BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi - Gambaran Histopatologi Tumor Sinonasal di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2009-2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

  Rongga hidung (kavum nasi) berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan pada bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoid di sebelah atas,

  1,2,3 vomer dan rostrum sfenoid di posterior dan krista (maksila dan palatina) di sebelah bawah.

  Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang berhubungan dengan nasofaring. Selanjutnya, pada dinding lateral rongga hidung terdapat konka dengan rongga udara yang tidak teratur, yaitu meatus superior, media dan inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontal, etmoid anterior dan sinus maksila. Sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoid bermuara pada

  1,2,3 resesus sfenoetmoid.

  Suplai darah bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a.karotis eksterna). Septum nasi bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari a.maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus.

  Arteri labialis superior (cabang dari a.fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga

  Little’s area

  yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior. Vena sfenopalatina merupakan pembuluh darah balik dari bagian posterior septum ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena

  1,2,3 oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior.

  Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoid anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (n. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum, disamping memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau autonom pada mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosis profundus. Ganglion

  1,2,3 sfenopalatinum terletak di belakang, sedikit diatas ujung posterior konka media.

  Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontal dan etmoid (di atas dan di antara mata), sinus maksila (pada pipi), dan sinus sfenoid (di belakang etmoid). Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun. Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar

  1,2,3 maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

  Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, bersilia, mampu menghasilkan mukus, dan sekret disalurkan ke dalam

  1,2,3 rongga hidung. Pada orang sehat sinus terutama berisi udara.

Gambar 2.1 Rongga hidung dan sinus paranasal pada potongan sagital, dan sinus paranasal

  1 diproyeksikan pada wajah.

2.2 Histologi

  Sebagian besar saluran sinonasal dilapisi epitel saluran pernafasan, yaitu epitel kolumnar bersilia pseudostratified disertai sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada lima jenis sel epitel saluran pernafasan yaitu

  2,3,4 sel kolumnar bersilia, sel goblet, brush cells, sel basal, dan sel granul kecil.

  Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel saluran pernafasan sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (rongga hidung) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel saluran pernafasan, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih

  2,3,4 jauh.

  Sinus paranasal terdiri atas sinus frontal, sinus maksila, sinus ethmoid dan sinus sfenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung.

  Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu

  2,3,4 dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

Gambar 2.2 Histologi normal saluran sinonasal.

2.3 Epidemiologi

  Tumor sinonasal sangat jarang ditemukan, dimana menurut literatur keganasan sinonasal hanya dijumpai 3% dari keganasan di kepala dan leher, dan hanya sekitar 1% dari keganasan di seluruh tubuh. Insiden keganasan sinonasal lebih sering terjadi di Asia dan Afrika daripada di Amerika Serikat.

  Di Asia, keganasan sinonasal menempati peringkat kedua yang paling sering

  2,5 dari keganasan di kepala dan leher, setelah karsinoma nasofaring.

  Keganasan pada sinonasal dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan morbiditas yang signifikan, sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhannya masih sangat rendah. Insiden keganasan pada sinonasal tergolong rendah pada kebanyakan populasi (<1.5/100,000 pada pria dan <1.0/100,000 pada wanita). Insiden tertinggi ditemukan di Jepang, yaitu 2-3,9/100.000

  2,5 penduduk, juga pada beberapa tempat di Cina dan India.

  Rifki mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di 10 kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor sinonasal adalah 9,3-25,3% dari

  5 keganasan THT dan berada di peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring.

  Keganasan tersering pada sinonasal adalah karsinoma sel skuamosa (70%), dan selanjutnya adenokarsinoma (10-20%). Dengan predileksi tersering pada sinus maksila (60%), diikuti oleh rongga hidung (20-30%), sinus etmoid (10-15%), sedangkan sinus frontal dan sphenoid jarang dijumpai (< 1%). Sekitar 80% ditemukan pada usia 45-85 tahun dan insiden pada pria dua kali

  2,5 lebih sering dibandingkan pada wanita.

2.4 Etiologi dan Patogenesis

  Etiologi tumor sinonasal belum dapat diketahui secara pasti, namun beberapa studi epidemiologi terdahulu dari berbagai negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat kimia atau bahan industri antara lain nikel, debu kayu, kulit, mebel, tekstil, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain.

  Beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan insiden adenokarsinoma pada pekerja industri ini. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap juga diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan sinonasal terutama jenis

  2,3,6 . squamous cell carcinoma

  Ukuran partikel debu juga penting diketahui karena jika lebih kecil dari 5µm dapat mencapai saluran pernapasan bagian bawah, sedangkan partikel yang lebih besar dari 5µm diakumulasi di mukosa hidung. Namun karsinogen ini belum dapat diidentifikasi secara jelas. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif

  2,3,6 juga menjadi faktor resiko tambahan.

  Beberapa faktor lain yang mungkin dapat menjadi penyebab juga telah dilaporkan, yaitu pekerja pertanian, pabrik makanan, pengendara kendaraan bermotor, dan pabrik tekstil. Jadi dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa tumor ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan lingkungan.

