Kehujjahan Al Qur an Qath I dan Zhanni

Kehujjahan Al- Qur’an : Qath’I dan Zhanni, Ikhtilaf Qira’at dan Ikhtilaf Ulama Tentang
Kedudukan Qira’at Syazzah dan Kaidah-Kaidah Terkait Dengan Al-Qur’an
A. Pendahuluan
Ushul fiqh menurut ulama syafi’iyyyah adalah mengetahui dalil-dalil fiqh secara
global dan cara menggunakannya serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya
atau mujtahid. Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyyah,
Malikiyyah, dan Hanabilah, ushul fiqh adalah mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum) yang
dapat digunakan untuk mengistinbathkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui
dalil-dalilnya yang rinci.
Objek kajian ushul fiqh ini adalah dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum
syara’ seperti kehujjahan Al- Qur’an yang akan dibahas didalam makalah ini. Ushul fiqh juga
mencarikan jalan keluar dari dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan seperti
pertentangan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits dan hadits dengan pendapat akal.
Pembahasan ijtihad dan para mujtahidnya juga menjadi objek kajian ushul fiqh, dan yang
paling penting adalah pembahasan tentang hukum syara’ serta bagaimana menggunakan
kaidah-kaidah dalam mengistinbathkan hukum.
Seperti yang disebutkan diatas bahwa yang menjadi objek pembahasan dalam
makalah ini adalah Al-Qur’an yang merupakan sumber dan dalil hukum Islam yang utama
dan paling pertama. Sumber berarti suatu tempat dimana kita merujuk daripadanya tentang
segala sesuatu, dan Al-Qur’an adalah sumber utama dalam menetapkan hukum. Selain
membahas Al-Qur’an itu sendiri, kita akan mulai dengan membahas kehujjahan Al-Qur’an

dan melihat ayat-ayatnya yang termasuk qath’i dan yang zhanni.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang dibaca umat Islam ternyata memiliki sejarah
tersendiri dalam membacanya. Jika kita sebut “Qira’at” maka yang terlintas dalam pikiran
kita adalah qiraat yang tujuh dengan imam-imamnya. Didalam Qira’at itu juga terdapat
macam-macamnya salah satunya qiraa’t Syazah yang cacat sanadnya dan tidak bersambung
sampai kepada Rasullah. Namun terdapat ikhtilaf para ulama dalam menentukan apakah
qira’at ini dapat dijadikan dalil dalam istinbath hukum dan bagaimana kedudukannya
didalam pembahasan Ushul Fiqh.
1

B. Pengertian & Keistimewaan Al-Qur’an
Al- Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril ke
dalam kalbu Rasulullah saw.dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan kebenaran
agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul, dan agar dijadikan
sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah
jika membacanya. AL-Qur’an itu ditadwinkan di antara dua ujung yang dimulai dari surat AlFatihah dan ditutup dengan surat An-Nas, dan sampai kepada kita secara tertib dalam bentuk
tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan pergantian,
sekaligus dibenarkan oleh Allah di dalam firman-Nya :1

Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benarbenar memeliharanya

Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Al-Qur’an dinukilkan secara mutawatir, kemutawatiran Al-Qur’an terjadi dari generasi ke
generasi. Pertama kali Nabi menghapal dan membacakan Al-Qur’an dihadapan malaikat Jibril
sebelum Jibril meninggalkan dunia, lalu para sahabat beliau menghapalnya, sebagaimana yang
disampaikan oleh Nabi, kemudian diteruskan oleh para Tabi’in, meskipun Al-Qur’an pada masa
sahabat telah ditulis dalam mushaf, namun hal ini tidak mengurangi semangat para tabi’in dalam
menghapalnya dan menerimanya langsung dari para sahabat. Menghapal Al-Qur’an terus
berlanjut sampai masa sekarang kita ini. Maka dari itu, setiap muslim percaya, bahwa apa yang
dibaca dan didengarnya sebagai Al-Qur’an tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah
dibaca oleh Rasulullah saw. dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi.2
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy, tidak dapat disangkal bahwa ayat-ayat
al-Qur’an tersusun dengan kosakata bahasa arab, kecuali beberapa kata yang masuk dalam
pembedaharaannya akibat akulturasi, bahasa arab termasuk rumpun bahasa semit, sama dengan
bahasa ibrani, aramaik, suryani, kaldea, dan babylonia. Kata-kata bahasa arab pada dasarnya
1 Abdul Wahhab Kalaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, (Kairo : Maktabah Al-Da’wah al- Islamiyyah,
1956) hal.23
2 Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2013) hal.112

