

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Al-Ma'arif,'1994), Jilid 6, h. 18.

33


(44)

e). Harus ada mahar (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada isterinya

f). Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut. Ijab artrinya pernyataan kehendak dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh walinya dan kabul pernyataan kehendaknya (penerimaan) dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan pernyaataan qabul tersebut.34

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 6, disebutkan bahwa syarat-syarat perkawinan yaitu:

a). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.

c). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud dalam ayat 2 (dua) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

34

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan


(45)

35

keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak "rrienyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), (4) pasal ini.

f). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.35

Dalam konteks terkini, khususnya di Indonesia, aturan perkawinan ditambah lagi dengan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan ke Kantor Urusan Agama (KUA), dengan maksud agar kedua pasangan mendapat ”payung hokum” jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.Apabila dalam mengarungi kehidupan berumah tangga terdapat persoalanmaka mendapat bantuan dari hukum yang berlaku.Dalam istilah ushul fiqhkebijakan ini disebut dengan maslahah mursalah, yakni ketentuan yang tidakdiatur dalam agama (fiqh) tetapi tidak bertentangan dengan

35

Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia


(46)

hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Artinya, kewajiban pencatatanperkawinan di KUA tidak pernah diatur dalam fiqh, namun semangat dari aturan itu tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan diwajibkannya saksi ke dalam rukun nikah.36

36


(47)

37 BAB III

KAWIN HAMIL DI LUAR NIKAH

A. Pengertian Kawin Hamil di Luar Nikah

Pada bagian sebelumnya penulis telah membahas tentang seputar perkawinan baik pengertian, hukum, maupun hikmah yang terkandung di dalam pensyariatan perkawinan serta hal-hal yang berkaian dengan perkawinan. Pada bab ini penulis akan membahas tentang pengertian kawin hamil di luar nikah, sebab-sebabnya dan dampaknya.

Pengertian kawin hamil di luar nikah adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya,1 al-Qur’an dalam merespon permasalahan hamil di luar nikah, tidak membeda-bedakan antara perzinaan, incest, atau prostitusi. Segala persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan di luar pernikahan adalah zina. Al-Qur’an memandang perbuatan hamil di luar nikah sebagai perbuatan keji (fakhisyah), hal ini dipertegas dalam Al-Qur’an surat Al-Israa ayat 32:

                

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatujalanyang buruk.”

1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Cet.


(48)

Dalam memilih seorang calon suami atau calon isteri, Islam menganjurkan hendaknya didasarkan atas dasar norma agama atau moral, yakni seorang calon itu harus berakhlak yang mulia bukan hanya berdasarkan kepada kecantikan atau kekayaan atau kebasawanan semata-mata. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya : Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan itu karena kecantikannya, karena kecantikannya itu mungkin akan menghinakan mereka, dan janganlah kamu kawini mereka itu sebab harta bendanya, mungkin karena harta bendanya itu mereka menjadi sombong, namun kawinilah mereka itu karena dasar agama, sesungguhnya budak wanita berkulit hitam yang mempunyai agama lebih baik kamu kawini daripada mereka itu

(HR. Baihaqi)

Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia dunia akhirat di bawah naungan cinta kasih dan ridho Allah. Akan tetapi terlihat sekarang ini sebagian manusia banyak menyalahgunakan syariat perkawinan tersebut, dengan menodai makna dan faedah sebuah perkawinan yang suci yaitu dengan cara melakukan hubungan intim sebelum adanya ijab dan kabul yang sah baik menurut agama maupun Undang-undang Negara.