  Namun pernah dilaporkan juga bahwa tumor sinonasal dapat muncul sporadis, tanpa berhubungan dengan paparan. Oleh karena itu riwayat sosial dan pekerjaan harus ditanyakan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala yang mengarah

  2,3,6 pada keganasan di sinonasal.

  Infeksi virus dan hubungannya terhadap keganasan merupakan hal yang menarik dan tetapi belum cukup diteliti. Studi terdahulu memperlihatkan bahwa peningkatan ekspresi dari epidermal growth factor reseptor (EGFR) dan transforming growth factor-alpha (TGF-alpha) mungkin berhubungan dengan paparan awal karsinogen yang menyebabkan papilloma inverting. Infeksi

  Human papilloma virus (HPV) dan Epstein-Barr virus (EBV) mungkin juga

  merupakan awal dari proses panjang yang menyebabkan perubahan

  papilloma inverting menjadi ganas. Beberapa penelitian lain juga membuktikan

  bahwa pengaruh faktor lingkungan pada sinonasal juga dapat menyebabkan terjadinya mutasi TP53 dan K-ras, yang pada akhirnya memicu pada suatu

  2,3,6 keganasan.

  Telah lama dicurigai bahwa virus merupakan penyebab terjadinya

  sinonasal papilloma . Barnes melaporkan bahwa 131 (38%) dari 341 kasus sinonasal papilloma yang dilakukan analisis biologi molekular (hibridisasi in situ atau polymerase chain reaction ) (menunjukkan hasil positif terhadap Human

Papilloma Virus (HPV), terutama HPV 6 dan 11, beberapa HPV 16 dan 18,

  dan sangat jarang tipe lainnya (misalnya HPV 57). Namun belum diketahui secara pasti apakah ada hubungan sebab-akibat antara kehadiran HPV dengan perkembangan tumor ini. Epstein-Barr Virus (EBV) juga telah diidentifikasi pada sekitar 65% kasus sinonasal papilloma. Hal ini menunjukkan bahwa EBV mungkin terlibat dalam perkembangan tumor ini. Sementara itu belum ada bukti pasti terjadinya tumor ini berhubungan dengan alergi, inflamasi,

  3,6,7 merokok, agen lingkungan berbahaya dan pekerjaan.

  Karsinogen eksogen sekunder bekerja secara tidak langsung melalui suatu mekanisme sekunder dan merubah beberapa bahan normal sel atau cairan jaringan yang berakibat pertumbuhan kanker. Golongan karsinogen yang merubah fungsi kualitatif dan kuantitatif organ-organ tertentu yang berakibat sekresi organ-organ tersebut mengandung bahan-bahan karsinogen. Dalam hal ini, nikel berperan sebagai karsinogen eksogen sekunder. Karsinogen di tempat kerja tidak menyebabkan gambaran histopatologi kanker yang khusus, demikian juga dengan keganasan rongga hidung yang secara histopatologik tumor epitel yang terbanyak

  3,6,7 adalah karsinoma sel skuamosa.

  2.5 Gambaran Klinis

  Gejala awal cenderung tidak spesifik dan bervariasi, mulai dari obstruksi hidung unilateral, diikuti dengan rhinorrhea jernih encer, serosanguinosa, purulen, sampai epistaksis. Pada keadaan lanjut, tumor tumbuh besar sampai ke pipi, dapat menginvasi ke orbita, pterygopalatine, fossa infratemporal, kavitas pada kranial, dan dapat menimbulkan rasa nyeri terutama di malam hari atau saat berbaring, gangguan neurologi (parastesia, anastesia sampai paralisis saraf otak), gangguan visual dan exoftalmus. Pada beberapa kasus dijumpai tanpa gejala awal sehingga diagnosis sering terlambat dan pasien datang dengan penyakit

  3,6,7 telah memasuki stadium lanjut.

  Gambaran klinis dapat juga bergantung pada lokasi primer dan arah perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala pada hidung berupa obstruksi hidung unilateral dan rhinorrhea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor yang ganas sekret berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala pada hidung, namun juga bisa memiliki gejala pada orbita seperti proptosis, epifora, exoptalmus, diplopia , hingga terjadi penyumbatan sakus lakrimalis.

  Tumor sinus frontal cenderung muncul hanya berupa gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala

  2,3,6 neurologis.

  Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor umumnya terlihat jelas. Sebagai catatan bahwa epistaksis pada pasien dewasa yang tidak hipertensi membutuhkan investigasi radiologis. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan gejala oral berupa penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosessus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak nyaman lagi untuk dipakai atau gigi geligi goyang. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan gejala fasial berupa pembengkakan pada wajah disertai nyeri, anastesia atau parastesia jika mengenai nervus trigeminus. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan gejala intrakranial berupa sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus, juga disertai likourea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya yang terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus di sertai anastesia dan parastesi daerah persarafan nervus maksilaris dan mandibularis. Perluasan ke arah nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba eustachius, seperti nyeri telinga, tinnitus dan gangguan

  6,7,8 pendengaran.

  Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini

  2,3,6,7 berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher.

