BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009 A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah - Analisa Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan Di Propinsi Riau

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009 A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam

  masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat,

  21 pendidikan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, kemakmuran rakyat dan sebagainya.

  Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang

  22

  diantaranya berbunyi: ”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

  Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen keempat yang berbunyi: 21 ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara 22 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet. 2, (Bandung: Eresco, 1992), hal. 1-2 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

  21 diatur dengan undang-undang.” Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan

  23 rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.

  Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut

  24 sebagai perampokan.

  Peraturan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UUD 1945.

  Hierarki norma hukum, menurut penjelasan Kelsen, berjenjang dan berlapis- lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Dengan menggariskan bahwa pajak diatur dengan UU, UUD 1945 hendak memastikan pemungutan pajak dikendalikan juga oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut, setelah perumusan peraturan pajak disetujui oleh perwakilan rakyat, maka dapat dianggap bahwa tidak ada lagi pemungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup nasional. Maka pemungutan uang kepada rakyat di luar yang diatur dalam UU dapat 23 Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Edisi Pertama, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hal. 5. 24 Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Cet. 1, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 60-65.

  digolongkan sebagai perampokan sebagaimana pepatah yang sudah lazim kita dengar:

  25 tax without law is robbery .

  Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

  Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

  Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah

  25

http://bukabukaanpajak.wordpress.com/2010/02/17/tentang-pasal-23-a-uud-1945/akses tanggal 22 Februari 2011 sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

  Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009,

  26 Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu:

  1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

  4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok.

  Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan 11 (sebelas) jenis pajak

27 Kabupaten/Kota yang baru, yaitu :

  1. Pajak Hotel;

  2. Pajak Restoran;

  3. Pajak Hiburan;

  4. Pajak Reklame;

  5. Pajak Penerangan Jalan;

  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

  7. Pajak Parkir;

  8. Pajak Air Tanah;

  9. Pajak Sarang Burung Walet; 26 27 Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

  Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya”.

  Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak.

  Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi.

  Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif.

  Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya seperti Indonesia ini. Di samping memudahkan koordinasi dalam permerintahan, sistem desentralisasi lebih demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan

  28 karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.

  Pembagian kewenangan/ fungsi (Power Sharing) antara pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan menjadi semakin jelas dengan diberikannya porsi peranan daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan pusat.

  Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam 28 Departemen Keuangan ( Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah), Di

  

dalam Buku Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, Edisi

Kedua, 2007, Hal 1

  29

  melaksanakan urusan-urusan di daerah. Disamping itu peraturan daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang- undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono, peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih

  30 tinggi serta Perda daerah lain.

  Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya. 29 Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total

  Media, Yogyakarta, 2007, hal. 55 30 Muhammad Ikhwan, Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia)

http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam_10.html akses tanggal 17

Februari 2011

  Oleh sebab itu, diharapkan peran dan perhatian pemerintah dalam pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang pungutan pajak, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dan menjadikan pajak sebagai hal yang menakutkan. Pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah suatu perbuatan menentukan peraturan/norma hukum yang mengikat umum, karenanya harus dilakukan dengan cermat, hati-hati dan mempertimbangkan berbagai segi secara komprehensif. Pemungutan pajak akan berjalan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan setidaknya 4 (empat) syarat agar tercapai keadilan dan kepastian hukum. Syarat- syarat tersebut adalah syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial dan syarat

  31 sosiologis.

  Hak terhadap air merupakan asasi setiap manusia. Undang-Undang dasar 1945

  Pasal 33 ayat (2) menjamin hak dasar tersebut, Pasal 33 ayat (2) berbunyi “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini berarti negara harus dapat menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Itulah sebabnya negara harus dapat membatasi/mengendalikan pemakaian air bawah tanah tersebut agar kebutuhan setiap individu akan air selalu dapat dipenuhi. Untuk dapat mengendalikannya pemerintah daerah mengenakan pajak atas pengambilan air bawah tanah tersebut.