2

Ashari Abdul Ghofur, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,


(49)

39

B. Sebab-Sebab Kawin Hamil di Luar Nikah.

Hamil merupakan proses alami yang terjadi guna melahirkan generasi baru, sedangkan pengertian hamil ialah keadaan mengandung janin yang apabila sebuah sel sperma laki-laki bertemu dengan sel telur perempuan yang pada gilirannya nanti terjadi pembuahan.3

Menurut Dr. Muhammad Abduh Malik sebab timbulnya hamil di luar nikah sama dengan timbulnya perilaku perzinaan. Sebab-sebab tersebut terdiri dari dua hal yaitu sebab internal dan eksternal.4

1. Sebab Internal

Manusia secara naluriah memiliki nafsu syahwat kepada lawan jenisnya.Jika nafsu syahwat itu begitu besar, maka nafsu syahwat tersebut dapat mengalahkan akal budinya atau akal sehat dan kendali normalnya. Artinya jika akal sehat dan kenyakinan moral tidak cukup kuat untuk mengendalikan gejolak nafsu syahwat maka manusia tersebut akan terjerumus kepada perbuatan zina, apabila mereka tidak menempuh jalur pernikahan yang sah.

Hal ini biasanya terjadi di kalangan mereka yang tidak mempunyai landasan iman yang kuat tapi keyakinan moral yang lemah.Lebih lagi apabila kondisi itu terjadi kepada orang yang mempunyai tipe extrovert (orang yang lebih mementingkan hal-hal lahir). Terjadi karena masalah itu berkaitan dengan sikap maka berarti manusia yang memiliki sikap extrovert harus memiliki pengetahuan dan

3

Luciana lanson, Dari Wanita Untuk Wania, (Surabaya: Usaha Niaga, 1987), h. 459.

4

Yahya Abdurahman al-Khatib, Hukum-Hukum Wanita Hamil, (Ibadah, Perdata dan Pidana), (Bangil : Al-Izzah, 2003), Cet. Ke-1.h.81


(50)

pemahaman yang lebih kuat dan mendalam tentang agama disertai pengalaman hidup beragama yang lebih intensif dan lebih kuat.

2. Sebab Eksternal

Terdapat dua sebab eksternal yang memungkinkan untuk terjadi hamil di luar nikah5 :

a. Kondisi Sosial

Faktor eksternal yang memberi kemungkinan atau mendorong manusia untuk melakukan perbuatan zina adalah disebabkan kondisi sosial yang mentolerir pergaulan bebas antar pria dan wanita. Adat istiadat yang dahulunya memandang tabu pergaulan bebas antara pria dan wanita kini semakin longgar.

Kondisi sosial yang penuh sesak dengan situasi, suasana, mediasi kepornoan telah berfungsi sebagai perangsang, pendorong manusia

extrovert yang memiliki nafsu birahi kepada lawan jenisnya, namun tidak memiliki keimanan dan kendali moral yang kuat.untuk menghindari diri dari melanggar hukum agama dan adat istiadat yang berlandasan moral agama (akhlakul karimah) sehingga terjerumus untuk melakukan hubungan seksual di luar akad nikah yang sah (perzinahan).

b. Aturan Hukum Pidana Positif Yang Sangat Lemah.

Aturan hukum pidana positif (KUHP) tidak mencantumkan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah yang dilakukan oleh

5

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-Haditsa, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ke-4.h.80


(51)

41

bujang dan gadis atau orang-orang yang tidak terikat perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka sebagai perbuatan zina dan perbuatan zina yangada dalam KUHP dimasukkannya kedalam delik aduan absolut. Akibatnya sebagian anggota masyarakat, tidak takut melakukan perbuatan zina atau hubungan seksual di luar pernikahan yang sah, karena tidak ada atau tidak pasti ada aturan hukum positif yang akan menjeratnya.6

Nina Surtiretna dalam bukunya Bimbingan Seks: Pandangan Islam dan Medis, juga memberikan keterangan setidaknya ada tiga faktor pemicu terjadi hamil di luar nikah: Faktor Internal Individu, di luar individu dan faktor masyarakat. Yang di maksud dengan ketiga faktor tersebut adalah: Pertama, faktor internal individu; di antaranya ketidak mampuan mengendalikan hawa nafsu dan kurang kuat iman.

