MASA DEPAN SEKTOR MIGAS SEBAGAI PENOPANG

Discussion Paper
MASA DEPAN SEKTOR MIGAS SEBAGAI
PENOPANG ANGGARAN NEGARA

ERINA MURSANTI
SEPTEMBER 2015

Discussion Paper
MASA DEPAN SEKTOR MIGAS SEBAGAI PENOPANG ANGGARAN NEGARA

GAMBARAN SEKTOR MIGAS INDONESIA
Indonesia telah dikenal sebagai negara produsen minyak pada era 1960-1990-an, dan
menjadi anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di tahun 19612008. Dalam masa kejayaannya, Indonesia mengalami dua kali puncak produksi
minyak. Puncak pertama terjadi pada tahun 1977 dengan tingkat produksi yang
mencapai 1,65 juta barel per hari (bph) dan tingkat konsumsi yang hanya sebesar
300.000 bph. Produksi yang sebesar itu dihasilkan dari kegiatan produksi yang
dilakukan secara primary recovery1. Kemudian, puncak kedua terjadi pada tahun 1995
dengan produksi mencapai 1,6 juta bph dan tingkat konsumsi yang hanya 800 ribu bph.
Puncak produksi yang kedua ini dapat tercapai dari hasil kegiatan Enhanced Oil
Recovery (EOR)2 dengan cara injeksi air dan injeksi uap.
Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia


Discussion Paper | 9/23/2015

Namun setelah memasuki puncak
produksi di tahun 1990an, produksi
minyak Indonesia kemudian terus
mengalami penurunan.

1

Menurut data dari Kementerian ESDM,
pada tahun 1997 produksi minyak
mentah Indonesia sebesar 1,557 juta
bph. Kemudian pada tahun 2006 turun
lagi menjadi 1,071 juta bph dan pada
tahun 2007 merosot hingga di bawah 1
juta bph yaitu 952 ribu bph. Gambar 1
menunjukkan tren dari produksi minyak
Indonesia yang terus merosot sejak
tahun 1965 hingga saat ini.

1

Sumber: BP Stastical Review 2013

Menurut Widjajono Partowidagdo di dalam website Kementerian ESDM, primary recovery adalah cara memproduksikan
sumur secara alamiah untuk dapat menghasilkan hidrokarbon (minyak dan gas bumi) dengan tekanan reservoir yang ada
menggunakan pompa (pompa angguk maupun pompa subpermisible) atau dengan gas lift. http://esdm.go.id/berita/56artikel/3102-mengenal-ekonomi-migas-1-kegiatan-sektor-hulu-migas.html
2
Diketahui dari berbagai sumber bahwa penggunaan metode EOR dalam kegiatan eksploitasi migas dapat menyedot cadangan
migas yang tidak dapat disedot ketika kegiatan eksploitasi menggunakan teknologi konvensional seperti yang ada dalam metode
primary dan secondary recovery.

Perubahan angka produksi minyak ini memang memiliki peran yang sangat penting
dalam perekonomian nasional Indonesia. Sebab pemerintah melalui Badan Kebijakan
Fiskal, Kementerian Keuangan menetapkan lifting minyak dan gas sebagai salah satu
asumi dalam menyurun kerangka ekonomi makro yang merupakan patokan dalam
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lifting atau volume
yang minyak mentah dan gas bumi yang dijual dari titik penyerahan merupakan dasar
bagi perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas.
Ketika produksi minyak menurun, dapat dipastikan bahwa lifting minyak pun ikut

menurun. Dan dalam kurun waktu belas tahun terakhir, terlihat bahwa realisasi lifting
minyak Indonesia terus mengalami penurunan hingga 40% apabila dibandingkan
dengan tahun 2000. Bahkan, realisasi lifting minyak juga tak mampu mencapai target
yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam APBN tahun 2000 pemerintah menetapkan target lifting minyak sebesar 1.460
ribu bph, namun realisasi yang tercapai hanya sebesar 1.328 ribu bph. Demikian pula
pada tahun 2015, dimana target lifting minyak yang ditetapkan dalam APBN-Perubahan
2015 sebesar 825 ribu bph; namun diperkirakan realisasi yang akan tercapai hingga
akhir tahun 2015 hanya berkisar 812 ribu bph. Tingkat penurunan realisasi lifting
minyak ini mencapai hingga 40% apabila dibandingkan dengan tahun 2000 (lihat
gambar 2).

