Pengaruh Keadilan Pajak dan Biaya Kepatu

Pengaruh Keadilan Pajak dan Biaya Kepatuhan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Atas
Tindakan Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Nurhapizah Majida, Cornelius Rantelangib, and Iskandarb
ab

Faculty Of Economics and Business, Mulawarman University
Correspondence: [email protected]

ABSTRACT
Tax evasion is an active business taxpayer in terms of reducing, eliminating, illegal
manipulation of the tax payable or not to pay tax payable as appropriate. This action is
believed to be influenced by two factors, namely as tax fairness and compliance costs. If the
tax fairness has been applied properly, then the taxpayer will be less likely to commit tax
evasion and when the cost of compliance is too high, then the taxpayer will tend to evade
taxes. Theoretically this study are expected to enrich and give some empirical evidence
about factors that influence the adoption of taxpayers perceive towards tax evasion
action, so it can be useful for academics, practitioners and policy makers. The population
of this study are the individual taxpayer that spread accross the Regional Office of
Directorate General of Taxation in Samarinda. The sampling technique in this study is
purposive sampling with any criteria individual taxpayer that have freelance work of 60
respondents. Freelancer work is the work performed by an individual who has special skills

to earn income which is not bound by an employment relationship, such as lawyers,
accountants, architects, sportsmen and the like. The analysis of research data on this study
using PLS (Partial Least Square). The main findings of the study provide information that:
(1) tax fairness has positive influence on taxpayer perceive towards tax evasion action, and
(2) compliance cost has positive influence on taxpayer perceive towards tax evasion
action.

Keywords:

compliance cost; perceive; tax evasion; tax fairness.

PENDAHULUAN
Ditjen pajak, mencatat masih tinggi praktik penggelapan pajak yang dilakukan oleh
Wajib Pajak, melihat saja pada tahun 2014, kasus perpajakan naik 280% dari tahun 2013.
Dimana, tahun 2014 terdapat 42 kasus dan diketahui tahun 2013 hanya 15 kasus (CNN
Ekonomi Indonesia, 2015). Salah satu kasus penggelapan pajak yang terjadi di Samarinda,
Kalimantan Timur telah diketahui wajib pajak orang pribadi yang berinisial KL terbukti
melakukan pelanggaran pajak, dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan dan
keterangan yang isinya tidak benar atau palsu dalam ketentuan pembayaran pajak, yang
menimbulkan kerugian terhadap negara sebesar Rp 6,4 miliar (detiknews, 2014).

Tidak tercapainya target penerimaan pajak di Indonesia dipengaruhi oleh tingkat
kepatuhan wajib pajak yang masih rendah. Presentase tingkat kepatuhan wajib pajak pada
1

tahun 2015, tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Data yang didapat dari Ditjen
Pajak (2015), Wajib Pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi Ditjen Pajak mencapai
30.044.103 Wajib Pajak, yang terdiri atas 2.472.632 Wajib Pajak Badan, 5.239.385 Wajib
Pajak orang pribadi Non Karyawan, dan 22.332.086 Wajib Pajak orang pribadi karyawan.
Sedang menurut data BPS 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72
juta orang. Artinya, baru 29,4% Wajib Pajak orang pribadi yang mendaftarkan dirinya
sebagai wajib pajak. Tercatat di tahun 2015 dari total 30.044.103 Wajib Pajak yang terdaftar
wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 18.159.840 Wajib Pajak wajib SPT, tetapi
dari jumlah tersebut baru 10.945.567 Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan atau
60,27% dari jumlah total Wajib Pajak wajib SPT. Jumlah Wajib Pajak yang menyampaikan
SPT tersebut terdiri atas 676.405 Wajib Pajak Badan, 827.228 Wajib Pajak orang pribadi
non karyawan, dan 9.431.934 Wajib Pajak orang pribadi karyawan. Artinya rasio kepatuhan
Wajib Pajak Badan baru mencapai 57.09%, Wajib Pajak orang pribadi non karyawan
40.75%, dan Wajib Pajak orang pribadi karyawan 63.22%. Dari penelitian yang telah ada
menyimpulkan bahwa rendahnya kepatuhan wajib pajak merupakan hasil dari tindakan
penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini membuktikan bahwa

penggelapan pajak di Indonesia berpengaruh besar terhadap penerimaan pajak di
Indonesia. Rendahnya presentase kepatuhan pajak bisa saja dipengaruhi oleh biaya-biaya
dalam memenuhi kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan pajaknya yang menurut mereka,
biaya tersebut adalah sesuatu yang membebankan mereka.
Selain biaya kepatuhan, aspek keadilan bisa saja menjadi hambatan wajib pajak
dalam memenuhi kewajibannya dalam menyetorkan pajak. Dimana, wajib pajak merasa
mereka mempunyai hak yang sama dan perlakuan yang sama, dan tidak ada bedanya
dengan wajib pajak yang lain. Fenomena yang bisa dikaitkan disini, perlakuan PPh Final
yang dianggap menyampingkan aspek keadilan. Maksud dari penjelasan umum PP 46
Tahun 2013, adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban
administrasi bagi Wajib Pajak maupun Ditjen Pajak, serta memperhatikan perkembangan
ekonomi dan moneter. Ditinjau dari aspek keadilan dalam pemajakan, penggenaan PPh
Final tidak sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar.
Pemajakan yang adil berdasarkan konsep keadilan vertikal dan horizontal adalah bahwa
semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar.
Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan
biaya-biaya pengurang penghasilan penghasilan bruto yang diperkenankan menurut
ketentuan perpajakan yang berlaku. Berhubung PPh Final dihitung langsung dari peredaran
bruto maka pemajakan tersebut tidak sesuai dengan konsep keadilan dalam perpajakan. Hal
ini disebabkan, besar kecilnya penghasilan neto seseorang tidak akan mempengaruhi

besarnya pajak yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung
2

terhadap peredaran bruto. Jadi jika wajib pajak dalam keadaan rugi pun, dengan
penggenaan PPh Final seseorang atau badan usaha tetap harus membayar pajak (Ruston
dalam ORTAX, 2013). Berdasarkan Latar Belakang penelitian di atas penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1)

Apakah keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan
pengelapan pajak.