Kedua, faktor diluar individu; yang memungkinkan bahkan mendorong perzinahan, seperti laki – laki dan wanita berada di dalam satu rumah tanpa ada orang lain (khalwai).Islam melarang keras terhadap perbuatan yang menghantarkan pada perbuatan zina/berkhalwat.Atau juga hilangnya suasana harmonis antara suami isteri, dan juga dapat berdampak pada kenakalan anak-anak. Selain itu hotel, diskotik, bar, pornografi dalam bentuk majalah dan film-TV, video, laserdisc dan video visual lainnya, dan sebagainya yang dapat berperan dalam meningkatkan daya rangsang seksual dua orang yang

6

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) Cet. Ke-1, jilid I. h.31


(52)

berlainan jenis, yang bila mencapai tingkat tertentu mendesak untuk segera menikmati “buah terlarang”. Ketiga, faktor normatif; Masyarakat semakin pesimis, toleran,rakyat tidak peduli lagi terhadap kebersamaan dua orang yang berlawanan jenis yang bukan suami isteri pada suatu saat dan pada satu tempat. Dengan kata lain, masyarakat semakin longgar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas sehingga terjadilah perzinahan.7

C. Dampak Perkawinan Hamil di Luar Nikah

Perbuatan hamil di luar nikah dengan lain jenis kelamin, mempunyai dampak sama dengan zina yang mana sangat buruk bagi pelakunya dan bagi masyarakat banyak. Di antaranya adalah:

1. Terhadap pelaku wanita.

Pelaku wanita akan cenderung lebih mudah melakukan perbuatan buruk/kejahatan berikutnya dari pada melakukan perbuatan baik/kembali pada perbuatan baik, dan mereka juga cenderung untuk mengulangi perbuatannya. Secara sosial, wanita itu akan mendapatkan sanksi dari masyarakat berupa pandangan minor terhadap dirinya dan akan mendapat kesulitan untuk menikah dengan pria yang masih suci karena ada larangan dari hukum Islam.8

7

Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Pandangan Islam dan Medis, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1996), Cet. Ke-1, h. 214.

8

Yahya Abdurahman al-Khatib. Hukum-Hukum Wanita Hamil. (Ibadah, Perdata dan Pidana). (Bangil : Al-Izzah, 2003) Ke-1. H.81)


(53)

43

2. Terhadap pelaku pria.

Dia akan lebih mudah terdorong untuk melakukan kejahatan berikutnya, perilaku zina butuh biaya terutama bagi kaum pria untuk mendapatkan wanita yang punya motif ekonomi dan karena itu pria cenderung akan menggunakan/berdaya upaya menggunakan peluang/ atau kesempatan mendapatkan harta melalui cara yang haram. Pada pandangan lain, para pezina akan mendapatkan sanksi pidana atau minimal sanksi akhirat. Perbuatan zina juga berdampak pada keluarga pria yang sudah berkeluarga akan mudah retak rumah tangganya.9

3. Terhadap keluarga besar si pelaku.

Perbuatan zina akan menimbulkan duka cita yang amat dalam bagi anggota keluarga besaroya. Rasa malu yang amat dalam bagi anggota besarnya terutama orang tua pelaku wanita terhadap masyarakat yang mengetahui dan mencemoohkannya.Rasa penyesalan bagi orang tua yang bertanggung jawab mendidik anak perempuannya, pupusnya harapan orang tua pelaku wanita untuk mendapatkan anak menantu yang masih suci karena adanya larangan dari agama Islam.10

4. Terhadap masyarakat luas dan agama.

Perbuatan zina memiliki dampak terhadap masyarakat luas dan agama sendiri, zina juga di nilai menyebabkan rusaknya keturunan dan kehormatan wanita dan keluarga dalam masyarakat yang menjadi salah

9

Slamet Abidin dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999) Cet Ke-1.Jilid I.h.36

10

Tim Redaksi Fokus Media, Komplikasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2005)h.7