Namun pada periode 2008-2014 saat realisasi lifting minyak nasional mengalami
penurunan sebesar 15,2%, realisasi lifting gas nasional justru mengalami peningkatan
sebesar 6,8%. Pada tahun 2008 realisasi lifting gas bumi (lihat gambar 3) mencapai
angka 1.146 ribu barel setara minyak per hari, dan kemudian mengalami peningkatan
yang penting di tahun 2011, dan pada tahun 2014 realisasi lifting gas bumi sebesar
1.224 ribu barel setara minyak per hari. Peningkatan lifting gas bumi ini inilah yang
akhirnya mampu mendorongkrak pendapatan negara dari sektor minyak dan gas dan

mempertahankan kestabilan dalam keuangan negara (lihat gambar 4).

Discussion Paper | 9/23/2015

Melihat kecenderunan penurunan ini, maka pada tahun APBN 2016 Pemerintahan
menetapkan target lifting minyak bumi sebesar 830 ribu bph, sebuah angka yang
dianggap sangat realistis dengan situasi saat harga minyak di pasar internasional yang
terus merosot sejak awal tahun 2015. Namun angka ini juga belum dianggap final
karena masih menjadi pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2

Gambar 2
Realisasi lifting minyak bumi 2000-2014

Gambar 3
Realisasi lifting gas bumi 2008-2014

Realisasi Lifting Minyak Bumi
(ribu barel per hari)

1400
1200
1000
800
600
400
200
0

Realisasi Lifting
Minyak Bumi
(ribu barel per
hari)

Realisasi Lifting Gas Bumi
(ribu barel setara minyak per hari)
1,280
1,260
1,240
1,220

1,200
1,180
1,160
1,140
1,120
1,100
1,080

Realisasi
Lifting Gas
Bumi (ribu
barel setara
minyak per
hari)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Sumber: diolah dari data Kementerian Keuangan dan ESDM

Penurunan lifting minyak itu sendiri merupakan sebuah situasi yang tak dapat

dihindarkan lagi karena banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan
tersebut , seperti:
(a) proses penemuan sumber minyak yang semakin lama (sukses rasio eksplorasi yang
mengecil) dan juga keterlambatan izin yang menyebabkan kegiatan eksplorasi
terlambat beroperasi sehingga pada akhirnya mengakibatkan cadangan minyak yang
tersedia semakin menipis;
(b) cuaca yang tidak mendukung untuk melakukan kegiatan eksplorasi serta kondisi
sumur eksplorasi yang sudah tua dengan fasilitas operasi produksi yang sudah menua
ikut turut menyebabkan penurunan produksi minyak;

Discussion Paper | 9/23/2015

(c) faktor politis seperti kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam menetapkan
target lifting minyak nasional yang sering sekali menjadi faktor yang sangat
berpengaruh.

3

REFLEKSI KONTRIBUSI MIGAS DALAM APBN
Dengan melihat kecenderungan realisasi minyak bumi yang terus menurun dan tren

realisasi gas bumi yang meningkat, maka penting bagi banyak pihak untuk melihat lebih
dalam mengenai perkembangan dan kecenderungan penerimaan dari sektor minyak
dan gas ke depan. Sebab terlihat adanya sebuah fenomena yang menarik, dimana
dalam kurun waktu 2000-2014 (lihat gambar 4), penerimaan sektor migas justru
mengalami peningkatan hingga 220,34%. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, tingkat

kenaikan dalam periode 2008-2014, yang hanya sekitar 5,44%, sangat kecil
dibandingkan tingkat kenaikan dalam periode 2000-2008, yang mencapai hingga
220,34 (dari Rp 95.000 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 304.322 miliar).