2)

Apakah biaya kepatuhan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan
penggelapan pajak.

Persepsi Penggelapan Pajak
Persepsi merupakan suatu anggapan individu mengenai suatu hal yang menurutnya
adalah sesuatu yang benar maupun tidak benar untuk dilakukan. Dimana, tanggapan

tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya maupun dari individu itu sendiri.
Lingkungan sekitar yang dimaksud bisa dari pengalaman yang dirasai oleh orang sekitarnya,
dan dari individu itu sendiri merupakan sesuatu yang memang menjadi kemauannya. Dalam
hal ini bisa dikatakan bahwa persepsi Penggelapan pajak (Tax evasion) timbul dari
pengalaman yang dirasakan wajib pajak itu sendiri, dari kemauan atau keinginan wajib pajak
dalam melakukan Penggelapan pajak (Tax evasion) terhadap perpajakan Indonesia yang
membuat persepsi bahwa tindakan Penggelapan pajak (Tax evasion) adalah suatu hal yang
benar untuk dilakukan, tanpa melihat dari konsekuensi yang akan wajib pajak dapat ketika
melakukan tindakan penggelapan pajak. Dalam hal ini individu akan mengartikan
penggelapan pajak merupakan tindakan yang tidak etis, kadang-kadang etis, atau bahkan
selalu etis.
Penggelapan pajak adalah salah satu cara untuk meminimalkan pajak yang terutang
dengan melanggar peraturan perpajakan. Setiap wajib pajak menginginkan tarif pajak yang
serendah-rendahnya. Penggelapan pajak dipengaruhi oleh sikap wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.. Sehingga dapat dipahami, apakah wajib pajak
tersebut mempunyai perilaku yang baik atau menyimpang dari pemenuhan kewajiban
perpajakannya tersebut. Penggelapan pajak memang merupakan suatu hal yang tidak etis
untuk dilakukan terkecuali apabila wajib pajak merasa bahwa perlakuan penggelapan pajak
tersebut tidak terdeteksi oleh aparat pajak atau sanksi yang diberikan lebih kecil besarannya
jika dibandingkan dengan manfaatnya. Ditambah lagi jika terdapat pengenaan pajak yang

tidak sesuai dengan kemampuan wajib pajak itu sendiri dan terdapat biaya-biaya yang
menurut wajib pajak adalah sesuatu yang membebani mereka dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, maka penggelapan akan dianggap suatu hal yang baik (etis) oleh wajib
pajak. Variabel dependen ini diukur dengan mengajukan pertanyaan kepada wajib pajak

3

berupa kuisioner yang pertanyaannya mengenai persepsi wajib pajak atas tindakan
penggelapan pajak.
Teori Persepsi (Theory of Perception)
Persepsi timbul dari beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi persepsi menurut
Gaspersz

(1997:35),

adalah

pertama

pengalaman


masa

lalu

(terdahulu)

dapat

mempengaruhi seseorang karena manusia biasanya akan menarik kesimpulan yang sama
dengan apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Kedua keinginan dapat mempengaruhi
persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan. Manusia cenderung menolak tawaran
yang tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan. Ketiga pengalaman dari teman-teman,
dimana mereka akan menceritakan pengalaman yang telah dialaminya. Hal ini jelas
mempengaruhi persepsi seseorang.
Selain itu, menurut Thoha (2004:141) persepsi pada umumnya terjadi dikarenakan
dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri
individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial
maupun fisik.

Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)
Teori perilaku terencana ini dapat dikaitkan dengan timbulnya perilaku seorang
individu yang ditentukan oleh niat dan motivasi individu tersebut. Sedangkan, menurut Ajzen
(2006), munculnya niat berperilaku ditentukan oleh tiga faktor penentu yaitu : 1) Keyakinan
Individu (Behavioral beliefs), yaitu suatu keyakinan dari individu akan hasil dari suatu
perilaku dan evaluasi dari hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation) apakah
perilaku tersebut positif atau negative. 2) Keyakinan Normatif (Normative beliefs), yaitu
suatu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan
tersebut (normative beliefs and motivation to comply), yang menjadi referensi seperti
keluarga, teman, atasan, atau konsultan pajak untuk menyetujui atau menolak melakukan
suatu perilaku yang diberikan. 3) Keyakinan Kontrol Perilaku (Control beliefs), yaitu suatu
keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang
akan di tampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung atau
menghambat perilakunya tersebut (perceive power).