31 Muqodim, Perpajakan, Buku Satu, Edisi ke 2 (Revisi), UII Press dan EKONISIA, Yogyakarta, 1999, Hal 2.

  Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) disebutkan bahwa “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan

  32

  mengenai:

  a. Nama, objek, dan Subjek Pajak;

  b. Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

  c. Wilayah pemungutan;

  d. Masa Pajak;

  e. Penetapan;

  f. Tata cara pembayaran dan penagihan;

  g. Kedaluwarsa;

  h. Sanksi administratif; dan i. Tanggal mulai berlakunya.

  33 Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:

  a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

  c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

  32 33 Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

  Salah satu jenis pajak provinsi dalam undang-undang tersebut adalah Pajak Air Permukaan. Dengan demikian, maka kewenangan untuk memungut pajak air permukaan dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi.

  Namun demikian, undang-undang pajak daerah masih memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang dapat diatur dalam peraturan daerah sehubungan dengan Pajak Air Permukaan. Dalam pasal 21 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, undang-undang mengecualikan objek pajak air pemukaan, ”pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.” Pemerintah daerah juga diberi kewenangan lanjutan dalam butir b. ayat tersebut untuk menambahkan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dalam Peraturan Daerah. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah adalah untuk menetapkan Nilai Perolehan Air Permukaan. Nilai Perolehan Air Permukaan adalah dasar pengenaan Pajak Air Permukaan. Hal itu diatur dalam pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur sesuai pasal 23 ayat 4 Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

  Kewenangan terakhir yang cukup penting yang diberikan oleh undang-undang mengenai pajak air permukaan adalah mengenai pengaturan tarif. Dalam Pasal 24 ayat (2) UU PDRD dinyatakan bahwa Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun demikian dalam ayat (1) pasal tersebut dibatasi bahwa

  Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi yang ditetapkan pemerintahan

  34 daerah adalah sebesar 10% (sepuluh persen).

  Sebagai landasan hukum pemungutan pemanfaatan dan pengambilan air bawah tanah di satu sisi, peranan tersebut memudahkan daerah untuk melaksanakan pemungutannya karena tidak diperlukan lagi mencari bentuk untuk menyusun peraturan pelaksanaanya. Daerah mempunyai wewenang yang cukup besar dalam pengaturan pajak air bawah tanah. Apabila ketidakadilan sebagai akibat dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam produk-produk sebelumnya, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi atau perbaikan- perbaikan. Pajak air bawah tanah memerlukan pengaturan yang lebih luwes, menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pergerakan menuju penyesuaiaan antara fiskus dan wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat merasa ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan petugas-petugas pajak.

  Bahwasanya Peraturan Daerah tentang pajak provinsi dan pajak daerah merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Propinsi atau Daerah masing-masing, oleh sebab itu nominal atau nilainya antar propinsi dan Daerah tidak sama.

  Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Dalam artian bahwa saat ini pihak Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten masih menggunakan 34 Derry Patra Dewa, http://derrypatra.wordpress.com/tag/environment/akses tanggal 17

  Februari 2011

  Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Hal ini disebabkan belum dikeluarkannnya Peraturan Daerah mengenai pemungutan Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Belum dikeluarkannya Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak

  35

  pemerintah kabupaten/kota. Menjabarkan amanat UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah harus segera melakukan revisi perda- perda yang tidak sejalan dengan UU tersebut.

  Untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna Pemungutan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Propinsi Riau yang diatur dengan Undang-Undang yang kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah selanjutnya melalui Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang Dasar Hukum pemungutan pengambilan dan pemanfaatannya adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan, serta keputusan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Keputusan Gubernur Riau No. 3 35 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi

  Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

  Tahun 2003 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Air Permukaan. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Permukaan.

  Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, disebutkan beberapa pengertian sehubungan dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai berikut :

  1. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.

  2. Air permukaan adalah air yang berada di atas Permukaan Bumi, tidak termasuk air laut.

  Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Nomor

  48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau.

  Objek Pajak dan Wajib Pajak dalam Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah

  36 dan/atau air permukaan.

  37

  2. Objek Pajak adalah :

  a. Pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan

  b. Pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan

  c.. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah

  Tanah Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah

  

38

Tanah, dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air.