  2.6 Gambaran Radiologis

  Pemeriksaan radiologi modern memainkan peranan penting dalam evaluasi tumor sinonasal. Foto polos sinus paranasal mungkin kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan menentukan perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Tetapi foto polos tetap berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan selanjutnya dapat dilakukan CT Scan. Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan informasi yang signifikan tentang tekstur, margin, efek pada tulang dan bahkan vaskularisasi.

  Dan bila diperlukan dapat juga dilanjutkan dengan pemeriksaan Positron

  Emission Tomography (PET) dan angiography. Meskipun pemeriksaan

  histopatologi masih diperlukan untuk memastikan sifat tumor, namun

  5,6,8,9 pemeriksaan radiologi dapat membantu membatasi daftar diagnosa banding.

2.7 Pemeriksaan Patologi

  Diagnosis pasti tumor sinonasal ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Namun jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi, sebaiknya diagnosis ditegakkan dengan

  3,6 pemeriksaan angiografi.

  Klasifikasi histologi tumor sinonasal menurut WHO dibagi atas: (1) epithelial tumours, (2) soft tissue tumours, (3) haematolymphoid tumours, (4) neuroectodermal, (5) germ cell tumours, dan (6) secondary tumours.

  Keganasan tersering pada sinonasal adalah karsinoma sel skuamosa (70%),

  2 dan selanjutnya adenokarsinoma (10-20%).

  Berikut ini adalah klasifikasi histologi tumor jinak dan ganas di daerah

  

5,2

hidung dan sinus paranasal menurut WHO.

Tabel 2.1 Klasifikasi histologi tumor jinak dan ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut WHO.

  5,2

2.7.1 Tumor Jinak

  Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dapat tumbuh pada sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu sinonasal papilloma dan salivary gland-type adenoma, dan yang non-epitelial yaitu neurofibroma,

  haemangioma, myxoma, osteoma, chondroma , dan lain-lain. Juga tumor

  odontogenik misalnya ameloblastoma, adamantinoma, dan lain-lain. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya inverted papilloma, displasia

  2,7 fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis ini tindakan operasi harus radikal.

  Secara umum tumor jinak tersering adalah sinonasal papilloma

  (schneiderian papilloma) . Tumor ini berasal dari epitel mukosa saluran

  pernafasan bersilia yang merupakan derivat dari ektoderm yang melapisi rongga hidung dan sinus paranasal disebut dengan membran Schneiderian, menghasilkan tiga tipe morfologi papilloma yang berbeda, diantaranya inverted papilloma,

  oncocytic papilloma, dan exophytic papilloma atau secara keseluruhan disebut

  dengan Schneiderian papilloma. Schneiderian papilloma ini hanya mewakili

  2,7,10 0,4-4,7% dari semua tumor sinonasal.

  

Inverted papilloma terjadi di sepanjang dinding lateral rongga hidung

  (middle turbinate atau ethmoidal recesses), dengan ekstensi sekunder ke sinus paranasal (terutama maksila dan etmoid). Sangat jarang inverted papilloma yang berasal dari sinus paranasal. Oncocytic papillomas terjadi paling sering di sepanjang dinding lateral hidung tetapi juga dapat berasal dalam sinus paranasal (maksila atau ethmoid). Exophytic papilloma hampir selalu terbatas pada septum nasi. Tipe inverted dan oncocytic sangat jarang terjadi pada septum nasi. Sinonasal papilloma biasanya unilateral, tetapi dapat juga terjadi papilloma bilateral. Tumor ini memiliki kecenderungan untuk menyebar di sepanjang mukosa ke daerah sekitarnya, termasuk nasofaring. Walaupun jarang sinonasal ini dapat berasal dari luar saluran sinonasal, diantaranya pada faring,

  papiloma

  telinga tengah, mastoid, nasofaring, dan kantung lakrimalis. Migrasi ektopik dari membran Schneiderian selama embriogenesis mungkin dapat menjelaskan

  2,7,11 terjadinya papilloma yang menyimpang ini.

  Inverted Papilloma (Schneiderian papilloma, inverted type,

  ICD-O 8121/1), pemeriksaan fisik berupa massa berwarna merah atau abu-abu, tidak transparan, konsistensi padat sampai lunak dan rapuh, berbentuk polipoid dengan permukaan berbelit atau berkerut. Pemeriksaan histopatologi tumor ini memiliki pola pertumbuhan endofit atau "inverted", dilapisi membran epitel yang proliferatif, tumbuh ke bawah ke dalam stroma yang mendasarinya. Sel epitel ini berlapis-lapis (5-30 lapis) dan bervariasi, terdiri dari sel skuamosa, sel transisional, dan sel kolumnar (mungkin ketiganya ada dalam satu lesi), bercampur dengan mucocytes (sel goblet) dan kista musin intraepitel.