Gambar 4
Penerimaan sektor migas 2000-2014

350,000

Penerimaan sektor migas (Rp miliar)

300,000
250,000


Penerimaan
sektor migas
(Rp miliar)

200,000
150,000
100,000
50,000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Sumber: diolah dari data Kementerian Keuangan

Ketidakpastian dalam merealisasikan lifting migas nasional tentunya akan
menyebabkan ketidakstabilan fiskal dalam APBN. Pemerintah bersama dengan DPR
tentu harus memikirkan situasi ini secara serius. Sebab seperti yang dijelaskan oleh
pemerintah melalui Dirjen Migas, Kementerian ESDM, setiap penurunan lifting minyak
sebesar 10 ribu barel dengan kurs, ICP dan cost recovery tetap akan berdampak pada
hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 1,6-3 triliun. Sedangkan menurut pemerintah
melalui Dirjen Anggaran, Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa ketika ada


Discussion Paper | 9/23/2015

Tingkat kenaikan penerimaan sektor migas yang, bisa dibilang, sangat kecil selama 7
tahun terakhir ini tentunya akan mempengaruhi anggaran pembangunan Indonesia.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa dapat dikatakan jika tingkat kenaikan
penerimaan sektor migas yang sangat kecil ini diakibatkan oleh menurunnya realisasi
lifting minyak nasional yang sangat drastis. Kenaikan lifting gas nasional selama
beberapa tahun belakangan kenyataannya tidak mampu menggantikan penurunan
lifting minyak nasional dan penerimaan sektor migas.

4

penurunan ICP 1 USD dengan kurs, cost recovery dan lifting tetap maka akan
berdampak pada hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 3,4-3,9 triliun.

Konsekuensi lain dari menurunnya atau stagnasi lifting minyak nasional adalah
ketidakpastian alokasi Dana Bagi Hasil Migas (DBH Migas) yang dibagi pemerintah
pusat ke pemerintah daerah-daerah penghasil migas. Berdasarkan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,

besaran angka DBH untuk masing-masing daerah disesuaikan dengan memperhatikan
potensi daerah dalam menghasilkan migas. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi jumlah lifting migas nasional suatu daerah maka DBH daerah tersebut
akan ikut meningkat dan sebaliknya.

Volatilitas harga komoditi minyak mentah dunia yang terus turun dari tahun 2011
dengan ditambah menurunnya lifting minyak nasional telah mengakibatkan jumlah DBH
migas yang dialokasikan pemerintah pusat untuk daerah ikut merosot hampir 50%.
Berdasarkan data realisasi APBN dari Kementerian Keuangan, diketahui bahwa jumlah
DBH yang dialokasikan pemerintah pusat menurun dari Rp 47.397 miliar pada tahun
2012 menjadi sekitar Rp 24.5550 miliar (dalam APBNP) pada tahun 2015. Akibatnya
pemerintah daerah harus melakukan rasionalisasi anggaran untuk dapat menyesuaikan
realisasi pendapatan dengan rencana pembangunan yang ada.

Discussion Paper | 9/23/2015

Seperti yang terjadi pada pemerintah daerah Riau, pada awal tahun 2015, yang harus
melakukan rasionalisasi anggaran sampai dengan 1 triliun lebih untuk menutupi
pemasukan kas daerah. Hal ini adalah sebagai konsekuensi dari rendahnya realisasi
ICP yang mengakibatkan DBH migas ke Riau ikut menurun hingga 50%3. Sama halnya
dengan Bojonegoro. Sebagai salah satu kabupaten kaya minyak, Bojonegoro harus
menunda beberapa proyek yang telah direncanakan sebagai akibat dari penurunan
PAD 2015 yang dikarenakan harga minyak mentah yang merosot.

5

SEKTOR MIGAS MASIH
ANGGARAN NEGARA?