  2. Nilai Perolehan Air dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung menurut sebahagian atau seluruh Faktor-faktor: a. Jenis Sumber Air

  b. Tujuan Pengambilan Air

  c. Volume air yang diambil

  d. Kualitas Air

  e. Luas areal tempat pengambilan air 36

  f. Musim pengambilan air

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

  37 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan. 38 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan. g. Tingkat kerusakan lingkungan Dikecualikan dari Objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

39 Tanah dan Air Permukaan adalah :

  a. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

  b. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemenfaatan air permukaan oleh BUMN dan BUMD yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air c. Pengambilan atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat.

  d. Pengambilan dan pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dari dan atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga dan ibadah. Meskipun pemerintah daerah diberikan kewenangan yang begitu luas, tetapi untuk menghindari hal-hal yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka di dalam Undang-Undang tetap diatur mengenai pengawasan yang diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah sebenarnya telah melakukan antisipasi 39 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

  (dalam bentuk pengawasan) agar daerah tidak terlalu kreatif dalam memungut pajak sehingga otonomi daerah tidak malah menjadi momok bagi rakyat. Pengawasan tersebut berupa kewajiban pemerintah daerah untuk menyampaikan Peraturan Daerah kepada pemerintah pusat yang berwenang pula untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah yang tidak sesuai dengan Undang-undang.

  Sehubungan dengan adanya peraturan kebijakan di bidang perpajakan daerah, tentu diperlukan upaya yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerah sesuai dengan kategori jenisnya guna menghindari adanya tumpang tindih yang berakibat dapat dibatalkannya perda tentang pajak daerah.

  Seyogyanya, Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan

  40 berdasarkan Undang-Undang ini.

  Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk pemungutan Pajak Air Bawah Tanah masih dimungkinkan dengan Perda tersebut.

  Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28 Tahun 2009 Tentang pajak dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku 40 Lihat Pasal 180 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang

  41 baru berdasarkan Undang-Undang ini.

  Pada pasal 185 UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan bahwa UU tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, oleh sebab itu untuk berlakunya Perda pajak provinsi dan pajak daerah masih mengikuti kebijakan yang lama dan akan disesuaikan dlm jangka 2 tahun setelah UU ini diberlakukan dengan kata lain Peraturan Daerah yang baru tentang Pajak Provinsi dan Pajak Daerah akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012.

  Saat ini, masih banyak perda pajak dan retribusi yang dimiliki harus segera direvisi, karena tidak sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 2009. Waktu yang tersisa untuk merevisi perda yang ada sudah sangat sedikit, sehingga harus dilakukan dengan segera. Selanjutnya dalam UU tersebut sudah jelas diatur tentang proses revisi perda yang ada di masing-masing pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam

  pasal 180 ayat 1 dan 2 UU No. 28 Tahun 2009 menyebutkan, setelah dua tahun diberlakukannya UU ini, peraturan yang ada di bawahnya harus disesuaikan. Ini

  42 artinya, pada Januari 2012 seluruh perda pajak dan retribusi sudah harus direvisi.

B. Pelaksanaan Pemungutan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Permukaan Dan Air Bawah Tanah.

  Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan, 41 42 Lihat Pasal 180 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi

  Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 yang berwenang melakukan pemungutan pajak ini adalah Dinas Pendapatan Daerah. Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan tidak dapat diborongkan. Artinya, seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Walaupun demikian, dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada wajib pajak, atau menghimpun data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya

  43 pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.

  Secara sederhana tata laksana Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Riau dapat digambarkan dalam alur sebagai berikut :

  1. Pendataan dan Penatausahaan Orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah wajib mendaftarkan terlebih dulu. Izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan Propinsi Riau setelah dilengkapinya syarat1syarat yang ditentukan. Setelah izin pengambilan dan pemanfaatan diterbitkan maka wajib pajak wajib mendaftarkan kepada Dispenda Riau untuk diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Pengambilan dan Pengambilan Air Bawah Tanah. Dalam pelaksanaannya data wajib pajak disampaikan oleh Badan 43 Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

  2005, hal. 230

  Pengendalian Dampak Lingkungan yang memberikan izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah.