  Sel skuamosa nonkeratin dan sel transisional lebih dominan, dan sering dilapisi selapis sel epitel kolumnar bersilia. Ketiga jenis sel dapat muncul bersamaan pada satu lesi dengan proporsi yang bervariasi. Infiltrasi sel radang kronis menyusup pada semua lapisan epitel permukaan. Sel-sel epitel pelapis merupakan sel normal dengan inti seragam. Sel-sel atipik dan pleomorfik mungkin dapat dijumpai. Komponen epitel dapat menunjukkan gambaran clear cell yang luas, mengindikasikan adanya konten glikogen yang berlimpah. Aktivitas mitosis sedikit dan biasanya dapat dilihat pada lapisan basal dan parabasal, tetapi tidak dijumpai mitosis yang atipik. Fokus keratinisasi permukaan dijumpai pada 10-20% kasus dan sel-sel displastik dijumpai pada 5-10% kasus. Hal ini bukan merupakan tanda-tanda keganasan, tetapi penting untuk dievaluasi. Kelenjar saliva minor biasanya tidak dijumpai. Komponen stroma bervariasi dari miksomatus sampai fibrosa, dengan atau tanpa disertai sel radang (terutama neutrofil) dan vaskularisasi yang bervariasi. Kelenjar seromusinosa normal jarang absen dari tumor ini, karena epitel neoplastik menggunakan saluran-saluran dan kelenjar sebagai jalan untuk memperluas ke dalam stroma. Inverted papilloma yang besar dapat menghambat drainase sinus di dekatnya. Akibatnya, tidak jarang juga menemukan polip hidung normal pada spesimen inverted papilloma, yang teridentifikasi dengan penampilan terlalu miksoid dan transiluminasi, sedangkan

  

2,6,7,12

inverted papilloma tidak akan seperti itu.

  A B C D E F

Gambar 2.3 Inverted Papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak seperti pita yang tumbuh

  

ke dalam stroma. B-C. Gambaran mikroskopis, tampak epitel skuamosa tumbuh hiperplastik

ke dalam stroma membentuk polipod. D. Inverted papilloma dengan pelapis epitel respiratori

bersilia yang hiperplastik, dan tampak transmigrasi neutrofil dari basal membran ke epitel.

  E. Inverted papilloma dengan epitel skuamosa dan epitel respiratori bersilia. F. Gambaran koilosit 2,3,7 pada infeksi HPV.

  

Oncocytic Papilloma (Schneiderian papilloma, oncocytic type, ICD-O

  8121/1) , pemeriksaan fisik berupa massa fleshy berwarna merah kehitaman sampai coklat, atau abu-abu, berbentuk papilari atau polipoid, berhubungan dengan obstruksi hidung dan epistaksis yang intermitten. Pola pertumbuhan tumor ini dapat exophytic dan endophytic. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan sel epitel proliferatif, tersusun berlapis-lapis (2 - 8 lapis sel) yang terdiri dari sel-sel bentuk kolumnar tinggi, inti sel kecil, gelap (hiperkromatin), relatif seragam, kadang-kadang vesikular, dan anak inti kurang jelas. Sitoplasma eosinofilik berlimpah (bengkak) dan bergranul, dan pada permukaan paling luar dapat dijumpai beberapa sel epitel bersilia. Pada lapisan epitel ini khas dijumpai beberapa kista kecil berisi musin atau sel radang neutrofil (mikroabses). Kista ini tidak dijumpai pada submukosa. Umumnya tidak dijumpai kelenjar saliva minor. Komponen stroma bervariasi, dari miksomatus sampai fibrous, disertai infiltrasi sel radang limfosit, sel plasma, dan neutrofil,

  2,7,13 namun hanya sedikit eosinofil dan vaskularisasi yang bervariasi.

  A B C

Gambar 2.4 Oncocytic papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak pertumbuhan exophytic

  (panah putih) dan inverted (panah hitam). B dan C. Gambaran mikroskopis, tampak pelapis epitel 3,7 onkositik berlapis, disertai kista berisi musin dan mikroabses pada intraepitel.

  

Exophytic Papilloma (Schneiderian papilloma, exophytic type, ICD-O

  8121/0), pemeriksaan fisik exophytic papilloma berupa massa papillary atau

  warty, exophytic, verrucous, cauliflower-like lesions , ukuran rata-rata 2 cm, berwarna abu-abu, merah muda atau coklat, tidak transparan, melekat pada septum hidung dengan dasar relatif luas, konsistensi kenyal sampai keras padat.

  Tampak massa bertangkai melekat pada mukosa. Pemeriksaan histopatologi tampak pola papilar dengan fibrovascular core yang dilapisi oleh epitel yang berlapis-lapis (5-20 lapis sel), bervariasi dari sel skuamosa (epidermoid), sel transisional (intermediet), sampai sel kolumnar pseudostratifikasi bersilia (sel saluran pernapasan), disertai mucocytes (goblet cell), dan kista musin intraepitel. Tidak dijumpai keratinisasi pada permukaan, kecuali pada tumor yang teriritasi atau jika papilloma sangat besar dan menggantung ke vestibulum hidung, dimana tumor terkena efek pengeringan oleh udara. Mitosis jarang dan tidak pernah atipik. Stroma berupa fibrovascular core diinfiltrasi oleh sedikit

  2,7,12 sel radang.

  A B C

Gambar 2.5 Exophytic papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak pertumbuhan exophytic pada septum nasi. B. Gambaran mikroskopis, tampak struktur papilar dengan epitel skuamosa. 2,3,7 C. Tampak pelapis epitel skuamosa hiperplastik, koilositik.