DIANDALKAN

SEBAGAI

PENOPANG

Situasi ini kemudian memunculkan pertanyaan apakah sektor migas masih mampu
diandalkan sebagai penopang APBN dan APBD ke depannya? Ada empat alasan yang
3

Menurut penuturan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), M Yafiz, kepada riauplus.com
http://riauplus.com/ekonomi/8796-harga-migas-dunia-menurun-dbh-riau-berkurang.html

menjadi penyebab mengapa sektor migas perlu dipertimbangkan ulang sebagai sumber
pendapatan dan belanja negara di masa depan. Empat alasan tersebut adalah:

1) Penurunan kontribusi sektor migas dalam pendapatan negara
Peranan penerimaan sektor migas tidak lagi dominan seperti dalam pendapatan
negara pada kurun waktu 1969-1993. Berdasarkan realisasi anggaran yang
diperoleh dari Kementerian Keuangan, tren kontribusi sektor migas terhadap
pendapatan negara pada periode 2000-2014 menurun, dari 46% pada tahun
2000 menjadi hanya sekitar 17% pada tahun 2014 (lihat gambar 5).

Gambar 5
Kontribusi penerimaan migas terhadap pendapatan negara

Kontribusi penerimaan migas terhadap pendapatan negara
50%
45%
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
2014

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

Kontribusi
penerimaan
migas terhadap
pendapatan
negara

Penurunan kontribusi sektor migas dalam pendapatan negara juga tercermin dari
menurunnya kontribusi PNBP dari sektor migas di dalam PNBP pada periode
2004-2014; meskipun PNBP dari sektor migas tersebut masih merupakan
komponen yang dominan dalam PNBP. Berdasarkan data realisasi APBN dari
Kementerian Keuangan, kontribusi PNBP dari sektor migas dalam PNBP pada
tahun 2004 yaitu sebesar 70% dan kemudian turun menjadi sekitar 54% pada
tahun 2014 (lihat gambar 6).

Discussion Paper | 9/23/2015

Sumber: diolah dari data Kementerian Keuangan

6

Gambar 6
Kontribusi penerimaan dari sektor migas terhadap PNBP

Kontribusi sektor migas dalam PNBP
80
70
60
50

Kontribusi
sektor migas
dalam PNBP

40
30
20
10
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumber: diolah dari data Kementerian Keuangan

2) Penurunan kontribusi sektor migas dalam pendapatan daerah

Discussion Paper | 9/23/2015

Alokasi DBH migas ke daerah dari pusat menganut dua prinsip, yaitu by origin
(dimana daerah penghasil mendapatkan porsi yang lebih besar dan daerah lain
dalam propinsi tersebut mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi tertentu)
dan based on actual revenue (dimana penyalurannya berdasarkan realisasi
penerimaan tahun anggaran berjalan). Oleh karena itu, ketika tren dari kontribusi
penerimaan sektor migas dalam pendapatan negara menurun, maka tren dari
kontribusi penerimaan sektor migas dalam pendapatan daerah akan ikut
menurun, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 7.

7

Gambar 7
Kontribusi penerimaan migas terhadap pendapatan daerah

Sumber: Kementerian Keuangan

3) Penurunan ketersediaan cadangan minyak dan gas bumi

Dengan asumsi tingkat produksi minyak bumi konstan pada angka 800 ribu bph
setiap tahun, maka cadangan minyak bumi tersebut memiliki reserve to
production ratio hingga 11 tahun. Sebagai kelanjutan dari produksi minyak yang
terus turun, maka pada tahun 2025 produksi minyak Indonesia hanya akan
mencapai 400.000 bph. Bahkan, menurut proyeksi dari Pengkajian Energi
Universitas Indonesia, kandungan minyak diperkirakan hanya akan bertahan

Discussion Paper | 9/23/2015

Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan
minyak bumi semakin turun dari 8,61 milyar barel pada tahun 2004 hingga 7,73
milyar barel pada tahun 2011. Selain itu, diketahui pula bahwa pada tahun 2013,
Indonesia yang berada di posisi ke 28 dalam daftar negara kaya minyak di dunia
hanya memiliki 0,3% dari cadangan terbukti minyak dunia, yaitu sekitar 3,74
miliar barel (BP Statistical Review of World Energy, 2013).

