Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika Hubungan Saudi dan Amerika
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …1
Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika Hubungan Saudi dan Amerika
Ahmad Anwar
Departemen Ilmu Politik Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo – Jawa Tengah
Email: [email protected]
ABSTRACT
Alliance between Saudi and the US experiences clear evidence of state behavior in
considering such policies. For Saudi, the US is main ally to maintain its power against its
political opponent in the region. Yet, pertaining to its dynamics, changing behavior of the
Kingdom toward Washington is considered due to strategic matter. Using Rational Choice
approach, this paper indicates that Saudi’s interests are believed to adjust favorable
circumstance.
Keyword: rational choice, state-behavior, Saudi Arabia, alliance
ABSTRAK
Aliansi antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat merupakan bukti nyata perilaku
Negara dalam pertimbangan kebijakan. Bagi Arab Saudi, Amerika Serikat adalah aliansi
utama untuk mempertahankan kekuatanya melawan lawan politik dalam wilayah. Namun,
melihat dinamikanya, perubahan perilaku kerajaan Arab Saudi terhadap Washington
sejalan dengan masalah strategis. Dengan menggunakan pendekatan Rational Choice,
tulisan ini mengindikasikan bahwa ketertarikan Arab Saudi dipercayai merupakan sebuah
pertimbangan keadaan tertentu
Kata kunci: rational choice, perilaku negara, Arab Saudi, aliansi
I.
Pendahuluan
Timur-Tengah
seakan
tidak
ada
habisnya
menjadi
perhatian
dunia.
Beberapaperilaku negaradi kawasan ini terkadangcukup rumit untuk dipahami. Fenomena
aliansi antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat merupakan salah satu hal unik dari sikap
negara(Luján, 2014)di tengah perseteruan Saudi dengan beberapa negara kawasan. Meski
mempunyai perbedaan karakter, hubungan erat dua negara tersebut bahkan sudah terjalin
sejak lama.
2.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
Relasi antara negara Islam yang menganut sistem monarki absolut dengan negara
demokrasi sekuler ini sempat mengalami pasang surut. Terlebih lagi ketika dikaitkan
dengan isu terorisme maupun konflik Timur-Tengah. Masa perang dingin, misalnya
menunjukkan hubungan aliansi yang begitu erat. Namun demikian keduanya juga sempat
berselisih ketika pada era 1970-an Saudi mengembargo minyak yang menyebabkan krisis
di negara-negara Barat. Meski hubungan kembali normal dan berjalan beberapa dekade,
peristiwa WTC 9/11 kembali menegangkan persahabatan(Pollack, 2002). Namun sekali
lagi Riyadh dan Washington dapat menjalin hubungan yang erat kembali. Hal ini dapat kita
lihat, misalnya, pada November 2015 lalu Amerika menyetujuipermintaan suplay senjata
untuk militer Saudi(BBC News, 2015). Hal ini menuntut penjelasanapa yang menyebabkan
Riyadh untuk menjaga kemitraan dengan Washington?
Sebagaimana pendapat Taufiq Subhan, hubungan keduanya yang telah lama terjalin
merupakan langkah strategi yang telah memberikan manfaat positif bagi masingmasing.Meskipun peristiwa 9/11 sempat mengganggu relasi kedua negara, namun
hubungan diplomatik kembali terjalin meski dalam porsi tertentu. Bagi Saudi, perbaikan
hubungan ini diambil karena adanya kebutuhan untuk mewujudkanhubungan politik dan
ekonomi yang lebih kondusif(Subhan, 2003).
Sementara itu, Delaney berpendapatpolitik perdagangan minyak merupakan faktor
yang paling signifikan. Amerika berkepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak
dunia karena Saudi termasuk penghasil minyak terbesar. Sebagai gantinya, Saudi mendapat
keuntungan untuk meningkatkan kekuatannya. Kerja sama keamanan dan pertahanan,
seperti supply persenjataan dan program latihan militer bersama misalnya, telah
menguatkan kemampuan pasukan pertahanan Saudi(Delaney, 2009).
Dalam penelitian terbaru, Blanchard menegaskan tentang kebutuhan Saudi yang
hampir selalu tidak bisa dilepas darikepentingan keamanan. Munculnya negara Islam IrakSuriah atau ISIS menambah tema baru dalam kebijakan anti-terorisme. Tuntutan keamanan
ini mendorong Saudi untuk menyerukan bahwa ISIS adalah musuh bersama dan perlu
ditangani oleh kedua negara(Blanchard, 2015).
Di tengah perbedaan sistem kenegaraan kedua negara, beberapa penjelasan tersebut
terlihat belum sepenuhnya menjawab tentang faktor-faktor pendorong dalam dinamika
aliansi. Secara khusus, pasang surutnya hubungan Saudi dan Amerika memerlukan
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …3
elaborasi lebih dalam.Untuk itu, faktor pendorong maupun penghambat dalam aliansi
keduanya perlu digali. Penelitian ini mencoba menelusuri aspek tersebut dengan
memfokuskan pada kebijakan luar negeri Arab Saudi ditinjau dari dinamika hubungan
kedua negara agar dapat menghasilkan analis yang memadai.
II.
Pilihan Rasional dalam Kebijakan Luar Negeri
Dalam mencapai tujuan ataupun kepentingan nasional, setiap negara perlu
merumuskan kebijakan luar negeri. Sejarah telah memberikan gambaran bagaimana setiap
negara bertindak sesuai dengan apa
menguntungkan.
Dalam
perspektif
yang mereka inginkan, atau setidaknya
Pilihan
Rasional
(Rational
Choice),
negara
digambarkan sebagai aktor rasional yang selalu berupaya untuk mendapatkan keuntungan
maksimal serta meminimalisir kerugian yang mungkin muncul. Dengan demikian setiap
kebijakan luar negeri khususnya dalam hal ini kerja sama luar negeri tidak bisa dipisahkan
dari alasan rasional yang mempertimbangkan untung rugi(Riker, 1995).
Untuk mengetahui apakah suatu kerja sama yang diambil akan memberikan
keuntungan,
maka
negara
perlu
menentukan
kepentingannya.
Jika
memang
menguntungkan, maka negara akan mengambil sikap tertentu. Dalam hal ini kerja sama
akan terjalin ketika terjadi shared interest di antaranya keduanya(Axelrod & Keohane,
1985). Negara memutuskan dan bertindak dengan menghitung untung rugi yang jelas atau
logis sesuai kepentingannya.
Orientasi sebuah kebijakan dilihat dari aspek hasil yang akan diperoleh. Maka,
keputusan melakukan kerja sama didasarkan pada berbagai alternatif yang paling
memungkinkan(Mesquita, 2009). Hal yang paling signifikan ialah pengambil keputusan
selalu siap untuk menyesuaikan atau bahkan mengubah kebijakannya. Hal ini disandarkan
pada apa yang memang dianggap lebih atau paling menguntungkan (APSC, 2007).
Secara umum ada beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi dalam pilihan
rasional. Pertama, negara mendefinisikan atau menentukan kepentingannya. Dalam hal ini
tentu sangat mungkin bagi setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda,
tergantung pada preferensi masing-masing. Kedua, ketika kepentingan nasional telah
ditentukan, maka suatu negara akan dapat menentukan tindakan rasionalnya, apakah
menguntungkan ataupun merugikan atau bahkan mempertimbangkan besar kecilnya kedua
4.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
aspek tersebut. Ketiga, tindakan yang diambil dapat saja berubah di kemudian hari. Hal ini
disesuaikan dengan kondisi ataupun konteks politik yang berjalan, karena memang dunia
internasional selalu mengalami perubahan yang bahkan begitu dinamis.