(54)

satu tujuan syariat Islam.Zina juga bakal mempertinggi jumlah aborsi dalam masyarakat, itu berarti pelaku zina tidak menghargai lagi nyawa anak manusia yang juga menjadi salah satu tujuan Syariat Islam.Perbuatan itu juga merendahkan akal sehat manusia di bawah nafsu syahwat sehingga merusak tujuan Syariat Islam di bidang pemeliharaan akal sehat manusia.11

11

Mahd-Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : PT. Aidakarya Agung, 1981) Cet Ke-1.h.22


(55)

45 BAB IV

PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENT YANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DILUAR NIKAH

A. Status Hukum Kawin Hamil Menurut Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam 1. Kawin Hamil Menurut Fiqh

Islam menghendaki agar komunitas muslim bersih dari penyakit – penyakit masyarakat yang sangat merusak seperti zina. Oleh karena itu, Islam berusaha menghilangkan tempat-tempat tumbuhnya kerusakan dan menutup celah-celah yang menuju kepada kerusakan. Selanjutnya Islam mensyariatkan berbagai al-hudud (sanksi pidana) untuk mencegah semuanya. Setelah Islam membimbing individu-individu muslim agar selalu mengingat Allah, baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain.

Sesungguhnya Islam telah mengharamkan zina dan hal-hal yang membangkitkannya, seperti pergaulan yang diharamkan dan pertemuan tertutup (khahvat) yang berdampak pada tindakan negatif.1

Untuk itu, ada banyak ayat Al-Qur’an yang mendidik dan membimbing masyarakat muslim kepada nilai-nilai yang luhur, di antaranya adalah firman Allah SWT:

1

Yahya Abdurrahman al-Khathib, Hukum-hukum Wanita Hamil, (Ibadah, Perdata dan


(56)















































/رونلا)

:

(

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah

mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui apayang mereka perbuat”.





































/رونلا) ... : (

Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka

menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.

Ayat itu memerintahkan agar memelihara furuj (kehormatan) dari korban syahwat yang tidak halal, menjaga hati dari berpikir hal-hal yang tidak halal, dan menjaga komunitas masyarakat dari mengikuti keinginan syahwat dan kesenangannya dengan tanpa batas.2

Dalam kitab-kitab fiqih ada dibicarakan tentang boleh, tidaknya seseorang nikah dalarn keadaan hamil, apakah hamil yang sah karena ditinggal suami, atau hamil akibat hubungan di luar nikah. Bila hamil di

2

Yahya Abdurrahman al-Khathib, Hukum-hukum Wanita Hamil, (Ibadah, Perdata dan


(57)

47

luar nikah, maka akan terbilang dalam persoalan zina. Hal ini juga diperselisihkan menikahi pezina.

Zina menurut bahasa berasal dari kata yang

artinya berzina, berbuat zina.3 Sedangkan menurut istilah adalah :

a. Perbuatan bersegama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikatoleh hubungan pernikahan (perkawinan).

b. Perbuatan bersegama seorang wanita yang terikat perkawinan denganseorang laki-laki yang bukan suaminya.4

Zina menurut Jurjani ialah :

Artinya : “Memasukkan penis (zakar) ke dalam vagina (farj) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat

(kesurupan atau kekeliruan).”

Dari defnisi di atas dapat dipahami, bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan zina, apabila sudah memenuhi dua unsur, yaitu :

a. Ada persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminya; b. Tidak ada kesurupan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan

seks.6

3

H. M. Yonus, Qomus ‘Arobiyyun – Indunisiyyun, (Jakarta: PT. Hidayakarya Agung,

1989), Cet. Ke-8,h. 158.

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1988), Cet. Ke-I, h. 1018.