8

hingga tahun 2025 jika cadangan-cadangan minyak di Indonesia yang baru tidak
dapat diketemukan.

Begitu pula halnya dengan gas bumi. Cadangan gas bumi pun terus turun dari
tahun ke tahun dalam periode 2004-2012. Pada tahun 2004, cadangan gas bumi
sebesar 188,34 milyar barel lalu turun menjadi 150,70 milyar barel. Berdasarkan
status pada tahun 2008, jumlah cadangan gas bumi mencapai 170 TSCF dan
dengan tingkat produksi per tahun yang mencapai 2,87 TSCF, maka Indonesia
memiliki reserve to production ratio mencapai 59 tahun.

4) Volatilitas harga komoditi minyak dan gas
Harga minyak mentah Indonesia dari tahun 2005-2014 sangat fluktuatif namun
sejak tahun 2011 hingga saat ini harga minyak mentah Indonesia selalu
mengalami penurunan dari 111 US$/barel pada 2011 menjadi tidak lebih dari 40
US$/barel pada pertengahan 2015. Hal ini sebenarnya sebagai konsekuensi dari
menurunnya harga minyak mentah dunia.

Discussion Paper | 9/23/2015

STRATEGI PEMERINTAH UNTUK MENGANTISIPASI KURANGNYA
PENERIMAAN NEGARA DARI SEKTOR MIGAS

9

Selama ini, Indonesia memiliki pola pembangunan yang berbasis pada sektor migas.
Hal ini terlihat pada dijadikannya lifting migas nasional dan ICP sebagai asumsi dasar
makro dalam penyusunan APBN setiap tahun anggarannya. Hal ini tidak akan menjadi
persoalan besar jika cadangan minyak dan gas Indonesia sangat berlimpah. Namun,
saat ini, ketika cadangan migas semakin menurun sehingga diperkirakan akan habis
10-15 tahun lagi, apabila tidak ada penemuan cadangan yang baru, maka diperlukanlah
strategi pemerintah untuk mengantisipasi kurangnya penerimaan negara dari sektor
migas supaya rencana pembangunan yang sudah dianggarkan dalam APBN tidak akan
terganggu.

Di atas sudah dijelaskan bahwa reserve to production ratio minyak bumi adalah 11
tahun dan gas bumi adalah 59 tahun. Kemudian situasi ini memunculkan dua
pertanyaan, yaitu:
(1) Langkah apa yang harus dilakukan pemerintah untuk dapat menutupi kekurangan
pendapatan negara sebagai konsekuensi dari menurunnya ketersediaan cadangan

migas di dalam bumi Indonesia, sehingga diharapkan rencana pembangunan yang ada
tidak akan terganggu;
(2) Langkah apa yang harus dilakukan pemerintah daerah, terutama daerah-daerah
penghasil minyak dimana APBD nya memiliki ketergantungan yang tinggi pada DBH
migas supaya kejadian seperti pemerintah daerah Riau dan Bojonegoro tidak akan
terulang kembali pada pemerintah daerah yang lain.

Harus ada upaya sinergis dalam pemerintah untuk dapat mengatasi situasi ini sehingga
dapat menjawab dua pertanyaan di atas. Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian
ESDM, harus dapat menjamin ketersediaan pasokan migas untuk memenuhi kebutuhan
migas di saat Kementerian Keuangan harus memikirkan secara detil bagaimana
komposisi pendapatan dan belanja negara supaya kegiatan pembangunan yang sudah
dianggarkan dalam APBN tidak terganggu.