Dari kerangka konsep ini, penulis berpendapat bahwa dinamika pasang surut
kebijakan Saudi untuk bekerja sama dengan Amerika dipengaruhi oleh pilihan rasional
yang dihasilkan dari preferensi kepentingan Saudi. Berbagai kesepakatan yang mereka
lakukan tidak jauh dari pertimbangan-pertimbangan tertentu.
III.
Pemerintah Sunni di Tengah Konflik Kawasan
Bank Dunia mencatat pada 2013 jumlah penduduk Saudi setidaknya mencapai
28,83 juta jiwa dengan GDB senilai 748,45 Miliar US$, sebuah angka yang cukup besar
untuk negara dunia ketiga. Hal ini tidak dipungkiri mengingat 80% pendapatan ekspornya
berasal dari komoditas minyak (EHE Research, 2015). Pencapaian ini membuat Saudi
menjadi negara paling berpengaruh baik diGulf Cooperation Council/GCC maupun
Organization of the Petroleum Exporting Countries/ OPEC (Chauvin, 2010).
Arab Saudi menganut sistem monarki absolut dengan raja sebagai penguasa
kerajaan sekaligus pemimpin negara. Dengan kekuasaan yang mutlak tanpa dibatasi oleh
undang-undang, pertalian keluarga raja menjadi hal yang sangat vital, terutama dalam
suksesi kekuasaan. Raja membatasi partisipasi rakyat dalam ranah politik. Nilai-nilai
liberal dan demokrasi tidak ada karena kuatnya tradisi atau syariat Islam yang digunakan
sebagai basis legitimasi(Al-turaiqi, 2008).
Terbatasnya hak-hak politik ini setidaknya berjalan sampai beberapa dekade
sampai pada 2005 ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Raja Abdullah. Di masa ini,
kebijakan baru dikeluarkan untuk mereformasi sistem yang lebih terbuka dan memberikan
partisipasi yang lebih besar kepada rakyat. Pemilihan umum mulai diterapkan, di mana
rekrutmen politik yang sebelumnya bersifat eksklusif mulai ditinggalkan. Hal yang paling
signifikan adalah penerapan hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam beberapa
pemilu lokal(Rajkhan, 2014).
Dalam politik internasional, Kerajaan Saudi merupakan salah satu negara yang
mempunyai posisi cukup strategis. Dua kota suci umat muslim, Mekah dan Madinah, yang
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …5
berada di bawah kedaulatannya membuat Saudisebagai pemimpin duniaIslam. Pasca
kampanye
perang
melawan
menggunakanMekahsebagai
terorisme
alatkebijakan
global
luar
oleh
negerisejak
barat,
tahun
kerajaan
2006.
Klaim
inimenunjukkan sebuah simboluntuk mengungguli beberapa negara sainganyang
dipandang memiliki aspirasi dan visi yang berbeda dalam menjaga stabilitas dan ketertiban
kawasan(Yamani, 2008).
Kebijakan luar negeri Saudi telah dibentuk oleh konsepsi yang kuat sebagai negara
adidaya regional.Perannya sebagai penjaga stabilitas menjadikannya sebagai aktor penting.
Hal ini tidak lepas dari aspek historis bahwa Islam muncul di Arab Saudi. Karena itu
konsep peran dan tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan Islam di
seluruh dunia menjadi konsep dalam kebijakan luar negerinya.
Dari pandangan tersebut, Saudi termasuk negara yang aktif dalam kerja sama luar
negerinya. Di kawasan, Saudi telah sejak lama menjalin hubungan dengan negara-negara
teluk. Persamaan ikatan darah, agama, sejarah, dan geografis merupakan beberapa faktor
penentu.Berbagai contoh kerja sama yang berhasil dilaksanakan adalah GCC pada 1981
dan Liga Arab 1945.Dalam
lingkup tersebut, keamanan
dan
stabilitas
kawasan
merupakan prinsip dalam melaksanakan tanggung jawab bersamauntuk menghadapi
berbagai ancaman regional maupun internasional. Konflik Arab-Israel, sebagai contoh,
merupakan tantangan yang tidak bisa diabaikan dalam mewujudkan stabilitas politik
kawasan. Selain itu, kerja sama yang lebih luas di luar kawasan juga menjadi salah satu
agenda Riyadh.Dengan menjadikan Islam sebagai landasan menentukan politik luar negeri,
negara
ini
menjalin
solidaritas
sesama
negara-negara
Islam
di
Asia
dan
Afrika.Diprakarsainya Organization of Islamic Conference (OIC) pada 1969 menjadi
wujud nyata dari komitmen tersebut.
Namun demikian, politik luar negeri Saudi bukan tanpa tantangan. Lebih utamanya
berkaitan dengan stabilitas kawasan. Perkembangan sektarian Sunni dan Syiah dalam
agama Islam menjadikan negara-negara Islam Timur-Tengah terbagi, setidaknya, ke dalam
dua kubu. Perpecahan dalam Islam ini sebenarnya telah terjadi sejak sepeninggal Nabi.
Namun kemudian terus berlangsung hingga era modern. Sementara populasi Syiah sangat
sedikit, Arab Saudi dan sebagian besar negara-negara timur tengah serta muslim dunia
adalah penganut Sunni yang mencapai 85-90% (Pew Research Center, 2009). Fenomena
6.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
ini mengantarkan pada konflik di kawasan yang selalu menjadi perhatian dunia(Heni,
2014).
Sebagai pusat Islam dan negara Sunni terbesar di kawasan, Saudi merasa perlu
‘bertanggung-jawab’ dalam setiap konflik regional. Konflik di Yaman, misalnya,
memperlihatkan tindakan Saudi membantu pemerintah melawan pemberontak Syiah
Houti(Dorsey, 2015). Perang saudara yang sangat kuat diwarnai isu sektarian ini menjadi
bukti nyata intervensi Saudi untuk mengembalikan kekuasaan Sunni di Yaman(Nünlist,
2015).
Konflik Sunni-Syiah yang paling menonjol adalah ketegangan Saudi dengan Iran.
Selain memiliki luas wilayah dan kekayaan tambang minyak yang hampir sama, Iran
menjadi saingan utama Saudi karena negara tersebut adalah negara Syiah terbesar.
Hubungan kurang harmonis ini telah berlangsung lama terutama sejak meletusnya revolusi
Iran. Bahkan hubungan diplomasi keduanya telah putus pada awal Januari 2016 akibat isu
sektarian yang semakin meruncing(Hubbard, 2016).
Kuatnya kepentingan menjaga eksistensi Sunni ini juga dapat dilihat dalam
beberapa konflik lain. Konflik internal di Suriah merupakan contoh yang juga sangat
menonjol. Bahkan konflik ini dinilai sebagai medan lain bagi perseteruan Riyadh dan
Teheran. Iran sangat dikhawatirkan Saudi sebagai pesaing hegemoni di TimurTengah(Berti & Guzansky, 2014).
Dengan kuatnya kepentingan Islam Sunni, Saudi merupakan salah satu kekuatan
utama di kawasan. Berbagai konflik Timur-Tengah agaknya tidak bisa dipisahkan dari
kerajaan ini sebagai peran vital. Terlepas dari sistem monarkinya, politik luar negeri Saudi
dapat dikatakan cukup aktif di kawasan.
IV.
Aliansi Riyadh - Washington
Eksistensi Saudi tidak dapat dipisahkan dari hubungan eratnya dengan negeri
Paman Sam. Bahkan dapat dikatakan bahwa Saudi merupakan kawan paling dekat bagi
Amerika di Timur-Tengah.Kemitraan di antara keduanya telah dimulai sejak 1930 ketika
Amerika mengakui deklarasi kedaulatan Saudi. Beberapa tahun kemudian hubungan
diplomatik secara penuh dibangun melalui kerja sama eksplorasi minyak di Saudi. Seiring
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …7
meningkatnya kebutuhan industri Amerika pasca perang dunia II, keduanya menjalin
kesepakatan melalui Arab American Company (Aramco) yang memungkinkan berbagi
keuntungan 50-50. Mengalirnya minyak ke negara industri initelah menguntungkan bagi
keduanya.