Keadilan Pajak
Keadilan pajak oleh Siahaan (2010:112), dibagi ke dalam tiga pendekatan aliran
pemikiran, yaitu :
1)


Prinsip Manfaat (Benefit principle), seperti teori yang diperkenalkan oleh Adam Smith
4

dan beberapa ahli perpajakan tentang keadilan, mereka mengatakan bahwa keadilan
harus didasarkan pada prinsip manfaat. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu sistem
pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai
dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah. Jasa pemerintah ini
meliputi berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan prinsip ini maka sistem pajak yang benarbenar adil akan sangat berbeda tergantung pada struktur pengeluaran pemerintah. Oleh
karena itu prinsip manfaat tidak hanya menyangkut kebijakan pajak saja, tetapi juga
kebijakan pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh pajak.
2) Prinsip Kemampuan Membayar (Ability to pay principle), pendekatan yang kedua yaitu
prinsip kemampuan membayar. Dalam pendekatan ini, masalah pajak hanya dilihat dari
sisi penerimaan Negara terlepas dari sisi pengeluaran publik (pengeluaran pemerintah
untuk membiayai pengeluaran bagi kepentingan publik). Menurut prinsip ini,
perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak tertentu dan setiap wajib
pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Prinsip kemampuan
membayar secara luas digunakan sebagai pedoman pembebanan pajak. Pendekatan
prinsip kemampuan membayar dipandang jauh lebih baik dalam mengatasi masalah
retribusi pendapatan dalam masyarakat, tetapi mengabaikan masalah yang berkaitan

dengan penyediaan jasa-jasa publik.
3) Keadilan Horizontal dan Keadilan Vertikal, pendekatan ini menarik kesimpulan bahwa
terdapat dua kelompok besar keadilan pajak, yaitu : a) Keadilan Horizontal berarti
bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak
dalam jumlah yang sama. Dengan demikian prinsip ini hanya menerapkan prinsip dasar
keadilan berdasarkan undang-undang. Misalnya untuk penghasilan, untuk orang yang
berpenghasilan sama harus membayar jumlah pajak yang sama. b) Keadilan Vertikal
berarti bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar
pajak lebih besar. Dalam hal ini nampak bahwa prinsip keadilan vertikal juga
memberikan perlakuan yang sama seperti halnya pada prinsip keadilan horizontal,
tetapi beranggapan bahwa orang yang mempunyai kemampuan berbeda, harus
membayar pajak dengan jumlah yang berbeda pula.
Sedang asas keadilan pajak dibedakan menjadi dua : 1) Benefit principle, wajib pajak
harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya yang disediakan oleh
pemerintah. 2) Ability principle, pajak dibedakan kepada wajib pajak atas dasar kemampuan
membayar dan penghasilannya.
Biaya Kepatuhan (Compliance cost)
Biaya kepatuhan oleh Sanford (1995), terbagi kepada tiga komponen, yaitu : 1)
5


Direct money cost, adalah biaya-biaya yang uang tunai atau cash money yang dikeluarkan
wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran ke konsultan
dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak. 2) Time cost, adalah
pengorbanan waktu, yaitu waktu yang terpakai oleh wajib pajak dalam melakukan
pemenuhan kewajiban pajak, antara lain waktu yang digunakan untuk membaca formulir
SPT dan buku petunjuknya, berkonsultasi dengan akuntan dan konsultan pajak, dan waktu
yang dikorbankan untuk pergi pulang kantor pajak.
Kajian Penelitian Terdahulu
Menurut Mardiasmo (2009) dalam Sumarnisasi (2011), menyatakan bahwa sesuai
dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, perundang-undangan dan pelaksanaan
pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada wajib pajak
untuk mengajukan keberatan, penundaaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding
kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Syahrani dan
Pratomo (2014) yang dilakukan di Bandung menunjukkan bahwa adanya pengaruh negatif
keadilan pajak terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak. Penelitian
McGee (2006) mengemukakan pandangan mengenai penggelapan pajak dimana menurut
hasil penelitiannya penggelapan merupakan perilaku yang tidak pernah beretika. Selain itu,
penelitian yang dilakukan McGee, et. al (2008) yang dilakukan di Hong Kong dan Amerika
menghasilkan bahwa variabel keadilan memiliki pengaruh yang kuat terhadap etika
penggelapan pajak. Alasan-alasan yang mendukung pandangan ini antara lain bahwa setiap
masyarakat mempunyai kewajiban dan hak kepada negaranya untuk membayar pajak.
Dimana kewajiban tersebut adalah melakukan penyetoran pajak terutangnya dan hak
adalah memperoleh manfaat dari penyetoran tersebut.
Perilaku penggelapan pajak wajib pajak orang pribadi mengenai keadilan pajak di
sini dapat dikaitkan dengan teori persepsi (theory of perception). Teori ini menganalogikan
bahwa perilaku penggelapan pajak wajib pajak dipengaruhi oleh adanya paradigma manfaat
dan biaya dari setiap tindakan yang dipilih wajib pajak tersebut. Ketika wajib pajak orang
pribadi merasa tarif yang dikenakan telah diterapkan secara adil kepada setiap individu
dengan penghasilan yang sama, maka secara tidak langsung akan mengurangi keinginan
individu untuk melakukan penggelapan pajak, maupun bersikap tidak patuh dalam
membayar pajak atau melaporkan SPT. Berdasarkan uraian di atas maka ditarik
kesimpulan, bahwa dengan adanya berbagai pemikiran tentang pentingnya keadilan bagi
seseorang termasuk dalam pembayaran pajak juga akan mempengaruhi sikap mereka
dalam melakukan pembayaran pajak. Semakin tinggi keadilan yang berlaku berlaku maka
6

persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak semakin rendah. Berdasarkan uraian
tersebut, maka peneliti mengambil hipotesis yang pertama adalah :
H 1 : Keadilan Pajak berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan
penggelapan pajak.
Compliance cost atau biaya kepatuhan pajak merupakan sejumlah biaya yang
dikeluarkan