2.7.2 Tumor Ganas

  Keganasan tersering pada sinonasal adalah squamous cell carcinomas (70%), dan selanjutnya adenocarcinomas (10-20%), lymphoma malignum, sinonasal undifferentiated carcinoma dan salivary gland-type adenocarcinomas.

  Dengan predileksi tersering pada sinus maksila (70-80%), diikuti oleh sinus etmoid dan rongga hidung (20-30%), sedangkan sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%). Sekitar 80% ditemukan pada usia 45-85 tahun

  2 dan insiden pada pria dua kali lebih sering dibandingkan pada wanita.

2.7.2.1 Squamous cell carcinoma(SCC)

  

Squamous cell carcinoma (ICD-O 8070/3) merupakan tumor ganas epitel

  yang berasal dari epitel mukosa rongga hidung atau sinus paranasal yang terbagi atas tipe keratin dan nonkeratin. Sinonim keratinizing SCC adalah SCC, sedangkan nonkeratinizing carcinoma adalah schneiderian carcinoma,

  cylindrical cell carcinoma, transitional (cell) carcinoma, Ringertz carcinoma, respiratory epithelial carcinoma. SCC sinonasal paling sering muncul pada

  sinus maksila (60-70%), diikuti rongga hidung (12-25%), sinus etmoid (10-15%) dan sfenoid dan sinus frontal (< 1%). SCC pada vestibulum hidung harus

  2,3,14,15 dianggap sebagai karsinoma kulit daripada epitel mukosa sinonasal.

  Pola pertumbuhan SCC sinonasal dapat berupa massa exophytic, fungating atau papillary, konsistensi rapuh, mudah berdarah, sebagian nekrosis, massa berbatas tegas atau infiltratif. Karsinoma rongga hidung dapat menyebar ke lokasi yang berdekatan dengan rongga hidung atau sinus etmoid, atau dapat meluas ke rongga hidung kontralateral, tulang, sinus maksila, palatum, kulit dan jaringan lunak hidung, bibir, atau pipi, juga rongga kranium. Karsinoma sinus maksila dapat menyebar ke rongga hidung, palatum, sinus paranasal lain, kulit atau jaringan lunak hidung atau pipi, orbita, kranium, atau pterygopalatine dan ruang infratemporal. Metastasis kelenjar getah bening jarang terjadi dibandingkan

  2,7,14 SCC dari tempat lain di kepala dan leher.

  SCC merupakan karsinoma yang paling sering pada saluran sinonasal.

  Tumor berdiferensiasi baik yang menunjukkan gambaran keratinisasi umumnya dapat didiagnosa dengan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus.

  Pada pemeriksaan hapusan ini menunjukkan sel-sel tumor pleomorfik atipik, diantaranya sel-sel bentuk spindel, poligonal, dan sel-sel keratin. Spindle cell SCC harus dibedakan dari tumor-tumor sel spindel lainnya, seperti spindle cell

  

2,3,17,18

melanomas , sarkoma dan tumor neurogenik.

Gambar 2.6 Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus pada SCC dengan Diff-Quik stain. A. Poorly

  differentiated tumor cells . B. Spindled tumor cells. C. Fragmen debris keratin dan sel-sel keratin 17 dengan inti tidak jelas.

  Keratinizing SCC pada sinonasal memiliki gambaran histopatologi identik

  dengan SCC dari tempat lain di kepala dan leher. Dimana tampak diferensiasi sel skuamosa, disertai keratin ekstraselular atau keratin intraselular (sitoplasma merah muda, sel diskeratotik) dan tampak jembatan antar sel (intercellular

  bridges ). Tumor ini dapat dibagi menjadi karsinoma diferensiasi baik, sedang,

  dan buruk. Meskipun pada karsinoma yang diferensiasi buruk hanya tampak berupa fokus-fokus. Invasi ke stroma membentuk sarang-sarang atau untaian, atau mungkin hanya sel-sel ganas yang terisolasi. Sering disertai reaksi stroma 2,3 desmoplastik.

  A B

Gambar 2.7 Keratinizing SCC. A. Pembesaran kecil, tampak massa keratin pada beberapa

  tempat. B. Pembesaran besar, tampak sel malignan, inti sel membesar, pleomorfik, hiperkromatin, 3,7 dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat.

  Tipe nonkeratin juga memiliki pola pertumbuhan papillary atau exophytic tetapi sering tumbuh ke bawah (inverted atau endophytic), membentuk pita-pita yang saling berhubungan, pleksiformis, atau sarang-sarang epitel. Sarang tumor berbentuk bulat, atau sejajar membran basal, seperti pola karsinoma kandung kemih. Tumor terdiri atas sel-sel kolumnar atau transisional yang tersusun

  2,3,14,15 memanjang, berorientasi tegak lurus ke permukaan, tidak dijumpai keratin.

  Secara umum SCC sinonasal adalah tumor yang hiperselular, inti sel pleomorfik, hiperkromatin, rasio inti/sitoplasma meningkat, dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat, termasuk mitosis atipik. Pada kasus invasi sel tumor halus pada membran basal, mungkin tidak didiagnosa sebagai karsinoma invasif, bahkan mungkin didiagnosa sebagai papilloma dengan displasia berat atau karsinoma in situ. Seharusnya tumor ini didiagnosa sebagai karsinoma invasif.