Ketegangan sempat terjadi ketika tahun 1970an, misalnya, Saudi mengembargo
minyak karena Barat telah mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Melambungnya
harga minyak dunia membuat negara industri seperti Amerika kewalahan(Delaney, 2009,
p.78). Namun kemudian ketegangan mulai surut setelah Amerika membujuk Israel untuk
mengambil jalur diplomasi dengan kubu Arab.
Kemudian dalam situasi Perang Dingin, Amerika diuntungkan sebagai mitra utama
dalam bisnis minyak untuk keperluan industrinya. Di sisi lain, Saudi yang telah dikenal
sebagai mitra Amerika menjadi berisiko atas berbagai ancaman dalam situasi bipolaritas
dunia tersebut. Untuk itu Saudi mendapatkan suplai senjata yang cukup banyak untuk
meningkatkan kekuatannya. Hubungan erat ini kemudiandiperkuat atas kesamaan antiKomunis yang mulai berkembang di kawasan(Luján, 2014, p.36).Secara khusus kedua
negara pernah bersekutu melawan Soviet di Afghanistan di masa perang dingin. Kemudian
ketika perang teluk 1991, Saudi dan Amerika membantu membebaskan Kuwait dari
invasiIrakmeski ketika itu Riyadh sempat mengalami dilema (Marrar, 2009, pp.95-96).
Hubungan spesial ini kembali terganggu setelah peristiwa 9/11, di mana beberapa
pelaku teror dalam peristiwa ini merupakan warga Saudi. Al-Qaeda yang dituduh sebagai
dalang di balik serangan ini ditengarai berlindung kepada kelompok Sunni - Taliban di
Afghanistan. Itulah mengapa selain menginvasi Irak, Amerika juga menginvasi
Afghanistan.Padahal secara identitas, Taliban menganut aliran yang sama dengan
pemerintah Sunni di Saudi. Fakta bahwa Saudi merupakan pendukung finansial Taliban
semasa perang dingin menunjukkan motivasi agama yang cukup erat. ‘Perangmelawan
teror’ oleh Amerika termasuk di antaranya adalah tekanandiplomatik danmiliter
terhadaprezim yang didugamensponsoriterorisme, serta promosidemokrasi diTimurTengah untuk menciptakan stabilitas. Sementara jika merunut pada model demokrasi ala
Barat, hampir seluruh negara di kawasan tidak menganut prinsip ini.Situasi politik yang
cukup genting dibarengi dengan pergantian kepemimpinan Saudi oleh Raja Abdullah
mengubah arah kebijakan luar negeri kerajaan ke negara-negara Asia Pasifik seperti China,
India, dan Malaysia. Perkembangan kawasan Timur dipandang sebagai peluang baru serta
8.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
prioritas untuk melebarkan sayap kerja sama luar negerinya. Dalam perubahan strategi
yang demikian, Saudi menunjukkan sikap pragmatis untuk mengimbangi hubungannya
dengan Amerika(Petrini, 2007).
Setelah munculnya laporan bahwa Saudi tidak terbukti sebagai negara maupun
pihak yang mendukung aksi teror 9/11, hubungan keduanya mulai membaik. Kedua pihak
kemudian bertemu dan mendiskusikan kepentingan bersama serta membangun kembali
hubungan bilateral. Pada awal tahun 2015, presiden Obama dan Raja Salman - pengganti
Raja Abdullah-sepakat untuk memperkuat persaudaraan yang telah sejak lama terjalin,
terlebih untuk mewujudkan stabilitas kawasan(Foxnews, 2015).
Meskipun, sebagaimana telah disebutkan di awal, kedua negara menganut sistem
yang sangat berbeda, namun mereka dapat membangun hubungan aliansi yang erat. Dalam
beberapa hal, kemitraan kedua negara terkadang digambarkan sebagai hubungan khusus
satu sama lain.
V.
Analisis Rasionalitas Saudi
Pada tahun-tahun awal didirikannya kerajaan, Amerika bisa dikatakan sebagai
mitra paling berpengaruh dalam memajukan perkembangan domestik Saudi. Setelah
ditemukannya ladang minyak, Standard Oil of California - sebuah perusahaan Amerika –
memulai eksplorasi minyak. Perusahaan ini diberi kewenangan untuk membangun
infrastruktur pertambangan dan mengolah minyak secara penuh. Sebagai imbalannya,
Saudi menerima 50.000 Pounsterling dari perusahaan yang kemudian berganti Aramco
ini(History.com, 2014).
Kesepakatan ini tentu saja sangat menguntungkan karena sebelum minyak
ditemukan, Saudi bukanlah negara yang kaya. Dari aspek infrastruktur, modernisasi tentu
saya sangat diperlukan untuk menunjang kemajuan. Terlebih lagi, Mekah dan Madinah
sudah sejak lama menjadi pusat peradaban Islam.
Kerja sama semakin erat manakala industri di negara Barat berkembang pesat.
Salah satu yang paling penting adalah untuk mendukung industri persenjataan. Perang
dunia II dan perang Dingin merupakan contoh nyata bagaimana kekuatan negara
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …9
bergantung pada bahan bakar minyak. Maka ketika harga minyak melambung tinggi pada
1970-an, semua perusahaan di Amerika mengalami kemandekan.
Krisis minyak pada era tersebut berkaitan dengan konflik Arab-Israel. Amerika
ketika itu mendukung yahudi melawan aliansi negara muslim. Padahal di sisi lain Amerika
dan Saudi menjalin hubungan erat dalam menangkal pengaruh Blok Timur. Secara
ideologi, Komunisme Soviet dianggap sangat bertentangan dengan prinsip Islam Sunni.
Memang, meskipun konflik Sunni-Syiah belum begitu mencolok, ideologi sudah menjadi
prinsip dalam masyarakat Saudi. Dalam titik ini, keduanya telah disatukan dengan
eksistensi Komunis sebagai musuh bersama. Kuatnya tradisi Islam ini juga telah
menjadikan Saudi lebih peka terhadap kawasan. Solidaritas sesama negara muslim
menyatukan pandangan bahwa Israel adalah musuh bersama di kawasan.
Menghadapi tendensi AS kepada Israel, tidak ada keraguan bagi Saudi - bersama
negara-negara arab lainnya - untuk mengubah kebijakan dari kerja sama menuju embargo
minyak ke semua negara Barat. Upaya ini merupakan langkah strategis untuk menurunkan
konflik Yom Kippur(Pollack, 2002), meski Israel muncul sebagai pemenang. Krisis dunia
yang terjadi ketika itu menghasilkan upaya yang cukup signifikan. Melalui jalur diplomasi,
AS kemudian mau membujuk Israel untuk mengambil langkah diplomatis dari pada
berkonflik.
Tidak lama kemudian, meletusnya revolusi Iran kembali menguatkan hubungan
Saudi dengan AS. Iran yang sebelumnya juga merupakan mitra dekat AS, mendeklarasikan
diri menjadi pemerintahan Syiah terkuat di kawasan yang anti-Barat. Dari sinilah mulai
meruncing benturan Sunni-Syiah sebagai isu serius di dunia Islam. Hingga saat ini, ketika
dihadapkan pada konflik tersebut, AS selalu memposisikan diri di kubu Arab Saudi.
Konflik serupa seperti di Suriah dan Yaman merupakan bentuk nyata kuatnya aliansi
militer di antara keduanya.
Terlepas dari isu bahwa AS mempunyai kepentingan lain di kawasan, hubungan
keduanya sangat penting bagi eksistensi Saudi sebagai salah satu pemerintahan-Sunni
terkuat. Bahkan, biaya pengeluaran militernya menempati terbesar ke empat dunia setelah
AS, China, dan Rusia, yaitu mencapai 56,725 Juta US$(Macias, 2014). Hal yang perlu
dicatat bahwa angka ini tidak bisa dilepaskan dari peran AS sebagai supplyer utama
pembelian senjata.