oleh

individu

wajib

pajak

dalam

melaksanakan

berbagai

kegiatan

pembayaran/penyetoran perpajakan. Wajib pajak yang telah berupaya untuk patuh dengan
membayar kewajiban perpajakannya akan sangat merasa dirugikan apabila besanya biaya
kepatuhan cukup tinggi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kurniwati dan Toly
(2014) yang dilakukan di Surabaya Barat menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang positif
biaya kepatuhan terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Penelitian
Sariani, Wahyuni, dan Sulindawati (2016) yang dilakukan di Singaraja menghasilkan
variabel biaya kepatuhan pajak memiliki pengaruh positif terhadap persepsi wajib pajak
mengenai etika penggelapan pajak. Alasan yang mendukung pernyataan ini adalah setiap
wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya akan mengorbankan biaya dalam
melakukan kewajibannya tersebut. Sehingga biaya tersebut akan bersifat membebani
mereka.
Perilaku penggelapan pajak oleh wajib pajak orang pribadi mengenai biaya
kepatuhan disini dapat dikaitkan dengan teori perilaku terencana. Dalam teori perilaku
terencana (perceived behavioral control), menjelaskan bahwa keberadaan hal-hal tertentu
dapat mendukung atau menghambat perilaku seseorang. Dalam memenuhi kewajiban dan
hak perpajakannya, wajib pajak mengeluarkan sejumlah biaya. Biaya-biaya yangdikeluarkan
tersebut seharusnya tidak memberatkan wajib pajak dan tidak menjadi faktor penghambat
wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya. (Kurniawati, 2014).
Berdasarkan uraian di atas maka ditarik kesimpulan, bahwa dengan adanya berbagai biaya
yang dikorbankan dalam pembayaran pajak juga akan mempengaruhi sikap wajib pajak
dalam melakukan pembayaran pajak. Semakin tinggi biaya kepatuhan yang berlaku, maka
persepsi seorang wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak juga semakin tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang kedua adalah :
H 2 : Biaya Kepatuhan berpengaruh positif terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan
penggelapan pajak.

METODE PENELITIAN
Variabel Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak dalam penelitian ini diduga
dipengaruhi oleh variabel Keadilan Pajak dan Biaya Kepatuhan dari yang dirasakan Wajib
Pajak itu sendiri. Adapun model kerangka konsep penelitian yang dimaksud sebagaimana
gambar berikut ini :
7

Model Kerangka Konsep Penelitian
Prinsip
Manfaat
Prinsip
Kemampuan

Keadilan
Pajak (X1)

H 1 (-)
Kurangnya
Sosialisasi

Persepsi Wajib
Pajak atas
Tindakan
Penggelapan
Pajak (Y)

Keadilan dalam
Peraturan Pajak

Biaya
Konsultan
Biaya Menghitung
Pajak

Biaya
Kepatuhan
(X2)

Peraturan Pajak
yang Lemah
Integritas yang
Rendah

H 2 (+)

Biaya Melaporkan
Pajak

Setiap indikator mempunyai satu pertanyaan. Selanjutnya, masing-masing indikator
diukur dengan menggunakan skala Likert dengan skor paling rendah 1 (Sangat Tidak
Setuju), 2 (Tidak Setuju), 3 (Ragu-ragu), 4 (Setuju), dan paling tinggi 5 (Sangat Setuju)..
Semakin tinggi skor angka variabel mengindikasikan bahwa semakin tinggi pula tingkat
penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif melalui metode survey tipe confirmatory research yang didasarkan
pada pengambilan data melalui kuisioner (Hartono, 2009:45). Populasi dalam penelitian ini
adalah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Kota Samarinda. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan judgement sampling, yaitu sampel yang dipilih
berdasarkan penilaian peneliti bahwa responden adalah pihak yang paling baik untuk
dijadikan sampel penelitian (Hartono, 2008:68). Kriteria sampel yang peneliti rumuskan
dalam penelitian ini adalah : 1) Wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama
Kota Samarinda. 2) Wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas. 3) Wajib
pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas lebih dari tiga tahun.
Sampel merupakan bagian dari jumlah atau kateristik yang dimiliki oleh populasi.
Oleh karena populasi penelitian dirasakan terlalu besar, maka diambil sampel dengan
menggunakan rumus Hair et al. (2008), dengan jumlah maksimum 60 responden. Teknik
Analisis Data dalam penelitian ini menggunakan: 1) Uji Validitas digunakan untuk mengukur
keabsahan atau kevalidan suatu kuesioner, yaitu suatu kuesioner mampu mengungkapkan

8

sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Hartono dan Abdillah, 2009:58). Peneliti
akan menguji reliabilitas item pada setiap konstruk melalui pengujian validitas konstruk
menggunakan SmartPLS ver. 3.0 M3, yaitu uji validitas konvergen dan uji validitas
diskriminan. 2) Uji Reabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan
indikator dari variabel atau konstruk. Reliabilitas item diuji dengan melihat Koefisien
Alpha dengan melakukan Reliability Analysis dengan SmartPLS Ver 3.0 M3. Hartono
dan Abdillah (2009:71) mengemukakan bahwa uji validitas seluruh konstruk di tahapantahapan awal studi juga dapat dilihat dari nilai outer loading dengan level minimal ±0,30 dan
rule of thumb yang biasanya digunakan untuk membuat pemeriksaan awal dari matrik
faktor adalah ±0,30 dipertimbangkan telah memenuhi level minimal, untuk loading ±0,40
dianggap lebih baik, dan untuk loading lebih dari 0,50 dianggap signifikan secara
praktikal. Nilai reliabilitas yang dianggap cukup adalah antara 0,5 sampai dengan 0,6 dan
composite reliability dinilai lebih baik dalam mengestimasi konsistensi internal suatu
konstruk. Berikut ini parameter pengukuran outer model menurut Hartono dan Abdillah
(2009:44).
2