  Dengan demikian pendataan wajib pajak dilakukan dengan koordinasi antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota/Kabupaten dengan Dispenda Propinsi Riau.

  2. Penetapan dan Penagihan Penetapan dan Penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

  Tanah di Provinsi Riau terdiri dari beberapa kegiatan yang berkoordinasi dengan Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Riau. Kegiatan penetapan hingga penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah terdiri dari:

  a. Kegiatan Pencatatan Meteran Air Dinas Pertambangan menyampaikan data pelanggan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah kepada Dinas Pendapatan Daerah. Data tersebut kemudian dibukukan dan digunakan sebagai dasar dalam mencatat meteran air.

  b. Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Daftar rekapitulasi yang diterima dari Dipenda, dijadikan dasar untuk membuat/mencetak SKPD rangkap 5 yang terdiri dari lembar ke11 untuk wajib pajak, lembar ke12 untuk BKP yang Bersangkutan, lembar ke13 untuk Dinas Pendapatan Daerah Riau, lembar ke14 untuk kantor/pos pelayanan Dispenda yang bersangkutan, lembar ke15 untuk arsip. Perhitungan pajak dalam SKPD harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku,

  SKPD dalam 5 rangkap rekapitulasinya diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 25 setiap bulannya.

  c. Kegiatan Pencocokan Meneliti SKPD SKPD yang diterima oleh Dinas Pendapatan Daerah diteliti dan dicocokan dengan daftar rekapitulasi. Dalam hal ini terjadi ketidakcocokan maka SKPD dikembalikan kepada wajib pajak.Sedangkan untuk SKPD yang telah sesuai dengan daftar rekapitulasi diproses pengesahannya sebagai SKPD.

  d. Perbaikan Penerbitan SKPD Wajib Pajak menerima koreksi SKPD dan Daftar rekapitulasinya paling lambat tanggal 25 tiap bulannya. Berdasarkan data koreksi tersebut dan disampaikan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 29 setiap bulannya.

  e. Penyampaian SKPD SKPD diterima Dinas Pendapatan dari Wajib Pajak paling lambat tanggal 29 setiap bulannya. SKPD rangkap

  5 ini kemudian disampaikan Dinas Pendapatan daerah kepada Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur paling lambat akhir bulan berikutnya.

  f. Pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya Bank yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur atas tempat izin yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur melayani dan menerima pembayaran pajaknya. Atas SKPD yang tidak/belum dibayar, dikembalikan kepada Dinas

  Pendapatan Daerah. Pembayaran yang terlambat atau yang dilakukan setelah tanggal 15 setiap bulannya serta yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) dilakukan di KPKD.

  g. Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) Pada tanggal 16 setiap bulannya, Dinas Pendapatan Daerah menerima

  SKPKD rangkap 5 yang tidak/belum dilunasi dari Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur.

  Pelaksanaan pemungutan Pajak Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan yang diimplementasikan melalui Keputusan Gubernur Propinsi Riau Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petujuk Pelaksanaan Peraturan daerah Nomor 16 tahun 2002 Tentang Pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan. Untuk mewujudkan peraturan tersebut diperlukan adanya administrasi pemungutannya, yang mana administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan kebijakan perpajakan. Administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi instrument yang bekerja secara efisien dan efektif, sebab sebaik apapun kebijakan perpajakan dan Undang-Undang perpajakan jika kegiatan administrasi tidak dilakukan secara efisien dan efektif, maka sasaran yang hendak dicapai menjadi gagal. Secara umum pelaksanaan pemungutan Pajak pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam implementasi pemungutannya, Dinas Pendapatan Daerah berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan dan Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi.

  Dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, setiap aparatur pemerintah bertugas melaksanakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang masing-masing. Dengan demikian tujuan dan sasaran yang harus dicapai oleh Pemerintah selalu menyangkut kegiatan- kegiatan atau tugas lebih dari satu aparatur pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, kegiatan aparatur Pemerintah perlu satukan dan diselaraskan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih dan kesimpang siuran dalam pelaksanaanya. Dengan demikian koordinasi anatar kegiatan aparatur pemerintah harus dilakukan.