10.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
Perseteruannya dengan Iran, di sisi lain, seakan menunjukkan kontes kekuatan.
Dengan ideologi yang berbeda, konflik Sunni-Syiah seakan seperti perlombaan pengaruh
di antara dua negara(Wehrey et al., 2009, p.43). Saudi tidak ingin tersaingi oleh
pemerintahan Syiah Iran. Meski kekuatan militer Iran tidak sebesar Saudi, namun dugaan
kepemilikan senjata nuklir akan sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, lagi-lagi AS tidak
segan membantu Saudi menghadapi musuh bersama tersebut.
Namun demikian, ideologi Sunni yang eksis di tubuh pemerintahan kerajaan
agaknya tidak begitu berpengaruh dalam menentukan sikap politik luar negerinya.
Memang, Iran adalah lawan utama di kawasan. Namun motif untuk mempertahankan
hegemoni lebih menonjol. Hal ini juga dibuktikan mana kala hubungannya dengan AS
sangat erat terutama bidang pertahanan dan militer (Blanchard, 2015, p.24). Padahal jika
dibandingkan, AS dengan liberal-sekulernya dan Saudi dengan monarki-Islamnya,
keduanya harusnya berbenturan. Dengan kata lain, ideologi bukanlah motif utama Saudi
untuk bermusuhan ataukah bersekutu.
Saudi dalam beberapa hal termasuk mempunyai posisi tawar yang tinggi. Selain
menghadapi tantangan pada era 70-an, hubungannya dengan AS juga sempat terganggu
pasca 9/11. Dugaan sebagai negara pendukung teroris tidak membuat Saudi ragu untuk
menggeser kebijakan luar negerinya ke negara-negara Asia. Namun sekali lagi meski
hubungannya dengan AS sempat renggang, Saudi masih tetap menjadi pembeli utama
senjata AS(Rosen, 2014).
VI.
Kesimpulan
Sebagai negara besar secara ekonomi dan militer di kawasan, posisi Saudi tidak
bisa dilepas dari kemitraannya dengan AS. Pasang surut hubungan kedua belah pihak
merupakan bentuk nyata dari sikap negara yang selalu mempertimbangkan aspek untungrugi. Bagi AS, Saudi merupakan sekutu utama untuk menghadapi lawan-lawan politiknya
di kawasan. Latar belakang ideologi nampak tidak berpengaruh terhadap politik luar negeri
Saudi untuk melakukan kerja sama dengan AS.
Di sisi lain,AS telah menjadi partner utama dalam bidang ekonomi maupun militer.
Selain minyak sebagai komoditas ekonomi, kekuatan militer merupakan aspek utama
untuk menghadapi instabilitas kawasan. Selain itu, dukungan AS memberikan kemantapan
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …11
Saudi menghadapi berbagai ancaman yang mungkin datang. Perubahan sikap Saudi
terhadap AS lebih banyak diambil sebagai strategi untuk menyesuaikan situasi yang lebih
menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-turaiqi, A. (2008). The Political System of Saudi Arabia. London: Ghainaa Publications.
Axelrod, R., & Keohane, R. O. (1985). Achieving Cooperation under Anarchy: Strategies
and Institutions. World Politics, 38(1), 226–254.
Berti, B., & Guzansky, Y. (2014). Saudi Arabia’s Foreign Policy on Iran and the Proxy
War in Syria : Toward a New Chapter? Israel Journal of Foreign Affairs, VIII(3),
25–34.
Chauvin, N. M. D. (2010). The Rise of the Gulf : Saudi Arabia as a Global Player .
Berlin.
Delaney, J. S. (2009). The Unlikely Partnership: The State of the U.S.-Saudi Relationship.
Hawaii Pacific University.
Dorsey, B. J. M. (2015). Saudi Arabia ’ s Reach in Yemen : Fighting for Regional
Dominance. Singapore: RSIS Commentary.
Heni, F. D. (2014). Saudi Leadership in a Chaotic Middle Eastern Context. ISPI, (279).
Luján, K. G. (2014). Paradox of the U.S-Saudi Alliance : Deconstructing External and
Internal Threats. Central European University.
Marrar, K. (2009). The Arab Lobby and US Foreign Policy: The Two-State Solution. New
York: Routledge.
Mesquita, B. B. de. (2009). Foreigh Policy Analysis and Rational Choice Models
(International Studies Association Compendium Project Paper).
Petrini, B. (2007). Saudi arabian external relations after 9/11. Journal of Middle Eastern
Geopolitics, 2(4), 65–82.
Pollack, J. (2002). Saudi Arabia and the united states: Security and interdependence.
Middle East Review of International Affairs, 6(3), 77–102.
Rajkhan, S. F. (2014). Women in Saudi Arabia Status , Rights , and Limitations Master of
Arts in Policy Studies. University of Washington Bothell School.
Riker, W. H. (1995). The Political Psychology of Rational Choice Theory. Political
Psychology, 16(1), 23–44. Militaries
12.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
Subhan, T. (2003). US-Saudi Arabia Relations: Coming of Age. Economic and Political
Weekly, 38(37), 3885–87.
Wehrey, F., Karasik, T., Nader, A., Ghez, J., Hansell, L., & Guffey, R. (2009). SaudiIranian Relations Since the Fall of Saddam: Rivalry, Cooperation, and Implications
for US Policy. Santa Monica: RAND Corporation.
Yamani, M. (2008). The Two Faces of Saudi Arabia. Survival, 50(1), 143–156.
Artikel Internet
Australian Public Service Commission. (2007). Changing Behaviour. A Public Policy
Perspective. Commonwealth of Australia. Retrieved January 20, 2016,
fromhttp://www.apsc.gov.au/__data/assets/pdf_file/0017/6821/changingbehaviour.pdf
BBC News. (2015). US State Department approves Saudi Arabia arms sale. Retrieved
February 1, 2016, from http://www.bbc.com/news/world-us-canada-34838937
Blanchard, C. M. (2015). Saudi Arabia : Background and U. S. Relations . Retrieved
January 22, 2016, from www.crs.gov
Research, E. H. E. (2015). Country Report: Saudi Arabia - Weaker oil revenues , but
strong
financial
Asset.
Retrieved
January
22,
2016,
from
http://www.eulerhermes.com/mediacenter/Lists/mediacenter-documents/CountryReport-Saudi-Arabia.pdf
History.com. (2014). 1933 Standard Oil geologists arrive in Saudi Arabia. Retrieved
January 20, 2016, from http://www.history.com/this-day-in-history/standard-oilgeologists-arrive-in-saudi-arabia
Hubbard, B. (2016). Saudi Arabia Cuts Ties With Iran Amid Fallout From Cleric’s
Execution.
Retrieved
January
21,
2016,
from
http://www.nytimes.com/2016/01/04/world/middleeast/iran-saudi-arabia-executionsheikh-nimr.html?_r=0
Macias, A. (2014). The 35 Most Powerful Militaries In The World. Retrieved January 10,
2016, from http://www.businessinsider.co.id/35-most-powerful-militaries-in-theworld-2014-7/
Nünlist, C. (2015). War in Yemen : Revolution and Saudi Intervention. CSS Analyses in
Security Policy, (15). Retrieved January 20, 2016, from www.css.ethz.ch/cssanalysen
Pew Research Center. (2009). Mapping the Global Muslim Population. Retrieved January
20, 2016, from http://www.pewforum.org/2009/10/07/mapping-the-global-muslimpopulation/
Rosen, A. (2014). The Most Powerful In The Middle East. Retrieved January 19, 2016,
from
http://www.businessinsider.co.id/35-most-powerful-militaries-in-the-world2014-7/
Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika Hubungan Saudi dan Amerika
Ahmad Anwar
Departemen Ilmu Politik Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo – Jawa Tengah
Email: [email protected]
ABSTRACT
Alliance between Saudi and the US experiences clear evidence of state behavior in
considering such policies. For Saudi, the US is main ally to maintain its power against its
political opponent in the region. Yet, pertaining to its dynamics, changing behavior of the
Kingdom toward Washington is considered due to strategic matter. Using Rational Choice
approach, this paper indicates that Saudi’s interests are believed to adjust favorable
circumstance.