5

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsa, (Jakarta: PT. Raja Grafrndo Persada, 2000),


(58)

Tentang hukum menikahi wanita pezina para ahli fiqh berbeda pendapat menjadi tiga pendapat yaitu:

a. Sesungguhnya tidak ada kewajiban iddah bagi wanita pezina (artinya wanita yang telah berzina boleh langsung dinikahi tanpa iddah), baik ia hamil atau tidak. dari perzinaan itu, baik ia memiliki suami atau tidak memiliki suami, sehingga seketika itu juga suaminya boleh mencampurinya, dan boleh mengawini bagi laki-laki yang telah menzinainya atau orang lain menikahinya seketika itu juga, baik ia hamil atau tidak. Namun, jika ia hamil (dari berzina itu dan memiliki suami), maka suaminya dimakruhkan mencampurinya sampai ia melahirkan. (ini adalah madzhab Syafi’i).7

b. Apabila wanita yang dizinahi itu tidak hamil, maka sah (boleh) menikahinya, baik dengan laki-laki yang tidak menzinainya atau dengan laki-laki yang menzinainya. Dan bagi wanita tersebut tidak perlu iddah. Semua itu telah menjadi kesepakatan (madzhab Hanafi). Sehingga, apabila laki-laki yang menzinai itu sendiri yang menikahinya, maka halal mencampurinya menurut kesepakatan madzhab Hanafi. Sedangkan anaknya, apabila wanita itu melahirkan setelah masa enam bulan dari pernikahannya, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya. Namun, apabila masa melahirkannya kurang dari masa itu, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya, sehingga anak tersebut tidak bisa menerima warisan dari suami

6

Yahya Abdurrahman al-Khathib, Hukum-hukum Wanita Hamil, (Ibadah, Perdata dan

Pidana), h. 40

7


(59)

49

ibunya, kecuali kalau suami itu berkata: “anak ini dari saya, bukan dari zina.” Adapun ketika wanita yang dizinai itu hamil, maka boleh menikahinya menurut Abu Hanifah dan Muhammad An-Nakhai, tetapi suami tidak boleh mencampurinya sampai melahirkan. Sedangkan Abu Yusuf dan Zufar dari madzhab Hanafi berpendapat jika wanita yang dizinai itu hamil, maka tidak boleh langsung menikahinya.8

c. Wanita pezina itu tidak boleh langsung dinikahi ia wajib beriddah

beberapa quru’ jika dengan berzina itu ia tidak hamil, dan dengan melahirkan jika ia hamil apabila ia mempunyai suami, maka suami haram, mencampurinya sampai iddahnya habis dengan beberapa

quru' atau melahirkan. Ini adalah pendapat Rabi’ah. At-Tsauri, al-Auza’i dan Ishaq, dan ia juga merupakan madzhab Maliki dan Hambali. Menurut madzhab Maliki, (rahim) wanita itu menjadi bersih (istibrd) dengan tiga kali haid atau dengan berlalunya tiga bulan. Sedang menurut Imam Ahmad (rahim) wanita itu menjadi bersih dengan tiga kali haid. Ibnu Qudamah berpendapat, bahwa untuk menjadikan rahim wanita itu bersih cukup dengan sekali haid saja. Pendapat ini didukung dan dibela dengan sungguh-sungguh oleh Ibnu Taimiyah. Madzhab Hambali mensyaratkan syarat lain

8


(60)

untuk halalnya menikahi wanita pezina, yaitu harus bertaubat dari perbuatan zina.9

Secara umum, kita dapat berkata bahwa pernikahan yang disebutkan di atas dinilai sah oleh banyak ulama, walau memang ada ulama yang menyatakan bahwa peniikahan itu tidak sah. Sahabat Nabi SAW Ibnu Abbas ra. Berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah, menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Dengan kata lain, pernikahan orang yang telah berzina dengan seorang perempuan, kemudian menikahinya dengan sah, dapat diserupakan dengan atau dianalogikan dengan keadaan seorang yang mencuri buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut bersama seluruh buahnya. Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu) haram. Sedangkan yang dibelinya setelah pencuriannya itu adalah halal. Inilah pendapat Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Sedangkan, Imam Malik menilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, pernikahan terebut tidaklah sah dan dengan demikian hubungan seks keduanya adalah haram, sepanjang janin masih dikandung oleh perempuan yang dinikahinya itu. Pernikahan baru sah bila akad nikad dilakukan setelah kelahiran anak.10

9

Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,

2007), Cet. Pertama, h. 260-263, dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Abu Asy-Syaikh dkk,

Fatwa-fatwa Tentang Wanita, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin, (Jakarta: Darul Haq, 2001), Jilid 2, h. 140-141.