  Dalam pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah dari berbagai institusi yang bersinergi dan didukung oleh sumber daya manusia sebagai suatu kesatuan sosial, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu, sehingga setiap organisasi memiliki fungsi yang jelas sebagai suatu kesatuan yang mempunyai tertentu dan batasan-batasan yang jelas. Pada pemungutan pajak air bawah tanah, petugas pemungutan pajak air bawah tanah saling berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya, di antaranya Dinas Pendapatan Daerah dengan Kantor Pendapatan Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Propinsi Riau.

  Pemungutan pajak air bawah tanah dan air permukaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Riau sebagai koordinator pemungutan air bawah tanah, berkoordinasi dengan Dinas Kantor Pendapatan Daerah dan Pos Pelayanan Daerah , pelaksanaannya yaitu terdiri dari:

  1. Pendaftaran Dalam masalah pemungutan pajak air bawah tanah, Dinas Pendapatan Daerah dihadapkan bagaimana usaha untuk mengenakan semua subjek pajak yang telah memenuhi ketentuan material peraturan perpajakan dikenakan pajak. Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2002, mengatur mengenai kewajiban pendaftaran atas usaha pengambilan air bawah tanah kepada Dinas Pendapatan Daerah.

  Pendaftaran sebagai awal dari proses pemajakan sangat mempengaruhi kegiatan administrasi pemungutan lainnya, yang meliputi antara lain: a. Pembayaran Pajak dan penyampaian SPTPD oleh wajib pajak kepada Dinas

  Pendapatan Daerah

  b. Kegiatan penetapan pajak yang terutang yang dilakukan oleh Sub Dinas Penetapan

  c. Kegiatan pengawasan pembayaran pajak dan penagihan pajak oleh Subdinas Penagihan

  d. Kegiatan pemeriksaan oleh subdinas pendataan dan pemeriksaan Kegiatan pendaftaran sampai dengan saat ini belum dapat dilakukan secara optimal, karena masih kurangnya subjek pajak yang mendaftar pada

  Dinas Pendapatan Daerah, akibatnya kegiatan administrasi penerbitan NPWP sebagai identitas diri dan usaha wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak tidak dapat dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan subjek pajak yang mendaftarkan perizinan pengambilan air bawah tanah kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di Daerah Kota/Kabupaten sebagai data yang dijadikan sebagai data wajib pajak belum diperoleh Dispenda. Seperti dijelaskan yang dijelaskan disini bahwa wajib pajak itu melakukan pendaftaran dan pendataan, mengisi formulir yang ada di kantor pendapatan daerah, kemudian melampirkan syarat-syarat seperti identitas pengusaha dan surat izin usaha. Setelah formulir yang di sampaikan ke kantor dinas pendapatan daerah kemudian diterbitkan NPWP. Baru kemudian wajib pajak yang sudah mendapat NPWP tersebut melakukan kewajibannya yaitu membayar atau menyetorkan dan melaporkan pemakaian air tiap bulannya.

  Dalam pemungutannya, setiap bulannya wajib pajak datang ke kantor Dinas Pendapatan untuk melaporkan dan membayar pemakaian air bawah tanahnya.nah Jika ada wajib pajak yang belum membayar dan melaporkan pajak

  44 air bawah tanah petugas yang datang langsung ke tempat wajib pajak.

  Sebagai kegiatan awal dari proses kegiatan perpajakan, menghimpun data wajib pajak dapat dilakukan melaui cara yang konvensional yakni melalui pendataan oleh fiskus. Meskipun biaya yang diperlukan untuk melakukan pendataan cukup besar dan menyerap sumber daya manusia yang tidak sedikit, maka dalam kondisi dimana kegiatan pendataan mungkin dilakukan. Dengan struktur organisasi yang dimiliki Dinas Pendapatan Daerah yang mencakup kantor pendapatan daerah dan pelayanan pajak daerah. Peran kantor pendapatan Propinsi Riau yaitu sebagai kantor pelaksana teknis yang tugas dan tanggung jawabnya untuk melaksanakan

44 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir

  Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 sebagian tugas dinas pendapatan provinsi riau, seperti pemungutan, pendataan air

  45 bawah tanah. Kantor tersebut sebagai perpanjangan tangan kita.