2


mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk. Kata ‫( قال‬qala)
misalnya, yang berarti “berkata” terambil dari huruf ‫(ق‬qaf),‫( و‬wawu), dan ‫(ل‬lam). Sedangkan
kata ‫(كلم‬kalam) yang berarti “pembicaraan” walaupun terdiri dari empat huruf yaitu ‫(ك‬kaf),
‫(ل‬lam), ‫(ا‬alif), dan ‫(م‬mim) namun sebenarnya asalnya hanya terdiri dari tiga huruf, yakni
kecuali ‫( ا‬alif) pada huruf-huruf diatas.3
C. Kehujjahan Al-Qur’an
Argumentasi yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia, dan
hukum-hukum di dalam Al-Qur’an merupakan undang-undang yang wajib dipatuhi, ialah karena
Al-Qur’an diturunkan Allah dengan jalan qath’I yang kebenarannya tidak bisa diragukan.
Kemudian, alasan yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah ialah mukjizat AlQur’an yang mampu menundukkan yang manusia tidak mungkin mampu menirunya.

4

Oleh

Karena itu Al-Qur’an wajib menjadi life of guide bagi umat manusia sampai akhir zaman, dan
manusia wajib mengikuti segala perintah dan meninggalkan larangan yang tertulis di dalam AlQur’an. Selain itu kebenaran Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al- Qur’an benar-benar
datang dari Allah swt banyak dijelaskan didalam ayat-ayatnya. Seperti firman Allah dalam surah
Al-Baqarah ayat 2, dan An- Nahl ayat 89 :


Artinya : Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

Artinya :….. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Para Ulama Ushul Fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Qur’an itu merupakan
sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid
tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat
Al-Qur’an. Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka
3 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1997) hal.89-90
4 Abdul Wahab Kallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh….hal.24

3

barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil lain. Ada beberapa alasan yang dikemukakan
ulama Ushul Fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan Al- Qur’an diantaranya adalah :5
1. Al- Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah saw. Diketahui secara mutawatir, dan ini
memberi keyakinan bahwa Al-

Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui


malaikat Jibril kepada Muhammad saw. Yang dikenal sebagai orang yang paling
dipercaya.
2. Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al- Qur’an itu datangnya dari Allah, diantaranya
surat Ali Imran ayat 3 :
Artinya : Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.
3. Mukjizat Al- Qur’an juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-Qur’an itu
datangnya dari Allah swt. Mukjizat Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran
Nabi saw.yang membawa risalah dengan suatu perrbuatan yang di luar kebiasaan umat
manusia. Mu’jizat Al- Qur’an menurut para ahli Ushul Fiqh dan tafsir terlihat ketika ada
tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi Al- Qur’an itu sendiri sehingga para ahli
sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menandinginya.
Seluruh nash- nash Al-Qur’an itu bersifat qath’I jika dilihat dari segi turunnya,
ketetapannya dan dinukilkannya dari Rasulullah kepada kita, yang berarti memastikan bahwa
setiap nash Al-Qur’an yang kita baca adalah sama dengan nash Al-Qur’an ketika Allah turunkan
kepada Rasul-Nya, dan disampaikan kepada Rasulullah yang ma’shum kepada umatnya tanpa
perubahan dan pergantian. Berbagai umat muslim sejak 14 abad yang lalu sampai sekarang,
seluruhnya membaca Al-Qur’an tanpa ada perselisihan di antara mereka, baik secara individu
atau kelompok kebangsaan. Di antara mereka tidak da yang menambah dan mengurangi, atau
mengubah dan mengganti atau menyusun dengan cara sendiri.