Keyword: rational choice, state-behavior, Saudi Arabia, alliance
ABSTRAK
Aliansi antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat merupakan bukti nyata perilaku
Negara dalam pertimbangan kebijakan. Bagi Arab Saudi, Amerika Serikat adalah aliansi
utama untuk mempertahankan kekuatanya melawan lawan politik dalam wilayah. Namun,
melihat dinamikanya, perubahan perilaku kerajaan Arab Saudi terhadap Washington
sejalan dengan masalah strategis. Dengan menggunakan pendekatan Rational Choice,
tulisan ini mengindikasikan bahwa ketertarikan Arab Saudi dipercayai merupakan sebuah
pertimbangan keadaan tertentu
Kata kunci: rational choice, perilaku negara, Arab Saudi, aliansi
I.
Pendahuluan
Timur-Tengah
seakan
tidak
ada
habisnya
menjadi
perhatian
dunia.
Beberapaperilaku negaradi kawasan ini terkadangcukup rumit untuk dipahami. Fenomena
aliansi antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat merupakan salah satu hal unik dari sikap
negara(Luján, 2014)di tengah perseteruan Saudi dengan beberapa negara kawasan. Meski
mempunyai perbedaan karakter, hubungan erat dua negara tersebut bahkan sudah terjalin
sejak lama.
2.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
Relasi antara negara Islam yang menganut sistem monarki absolut dengan negara
demokrasi sekuler ini sempat mengalami pasang surut. Terlebih lagi ketika dikaitkan
dengan isu terorisme maupun konflik Timur-Tengah. Masa perang dingin, misalnya
menunjukkan hubungan aliansi yang begitu erat. Namun demikian keduanya juga sempat
berselisih ketika pada era 1970-an Saudi mengembargo minyak yang menyebabkan krisis
di negara-negara Barat. Meski hubungan kembali normal dan berjalan beberapa dekade,
peristiwa WTC 9/11 kembali menegangkan persahabatan(Pollack, 2002). Namun sekali
lagi Riyadh dan Washington dapat menjalin hubungan yang erat kembali. Hal ini dapat kita
lihat, misalnya, pada November 2015 lalu Amerika menyetujuipermintaan suplay senjata
untuk militer Saudi(BBC News, 2015). Hal ini menuntut penjelasanapa yang menyebabkan
Riyadh untuk menjaga kemitraan dengan Washington?
Sebagaimana pendapat Taufiq Subhan, hubungan keduanya yang telah lama terjalin
merupakan langkah strategi yang telah memberikan manfaat positif bagi masingmasing.Meskipun peristiwa 9/11 sempat mengganggu relasi kedua negara, namun
hubungan diplomatik kembali terjalin meski dalam porsi tertentu. Bagi Saudi, perbaikan
hubungan ini diambil karena adanya kebutuhan untuk mewujudkanhubungan politik dan
ekonomi yang lebih kondusif(Subhan, 2003).
Sementara itu, Delaney berpendapatpolitik perdagangan minyak merupakan faktor
yang paling signifikan. Amerika berkepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak
dunia karena Saudi termasuk penghasil minyak terbesar. Sebagai gantinya, Saudi mendapat
keuntungan untuk meningkatkan kekuatannya. Kerja sama keamanan dan pertahanan,
seperti supply persenjataan dan program latihan militer bersama misalnya, telah
menguatkan kemampuan pasukan pertahanan Saudi(Delaney, 2009).
Dalam penelitian terbaru, Blanchard menegaskan tentang kebutuhan Saudi yang
hampir selalu tidak bisa dilepas darikepentingan keamanan. Munculnya negara Islam IrakSuriah atau ISIS menambah tema baru dalam kebijakan anti-terorisme. Tuntutan keamanan
ini mendorong Saudi untuk menyerukan bahwa ISIS adalah musuh bersama dan perlu
ditangani oleh kedua negara(Blanchard, 2015).
Di tengah perbedaan sistem kenegaraan kedua negara, beberapa penjelasan tersebut
terlihat belum sepenuhnya menjawab tentang faktor-faktor pendorong dalam dinamika
aliansi. Secara khusus, pasang surutnya hubungan Saudi dan Amerika memerlukan
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …3
elaborasi lebih dalam.Untuk itu, faktor pendorong maupun penghambat dalam aliansi
keduanya perlu digali. Penelitian ini mencoba menelusuri aspek tersebut dengan
memfokuskan pada kebijakan luar negeri Arab Saudi ditinjau dari dinamika hubungan
kedua negara agar dapat menghasilkan analis yang memadai.
II.
Pilihan Rasional dalam Kebijakan Luar Negeri
Dalam mencapai tujuan ataupun kepentingan nasional, setiap negara perlu
merumuskan kebijakan luar negeri. Sejarah telah memberikan gambaran bagaimana setiap
negara bertindak sesuai dengan apa
menguntungkan.
Dalam
perspektif
yang mereka inginkan, atau setidaknya
Pilihan
Rasional
(Rational
Choice),
negara
digambarkan sebagai aktor rasional yang selalu berupaya untuk mendapatkan keuntungan
maksimal serta meminimalisir kerugian yang mungkin muncul. Dengan demikian setiap
kebijakan luar negeri khususnya dalam hal ini kerja sama luar negeri tidak bisa dipisahkan
dari alasan rasional yang mempertimbangkan untung rugi(Riker, 1995).
Untuk mengetahui apakah suatu kerja sama yang diambil akan memberikan
keuntungan,
maka
negara
perlu
menentukan
kepentingannya.
Jika
memang
menguntungkan, maka negara akan mengambil sikap tertentu. Dalam hal ini kerja sama
akan terjalin ketika terjadi shared interest di antaranya keduanya(Axelrod & Keohane,
1985). Negara memutuskan dan bertindak dengan menghitung untung rugi yang jelas atau
logis sesuai kepentingannya.
Orientasi sebuah kebijakan dilihat dari aspek hasil yang akan diperoleh. Maka,
keputusan melakukan kerja sama didasarkan pada berbagai alternatif yang paling
memungkinkan(Mesquita, 2009). Hal yang paling signifikan ialah pengambil keputusan
selalu siap untuk menyesuaikan atau bahkan mengubah kebijakannya. Hal ini disandarkan
pada apa yang memang dianggap lebih atau paling menguntungkan (APSC, 2007).
Secara umum ada beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi dalam pilihan
rasional. Pertama, negara mendefinisikan atau menentukan kepentingannya. Dalam hal ini
tentu sangat mungkin bagi setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda,
tergantung pada preferensi masing-masing. Kedua, ketika kepentingan nasional telah
ditentukan, maka suatu negara akan dapat menentukan tindakan rasionalnya, apakah
menguntungkan ataupun merugikan atau bahkan mempertimbangkan besar kecilnya kedua
4.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
aspek tersebut. Ketiga, tindakan yang diambil dapat saja berubah di kemudian hari. Hal ini
disesuaikan dengan kondisi ataupun konteks politik yang berjalan, karena memang dunia
internasional selalu mengalami perubahan yang bahkan begitu dinamis.
Dari kerangka konsep ini, penulis berpendapat bahwa dinamika pasang surut
kebijakan Saudi untuk bekerja sama dengan Amerika dipengaruhi oleh pilihan rasional
yang dihasilkan dari preferensi kepentingan Saudi. Berbagai kesepakatan yang mereka
lakukan tidak jauh dari pertimbangan-pertimbangan tertentu.