  2. Pendataan pajak Kegiatan pendataan pajak terkait dengan sistem pemungutan pajak. Dalam sistem self assessment, wajib pajak menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutangnya. Wajib pajak yang aktif dan harus dapat membuktikan sendiri jumlah pajak yang terutang. Dalam sistem official assessment, pajak terutangnya ditetapkan oleh fiskus dan pembuktiannya ada pada fiskus. Pajak baru terutang apabila terbit surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dari Dinas Pendapatan Daerah. Sistem pemungutan yang berjalan pada pemungutan pajak air bawah tanah berdasarkan sistem official assessment. Dalam mekanisme pemungutan pajak air bawah tanah, hasil pencatatan meteran air yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan pada alat meter air yang terpasang di wajib pajak dijadikan sebagai dasar penerbitan SKPD. Sampai saat ini masih ada perusahaan yang tidak memakai meteran air walaupun di dalam persyaratan perizinan usaha, wajib memasang meteran air.

  Seperti yang disebutkan bahwa masih ada wajib pajak yang belum sadar dalam membayar pajak air bawah tanah, sehingga petugas bagian pemungutan air bawah tanah yang proaktif mendatangi ke tempat wajib pajak untuk memungut pajak air bawah tanah. Tetapi dari perusahaan besar sebagian besar sudah sadar akan menbayar pajak air bawah tanah yang digunakannya, mereka membayar sediri ke 45 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir

  Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 kantor pendapatan daerah kota pekanbaru. Karena petugasnya harus proaktif untuk mendata dan menungut pajaknya, yang kita sebut istilahnya menjemput bola, tim yang kelapangan kurang sehingga banyak dikerjakan oleh pegawai harian lepas. Kemudian sampai saat ini pemakaian air bawah tanah belum semua memakai

  46

  meteran air.” Pemasangan meteran air tidak disediakan oleh pemda, wajib pajak sendiri yang menyediakan meteran air tersebut, tetapi karena kurang sosialisasi dari pihak Pemda sendiri, akibatnya masih ada masyarakat yang tidak memasang meteran air karena tidak di sediakan oleh pemda. Jadi jumlah air yang dipakai sudah

  47 ditentukan oleh petugasnya.

  Penerimaan pajak air bawah tanah dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kondisi demikian sebenarnya tidak boleh terjadi, mengingat pertumbuhan yang pesat yang terjadi di Provinsi Riau pada umumnya dan di Kota/Kabupaten khususnya saat ini, ini ditandai oleh peningkatan perusahaan dan industri-industri.

  3. Pemeriksaan Perilaku wajib pajak yang berusaha untuk mengecilkan jumlah pajak yang terutang atau melakukan penghindaran pajak perlu dilakukan tindakan pemeriksaan/verifikasi sebagai salah satu proses administrasi perpajakan. Sejauh mana wajib pajak melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan dan menguji 46 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir

  Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 47 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 kepatuhan dapat dilakukan melalui pemerikasaan. Semua sistem perpajakan harus memberikan kemungkinan untuk memverifikasi surat pemberitahuan pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak, mengingat surat pemberitahuan yang diisi oleh wajib pajak kemungkinan besar berisi kesalahan-kesalahan baik faktanya maupun yuridisnya.

  Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2000 telah mengatur kegiatan pemeriksaan terhadap wajib pajak air bawah tanah, namun dalam implementasinya kegiatan tersebut tidak dilakukan oleh Pendapatan Daerah. Hasil pencatatan meteran yang dilakukan oleh petugas dinas pertambangan tanpa disertai oleh petugas dinas pendapatan daerah perlu diuji kebenarannya. Instrumen untuk menguji tersebut melalui kegiatan pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap wajib pajak lebih diintensifkan kepada wajib pajak yang belum menggunakan alat ukur meter air. Hal ini bertujuan agar dapat segera diproses penggunaan alat catat meter air pada wajib pajak tersebut sehingga dapat diterbitkan ketapan pajaknya (SKPD). Hasil pemeriksaan mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak daerah.