Pada masa-masa awal pembentukan hukum Islam hingga munculnya imam-imam
mazhab tidak terdapat istilah qath’i dan zanni di dalam Alquran, sunnah, qaul sahabat dan qaul
tabi’in. Istilah yang mungkin sepadan dengan itu ada dalam konteks ilmu tafsir, yakni ayat-ayat
muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Kategorisasi ayat kepada qath’i dan zanni merupakan teori
para ulama ushul fiqh. Belum jelas siapa yang pertama kali memperkenalkan kategorisasi ini.
5 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Logos 1996) hal.27-28

4

Namun karena teori ini tidak pernah digugat, dugaannya adalah karena kemiripannya dengan
kategori muhkam dan mutasyabih yang termaktub di dalam Alquran. Cukup menarik bahwa pada
era para imam mazhab tidak ditemukan istilah qath’i dan zanni di dalam literatur yang dapat
dirujuk sebagai teori yang mereka kembangkan. Kenyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa
kategorisasi ini muncul jauh setelah era imam mazhab dan semakin menguatkan dugaan sebagai
hasil pemikiran ulama usul fiqih belakangan.6
Menurut terminologi, kata qath’i dan zhanni dapat di lihat atau di rujuk pada dua aspek;
aspek pertama al subut atau al wurud yang menunjukkan dari eksistensi sumber hukum
(otentisitas dan validitasnya), dan kedua, aspek dalalah yang menunjukkan indikasi sumber
hukum eksistensi yang bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut di sebut qath’i al-subut/
qath’i al wurud, sedangkan apabila hukum tersebut eksistensinya tidak bersifat pasti, maka

sumber hukum tersebut disebut zhanni al subut/ zhanni al-wurud. 7 Dalam ushul fiqh, istilah
qath’i-zhanni di gunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil atau nas. Kata qath’i
adalah sinonim dengan kata-kata daruri, yakin, pasti, absolut atau mutlak sedangkan kata zhanni
adalah sinonim dengan kata hadari, yaitu dugaan, relative atau nisbi
Al- Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’I (pasti
benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al- Qur’an adakalanya bersifat qath’I dan
adakalanya bersifat zhanni (relative benar). Ayat yang bersifat qath’I adalah lafal-lafal yang
mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat seperti ini
misalnya ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Seperti yang terdapat didalam firman Allah
swt.An-nur ayat 2 :

Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam AlQur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita’wilkan. Misalnya
6 Hadi Fauzan, Qath’i Zhanni, http://hadifauzan.blogspot.com, 08-03-2015
7 Muhammad Mustafa syalabi, Ushul Al- Fiqh Islamiy, (Beirut: Dar al-nahdah alArabiah 1986), hal. 93-94

5

kata quru’ (Al-Baqarah : 2) merupakan lafal musytarak yang memiliki dua arti yaitu suci dan

haid. Pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu
tiga kali quru’. Dengan demikian akan timbul dua pengertian, yaitu tiga kali bersih atau tiga kali
kotor. Adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’I. nash ini diartikan
Suci menurut ulama Syafi’iyah, dan diartikan haid oleh ulama Hanafiyyah.
Contoh lain dalam surah Al- Maidah ayat 5 :

Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksud adalah tangan
kanan atau tangan kiri, disamping itu juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai
pergelangan tangan saja atau sampai siku. Penjelasan yang dimaksud dengan tangan ini
ditentukan dalam hadis Nabi saw. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini, quru’ dalam ayat
pertama dan tangan dalam ayat kedua, menurut ulama ushul fiqh bersifat zhanni (relative benar)
Maka dari itu bila dilihat dari keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an, banyak mengandung
bermacam-macam dilalah hukum, antara lain :
1. Terkadang suatu ayat mengandung satu perintah yang jelas dan tegas, akan tetapi tidak
dijelaskan caranya. Seperti firman Allah yang berbunyi :
Dirikanlah Shalat… (QS.Al-baqarah : 43)
Ayat tersebut dengan jelas memerintahkan shalat, tetapi tidak ada ayat yang
menjelaskan caranya. Dalam hal-hal seperti yang seperti ini tidak dapat sekaligus dipahami

dari redaksi ayatnya, melainkan didukung oleh penjelasan ayat dan penjelasan dari nabi
Muhammad saw. penjelasan Nabi berbentuk perkataan, perbuatan atau takrir, disebut Hadis
dan Sunah. Hal ini menyakinkan kita bahwa tidak akan ada perbedaan makna lain atas ayatayat qath’i.