  Pada kedua jenis tumor ini dapat terjadi epitel displasia ringan, sedang sampai 2,3,7 berat (karsinoma in situ).

  A B C D

Gambar 2.8 Nonkeratinizing SCC. A dan B. Pembesaran kecil tampak struktur sarang-sarang

  dan papilar. C. Pembesaran besar, tampak sel malignan, inti sel membesar, pleomorfik, 2,3,7 hiperkromatin, dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat. D. Tipe sel transisional.

  Varian dari SCC sangat jarang terjadi di saluran sinonasal. Secara histopatologi varian-varian ini identik dengan SCC dari tempat lain di kepala dan leher yang frekuensinya juga lebih sering dibandingkan dengan SCC sinonasal. Verrucous carcinoma (ICD-O 8051/3) merupakan varian SCC derajat rendah, dengan gambaran khas berupa massa papillary atau warty exophytic dengan diferensiasi sel yang sangat baik, dan epitel berkeratin. Papillary SCC (ICD-O 8052/3) adalah suatu exophytic SCC dengan konfigurasi papilar yang berbentuk seperti jari tipis, disertai fibrovascular core. Basaloid SCC (ICD-O 8083/3) merupakan varian SCC yang agresif, dengan gambaran khas berupa sarang-sarang, berisi sel-sel epitel basaloid atipik, dengan aktivitas mitosis meningkat, inti sel hiperkromatin, rasio inti/sitoplasma juga meningkat. Kadang-kadang dapat dijumpai nekrosis tipe komedo. Kadang-kadang juga dijumpai arsitektur mirip suatu adenoid cystic carcinoma berupa susunan pseudoglandular. Diferensiasi skuamosa juga dapat dijumpai, baik dalam sarang basaloid, sebagai fokus terpisah dari tumor, atau sebagai karsinoma epitel permukaan atau karsinoma in-situ. Spindle cell carcinoma (ICD-O 8074/3) memiliki gambaran khas berupa pola bifasik, yaitu SCC dan komponen sel spindel malignan yang umumnya jauh lebih banyak, sehingga mirip dengan sarkoma.

  Adenosquamous carcinoma (ICD-O 8560/3) lebih jelas diterangkan pada

  bab tumor oral dan laringeal. Secara singkat, umumnya dianggap sebagai varian dari SCC, dimana pada mukosa permukaan dijumpai komponen SCC, juga komponen karsinoma dengan diferensiasi kelenjar yang jelas berbentuk ductus atau tubulus dan sering bercampur dengan SCC. Acantholytic SCC (ICD-O 8075/3) merupakan varian terakhir dari SCC yang insidennya juga sangat

  2,3,7 jarang terjadi.

  A B C 2 Gambar 2.9 SCC. A. Papillary SCC. B. Verrucous Carcinoma. C. Basaloid SCC.

  Diagnosa banding yang menantang pada SCC yaitu membedakan antara

  poorly differentiated SCC (nonkeratinizing) dari saluran sinonasal dengan tumor derajat tinggi lainnya seperti undifferentiated nasopharyngeal carcinoma.

  Membedakan antara nonkeratinizing SCC dengan SNUC juga sulit, tetapi biasanya pada SCC banyak dijumpai sel-sel berukuran besar. Problem diagnosa lainnya yaitu basaloid SCC yang memiliki sifat agresif. Pada pemeriksaan sitologi tumor ini mirip dengan adenoid cystic carcinoma, SNUC, dan olfactory

  neuroblastoma . Maka harus dievaluasi secara cermat adanya sel keratin yang 2,3,17 mendukung suatu SCC.

2.7.2.2 Adenocarcinoma

  

Adenocarcinoma berasal dari epitel saluran pernafasan atau kelenjar

  mukoserous (60%). Tumor ini dibagi menjadi tipe intestinal dan tipe

  2 non-intestinal.

  

Intestinal Type Adenocarcinomas (ITACs) (ICD-O 8144/3) merupakan

  tumor ganas primer yang berasal dari epitel kelenjar pada traktus sinonasal, yang secara histopatologi mirip dengan adenokarsinoma dan adenoma pada intestinal. Lokasi paling sering yaitu sinus etmoid (40%), diikuti oleh kavum nasi (27%) dan sinus maksilaris (20%). Gejala awal cenderung tidak spesifik dan bervariasi, mulai dari obstruksi hidung unilateral, diikuti dengan rhinorrhea jernih atau purulent, dan epistaksis. Pada keadaan lanjut, tumor tumbuh besar sampai ke pipi, dapat menginvasi ke orbita, pterygopalatine, fossa infratemporal, kavitas pada kranial, dan biasanya dapat menimbulkan rasa nyeri, gangguan

  2,3,7,20 neurologi, gangguan visual dan exopthalmus.

  Pemeriksaan fisik pada ITACs dijumpai massa tumor dengan bentuk yang bervariasi, dapat berupa massa flat sampai yang menonjol keluar (polipoid, papilar atau nodular), menggembung, irregular, berwarna merah tua, putih keabuan, atau merah muda yang tumbuh di rongga hidung atau sinus paranasal.