III.
Pemerintah Sunni di Tengah Konflik Kawasan
Bank Dunia mencatat pada 2013 jumlah penduduk Saudi setidaknya mencapai
28,83 juta jiwa dengan GDB senilai 748,45 Miliar US$, sebuah angka yang cukup besar
untuk negara dunia ketiga. Hal ini tidak dipungkiri mengingat 80% pendapatan ekspornya
berasal dari komoditas minyak (EHE Research, 2015). Pencapaian ini membuat Saudi
menjadi negara paling berpengaruh baik diGulf Cooperation Council/GCC maupun
Organization of the Petroleum Exporting Countries/ OPEC (Chauvin, 2010).
Arab Saudi menganut sistem monarki absolut dengan raja sebagai penguasa
kerajaan sekaligus pemimpin negara. Dengan kekuasaan yang mutlak tanpa dibatasi oleh
undang-undang, pertalian keluarga raja menjadi hal yang sangat vital, terutama dalam
suksesi kekuasaan. Raja membatasi partisipasi rakyat dalam ranah politik. Nilai-nilai
liberal dan demokrasi tidak ada karena kuatnya tradisi atau syariat Islam yang digunakan
sebagai basis legitimasi(Al-turaiqi, 2008).
Terbatasnya hak-hak politik ini setidaknya berjalan sampai beberapa dekade
sampai pada 2005 ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Raja Abdullah. Di masa ini,
kebijakan baru dikeluarkan untuk mereformasi sistem yang lebih terbuka dan memberikan
partisipasi yang lebih besar kepada rakyat. Pemilihan umum mulai diterapkan, di mana
rekrutmen politik yang sebelumnya bersifat eksklusif mulai ditinggalkan. Hal yang paling
signifikan adalah penerapan hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam beberapa
pemilu lokal(Rajkhan, 2014).
Dalam politik internasional, Kerajaan Saudi merupakan salah satu negara yang
mempunyai posisi cukup strategis. Dua kota suci umat muslim, Mekah dan Madinah, yang
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …5
berada di bawah kedaulatannya membuat Saudisebagai pemimpin duniaIslam. Pasca
kampanye
perang
melawan
menggunakanMekahsebagai
terorisme
alatkebijakan
global
luar
oleh
negerisejak
barat,
tahun
kerajaan
2006.
Klaim
inimenunjukkan sebuah simboluntuk mengungguli beberapa negara sainganyang
dipandang memiliki aspirasi dan visi yang berbeda dalam menjaga stabilitas dan ketertiban
kawasan(Yamani, 2008).
Kebijakan luar negeri Saudi telah dibentuk oleh konsepsi yang kuat sebagai negara
adidaya regional.Perannya sebagai penjaga stabilitas menjadikannya sebagai aktor penting.
Hal ini tidak lepas dari aspek historis bahwa Islam muncul di Arab Saudi. Karena itu
konsep peran dan tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan Islam di
seluruh dunia menjadi konsep dalam kebijakan luar negerinya.
Dari pandangan tersebut, Saudi termasuk negara yang aktif dalam kerja sama luar
negerinya. Di kawasan, Saudi telah sejak lama menjalin hubungan dengan negara-negara
teluk. Persamaan ikatan darah, agama, sejarah, dan geografis merupakan beberapa faktor
penentu.Berbagai contoh kerja sama yang berhasil dilaksanakan adalah GCC pada 1981
dan Liga Arab 1945.Dalam
lingkup tersebut, keamanan
dan
stabilitas
kawasan
merupakan prinsip dalam melaksanakan tanggung jawab bersamauntuk menghadapi
berbagai ancaman regional maupun internasional. Konflik Arab-Israel, sebagai contoh,
merupakan tantangan yang tidak bisa diabaikan dalam mewujudkan stabilitas politik
kawasan. Selain itu, kerja sama yang lebih luas di luar kawasan juga menjadi salah satu
agenda Riyadh.Dengan menjadikan Islam sebagai landasan menentukan politik luar negeri,
negara
ini
menjalin
solidaritas
sesama
negara-negara
Islam
di
Asia
dan
Afrika.Diprakarsainya Organization of Islamic Conference (OIC) pada 1969 menjadi
wujud nyata dari komitmen tersebut.
Namun demikian, politik luar negeri Saudi bukan tanpa tantangan. Lebih utamanya
berkaitan dengan stabilitas kawasan. Perkembangan sektarian Sunni dan Syiah dalam
agama Islam menjadikan negara-negara Islam Timur-Tengah terbagi, setidaknya, ke dalam
dua kubu. Perpecahan dalam Islam ini sebenarnya telah terjadi sejak sepeninggal Nabi.
Namun kemudian terus berlangsung hingga era modern. Sementara populasi Syiah sangat
sedikit, Arab Saudi dan sebagian besar negara-negara timur tengah serta muslim dunia
adalah penganut Sunni yang mencapai 85-90% (Pew Research Center, 2009). Fenomena
6.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
ini mengantarkan pada konflik di kawasan yang selalu menjadi perhatian dunia(Heni,
2014).
Sebagai pusat Islam dan negara Sunni terbesar di kawasan, Saudi merasa perlu
‘bertanggung-jawab’ dalam setiap konflik regional. Konflik di Yaman, misalnya,
memperlihatkan tindakan Saudi membantu pemerintah melawan pemberontak Syiah
Houti(Dorsey, 2015). Perang saudara yang sangat kuat diwarnai isu sektarian ini menjadi
bukti nyata intervensi Saudi untuk mengembalikan kekuasaan Sunni di Yaman(Nünlist,
2015).
Konflik Sunni-Syiah yang paling menonjol adalah ketegangan Saudi dengan Iran.
Selain memiliki luas wilayah dan kekayaan tambang minyak yang hampir sama, Iran
menjadi saingan utama Saudi karena negara tersebut adalah negara Syiah terbesar.
Hubungan kurang harmonis ini telah berlangsung lama terutama sejak meletusnya revolusi
Iran. Bahkan hubungan diplomasi keduanya telah putus pada awal Januari 2016 akibat isu
sektarian yang semakin meruncing(Hubbard, 2016).
Kuatnya kepentingan menjaga eksistensi Sunni ini juga dapat dilihat dalam
beberapa konflik lain. Konflik internal di Suriah merupakan contoh yang juga sangat
menonjol. Bahkan konflik ini dinilai sebagai medan lain bagi perseteruan Riyadh dan
Teheran. Iran sangat dikhawatirkan Saudi sebagai pesaing hegemoni di TimurTengah(Berti & Guzansky, 2014).
Dengan kuatnya kepentingan Islam Sunni, Saudi merupakan salah satu kekuatan
utama di kawasan. Berbagai konflik Timur-Tengah agaknya tidak bisa dipisahkan dari
kerajaan ini sebagai peran vital. Terlepas dari sistem monarkinya, politik luar negeri Saudi
dapat dikatakan cukup aktif di kawasan.
IV.
Aliansi Riyadh - Washington
Eksistensi Saudi tidak dapat dipisahkan dari hubungan eratnya dengan negeri
Paman Sam. Bahkan dapat dikatakan bahwa Saudi merupakan kawan paling dekat bagi
Amerika di Timur-Tengah.Kemitraan di antara keduanya telah dimulai sejak 1930 ketika
Amerika mengakui deklarasi kedaulatan Saudi. Beberapa tahun kemudian hubungan
diplomatik secara penuh dibangun melalui kerja sama eksplorasi minyak di Saudi. Seiring
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …7
meningkatnya kebutuhan industri Amerika pasca perang dunia II, keduanya menjalin
kesepakatan melalui Arab American Company (Aramco) yang memungkinkan berbagi
keuntungan 50-50. Mengalirnya minyak ke negara industri initelah menguntungkan bagi
keduanya.