Strategi menjaga ketersediaan pasokan minyak dan gas bumi
Dalam rangka mengatasi cadangan migas yang menipis di saat kebutuhan migas
meningkat, Kementerian ESDM saat ini merubah paradigma dalam pengelolaan industri
migas menjadi:
(1) energi, ke depannya, bukan dipandang sebagai komoditas, melainkan sebagai
pendorong untuk memicu kegiatan ekonomi lainnya dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi;
(2) energi, ke depannya, tidak lagi mengikuti orang, namun orang yang akan mengikuti
energi sehingga kegiatan ekonomi yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan energi
akan lebih diarahkan di luar pulau jawa sehingga diharapkan, pada akhirnya, kegiatan
ekonomi tidak hanya berpusat di pulau jawa saja;

Secara teknisnya, ada beberapa hal yang menjadi program strategis hulu migas yang
dilakukan Kementerian ESDM untuk meningkatkan cadangan migas Indonesia, yaitu:
(a) melakukan pergeseran pencarian cadangan migas dari kawasan barat Indonesia ke
bagian timur Indonesia;
(b) mempercepat eksplorasi di lapangan dengan cara conventional, yang saat ini
berjumlah sekitar 300-an, dan juga dengan cara unconventional, sekitar 54 wilayah
kerja gas metana batubara (CBM) dan 5 wilayah kerja shale gas;

Discussion Paper | 9/23/2015

(3) pengelolaan energi yang selama ini sarat dengan polusi yang dihasilkannya,
diharapkan, ke depannya, pengelolaan energi akan lebih ramah lingkungan.

10

(c) mempercepat produksi di lapangan, yang saat ini berjumlah sekitar 60-an;
(d) melakukan konservasi produksi migas dengan metode EOR, pengelolaan sumur tua
dan pemanfaatan gas suar.

Sementara itu, Kementerian ESDM juga melakukan beberapa program strategis hilir
migas seperti:
(a) pembangunan kilang baru dengan tiga skenario yaitu dibiayai sepenuhnya oleh
pemerintah, dibiayai oleh investor, atau melalui kerjasama antara pemerintah dan
investor (skema pulic private partnership);
(b) diversifikasi bahan bakar dari bbm dan minyak tanah menjadi bbg dan elpiji.
Diversifikasi energi ini perlu dilakukan dari sekarang untuk mencapai target bauran
energi primer pada tahun 2025 yang telah diatur di dalam PP No.79/2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional, yang menyatakan bahwa pada tahun 2025 peran energi
baru dan terbarukan paling sedikit 23%, minyak bumi kurang dari 25%, batubara
minimal 30% dan gas bumi minimal 22%;
(c) perbaikan infrastruktur energi seperti pembangunan pipa, pembangunan virtual
pipeline untuk daerah yang tidak bisa dipasok dengan pipa, pembangunan bbm storage
untuk masyarakat Indonesia bagian timur.

Discussion Paper | 9/23/2015

Selain program hulu dan hilir migas, di bawah paradigma bahwa energi sebagai
pendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga sedang melakukan revisi UU migas
untuk mengatur bagaimana pengelolaan energi yang lebih baik dimana salah satu
tujuannya yaitu untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi penunjang supaya terciptalah
suatu kondisi dimana expenditure perusahaan energi bisa dinikmati oleh masyarakat
luas sehingga tercipta multiplier effect yang besar, sebagai contoh dari penyerapan
tenaga kerja yang lebih besar, bahan baku dari industri manufaktur yang lebih baik,
teknologi yang lebih baru, penerimaan pajak yang lebih besar (dari pph tenaga kerja
dan ppn industri), dan lain sebagainya. Hal ini didasari bahwa, menurut Kementerian
ESDM, sektor migas memberikan multiplier 1,5 kali dibandingkan penerimaan migas itu
sendiri.

11

Strategi menjaga kestabilan pendapatan negara
Di saat Kementerian ESDM memberikan perhatian terhadap bagaimana menjamin
pasokan energi, Kementerian Keuangan memberikan perhatian terhadap setiap
komponen yang ada di dalam APBN berikut dengan detil perubahan dari setiap
komponen.

