Selera dan Media Massa pdf

SELERA dan MEDIA MASSA
Oleh : Muhammad Hidayat
Dosen STIK Pembangunan Medan
Selera sinonimnya adalah kehendak, citarasa, kegemaran atau kesukaan. Selera
setiap orang selalu berbeda. Sulit ditemukan sekumpulan orang yang memiliki selera yang
sama. Bisa saja, mereka selera yang sama pada satu hal tapi berbeda dalam hal lain.
Contohnya, kumpulkanlah beberapa orang penimum kopi. Pasti mereka tidak sama dalam
meracik kopi itu. Ada orang yang suka manis, ada pula yang suka rasa pahit.
Dalam satu keluarga saja, masing-masing anggota keluarga memiliki selera yang
berbeda-beda. Contohnya selera makan. Andai kata, dalam sebuah keluarga terdapat 5
orang anggota keluarga. Ayah, ibu dan tiga orang anak. Tidak semua anggota keluarga itu
suka gulai ikan. Ada seorang anak yang suka ayam goreng. Akhirnya, si ibu harus membuat
gulai ikan dan menggoreng ayam.
Cerita tentang ibu rumah tangga yang harus memasak beberapa jenis makanan
sudah menjadi cerita biasa. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kasus ini. Si Ibu tidak bisa
mengajukan keberatan kepada seorang anggota keluarga yang punya selera makan berbeda.
Selera dan Budaya
Selera ini dipengaruhi oleh budaya yang melingkupi seseorang. Budaya didefinisikan
sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, hirarki dan agama.
Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peran
penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu masyarakat, kita mengenal subkultur.

Istilah ini menunjukkan sekelompok orang yang memiliki corak kebudayaan berbeda dengan
kelompok masyarakat lainnya.
Perbedaan budaya menyebabkan orang berbeda merespon sesuatu yang hadir
kepadanya. Hal itu disebabkan sistem nilai yang melekat dalam kebudayaan itu. Sistem nilai
itu membuat anggota masyarakat berbeda menilai sesuatu objek. Bahkan, prilakunya akan
berbeda antara satu subkultur dengan subkultur yang lainnya. Contoh; seorang Melayu
Muslim akan menolak jika disuguhkan semangkuk sup daging babi. Bahkan mungkin saja
bisa sampai muntah-muntah. Sebaliknya, seorang Batak Kristen sangat menyukai makanan
itu.
Tidak sebatas makanan, menilai suatu yang indah dipandang atau enak didengar juga
berbeda. Contohnya, memaknai lukisan di badan (tatoo). Seorang muslim, menilai tatoo
sebagai gambar yang jelek karena membuat tatoo dilarang dalam ajaran Islam. Sebaliknya,
pada kebudayaan tertentu memandang tatoo sebagai gambar yang elok. Penyebabnya nilai
yang mereka anut berbeda. Akibatnya, nilai suatu barang berbeda satu dengan lainnya.
Dalam tinjauan kebudayaan, selera itu tidak ada yang benar atau salah. Selera itu
sangat individualis dan melekat secara inheren dalam diri seorang manusia. Pada
kenyataannya, suatu subkultur berusaha mendominasi subkultur yang lain. Proses dominasi

ini dilakukan dengan menanamkan sistem nilai yang mengatur pola kehidupan. Perubahan
sistem nilai ini pada akhirnya akan merubah corak hidup anggota subkultur tersebut.