Pengukuran Inner Model dalam penelitian ini menggenakan: 1) R digunakan untuk
mengukur tingkat variasi perubahan variabel independen terhadap variabel dependen.
2

Semakin tinggi nilai R berarti semakin baik model prediksi dari model penelitian yang
diajukan. 2) Koefisien Path menunjukkan tingkat signifikan dalam pengujian hipotesis. Skor
koefisien path yang ditunjukkan oleh nilai T-statistic, harus diatas 1,96 untuk hipotesis dua
ekor (two-tailed), dan diatas 1,64 untuk hipotesis satu ekor (one-tailed). Ketika nilai t-statistic
lebih dari l,96 (two tailed) atau 1,64 (one tailed) maka hasil penelitian dapat diterima, tetapi
jika nilai t-statistic dibawah angka tersebut maka hasil penelitian ditolak. Pengujian hipotesis
H 1 hingga H 2 menggunakan analisis PLS. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengikuti saran dari Hartono dan

Abdillah (2009:63), sebagai berikut : 1)

Menentukan level signifikan atau nilai kritis alpha (α) yaitu sebesar 5% dan power 80%. 2)
Melihat nilai t-statistics pada tampilan output bootsraping program SmartPLS. Jika nilai tstatistics lebih dari 1.64 (one tailed) maka hipotesis diterima, namun jika nilai t-statistics
kurang dari 1.64 maka hipotesis ditolak. 3) Melihat nilai koefisien atau original sample pada
setiap path untuk mengetahui arah pengaruh setiap konstruk.
HASIL PENELITIAN
Periode penyebaran kuesioner dalam penelitian ini membutuhkan waktu tiga minggu
dimulai dari tanggal 3 Maret – 24 Maret 2017. Jumlah kuesioner yang disebarkan dalam
rentang waktu 21 hari tersebut adalah sebanyak 60 kuesioner, dan yang kembali juga
sebanyak 60 kuesioner. Seluruh kuesioner yang kembali adalah dapat diolah.
9

Hasil Statistik Deskriptif Keadilan Pajak (X1)
Keadilan pajak adalah kesamaan perlakuan pajak ke semua wajib pajak sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Variabel laten ini mempunyai 3 indikator yang
dioperasionalisasikan dengan 3 pertanyaan. Hasil temuan statistik deskriptif variabel
keadilan pajak yang ditunjukkan dengan dengan presentase jawaban responden dan nilai
rata-rata (mean) pada setiap indikator disajikan pada tabel berikut ini:
Deskriptif Variabel Keadilan Pajak (X1)
Presentase Jawaban Responden (%)
1
2
3
4
5
0
6
18
13
23
0
6
16
17
21

Indikator Variabel

Prinsip Manfaat (X11)
Prinsip Kemampuan (X12)
Keadilan Peraturan Pajak
0
6
(X13)
Rata-rata Presentase
0
10%
Sumber: Data primer diolah, Tahun 2017

Rata-rata (mean)
3,883
3,883

17

16

21

3,867

28,4%

25,6%

36%

3,878

Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif Berdasarkan hasil temuan statistik
deskriptif pada indikator prinsip kemampuan menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean)
sebesar 3,883. pada indikator prinsip manfaat menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean)
sebesar 3,883. Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator keadilan dalam
peraturan pajak menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,867. Hasil temuan
statistik deskriptif yang terdapat di tabel 4.5 di atas diperoleh nilai rata-rata (mean) variabel
keadilan pajak sebesar 3,878, sehingga dapat diartikan bahwa sebagian besar responden
sangat mementingkan perlakuan pajak yang adil kepada mereka. Adanya, keadilan yang
baik kepada wajib pajak maka wajib pajak akan lebih cenderung patuh kepada peraturan
pajak dan akan menghindari dari melakukan penggelapan pajak.
Hasil Statistik Deskriptif Biaya Kepatuhan (X2)
Biaya kepatuhan adalah semua biaya yang dikorbankan oleh wajib pajak dalam
menjalankan kewajibannya dalam melakukan penyetoran pajak. Variabel laten ini
mempunyai 3 indikator yang dioperasionalisasikan dengan 3 pertanyaan. Hasil temuan
statistik deskriptif variabel keadilan pajak yang ditunjukkan dengan dengan presentase
jawaban responden dan nilai rata-rata (mean) pada setiap indikator disajikan pada tabel
berikut ini:
Deskriptif Variabel Biaya Kepatuhan (X2)
Indikator Variabel
Biaya Konsultan (X21)
Biaya Menghitung Pajak (X12)

Presentase Jawaban Responden
(%)
1
2
3
4
5
0
3
16
28
13
0
2
18
27
13
10

Rata-rata (mean)
3,850
3,850

Biaya Melaporkan Pajak (X23)
0
3
Rata-rata Presentase
0
10%
Sumber: Data primer diolah, Tahun 2017