10

M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut'’ah Sampai


(1)

68

mengenai kedudukan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan Bab IX pasal 42 yang berbunyi “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Sedangkan dalam Burgerlijk Wetboek pasal 32 dijelaskan bahwa wanita yang hamil tidak boleh dikawini oleh laki-laki yaag msnghamilinya dan apabila perkawinan tersebut benar terjadi maka dianggap tidak sah, yang mengakibatkan status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dianggap tidak sah.

3. Dari penjelasan di atas terdapat perbedaan yang cukup subtansial, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) status hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah dibolehkan tanpa harus menunggu anak yang ada dalam kandungan lahir. Beda halnya dengan Undang-undang Perkawinan No.l tahun 1974 tentang perkawinan, dimana undang-undang tersebut tidak mengatur tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah melainkan mengenai status anak hasil perkawinan wanita hamil. Selanjutnya dalam kitab fiqh, terdapat perbedaan pendapat mengenai status perkawinan wanita hamil, Menurut mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah, wanita hamil di luar nikah dibolehkan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya. Zina meraka tersebut tidak menghalangi sahnya akad nikah. Lain halnya dengan mazhab Hanabilah, wanita hamil di luar nikah tidak boleh kawin dengan laki-laki yang menghamilinya, bahkan tidak boleh juga dikawini oleh laki-laki yang mengetahui


(2)

keberadaannya (hamil), kecuali wanita tersebut telah habis masa iddahnya dan wanita tersebut benar-benar telah bertaubat. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa perkawinan wanita hamil tersebut tetap dinilai sah oleh para imam mazhab, dengan syarat telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang dianggap sebagai syarat sah perkawinan wanita hamil yang ditentukan oleh masing-masing mazhab. Sedangkan menurut Burgelijk Wetboek hanya mengatur tentang status anak yang lahir di luar nikah, yang mana dalam undang-undang tersebut secara jelas dinyatakan anak yang lahir di luar nikah adalah anak tidak sah. dan hanya bernasab pada ibunya. Menurut hemat penulis sebanyak apapun khilafiyah yang terjadi dikalangan para Imam Mazhab namun yang harus kita ambil adalah pendapat-pendapat yang sudah barang tentu menjadi Rahmatan Lil’aalamin. Satu contoh ketika Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang sudah wafat dan menutup rapat-rapat kesalahan mereka, artinya keburukan orang yang sudah wafat saja harus kita tutup apalagi aib yang menyangkut umat muslim yang masih hidup tentunya harus lebih diutamakan maka penulis berkesimpulan fatwa yang lebih cocok untuk diterapkan dalam konteks Indonesia kekinian adalah fatwa Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah yang menyatakan sah nya seorang wanita yang hamil di luar pernikahan yang dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya atau lelaki yang bukan menghamilinya semata-mata untuk menutup aib saudara kita dan menebarkan ajaran Rasulullah SAW yang rahmatan Lil’aalamin.


(3)

70

B. SARAN-SARAN

1. Kepada orang tua diharapkan dapat membimbing anak-anaknya dengan mengajarkan dan menanamkan norma-norma agama untuk menghindari terjadinya perkawinan hamil di luar nikah.

2. Kepada para ahli hukum, baik yang berada di lembaga legeslatif maupun eksekutif disarankan agar dalam membuat peraturan perundang-undangan tentang perdata memperhatikan norma-norma dan kaidah hukum Islam yang sudah tumbuh dalam masyarakat Indonesia, sehingga sila pertama dari Pancasila pasal 29 ayat 1 dan 2 undang-undang dasar 1945 dapat dihayati dan diamalkan di negara kita yang tercinta.