  Umumnya konsistensi tumor rapuh, sebagian disertai ulserasi, perdarahan

  2,3,7,21 dan nekrotik. Beberapa lesi dapat dijumpai massa gelatin atau musinous. Pemeriksaan hapusan adenokarsinoma menunjukkan kelompokan sel tumor yang kohesif dan sel-sel individu (tersebar), inti sel vesikular, anak inti menonjol, dan sitoplasma sedang. Adanya diferensiasi kelenjar dan sekresi musin mempertegas diagnosa tumor ini. Adenokarsinoma primer menunjukkan gambaran diferensiasi tipe intestinal dan sel goblet. Sediaan hapusan adenokarsinoma musinus akan menunjukkan sekresi musin yang banyak, dan dapat disertai kelompokan kecil sel seperti terapung didalamnya. Tumor musinus cenderung hiposelular disebabkan efek dilusi genangan musin. Sel-sel memanjang dengan inti sel

  • –sitoplasma polaritas merupakan karakteristik dari

  ITACs . Adenokarsinoma tipe sel goblet (tipe kolon) menunjukkan sel-sel tumor

  17 dengan sitoplasma banyak bervakuola bulat hingga inti sel terdorong ke tepi.

  B C

Gambar 2.10 A. Primary ITACs, sel tumor dengan sitoplasma sedang, dan sel kolumnar (Inset).

  17 B dan C. Tipe kolon, sel goblet dengan sitoplasma banyak (berlimpah).

  Barnes membagi tumor ini menjadi lima kategori : papillary, colonic,

  solid, mucinous dan mixed. Kleinsasser dan Schroeder membagi ITACs menjadi

  empat kategori : papillary tubular cylinder cell (PTCC) types I-III (I=well-differentiated, II=moderately-differentiated, III=poorly-differentiated),

  alveolar goblet type, signet-ring type dan transitional type. Tipe papillary, colonic

  dan solid pada klasifikasi Barnes menunjukkan gambaran yang sesuai dengan

  2,3,7, 22 tipe PTCC I,II dan III.

  

Papillary type (papillary tubular cylinder cell I atau well-differentiated

adenocarcinoma), ditemukan sekitar 18% kasus, menunjukkan gambaran

  mikroskopis yang didominasi oleh struktur papilar dengan fibrovascular stalk, dan kadang-kadang disertai kelenjar bentuk tubular, dilapisi oleh sel-sel kolumnar tinggi tanpa silia, dengan susunan terpolarisasi baik dan tegak lurus terhadap membran basal, bertingkat, tumpang tindih, atau disorganisasi. Sel-sel dengan sitoplasma eosinofilik, inti sel bulat-oval, hiperkromatin sampai vesikular, dengan atau tanpa anak inti menonjol, dan aktivitas mitosis rendah. Pada beberapa kasus ditemukan sel goblet diantara sel kolumnar sama seperti yang terlihat pada usus. Latar belakang tumor sering kotor, tampak daerah hemoragik, nekrotik,

  2,3,7 dan inflamasi.

  

Colonic type (papillary tubular cylinder II or moderately - differentiated

adenocarcinoma ), ditemukan sekitar 40% kasus, menunjukkan gambaran yang

  didominasi oleh struktur kelenjar tubular yang berdiferensiasi baik sampai sedang, mirip dengan adenokarsinoma pada usus besar. Kadang-kadang dijumpai struktur

  2,3,7,23 papilar. Pleomorfisme inti sel dan aktivitas mitosis meningkat.

  

Solid type (papillary tubular cylinder III atau poorly-differentiated

adenocarcinoma) , ditemukan sekitar 20% kasus, menunjukkan gambaran

  diferensiasi sel yang buruk, berupa pertumbuhan yang solid dan trabekular dengan formasi tubulus minimal dan terisolasi. Terjadi proliferasi difus sel kuboid kecil, inti sel pleomorfik, vesikular, anak inti menonjol, dan aktivitas mitosis

  2,3,7 meningkat.

  Analog dengan adenokarsinoma kolon, beberapa ITACs didominasi oleh mukus yang berlebihan (>50%) hingga diklasifikasikan sebagai mucinous type.

  Mucinous type (alveolar goblet cell dan signet ring) meliputi tiga pola

  pertumbuhan. Pola pertama ditandai oleh kelompokan kecil sel yang solid, kelenjar individual, signet ring cells, atau struktur sepertim papilar yang pendek dengan atau tanpa fibrovascular core; musin umumnya intraselular dan dapat ditemukan matriks mukomiksoid. Pola kedua ditandai oleh kelenjar dengan lumen dilatasi berisi mucus, beberapa di antaranya dapat pecah dan menimbulkan respon inflamasi yang agresif. Dan pola ketiga ditandai oleh kelompokan sel tumor yang tergenang dalam matriks musinous dikelilingi oleh septa fibrosa yang tipis, yang membentuk pola tipe alveolar. Sel tumor terutama bentuk kuboid atau sel goblet tampak dalam lapisan tunggal di pinggiran kolam musin, hingga pola ini disebut juga dengan varian alveolar-goblet cell. Ekstravasasi mukus dapat menimbulkan reaksi inflamasi, hingga dapat dijumpai

  2,3,7 multinucleated giant cells.