6

2. Terkadang suatu ayat mengandung suatu perintah yang jelas tentang tempatnya, akan
tetapi tidak dijelaskan mengenai batasnya seperti firman Allah tentang tayamum yang
berbunyi
Usaplah wajah kamu dan tangan kamu ( QS. An Nisaa:43)
Perintah ayat tersebut jelas tentang tempatnya, yakni wajah dan tangan, akan
tetapi batas wajah dan tangan tidak dijelaskan.
Al-Qur’an diakui sebagai Nash Qath’i, yakni Qath’i Al- Wurud. Sedang dilalahnya
belum tentu qath’i. kalau yang dilalahnya dzhanni jelas wilayah ijtihad. Bahkan yang
dilalahnya qath’i saja ada yang bersifat istinbati, ada yang bersifat tatbiqi. Kalau yang
istinbati benar-benar tidak boleh di ijtihadi seperti haramnya babi. Sedang yang bersifat
tatbiqi seperti pencuri potong tangann boleh diijtihadi sebagaimana umar tidak melakukan
hukum potong tangan pada masa paceklik.
D. Ikhtilaf Qira’at
Dalam kitab-kitab Ulum Al- Qur’an, ditemukan pengertian Qira’at (‫ ) قراءة‬secara

etimologis adalah bentuk masdhar dari (‫ ) قرأ‬yang artinya bacaan. Sedangkan secara
terminologis, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama
sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Ulama-ulama tersebut diantara lain yaitu : 8
1) Imam al-Zarkasyi. Qira’at yaitu perbedaan lafal-lafal al-Qur’an, baik menyangkut hurufhurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid, dan lainlain
2) Al-Dimyathi. Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal AlQur’an, baik yang disepakati maupun di-ikhtilaf-kan oleh para ahli Qira’at, seperti : hafz
(membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (memberika harakat), taskin
(memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal
(menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lainnya yang diperoleh melalui indrea
pendengaran.
3) Muhammad Ali al- Shabuni. Qira’at yaitu suatu mazhab tertentu dalam cara pengucapan
Al- Qur’an, dianut oleh salah seorang imam Qira’at yang berbeda dengan mazhab
lainnya, berdasarkan sanad-sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
8 Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
Dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada 1995) hal. 111

7

Ilmu qira’at yang benar (ilmu seni baca Al- Qur’an secara tepat) diperkenalkan oleh
Nabi Muhammad saw.sendiri, suatu praktik (sunnah) yang menunjukkan tata cara bacaan
setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan dengan kewahyuan Al-Qur’an:teks Al-Qur’an telah

diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula.
Berarti Muhammad saw.secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada
umatnya. Kedua-duanya haram untuk bercerai. Penyebab utama munculnya banyak multiple
bacaan, menurut Jeffery adalah kekurangan tanda titik dalam mushaf utsmani berarti
merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna
yang ia pahami.9
Berikut ini adalah macam-macam qira’at yaitu ragam qira’at yang dapat diterima
sebagai qira’at Al- Qur’an, yaitu
1. Qira’at Sab’at yaitu tujuh versi qira’at yang dinisbatkan kepada para imam qira’at
yang berjumlah tujuh orang, yaitu ibn amir, ibn kasir, ashim, Abu Amr, Hamzah,
Nafi’, dan al- Kisa’i. Qira’at sab’at dikenal di dunia Islam pada akhir abad kedua
Hijriah, dan dibukukan pada akhir abad ketiga Hijriah di Baghdad oleh seorang
ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad ibn Musa ibn Abbas. Dengan demikian,
ragam qira’at sab’at itu ada tujuh macam, yaitu : 10
a. Qira’at Ibn ‘Amir
b. Qira’at Ibn Kasir
c. Qira’at ‘Ashim
d. Qira’at Abu ‘Amr
e. Qira’at Hamzah
f. Qira’at Nafi’
g. Qira’at al-Kisa’i
Perbedaan qira’at yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, bisa
berpengaruh terhadap makna atau maksudnya, dan bisa juga tidak. Sementara perbedaan
qira’at yang berkaitan dengan teknik pengucapan lafaz berdasarkan lahjat atau dialek
kebahasaan, tidak akan mempengaruhi makna dan maksudnya. Qira’at sab’at ini
diriwayatkan secara mutawatir dari para imam qira’at, sementara kemutawatirannya dari
Nabi saw.masih perlu dipertanyakan karena sanad-nya merupakan riwayat perorangan
9 MM. Al- A’zami, The History The Qur’anic Text from Revelation to Compilation
Terj.Sohirin dkk, (Jakarta : Gema Insani 2005) hal.168
10 Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at……,hal.146