Mengenai postur APBN, ada dua komponen dalam pendapatan negara, yaitu
penerimaan dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dimana PNBP dari
sektor migas merupakan komponen yang paling mendominasi PNBP. Oleh karena itu,
ketika PNBP migas menurun yang kemudian menyebabkan PNBP ikut menurun, maka
sebaiknya penerimaan dari pajak dapat ditingkatkan untuk meningkatkan pendapatan
negara dalam rangka mengantisipasi turunnya penerimaan dari sektor migas. Gambar
8 menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 kontribusi penerimaan dari pajak terhadap
pendapatan negara mengalami peningkatan, bahkan dalam periode 2000-2014
kontribusi penerimaan dari sektor migas perlahan-lahan mulai digantikan oleh kontribusi
penerimaan dari pajak.

Gambar 8
Kontribusi penerimaan migas dan penerimaan pajak terhadap pendapatan negara
80%
70%
60%

Kontribusi
penerimaan
migas terhadap
pendapatan
negara

50%
40%
30%

Kontribusi
penerimaan pajak
terhadap
pendapatan
negara

20%
10%
0%

Sumber: diolah dari data Kementerian Keuangan

Bagi pemerintah daerah, selain penerimaan dari pajak daerah, pemerintah daerah
memiliki alternatif sumber pendapatan yang diharapkan dapat mengkompensasi
turunnya penerimaan dari sektor migas yaitu penerimaan dari retribusi dan penerimaan
dari aset pemerintah daerah yang disimpan di perbankan seperti tabungan simpanan,
deposito, giro, dan lain sebagainya.

Discussion Paper | 9/23/2015

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

12

Strategi pembangunan (jangka panjang) tanpa sektor migas
Pada saat ini, ketika penerimaan dari sektor migas semakin menurun dan kontribusinya
terhadap pendapatan, baik negara dan daerah, juga semakin menurun, lifting minyak
bumi pada nyatanya masih bisa dan masih pantas untuk dijadikan sebagai patokan
asumsi makro ekonomi dalam penyusunan APBN karena jumlahnya secara nominal
masih dirasa signifikan.

Meskipun begitu, pemerintah harus memikirkan bagaimana pendapatan negara dapat
mengurangi ketergantungannya terhadap sektor migas sehingga pembangunan tetap
akan berjalan sesuai rencana walaupun ada ketidakstabilan penerimaan dari sektor
migas. Ada beberapa hal untuk dapat melakukan ini:
(1) melakukan shifting pembangunan ekonomi seperti yang telah dilakukan oleh Dubai
yang melakukan shifting dari pusat minyak menjadi pusat jasa dan pusat keuangan;
(2) menggunakan penerimaan dari sektor migas untuk investasi publik sehingga dapat
mengembangkan sektor ekonomi lainnya seperti, pembangunan pelabuhan dan
pembangunan bandara, bukan untuk konsumsi (Sachs, Jeffrey D. and Joseph E.
Stiglitz, 2007);

Discussion Paper | 9/23/2015

(4) mengeluarkan penerimaan dari sektor migas dari komponen pendapatan negara,
seperti yang dilakukan oleh Norwegia, Belanda dan Inggris.

13

References:
http://riauplus.com/ekonomi/8796-harga-migas-dunia-menurun-dbh-riau-berkurang.html
https://www.bp.com/content/dam/bp/pdf/statisticalreview/statistical_review_of_world_energy_2013.pdfhttps://migas101.wordpress.com/page/2/
http://www.suarabojonegoro.com/2015/09/dbh-migas-turun-pemkab-pangkas-beberapa.html?m=1
Sachs, Jeffrey D. and Joseph E. Stiglitz. Escaping the Resource Curse. Columbia: Columbia University Press. 2007
www.anggaran.depkeu.go.id

Discussion Paper | 9/23/2015

www.migas.esdm.go.id

14

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

ANALISIS KONSENTRASI GEOGRAFIS SEKTOR EKONOMI DI KABUPATEN SITUBONDO

8 229 19

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN RASIO LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, AKTIVITAS DAN LEVERAGE TERHADAP PERUBAHAN LABA DI MASA DATANG PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

18 254 20

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18