12
28,4%

36
25,6%

9
36%

3,850
3,850

Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator biaya konsultan
menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,85. Berdasarkan hasil temuan statistik
deskriptif pada indikator biaya menghitung pajak menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean)
sebesar 3,850. Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator biaya
melaporkan pajak menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,850. Hasil temuan
statistik deskriptif yang terdapat di tabel 4.6 di atas diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar
3,850, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan ditambah biaya-biaya yang harus
dikorbankan

responden

dalam

proses

memenuhi

kewajiban

perpajakannya

akan

membebani wajib pajak. Ketika hal itu terjadi maka, wajib pajak akan cenderung untuk tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya, malah melakukan hal sebaliknya seperti tindakan
penggelapan pajak.
Hasil Statistik Deskriptif Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak (Y)
Penggelapan pajak adalah penghindaran pajak yang dilakukan secara sengaja oleh
wajib pajak dengan melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Variabel laten ini
mempunyai 3 indikator yang dioperasionalisasikan dengan 3 pertanyaan. Hasil temuan
statistik deskriptif variabel keadilan pajak yang ditunjukkan dengan presentase jawaban
responden dan nilai rata-rata (mean) pada setiap indikator disajikan pada tabel berikut ini:
Deskriptif Variabel Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan Penggelapan Pajak (Y)
Presentase Jawaban Responden (%)
1
2
3
4
5
Kurangnya Sosialisasi (Y11)
1
7
10
26
16
Peraturan Pajak yang Lemah (Y12)
1
5
15
20
19
Integritas yang Rendah (Y13)
3
4
10
23
20
Rata-rata Presentase
2,8%
8,9% 19,4% 38,3% 30,6%
Sumber: Data primer diolah, Tahun 2017
Indikator Variabel

Rata-rata
(mean)
3,817
3,850
3,883
3,850

Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator kurangnya sosialisasi
menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,817. Berdasarkan hasil temuan
statistik deskriptif pada indikator peraturan pajak yang lemah menunjukkan bahwa nilai ratarata (mean) sebesar 3,850. Berdasarkan hasil temuan statistik deskriptif pada indikator
integritas yang rendah menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) sebesar 3,883. Hasil
temuan statistik deskriptif yang disajikan pada tabel 4.7 di atas diperoleh nilai rata-rata
(mean) variabel keadilan pajak sebesar 3,850 sehingga dapat diartikan bahwa sebagian
besar responden menyatakan masih terdapat ketidakadilan yang dirasakan oleh wajib pajak

11

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini dapat menyebabkan wajib pajak tidak
optimal dan tidak antusias dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pengujian Outer Model Indikator Konstruk
Hasil temuan pengujian algorithma indikator konstruk disajikan berdasarkan tabel 4.8
berikut ini:
Hasil Pengujian Algorithma Indikator Konstruk Uji Lapangan
Konstruk

Cronbachs Alpha

rho_A

Composite Reliability

AVE

R
Square

X1
0,921
0.993
0.948
0.747
X2
0,831
0.831
0.899
0.858
Y
0,768
0.799
0.867
0.687
0.238
Sumber: Data yang diolah, Tahun 2017
Keterangan: X1=Keadilan Pajak; X2=Biaya Kepatuhan; Y=Persepsi Wajib Pajak
atas Tindakan Penggelapan Pajak
Reabilitas. Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa nilai cronbachs alpha dan
composite reliability semua kontruk telah lebih dari 0,60. Dengan demikian, setiap konstruk
dalam model penelitian dapat dikatakan reliable. Validitas Konvergen. Nilai AVE seluruh
konstruk seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.8 adalah lebih dari 0,50. Dengan demikian,
nilai AVE tersebut telah memenuhi rule of thumb yang digunakan untuk menguji validitas
konvergen (Hartono, 2009:71). Ini mengindikasikan bahwa data telah valid untuk dilakukan
pengujian berikutnya. Validitas Diskriminan. Hasil temuan uji validitas diskriminan
berdasarkan nilai cross loading pada lampiran 5 adalah nilai cross loading masing-masing
indikator konstruk memiliki nilai yang lebih tinggi atau mengumpul pada kontruk yang telah
ditetapkan. Hal ini membuktikan secara empiris bahwa setiap konstruk memprediksi
indikator pada blok mereka lebih baik dibandingkan dengan indikator di blok lainnya. R
Square (R2). Nilai R2 persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak seperti yang
dilihat pada tabel 4.8 adalah 0.238. Ini menjelaskan bahwa konstruk persepsi wajib pajak
atas tindakan penggelapan pajak dapat dijelaskan 24% melalui konstruk keadilan pajak dan
biaya kepatuhan. Hal ini membuktikan bahwa model prediksi telah tepat untuk menjelaskan
tingkat variasi perubahan variabel independen terhadap variabel dependen.
Hasil Pengujian Model Struktural dan Hipotesis Penelitian
Model struktural (inner model) di evaluasi dengan melihat koefisien parameter jalur
hubungan antar variabel laten. Pengujian model struktural (inner model) dilakukan setelah
model hubungan yang dibangun dalam penelitian ini sesuai dengan data hasil obsevasi
yang dilakukan sebelumnya. Tujuan dilakukannya pengujian terhadap model hubungan
struktural ini adalah untuk mengetahui hubungan antara variabel laten yang terdapat dan
yang dirancang dalam penelitian ini. Dari output PLS (Partial Least Square), pengujian
12

model struktural dan hipotesis dilakukan dengan melihat nilai estimasi koefisien jalur dan
nilai kritis (t-statistics) yang signifikan pada α = 0,05. Hasil statistik data secara lengkap
dapat dilihat pada bgian lampiran 5. Berdasarkan kerangka konseptual penelitian ini, maka
pengujian model hubungan struktural dan hipotesis antar variabel penelitian ini akan
dilakukan melalui pengujian koefisien jalur pengaruh langsung. Hal ini dikarenakan variabel
penelitian bukan merupakan variabel moderasi.
Hasil pengujian model struktural (inner model) penelitian di evaluasi dan diuji dengan
menggunakan uji signifikansi melalui koefisien path. Peneliti menggunakan teknik
bootstrapping setelah melakuakan teknik algorithm dalam program SmartPLS (Partial Least
Square) untuk melakukan pengujian signifikansi hubungan langsung antar konstruk dalam
penelitian ini. Hasil uji model struktural dan hipotesis penelitian dapat dilihat pada tabel 4.9
berikut ini:
Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Original
Sample
Sample
Mean (M)
(O)
KP (X1) -> TPP (Y)
0.206
0.204
BK (X2) -> TPP (Y)
0.349
0.368
Sumber: Data yang diolah, Tahun 2017
Keterangan