8

yang tidak mencapai derajat mutawatir. Namun hal ini tidak menafikan dan mengurangi
derajat kemutawatiran qira’at sab’at.
2. Qira’at Syazzat
Yang dimaksud dengan qira’at syazzat dalam bahasa ini adalah sebagai
dikemukakan oleh sebagian ulama yaitu qira’at yang sanad-nya shahih, sesuai dengan
kaidah bahasa arab, akan tetapi menyalahi rasm al-mushhaf. Qira’at ini dapat diterima
eksistensinya namun par a ulama tidak mengakui qur’aniyyat (kequranan). Pada dasarnya
setiap qira’at yang tidak memenuhi persyaratan yang tiga, yaitu sanad-nya shahih, sesuai
dengan kaidah bahasa arab, tidak menyalahi rasm al-mushhaf, tergolong kepada qira’at
syazzat. Adapun factor yang menyebabkan adanya qira’at syazzat tersebut antara lain
adalah karena diantara para antara para sahabat Nabi saw.ada yang memiliki mushhafmusshaf pribadi yang ditulis sendiri oleh mereka,khusus buat kepentingan pribadi mereka
masing-masing.
Didalam qira’at syazzat ini terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang telah dinaskh atau
manshuk bacaannya, maka didalam qira’at mereka ada ayat yang tidak tergolong kepada
al-Qur’an. Banyak ulama berpendapat tidak boleh membaca qira’at syazzat baik didalam
atau diluar shalat. Namun ada juga yang berpendapat boleh membacanya asal tidak
dibaca didalam shalat.
Qira’at Syazzat dibagi dalam 5 macam, sebagai berikut :11
1. Ahad, yaitu Qir’at yang sanadnya shahih tetapi tidak sampai mutawatir dan
menyalahi rasam Usmani atau kaidah bahasa Arab
2. Syaz, yaitu Qira’at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga
3. Mudraj, yaitu Qira’at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan
tafsirnya.
4. Maudu’ yaitu Qira’at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya
(mengajarkannya) tanpa mempunyai asal usul riwayat qiraat sama sekali
5. Masyhur, yaitu Qira’at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajar
mutawatir serta sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.
11 Harun Al Rasyid, Al- Qur’an dan Pengaruh Dialek Kedaerahan, (Medan : Perdana
Mulya Sarana 2012) hal. 71-72

9

E. Kedudukan Qira’at Syazzat
Perbedaan pendapat ulama dalam hal berhujjah dengan qira’at syazzah yang sanadnya
shahih dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun menyalahi rasm al- mushhaf.
Contohnya yang terdapat didalam surah Al- Maidah ayat 89.

Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi
Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Ayat diatas menjelaskan jika seseorang telah bersumpah, lalu ia melanggar
sumpahnya, maka ia diwajibkan membayar kifarat, dan macam-macam kifarat tersebut
telah disebutkan didalam ayat. Salah satunya adalah berpuasa selama tiga hari, dalam hal
ini ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’I dan Imam Maliki memiliki pendapat bahwa
puasa tiga hari tersebut boleh dilakukan tanpa harus berturut-turut karena jelas diatas
disebutkan. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Ibn Hanbal berpendapat,
bahwa puasa tersebut harus dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut, jika tidak maka
kifarat tersebut tidaklah sah. Pendapat mereka didasarkan Qira’at Ubbat dan Abdullah Ibn

10

Mas’ud yaitu

Menurut mereka walaupun riwayat

tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir, namun menempati kedudukan sebagai
hadis ahad, bahkan masyhur, yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Begitu juga dengan ayat tentang mengganti puasa ramadhan di bulan yang
lain, didalam Al- Qur’an mutlak disebutkan

(Al-Baqarah ayat 183)

bahwa mengganti puasa tidak harus secara berturut-turut, namun dalam Qira’at Ubayy
disebutkan

dalam hal ini ulama Hanafiyyah berpendapat

wajib bagi seseorang mengganti puasanya secara berturut-turut.
Adapun beberapa kaidah ushul fiqh yang terkait dengan Al- Qur’an, kaidah-kaidah itu
diantara adalah :12
1. Al- Qur’an merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber
hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaida umum yang dikandung
Al- Qur’an.
2. Dalam memahami kandungan Al- Qur’an maka seorang mujtahid dituntut untuk
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang ingin dikajinya didalam Al- Qur’an.
3. Dalam memahami kandungan hukum dalam Al- Qur’an, mujtahid juga dituntuk mengerti
adat istiadat orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan,
karena dengan tidak memahami hal ini akan mengakibatkan kerancuan dalam
memahami.
F. Kesimpulan
Al- Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril ke
dalam kalbu Rasulullah saw.dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan
kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul, dan
agar dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia, disamping
merupakan amal ibadah jika membacanya. AL-Qur’an itu ditadwinkan di antara dua ujung
yang dimulai dari surat Al- Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas, dan sampai kepada kita

12 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,…hal.34

11

secara tertib dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari
perubahan dan pergantian.
Al- Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’I
(pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al- Qur’an adakalanya bersifat
qath’I dan adakalanya bersifat zhanni (relative benar). Ayat yang bersifat qath’I adalah lafallafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
Sedangkan ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam AlQur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita’wilkan.
Perbedaan qira’at yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, bisa
berpengaruh terhadap makna atau maksudnya, dan bisa juga tidak. Sementara perbedaan
qira’at yang berkaitan dengan teknik pengucapan lafaz berdasarkan lahjat atau dialek
kebahasaan, tidak akan mempengaruhi makna dan maksudnya. Pada dasarnya setiap qira’at
yang tidak memenuhi persyaratan yang tiga, yaitu sanad-nya shahih, sesuai dengan kaidah
bahasa arab, tidak menyalahi rasm al-mushhaf, tergolong kepada qira’at syazzat.
Qira’at syazzat ini tidak bersifat mutawatir dan bukan merupakan Al- Qur’an, qira’at
ini memiliki sanad yang shahih dan sesuai kaidah bahasa Arab namun menyalahi rasm
mushhaf usmani yang hanya diakui eksistensinya sebagai qira’at Al-Qur’an. Maka dari itu
qira’at syazzat tidak sah jika dibaca didalam shalat. Kedudukan Qira’at ini juga memiliki
dampak dalam istinbath hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Al- A’zami, MM., The History The Qur’anic Text from Revelation to Compilation Terj.Sohirin
dkk, Jakarta : Gema Insani 2005
Al Rasyid, Harun, Al- Qur’an dan Pengaruh Dialek Kedaerahan, Medan : Perdana Mulya
Sarana 2012
Fauzan, Hadi, Qath’i Zhanni, http://hadifauzan.blogspot.com, 08-03-2015
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Logos 1996
12

Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam AlQur’an, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada 1995
Khallaf, Abdul Wahhab,‘Ilm Ushul Fiqh, Kairo : Maktabah Al-Da’wah al- Islamiyyah 1956
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2013
Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al-Qur’an Bandung : Mizan, 1997
Syalabi, Muhammad Mustafa, Ushul Al- Fiqh Islamiy, Beirut: Dar al-nahdah al-Arabiah 1986

13