  Tipe mixed (transitional) terdiri dari campuran dua atau lebih dari pola yang telah dijelaskan sebelumnya. Terlepas dari tipe histologisnya, secara histologi gambaran ITACs menyerupai mukosa usus normal dan dijumpai vili, sel

  Paneth, sel enterochromaffin dan muskularis mukosa. Sel enterochromaffin

  dapat mengekspresikan beberapa jenis peptida, diantaranya yaitu gastrin,

  glucagon, serotonin, cholecystokinin, dan leu-enkephalin. Pada beberapa kasus

  dapat ditemukan tumor yang berdiferensiasi sangat baik yang terdiri dari vili yang bentuknya baik, dilapisi oleh sel kolumnar, berkas sel otot polos yang menyerupai

  2,3,7 muskularis mukosa yang dijumpai di bawah vili.

  Pemeriksaan imunohistokimia ITACs adalah positif difus untuk penanda epitel seperti pancytokeratin, epithelial membrane antigen, B72.3, Ber-EP4,

  BRST-1, Leu-M1, dan human milk fat globule (HMFG-2). Positif dengan CK20

  (735-86%) dan reaksi bervariasi dengan CK7 (43%-93% kasus). CDX-2, suatu faktor transkripsi inti sel, yang terlibat dalam diferensiasi sel-sel epitel usus dan diekspresikan difus pada adenokarsinoma usus, umumnya diekspresikan pada ITACs . Pewarnaan claudins dan villin juga dapat diekspresikan pada ITACs.

  Sedangkan pewarnaan CEA masih dalam pertentangan pada beberapa literatur. Sebaran atau kelompokan sel-sel yang positif terhadap chromogranin juga sering dijumpai; sel-sel neuroendokrin dapat mengekspresikan berbagai hormon peptida,

  2,3,7 termasuk serotonin, cholecystokinin, gastrin, somatostatin dan leu-enkephalin.

  Adenokarsinoma tipe nonintestinal (Non-ITACs) adalah tumor traktus sinonasal yang tidak menunjukkan gambaran histopatologi adenokarsinoma tipe saliva dan ITACs (sel-sel goblet, absorptive, endocrine, Paneth). Adenokarsinoma ini dibagi menjadi tipe low grade dan high grade. Lokasi tersering yaitu pada sinus ethmoid. Gejala klinis diantaranya obstruksi hidung dan

  2,3,24 epistaksis, jarang dijumpai rasa nyeri.

  Tumor ini memiliki gambaran makroskopis yang bervariasi, diantaranya berbatas tegas sampai kondisi buruk dan invasif, pertumbuhannya flat sampai berupa tonjolan keluar atau papillar, berwarna putih sampai merah muda,

  2,3 dan konsistensi dari keras sampai rapuh.

  Baik low grade atau high grade, tumor ini dijumpai pada submukosa, tanpa keterlibatan permukaan, atau dapat juga melibatkan epitel bersilia yang melapisi saluran pernapasan. Low grade adenocarcinoma menunjukkan struktur kelenjar atau papilar, tumor berbatas tegas, tetapi tidak berkapsul, kadang-kadang dijumpai invasi. Tampak proliferasi kelenjar berukuran kecil dan seragam atau asinus, yang tersusun dalam pola back to back, dengan sedikit atau tanpa intervensi stroma. Kadang-kadang dijumpai gambaran rongga kistik irregular yang besar. Kelenjar dilapisi oleh satu lapis sel kolumnar sampai kuboid, tidak bersilia, dengan inti sel bentuk bulat, seragam, terletak di basal atau kadang-kadang tersusun pseudostratifikasi, karena hilangnya polaritas inti sel; dan sitoplasma eosinofilik. Pleomorfisme sel ringan sampai sedang, dan aktivitas mitosis sesekali terlihat; tidak dijumpai mitosis atipik dan nekrosis. Varian adenokarsinoma ini terdiri dari papillary, clear cell, dan oncocytic.

Dokumen yang terkait

Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes dengan Pulasan Van Gieson di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

0 78 101

Hubungan Usia Penderita dengan Gambaran Histopatologi Hiperplasia Endometrium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

1 51 139

Gambaran Histopatologi Tumor Sinonasal di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2009-2011

1 66 97

Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes Dengan Pulasan Van Gieson Di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

3 62 101

Gambaran Histopatologi Tumor Serviks di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2009 – Desember 2010

1 43 90

Gambaran Histopatologi Tumor Payudara di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik-Medan Tahun 2009-2010

5 52 81

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi - Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes dengan Pulasan Van Gieson di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

0 0 42

Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes dengan Pulasan Van Gieson di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

0 0 17

Hubungan Usia Penderita dengan Gambaran Histopatologi Hiperplasia Endometrium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

0 0 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 . Pengelolaan Lingkungan Hidup - Hubungan Usia Penderita dengan Gambaran Histopatologi Hiperplasia Endometrium di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan T

0 0 53