Ketegangan sempat terjadi ketika tahun 1970an, misalnya, Saudi mengembargo
minyak karena Barat telah mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Melambungnya
harga minyak dunia membuat negara industri seperti Amerika kewalahan(Delaney, 2009,
p.78). Namun kemudian ketegangan mulai surut setelah Amerika membujuk Israel untuk
mengambil jalur diplomasi dengan kubu Arab.
Kemudian dalam situasi Perang Dingin, Amerika diuntungkan sebagai mitra utama
dalam bisnis minyak untuk keperluan industrinya. Di sisi lain, Saudi yang telah dikenal
sebagai mitra Amerika menjadi berisiko atas berbagai ancaman dalam situasi bipolaritas
dunia tersebut. Untuk itu Saudi mendapatkan suplai senjata yang cukup banyak untuk
meningkatkan kekuatannya. Hubungan erat ini kemudiandiperkuat atas kesamaan antiKomunis yang mulai berkembang di kawasan(Luján, 2014, p.36).Secara khusus kedua
negara pernah bersekutu melawan Soviet di Afghanistan di masa perang dingin. Kemudian
ketika perang teluk 1991, Saudi dan Amerika membantu membebaskan Kuwait dari
invasiIrakmeski ketika itu Riyadh sempat mengalami dilema (Marrar, 2009, pp.95-96).
Hubungan spesial ini kembali terganggu setelah peristiwa 9/11, di mana beberapa
pelaku teror dalam peristiwa ini merupakan warga Saudi. Al-Qaeda yang dituduh sebagai
dalang di balik serangan ini ditengarai berlindung kepada kelompok Sunni - Taliban di
Afghanistan. Itulah mengapa selain menginvasi Irak, Amerika juga menginvasi
Afghanistan.Padahal secara identitas, Taliban menganut aliran yang sama dengan
pemerintah Sunni di Saudi. Fakta bahwa Saudi merupakan pendukung finansial Taliban
semasa perang dingin menunjukkan motivasi agama yang cukup erat. ‘Perangmelawan
teror’ oleh Amerika termasuk di antaranya adalah tekanandiplomatik danmiliter
terhadaprezim yang didugamensponsoriterorisme, serta promosidemokrasi diTimurTengah untuk menciptakan stabilitas. Sementara jika merunut pada model demokrasi ala
Barat, hampir seluruh negara di kawasan tidak menganut prinsip ini.Situasi politik yang
cukup genting dibarengi dengan pergantian kepemimpinan Saudi oleh Raja Abdullah
mengubah arah kebijakan luar negeri kerajaan ke negara-negara Asia Pasifik seperti China,
India, dan Malaysia. Perkembangan kawasan Timur dipandang sebagai peluang baru serta
8.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
prioritas untuk melebarkan sayap kerja sama luar negerinya. Dalam perubahan strategi
yang demikian, Saudi menunjukkan sikap pragmatis untuk mengimbangi hubungannya
dengan Amerika(Petrini, 2007).
Setelah munculnya laporan bahwa Saudi tidak terbukti sebagai negara maupun
pihak yang mendukung aksi teror 9/11, hubungan keduanya mulai membaik. Kedua pihak
kemudian bertemu dan mendiskusikan kepentingan bersama serta membangun kembali
hubungan bilateral. Pada awal tahun 2015, presiden Obama dan Raja Salman - pengganti
Raja Abdullah-sepakat untuk memperkuat persaudaraan yang telah sejak lama terjalin,
terlebih untuk mewujudkan stabilitas kawasan(Foxnews, 2015).
Meskipun, sebagaimana telah disebutkan di awal, kedua negara menganut sistem
yang sangat berbeda, namun mereka dapat membangun hubungan aliansi yang erat. Dalam
beberapa hal, kemitraan kedua negara terkadang digambarkan sebagai hubungan khusus
satu sama lain.
V.
Analisis Rasionalitas Saudi
Pada tahun-tahun awal didirikannya kerajaan, Amerika bisa dikatakan sebagai
mitra paling berpengaruh dalam memajukan perkembangan domestik Saudi. Setelah
ditemukannya ladang minyak, Standard Oil of California - sebuah perusahaan Amerika –
memulai eksplorasi minyak. Perusahaan ini diberi kewenangan untuk membangun
infrastruktur pertambangan dan mengolah minyak secara penuh. Sebagai imbalannya,
Saudi menerima 50.000 Pounsterling dari perusahaan yang kemudian berganti Aramco
ini(History.com, 2014).
Kesepakatan ini tentu saja sangat menguntungkan karena sebelum minyak
ditemukan, Saudi bukanlah negara yang kaya. Dari aspek infrastruktur, modernisasi tentu
saya sangat diperlukan untuk menunjang kemajuan. Terlebih lagi, Mekah dan Madinah
sudah sejak lama menjadi pusat peradaban Islam.
Kerja sama semakin erat manakala industri di negara Barat berkembang pesat.
Salah satu yang paling penting adalah untuk mendukung industri persenjataan. Perang
dunia II dan perang Dingin merupakan contoh nyata bagaimana kekuatan negara
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …9
bergantung pada bahan bakar minyak. Maka ketika harga minyak melambung tinggi pada
1970-an, semua perusahaan di Amerika mengalami kemandekan.
Krisis minyak pada era tersebut berkaitan dengan konflik Arab-Israel. Amerika
ketika itu mendukung yahudi melawan aliansi negara muslim. Padahal di sisi lain Amerika
dan Saudi menjalin hubungan erat dalam menangkal pengaruh Blok Timur. Secara
ideologi, Komunisme Soviet dianggap sangat bertentangan dengan prinsip Islam Sunni.
Memang, meskipun konflik Sunni-Syiah belum begitu mencolok, ideologi sudah menjadi
prinsip dalam masyarakat Saudi. Dalam titik ini, keduanya telah disatukan dengan
eksistensi Komunis sebagai musuh bersama. Kuatnya tradisi Islam ini juga telah
menjadikan Saudi lebih peka terhadap kawasan. Solidaritas sesama negara muslim
menyatukan pandangan bahwa Israel adalah musuh bersama di kawasan.
Menghadapi tendensi AS kepada Israel, tidak ada keraguan bagi Saudi - bersama
negara-negara arab lainnya - untuk mengubah kebijakan dari kerja sama menuju embargo
minyak ke semua negara Barat. Upaya ini merupakan langkah strategis untuk menurunkan
konflik Yom Kippur(Pollack, 2002), meski Israel muncul sebagai pemenang. Krisis dunia
yang terjadi ketika itu menghasilkan upaya yang cukup signifikan. Melalui jalur diplomasi,
AS kemudian mau membujuk Israel untuk mengambil langkah diplomatis dari pada
berkonflik.
Tidak lama kemudian, meletusnya revolusi Iran kembali menguatkan hubungan
Saudi dengan AS. Iran yang sebelumnya juga merupakan mitra dekat AS, mendeklarasikan
diri menjadi pemerintahan Syiah terkuat di kawasan yang anti-Barat. Dari sinilah mulai
meruncing benturan Sunni-Syiah sebagai isu serius di dunia Islam. Hingga saat ini, ketika
dihadapkan pada konflik tersebut, AS selalu memposisikan diri di kubu Arab Saudi.
Konflik serupa seperti di Suriah dan Yaman merupakan bentuk nyata kuatnya aliansi
militer di antara keduanya.
Terlepas dari isu bahwa AS mempunyai kepentingan lain di kawasan, hubungan
keduanya sangat penting bagi eksistensi Saudi sebagai salah satu pemerintahan-Sunni
terkuat. Bahkan, biaya pengeluaran militernya menempati terbesar ke empat dunia setelah
AS, China, dan Rusia, yaitu mencapai 56,725 Juta US$(Macias, 2014). Hal yang perlu
dicatat bahwa angka ini tidak bisa dilepaskan dari peran AS sebagai supplyer utama
pembelian senjata.