Standard
Deviation
(STDEV)
0.090
0.114

T-Statistics

Keputusan

2.296
3.063

Ditolak
Diterima

Keterangan: X1=Keadilan Pajak; X2=Biaya Kepatuhan; Y=Persepsi Wajib Pajak atas
Tindakan Penggelapan Pajak
Uji Signifikansi. Hipotesis yang dibangun dalam studi ini menggunakan pengujian
satu ekor (one tailed) pada H 1 dan H 2 . Berdasarkan lampiran 5 dan tabel 4.9 di atas, dapat
disimpulkan bahwa seluruh hipotesis ada yang ditolak dan diterima karena nilai t-statistics
nya lebih dari dari rule of thumb one tailed yaitu, >1,64. Berikut ini adalah uraian pengujian
hipotesis setiap konstruk pada model persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak.
Hipotesis 1 (H 1 ). H 1 menyatakan bahwa keadilan pajak berpengaruh negatif terhadap
persepsi wajib atas tindakan penggelapan pajak. Hasil temuan pengujian pada tabel 4.9 di
atas menunjukkan nilai t-statistics untuk hipotesis pertama adalah 2.296 (>1,64), dengan
koefisien berarah positif sebesar 0,206 sehingga dapat disimpulkan H 1 = Ditolak. Hasil
temuan

pengujian

hipotesis

pertama

menunjukkan

bahwa

keadilan

pajak

tidak

mempengaruhi persepsi wajib pajak dalam melakukan penggelapan pajak sebagai perilaku
yang tidak baik (tidak etis). Hipotesis 2 (H 2 ). H 2 menyatakan bahwa biaya kepatuhan
berpengaruh positif terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Hasil
pengujian pada tabel 4.9 di atas menunjukkan bahwa nilai t-statistics untuk hipotesis
pertama adalah 3.063 (>1,64), dengan koefisien berarah positif sebesar 0.349 sehingga
dapat disimpulkan H 2 = Diterima. Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa

13

biaya kepatuhan mempengaruhi persepsi wajib pajak dalam melakukan penggelapan pajak
sebagai perilaku yang baik (etis).
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa apakah keadilan pajak dan biaya
kepatuhan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak.
Responden penelitian ini berjumlah 60 orang Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Samarinda
yang memiliki pekerjaan bebas. Setiap responden akan diberikan masing-masing satu
kuesioner untuk diisi, yang dijadikan sebagai data untuk diolah/diuji. Berdasarkan pada data
yang telah dikumpulkan dan pengujian yang telah dilakukan terhadap permasalahan dengan
menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS), maka diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1) Keadilan Pajak Tidak Berpengaruh Terhadap Persepsi Wajib Pajak Atas Tindakan
Penggelapan Pajak
Hasil pengujian dalam penelitian ini menemukan bahwa, keadilan pajak tidak
berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Hasil
menemukan bahwa hasil penelitian tidak sesuai dengan pengembangan hipotesis. Hal ini
dikarenakan kewajiban untuk membayar pajak merupakan kewajiban mutlak wajib pajak
orang pribadi, sehingga ketika adil atau tidaknya perlakuan pajak yang berlaku bukan
merupakan hal yang mempengaruhi wajib pajak orang pribadi dalam melakukan
penggelapan pajak. Selain itu, banyaknya kasus penggelapan pajak akan membuat wajib
pajak orang pribadi sebagai individu yang kritis untuk berpikir lebih baik tidak membayar
pajak daripada uang pajak dikorupsi, sehingga penggelapan pajak dianggap perilakuyang
baik (etis). Namun, hal ini dapat diatasi jika pihak pembuat kebijakan harus
mempertimbangkan berbagai aspek dalam menyusun kebijakan peraturan pajak yang akan
ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya pihak yang dirugikan dan pihak yang
diuntungkan. Pihak pemerintah harus lebih baik dalam mengelola dan mendistribusikan
dana yang bersumber dari pajak agar wajib pajak orang pribadi lebih percaya bahwa uang
pajak yang telah disetorkan telah digunakan dengan baik. Sehingga akan tercipta kehidupan
yang harmonis dan stabil dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan merata.
2)

Biaya Kepatuhan Berpengaruh Terhadap Persepsi Wajib Pajak Atas Tindakan
Penggelapan Pajak
Hasil pengujian penelitian ini menemukan bahwa biaya kepatuhan berpengaruh

terhadap persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Hasil penelitian
menemukan bahwa hasil penelitian adalah sesuai dengan pengembangan hipotesis. Hal ini
dikarenakan kondisi setengah wajib pajak orang pribadi yang tidak bisa atau tidak mampu
untuk membayar biaya-biaya lain seperti biaya untuk membayar konsultan pajak, biaya
14