  4. Penagihan pajak Pada hakekatnya penagihan pajak melekat dalam instansi pemungutan pajak yang mempunyai fungsi pemeriksaan dan fungsi penagihan pajak. Dimana kegiatan penagihan pajak sebagai proses akhir dari kegiatan pemungutan dalam rangka terjaminnya penerimaan pajak oleh wajib pajak yang harus dilaksanakan dengan efektif. Berjalannya kegiatan penagihan pajak merupakan bukti kemampuan Dinas

  Pendapatan Daerah untuk memasukkan pajak ke kas daerah. Penagihan pajak melalui sistem pemungutan yang berbeda dan saling melengkapi, harus dilakukan secara efektif dengan biaya penagihan sekecil mungkin. Penyampaian surat teguran atau surat pemberitahuan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajak merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum dilakukan tindakan penagihan dengan surat paksa. Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang dikelola oleh kantor pendapatan daerah. Namun belum ada tindakan tegas yang dilakukan, wajib pajak tidak melaporkan dan memungut Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, karena wajib pajak yang telat atau tidak melaporkan dan membayar pajak air bawah tanah belum memahami pentingnya membayar Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Jadi jika ada wajib pajak yang belum membayar pajak air bawah tanah maka kita membuat surat teguran jika tidak digubris oleh wajib pajak maka petugas kita yang datang ke wajib pajak tersebut untuk menagih.seperti yang saya bilang tadi istilahnya jemput bola. Karena pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ini tidak sama dengan pajak kendaraan bermotor, kalau kendaraan bermotor jika kita adakan razia atau dapat dilihat dari platnya kan bisa di ketahui dan dapat dilihat di jalan, dapat dilihat dari STNK nya apa dia belum membayar atau belum memperpajang izin dan sebagainya. Jadi, disitu kita bisa dengan tegas di kenai

  

48 sangsinya jika melanggar ketentuan pajak. 48 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 Dalam peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002, diatur bahwa wajib pajak yang tidak membayar pajak setelah jatuh tempo pembayaran dilakukan penagihan dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (SPTPD). Kegiatan administrasi penerbitan SPTPD baru dapat dilakukan dalam hal SKPD yang tidak dibayar oleh wajib pajak selambat lambatnya 15 hari setelah berakhirnya masa pajak. Tetapi dari yang terjadi di lapangan banyak wajib pajak yang membayar pajaknya tidak setiap bulan, tetapi ada yang membayar langsung 3 bulan kedepannya. Dengan pembayaran seperti itu pelaksanaan penagihan pajak tidak optimal, karena tidak terpasangnya meteran air maka hanya memakai taksiran saja. Dengan taksiran yang diperkirakan atau yang ditentukan oleh petugas pendapatan daerah.

  Pajak Pemanfaatan air bawah tanah merupakan salah satu penerimaan pemerintah daerah Riau dari sektor pajak daerah. Penggunaan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan baru dimulai pada tahun 1998 yang sebelumnya merupakan retribusi penerimaan Pemerintah Daerah, mengartikan bahwa potensi penerimaan tersebut masih sangat besar dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan pajak di masa yang akan datang. Dengan perubahan retribusi tersebut menjadi pajak, maka peranan administrasi perpajakan, terutama koordinasi dalam pemungutan pajak air bawah tanah menjadi prioritas utama. Selain Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau, Dinas Pendapatan Daerah juga berkoordinasi dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah.

  Koordinasi yang dilakukan yaitu dalam hal data dan informasi wajib pajak pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Badan pengendalian dampak lingkungan sebagai tempat pembuatan izin usaha, Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau sebagai pemungut pajak, karena hasil dari penerimaan pajaknya untuk Daerah Kabupaten/kota. Dasarnya setiap pengambilan dan pemanfaatan pajak air bawah tanah harus dapat izin dari pemerintah, tempat air tersebut diambil. Jika pengambilan dan pemanfaatannya di kota pekanbaru maka harus mendapat izin dulu di instansi yang mengelola air bawah tanah yaitu

  49 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda).