Contohnya begini. Suatu subkultur menilai seruling sebagai alat musik yang tidak
boleh dipakai dalam kehidupan. Penyebabnya, nilai dianut melarang hal itu. Sistem nilai ini
kemudian kalah dengan sistem nilai subkultur yang lain. Akibatnya, anggota subkultur yang
kalah ini membolehkan bermain seruling.
Sistem nilai ini tidak sebatas mengatur boleh atau dilarang. Sistem nilai ini juga
menentukan tinggi rendahnya suatu sub kultur dengan subkultur lainnya. Contohnya;
minum kopi di warung kopi Aceh pinggir jalan tentu berbeda minum kopi di Starbuck. Orang
yang minum kopi di Starbuck akan merasa lebih terhormat dibandingkan minum kopi di
kedai Aceh pinggir jalan.
Dalam buku Political Branding and Public Relations, Silih Agung Wasesa menulis blind
test yang dilakukan untuk menguji brand Cocacola dan Pepsi. Sejumlah orang disajikan
Colacola dan Pepsi dalam gelas tanpa merek. Konsumen mengaku lebih menyukai Pepsi.
Tetapi begitu gelasnya diganti dengan gelas pakai merek, konsumen merasa Cocacola lebih
enak. Ini menunjukkan Cocacola memiliki nilai psikologis lebih kuat dibanding Pepsi.
Peran Media Massa
Proses penguasaan subkultur terhadap subkultur lain terjadi dalam dua bentuk.
Pertama; invasi (perang). Suatu subkultur yang kalah perang biasanya dipaksa menganut
sistem nilai yang dipakai subkultur yang menang. Ketika sistem nilai itu berganti, maka
terjadilah proses perubahan budaya. Pola hidup yang bertentangan dengan sistem nilai
kelompok berkuasa akan diberangus.

Kedua; proses hegemoni. Cara ini lebih lembut dibandingkan cara pertama. Istilah
hegemoni dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Istilah ini menunjuk pada proses penguasaan
satu kelas terhadap kelas lain dengan cara mengkerangkakan pemikiran, salah satunya
merobah sistem nilai yang dianut. Hegemoni melibatkan media massa sebagai sarana
penyampai pesan. Dalam literatur politik Islam, hegemoni bisa disinonimkan dengan
ghawzul fikri (perang pemikiran)
Caranya; subkultur itu menguasai seluruh media media massa. Pesan yang dimuat
dalam media massa itu disetting untuk merubah sistem nilai. Anggota subkultur itu tidak
punya alternatif memilih media massa yang lain. Lambat laun anggota subkultur itu akan
merubah sistem nilai yang dijadikan pegangan berprilaku. Ujung-ujungnya, pola hidup
masyarakat subkultur itu berubah.
Dalam beberapa kasus, terjadi akulturasi budaya (penggabungan dua budaya).
Proses akulturasi ini menciptakan sebuah kebudayaan baru dan berbeda dengan
kebudayaan dua subkultur yang berakulturasi itu. Contoh; Islam mewajibkan perempuan
memakai kerudung hingga menutupi dada. Namun kebudayaan lain, seperti pakaian ketat,
masuk kedalam masyarakat Muslim. Akibatnya, lahirlah pola berhijab yang baru. Kepala
tertutup tetapi bagian dada dan tubuh lainnya tetap menonjol karena dibalut pakaian ketat.

Selintas hal ini biasa saja dan tidak menimbulkan dampak apapun. Namun di sisi lain,
hal ini adalah bentuk penguasaan satu subkultur terhadap subkultur lainnya. Kondisi

terparah adalah ketika subkultur itu memandang subkultur lain lebih baik dari
kebudayaanya. Pada titik inilah, masyarakat subkultur itu akan mengikuti apa saja kemauan
dari subkultur yang dinilainya hebat itu.
Kondisi inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Orang-orang
Indonesia mulai meninggalkan kebudayaannya. Dalam kebudayaan Melayu misalnya; saat
pesta para tamu dijamu di meja makan yang disediakan. Beragam menu khas Melayu
disajikan. Tapi kini itu telah berubah menjadi bentuk prasmanan. Jenis hiburan yang sajikan
biasanya lagu Melayu yang diiringi tarian Serampang Dua Belas. Penyanyi dan penari
memakai pakaian khas Melayu. Kini hiburan musik disajikan oleh grup keyboard yang
melantunkan lagu Barat atau Dangutan. Tariannya berganti jadi joget Caisar. Penyanyi dan
penarinya pun tidak lagi memakai baju teluk belanga, tapi memakai pakaian minim dan
ketat.
Sayangnya, orang Melayu menilainya itu sesuatu yang indah dan hebat dibanding
Serampang Dua Belas. Pasalnya, penyanyi dan penari seronok seperti itulah yang mereka
tonton di TV setiap hari. Mereka menilai apapun yang hadir di TV sebagai suatu yang hebat
dan berkualitas. Maka, selera pun berubah. Sampai kapan ini terjadi, entahlah.