3. Kepada seluruh pendidik atau pengajar perlu ditingkatkan pembinaan moralitas generasi muda melalui pengkajian-pengkajian hukum Islam yang intensif serta pendidikan agama yang baik, sehingga tidak banyak terjadi kasus-kasus kehamilan akibat zina.

4. Penulis mengharapkan kepada hakim supaya adanya kodifikasi hukum antara hukum positif dan hukum Islam. Sehingga pada prakteknya hukum tersebut dapat berlaku efektif dan sesuai dengan budaya Indonesia.


(4)

71

Ahmad bin Hambal, Musndd Ahmad, (Mesir: Mu’assah Qurtubah), juz. 5.

AH, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: sinar grafika, 2006. Cet. Ke-1

Iraqy, Butsainan Sayyid’Al, Rahasia Pernikahan Yang Bahagia, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, Cet. Ke-4

Khathib, Yahya Abdurrahman’Al, Hukum – hukum Wanita Hamil Ibadah, Perdata dan Pidana, Bangil: Al – Izzah, 2003. Cet. Ke-I.

Arobiyyun, H. M. Yunus, Qomus Indunisiyyun. Jakarta: PT. Hidayakarya Agung, 1989. Get. Ke-8.

Shabuni, Raw’i’Al Bayaan’Al, Tafsir Ayat al – Ahkam min al - Qur’an, Jakarta: Daar al – Kutub al – Islamiyyah, 2001.

Sahabuni, Muhammad Ali’Al, Pernikahan dini, Solusi Praktis Menghadapi Perilaku Seks Bebas. Tenterjemah. M Abdul Ghoffar E. M, Jakarta: Pustaka An – Naba. 2001.

Zuhaili, Wahbah’Al, al – Fiqh al –Islam wa Adillatuh, Beirut: Daar al – Fikr, 1989, Cet.Ke-3.

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994,Cet. Ke-3, edisi kedua.

Depag, KHI di Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1992.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Cet. Ke-I.

Djalil, Abdul Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007.

Ghazaly, H. Abdurrahman, Fiqh Munakahat Jakarta: Kencana, 2006 h. 125, review buku M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta, Siraja 2003, Cet. Ke-2

Ghofur, Asyhari Abdul, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan sesudah Hamil, Jakarta: AndraUtama, 1993. Cet. Ke-III


(5)

72

Hakal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah, Poligami Dalam Islam VS Monogami Barat, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Cet. Ke-1 Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Semarang: Usaha Bersama, 1956. Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta, Pustaka

Firdaus, 2003.

Imam Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Ddud, Cairo: Daarul Hadits 1988 Nomor Hadits 2050,juz.ke-2

Lanson, Luciana, Dari Wanita Untuk Wanita, Surabaya: Usaha Niaga, 1987. Muhammad. AH Hasan, Masail Fiqhiyah al – Haditsa, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke 4.

Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang: al – Misyar (kawin perjalanan), al –‘Urfi (kawin bawah tangan), as – Sirri (kawin rahasia), al –Mut’ah Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2002.

Nuruddin, Amir & Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004.

Rahman, Bakrie A. dan Sukarja, Ahmad, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan dan Hukum Perdata/ BW, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981. Cet. Ke-1.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kuwait: Darul Bayan, 1969.

Shihab, M. Quraish, PEREMPUAN: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2006. Cet. Ke-3

Subekti R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Pramita, 2002


(6)

Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 15 Januari 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Gandaria 1 Gg. Cemara Rt. 002/008 Kebayoran Baru – Jakarta selatan Telp/Hp : 0812-1099-9285

Nama Ayah : Udin Supriyatna

Nama Ibu : Erlinah

Alamat Orang Tua : Jl. Gandaria 1 Gg. Cemara Rt. 002/008 Kebayoran Baru – Jakarta selatan

Pendidikan :

SD : SDN’ Kramat Pela 01 Pagi SMP : SMPN 19 Jakarta