10.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
Perseteruannya dengan Iran, di sisi lain, seakan menunjukkan kontes kekuatan.
Dengan ideologi yang berbeda, konflik Sunni-Syiah seakan seperti perlombaan pengaruh
di antara dua negara(Wehrey et al., 2009, p.43). Saudi tidak ingin tersaingi oleh
pemerintahan Syiah Iran. Meski kekuatan militer Iran tidak sebesar Saudi, namun dugaan
kepemilikan senjata nuklir akan sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, lagi-lagi AS tidak
segan membantu Saudi menghadapi musuh bersama tersebut.
Namun demikian, ideologi Sunni yang eksis di tubuh pemerintahan kerajaan
agaknya tidak begitu berpengaruh dalam menentukan sikap politik luar negerinya.
Memang, Iran adalah lawan utama di kawasan. Namun motif untuk mempertahankan
hegemoni lebih menonjol. Hal ini juga dibuktikan mana kala hubungannya dengan AS
sangat erat terutama bidang pertahanan dan militer (Blanchard, 2015, p.24). Padahal jika
dibandingkan, AS dengan liberal-sekulernya dan Saudi dengan monarki-Islamnya,
keduanya harusnya berbenturan. Dengan kata lain, ideologi bukanlah motif utama Saudi
untuk bermusuhan ataukah bersekutu.
Saudi dalam beberapa hal termasuk mempunyai posisi tawar yang tinggi. Selain
menghadapi tantangan pada era 70-an, hubungannya dengan AS juga sempat terganggu
pasca 9/11. Dugaan sebagai negara pendukung teroris tidak membuat Saudi ragu untuk
menggeser kebijakan luar negerinya ke negara-negara Asia. Namun sekali lagi meski
hubungannya dengan AS sempat renggang, Saudi masih tetap menjadi pembeli utama
senjata AS(Rosen, 2014).
VI.
Kesimpulan
Sebagai negara besar secara ekonomi dan militer di kawasan, posisi Saudi tidak
bisa dilepas dari kemitraannya dengan AS. Pasang surut hubungan kedua belah pihak
merupakan bentuk nyata dari sikap negara yang selalu mempertimbangkan aspek untungrugi. Bagi AS, Saudi merupakan sekutu utama untuk menghadapi lawan-lawan politiknya
di kawasan. Latar belakang ideologi nampak tidak berpengaruh terhadap politik luar negeri
Saudi untuk melakukan kerja sama dengan AS.
Di sisi lain,AS telah menjadi partner utama dalam bidang ekonomi maupun militer.
Selain minyak sebagai komoditas ekonomi, kekuatan militer merupakan aspek utama
untuk menghadapi instabilitas kawasan. Selain itu, dukungan AS memberikan kemantapan
Ahmad, Rasionalitas Riyadh dalam Dinamika …11
Saudi menghadapi berbagai ancaman yang mungkin datang. Perubahan sikap Saudi
terhadap AS lebih banyak diambil sebagai strategi untuk menyesuaikan situasi yang lebih
menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-turaiqi, A. (2008). The Political System of Saudi Arabia. London: Ghainaa Publications.
Axelrod, R., & Keohane, R. O. (1985). Achieving Cooperation under Anarchy: Strategies
and Institutions. World Politics, 38(1), 226–254.
Berti, B., & Guzansky, Y. (2014). Saudi Arabia’s Foreign Policy on Iran and the Proxy
War in Syria : Toward a New Chapter? Israel Journal of Foreign Affairs, VIII(3),
25–34.
Chauvin, N. M. D. (2010). The Rise of the Gulf : Saudi Arabia as a Global Player .
Berlin.
Delaney, J. S. (2009). The Unlikely Partnership: The State of the U.S.-Saudi Relationship.
Hawaii Pacific University.
Dorsey, B. J. M. (2015). Saudi Arabia ’ s Reach in Yemen : Fighting for Regional
Dominance. Singapore: RSIS Commentary.
Heni, F. D. (2014). Saudi Leadership in a Chaotic Middle Eastern Context. ISPI, (279).
Luján, K. G. (2014). Paradox of the U.S-Saudi Alliance : Deconstructing External and
Internal Threats. Central European University.
Marrar, K. (2009). The Arab Lobby and US Foreign Policy: The Two-State Solution. New
York: Routledge.
Mesquita, B. B. de. (2009). Foreigh Policy Analysis and Rational Choice Models
(International Studies Association Compendium Project Paper).
Petrini, B. (2007). Saudi arabian external relations after 9/11. Journal of Middle Eastern
Geopolitics, 2(4), 65–82.
Pollack, J. (2002). Saudi Arabia and the united states: Security and interdependence.
Middle East Review of International Affairs, 6(3), 77–102.
Rajkhan, S. F. (2014). Women in Saudi Arabia Status , Rights , and Limitations Master of
Arts in Policy Studies. University of Washington Bothell School.
Riker, W. H. (1995). The Political Psychology of Rational Choice Theory. Political
Psychology, 16(1), 23–44. Militaries
12.Jurnal PIR Vol.1 No. 1 Agustus 2016
ISSN:2528-7192
Subhan, T. (2003). US-Saudi Arabia Relations: Coming of Age. Economic and Political
Weekly, 38(37), 3885–87.
Wehrey, F., Karasik, T., Nader, A., Ghez, J., Hansell, L., & Guffey, R. (2009). SaudiIranian Relations Since the Fall of Saddam: Rivalry, Cooperation, and Implications
for US Policy. Santa Monica: RAND Corporation.
Yamani, M. (2008). The Two Faces of Saudi Arabia. Survival, 50(1), 143–156.
Artikel Internet
Australian Public Service Commission. (2007). Changing Behaviour. A Public Policy
Perspective. Commonwealth of Australia. Retrieved January 20, 2016,
fromhttp://www.apsc.gov.au/__data/assets/pdf_file/0017/6821/changingbehaviour.pdf
BBC News. (2015). US State Department approves Saudi Arabia arms sale. Retrieved
February 1, 2016, from http://www.bbc.com/news/world-us-canada-34838937
Blanchard, C. M. (2015). Saudi Arabia : Background and U. S. Relations . Retrieved
January 22, 2016, from www.crs.gov
Research, E. H. E. (2015). Country Report: Saudi Arabia - Weaker oil revenues , but
strong
financial
Asset.
Retrieved
January
22,
2016,
from
http://www.eulerhermes.com/mediacenter/Lists/mediacenter-documents/CountryReport-Saudi-Arabia.pdf
History.com. (2014). 1933 Standard Oil geologists arrive in Saudi Arabia. Retrieved
January 20, 2016, from http://www.history.com/this-day-in-history/standard-oilgeologists-arrive-in-saudi-arabia
Hubbard, B. (2016). Saudi Arabia Cuts Ties With Iran Amid Fallout From Cleric’s
Execution.
Retrieved
January
21,
2016,
from
http://www.nytimes.com/2016/01/04/world/middleeast/iran-saudi-arabia-executionsheikh-nimr.html?_r=0
Macias, A. (2014). The 35 Most Powerful Militaries In The World. Retrieved January 10,
2016, from http://www.businessinsider.co.id/35-most-powerful-militaries-in-theworld-2014-7/
Nünlist, C. (2015). War in Yemen : Revolution and Saudi Intervention. CSS Analyses in
Security Policy, (15). Retrieved January 20, 2016, from www.css.ethz.ch/cssanalysen
Pew Research Center. (2009). Mapping the Global Muslim Population. Retrieved January
20, 2016, from http://www.pewforum.org/2009/10/07/mapping-the-global-muslimpopulation/
Rosen, A. (2014). The Most Powerful In The Middle East. Retrieved January 19, 2016,
from
http://www.businessinsider.co.id/35-most-powerful-militaries-in-the-world2014-7/