  Pemberian izin oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai beberapa syarat yaitu, dengan mendaftarkan izin usaha pengeboran air bawah tanah dan izin pengambilan air, masa berlaku izin tersebut yaitu tiga tahun dan dapat memperpanjang kembali, apabila memenuhi persyaratan. Setelah memperoleh izin, perusahaan tersebut mempunyai kewajiban, yaitu melaporkan jumlah pemakaian air setiap bulannya, membayar retribusi izin dan pajak pengambilan air setelah mendapat izin, menyediakan dan memasang meteran air serta alat pembatas keran, memberikan sebagian air yang diambil untuk kepentingan masyarakat berdasarkan permohonan masyarakat sekitar, melakuan analisis kualitas air pada setiap sumur per tiga bulan dan melaporkan hasilnya. Apa bila salah satu kewajiban tersebut tidak terpenuhi maka tidak dapat memperpanjang izin. Dinas Pendapatan Daerah juga berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan sebagai pemantau dan pengendalian air bawah tanah yang dimanfaatkan wajib pajak tiap bulannya. Koordinasi yang 49 Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir

  Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011 yang lakukan yaitu, catatan meteran air yang terkait dengan masalah pajak, mengawasi cara pemasangan meteran air . mencatatan meteran air ini di lakuakan sekali saja, nah untuk menghitung pengenaan pajak air bawah tanahnya dari meteran air yang dicatat sebagai DPP nya. Dinas Pertambangan melakukan

  50 koordinasi setiap bulan.

  Dinas pertambangan sebagai pengawasan pengendalian air bawah tanah mempunyai tujuan untuk terkendalinya kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah, selain itu kegiatan teknis dapat terwujud dengan ketentuan teknis. Tujuannya yaitu untuk terciptanya singkronisasi pengawasan dan pengendalian pemanfaaatan air bawah tanah di Provinsi dan kabupaten/kota, tertibnya administrasi perizinan kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah. Terkendalinya kegiatan pengambilan air bawah tanah, terpenuhunya ketentuan teknis berdasarkan kaidah, norma, dan ketentuan yang berlaku terhadap pengambilan pajak air bawah tanah sesuai dengan SIP dan terlaksananya pengelolaan air bawah tanah yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan serta

  51 kebijaksanaan yang dilaksanakan.

Dokumen yang terkait

Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan Pada Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara

9 56 76

Analisa Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan Di Propinsi Riau

1 45 123

Analisa Hukum Pengenaan Pajakpengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan Dipropinsi Riau

0 45 123

Analisis Proyeksi Penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (P3AP) di UPT. Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur Jember

0 5 20

Analisis Proyeksi Penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (P3AP) di UPT. Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur Jember

2 8 6

Prosedur Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah Pada Sebuah Perusahaan Di Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Propinsi Jawa Barat

0 5 53

Prosedur Pelayanan Administrasi Pajak pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Di Dinas Pendapatan Daerah UPP XX Bandung Barat

0 4 1

BAB II PENGERTIAN DAN DEFINISI PAJAK DAN PAJAK HOTEL DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA A. DEFINISI PAJAK 1.Pengertian Pajak - Tinjauan Yuridis Hukum Administrasi Negara Terhadap Pemungutan Pajak Hotel Di Kota Rantau Prapat Berdasarkan Perda Kabu

0 0 21

BAB II PENGATURAN PEMUNGUTAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA A. Pengertian Pajak Penghasilan dan Dasar Hukumnya - Beberapa Kendala Dalam Pemungutan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara (Studi

0 0 20

BAB II STRUKTUR ORGANISASI DAN FUNGSI A. - Mekanisme Pengenaan Dan Pemungutan Pajak Hiburan Di Dinas Pendapatan Kota Medan

0 0 22