untuk menghitung pajak dan biaya untuk melaporkan pajak selain biaya untuk membayar
pajak terutangnya. Bisa saja biaya tersebut sudah melebihi kemampuan wajib pajak orang
pribadi, tetapi bisa juga wajib pajak orang pribadi yang mampu tidak mahu memenuhi
kewajiban perpajakannya dikarenakan hal adminstrasi yang sulit. Oleh karena itu, keadaan
ini dapat diminimalisir dengan cara mengurangi prosedur atau tahapan dalam administrasi
pajak serta melakukan sosialisasi atau konsultasi gratis secara rutin sehingga wajib pajak
orang pribadi dapat memahami setiap prosedur dalam membayar dan menghitung pajak.
Penelitian ini merupakan penelitian dalam konteks keperilakuan individu tindakan
penggelapan pajak yang di intrepretasikan oleh prilaku wajib pajak orang pribadi dalam
model persepsi wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak. Jadi, penelitian ini
menyimpulkan bahwa pemerintah harus lebih baik dalam mengatur, mendistribusikan, dan
mengolah dana pajak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak orang pribadi
kepada pemerintah. Selain itu, sosialisasi secara kontinu tentang tata cara administrasi
perpajakan, proses penyetoran pajak dan perhitungan pajak untuk meningkatkan
pemahaman wajib pajak orang pribadi. Dengan demikian mereka tidak harus mengeluarkan
biaya konsultan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, melihat tidak
semua penelitian akan membawa hasil yang sempurna sehingga tidak ada kekurangannya.
Oleh karena itu, peneliti selanjutnya harus dapat memperbaiki keterbatasan tersebut.
Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain:
1)

Indikator untuk seluruh konstruk dalam penelitian ini masih kurang. Hal ini dikarenakan
pada saat penentuan indikator peneliti hanya dapat menemukan tiga indikator yang
sesuai untuk setiap konstruk penelitian.

2)

Penyebaran kuesioner untuk responden dalam penelitian ini masih terbatas yaitu hanya
sebanyak 60 kuesioner, dan juga hanya melihat dari kriteria wajib pajak orang pribadi
yang mempunyai pekerjaan bebas.

Saran
Berdasarkan pada keterbatasan penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka
peneliti ingin memberikan saran bagi penelitian selanjutnya, antara lain:
1)

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggali kembali indikator-indikator yang
dapat mengambarkan keadilan pajak, biaya kepatuhan, dan persepsi wajib pajak atas
tindakan penggelapan pajak dengan didasarkan pada penelitian terdahulu maupun
teori-teori yang berhubungan dengan keadilan pajak, biaya kepatuhan, dan persepsi

15

wajib pajak atas tindakan penggelapan pajak agar dapat lebih mendapatkan gambaran
mengenai konstruk penelitian ini.
2)

Penelitian selanjutnya sebaiknya menyebarkan kuesioner kepada semua wajib pajak
orang pribadi tanpa membatasi wajib pajak orang pribadi yang mempunyai pekerjaan
bebas saja agar mendapatkan hasil yang lebih mendalam.

3)

Penelitian selanjutnya sebaiknya menyebarkan kuesioner kepada wajib pajak orang
pribadi di dua atau tiga kota agar mendapatkan hasil yang lebih baik dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. 2006. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and
Methodological
Considerations. September (Revised January, 2006). J o u r n a o f Organizational
Behavior and Human Decision Processes, 50, 179-211..
Detiknews, 2014. Kantor Pajak Serahkan Pengemplang Pajak Rp 6,4 M ke Kejati
Kaltim,
https://m.detik.com/news/berita/2581654/kantor-pajak-serahkanpengemplang-pajak-rp-64-m-ke-kejati-kaltim, diakses tanggal 3 April 2017.
Direktorat Jenderal Pajak. http://pajak.go.id.
Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Bisnis Total. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Hartono, J. dan Abdillah, W. 2009. Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least
Untuk Penelitian Empiris. BPFE. Yogyakarta.

Square)

Hartono, J. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. ANDI. Yogyakarta.
Kurniawati Meiliana, Toly
A Agus.
2014.
Analisis Keadilan Pajak, Biaya
Kepatuhan, dan Tarif Pajak terhadap Persepsi Wajib Pajak mengenai
Penggelapan Pajak di Surabaya Barat, Journal of Tax & Accounting
Review,
Vol. 4, No. 2.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan, Edisi Revisi 2009. Andi. Yogyakarta.
McGee, Simon, and Annie. 2008. A comparative Study on Perceived Ethics of Tax
Evasion: Hong Kong Vs The United States. Journal of Bussiness Ethics, Vol. 77:147158.
McGee, Robert W. 2006. Three Views on the Ethics of Tax Evasion, Journal of Business
Ethics 2006, pp. 15-35.
Sandford, C. 1995. The Rise and Rise of Tax Compliance Costs” in Cedric Sandford,
(Editor) Tax Compliance Costs Measurement and Policy. Journal of Bath, U.K:
Fiscal Publications in association with The Institute for Fiscal Studies.
Sari,

Elisa Valenta. 2015. Tahun Lalu Jumlah Kasus Pajak Meningkat 280
Persen. http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150129071636-78- 28176/tahun-lalujumlah-kasus-pajak-meningkat-280-persen/, diakses tanggal 10 Oktober 2016.

Sariani, Wahyuni, dan Sulindawati. (2016). Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan,
Diskriminasi, dan Biaya Kepatuhan terhadap Persepsi Wajib Pajak atas Tindakan
Penggelapan Pajak. E-journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. 6, No. 3.
16

Siahan, M.P. 2010. Hukum Pajak Elementer. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Syahrina Alifia dan Pratomo Dudi. 2014. Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya
Kecurangan, Keadilan Pajak, Ketepatan Pengalokasian Pajak, dan Teknologi
Sistem Perpajakan terhadap Tax Evasion oleh Wajib Pajak. Proceedings SNEB,
2014:1-12.
Tambunan, Ruston. 2013. Pajak Penghasilan atas UMKM: Sederhana Tapi Tida Adil
http://ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=51, diakses tanggal 10 Oktober
2016.
Thoha. 2004. Perilaku Organisasi. PT. Grafindo Persada. Jakarta.

17