Analisa Hukum Pengenaan Pajakpengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan Dipropinsi Riau

(1)

TESIS

Oleh

RONALD ERWANSYAH

087011104/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RONALD ERWANSYAH

087011104/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : RONALD ERWANSYAH

Nomor Pokok : 087011104

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum) (Dr. Bastari, MM)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum

2. Dr. Bastari, MM

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Nama : RONALD ERWANSYAH

Nim : 087011104

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISA HUKUM PENGENAAN PAJAK

PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN DI PROPINSI RIAU

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :RONALD ERWANSYAH


(6)

sehingga cenderung membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku dalam pemanfaatan air tanah. Sebagai salah satu objek pajak daerah di Propinsi Riau, tidak lepas dari permasalahan dalam penyelenggaraan kewenangan pemungutannya setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 tahun 2009. Hal inilah yang mendorong untuk mengetahui kewenangan pemungutan pajak pengambilan aan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, dan juga kontribusi pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada Pemerintah Propinsi Riau setalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009.

Meneliti masalah tersebut diatas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori negara kesatuan oleh CF Strong, dimana negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state, ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. Penelitian dilakukan dengan memakai metode pendekatan yuridis normative yang mengutamakan untuk melihat dan mempelajari peraturan perUndang-Undangan yang memiliki hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa setelah berlakunya undang-undang Nomor 28 tarhun 2009, kewenangan Pemungutan Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Namun. Kedua jenis pajak ini masih di pungut oleh Pemerintah Provinsi Riau dengan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2002. Kontribusinya terhadap PAD masih rendah. Hal ini disebabkan masih kurang efektifnya kinerja Dispenda dalam mengelola kegiatan pemungutan, sehingga tidak tercapainya target pemungutan Pajak Air Bawah dan Air Permukaan yang ditetapkan. Kendala-kendala yqrg terjadi dalam Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air permukaan adalah sepanjang tidak ada peraturan hukum untuk melakukan pemungutan atau penarikan pajak, maka target PAD akan sulit tercapai. Serta masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang disebabkan kurangnya informasi dan sosialisasi dari aparat pelaksana pemungutan.

Dari hasil penelitian diatas dapat diberikan saran antara lain agar Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota segera mengeluarkan peraturan-peraturan yang terkait dengan Pemungutan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Walikota/Bupati, lebih giat lagi dalam menggali potensi dari Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Serta melakukan sosialisasi penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat agar tercipta suatu kesadaran hukum pada masyarakat.


(7)

The taking of underground water can be closely done that it tends to provide opportunity to the community members to violate the existing regulation of legislation in utilizing underground water. As one of the objects of local taxes in Riau province, it is not separated from the problems existing in the administration of tax collection authority after the issuance of Law No.28/2009. The purpose of this study was to find out the tax collection authority and tax contribution of the taking and utilizing underground and surface water to locally generated revenue and the constraints and attempts done to solve the problems related to the tax collection for the taking and utilizing underground and surface water in Riau province after the issuance of Law No.28/2009.

The theory used in this study was the theory of unitary state developed by CF Strong in which there are two kinds of government authorities/business – centralized and decentralized authorities. This study was also done with normative juridical approach to especially look at and study the regulation of legislation related to the problem studied in this study.

The result of this study showed that after the enactment of Law No.28/2009, the tax collection authority of surface water was determined as the provincial tax and that of underground water as city/district tax. But these two kinds of taxes are still collected by the Provincial Government of Riau based on Provincial Regulation No.16/2002. Its contribution to the originally generated revenue is still low due to the less-effective performance of Dispenda (Local Revenue Service) staff that the target set through the collection of underground and surface water taxes is not achieved. The constraints faced in collecting underground and surface water taxes are that if there is no legal regulation of tax collection, the target of originally generated revenue will be hard to achieve and the knowledge and understanding of community members about underground and surface water taxes are still low due to less information and socialization performed by the tax collectors.

It is suggested that the District/City government should immediately issue the regulations related to the collection of underground and surface water taxes as well as their regulations of implementation such as the City Mayor/Head of District Regulations and the government should be more active in digging the underground and surface water tax potentials and socialize the extensions to the community members that they can be aware of law.


(8)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta kesehatan lahir batin kepada penulis sehingga dapat menjalani dan menyelesaikan studi di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan inilah, penulis membuat suatu karya ilmiah yang berjudul “Analisis Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau”Juga tidak lupa Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Rasulullah SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa'atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan penghargaan dan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Ucapan terimakasih ini penulis tujukan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., atas kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(9)

MM, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide dan motivasi yang terbaik serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;

5. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., dan Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, MHum selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan kepada penulis;

7. Kedua orangtua, ayahku H. Edy Masdar, atas perhatian dan jerih payahnya selama ini dan ibundaku tersayang, Hj. Dermawan Harahap, yang telah membesarkan, merawat serta tiada hentinya selalu mencurahkan kasih sayang, nasehat, motivasi dan perhatiannya kepadaku, sehingga dapat menyelesaikan semua studiku dengan baik, dan kepada mertuaku H. Azhan Miraza dan Hj. Asforiayang ikut serta dalam mendukung dalam menyelesaikan perkuliahan ini. 8. Istriku yang tercinta dr. Selly Oktaria Miraza beserta buah hatiku tercinta

Shaffya Muazhara yang selalu mendukung dan memberi motivasi dalam menyelesaikan studiku dengan baik dan buat adikku M. Arif, SE beserta istri adikkuMira Sabrina Miraza, SH, Kakakku Azflora Miraza, kakakkuHj. Fitry Enny, SH, Sp.N, beserta suami, abangkuH. Ir. Adi Muchsinbeserta istriHj. dr. Amira Permata Sari Tarigan, Sp.P, abangku H. Lolly Andriawan, SEbeserta istri Lestarina Pintoro, S.Sos, kepada Uwakku H. Hafzan Kasim SH beserta IstriHj. Muhaida Hrp,Dra. Sumbangsih Hrpbeserta Suami.


(10)

Rio, Mighdad, Jumala dan Dermawan, semoga setelah selesainya studi ini persahabatan kita bisa tetap terjalin meskipun kita tidak bersama-sama lagi. 10. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, Bu Fat, Winda, Sari, Lisa, Afni, Bang Aldi, Ken, Rizal dan Hendri.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segaa kritik dan saran yang bersifat membangun diterima dengan tangan terbuka demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga tesis ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya.

Medan, Juni 2012 Penulis


(11)

I. DATA PRIBADI

Nama Lengkap : RONALD ERWANSYAH Tempa/Tanggal Lahir : Pekan Baru/20 Desember 1980 Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jln. Bunga Melur No. 123 Medan

II. KELUARGA

Nama Ayah : H. EDDY MASDAR

Nama Ibu : HJ. DERMAWAN

Nama Istri : Dr. SELLY OKTARIA MIRAZA

Nama Anak : SHAFFIYA MUAZHARA

III. PENDIDIKAN

SD : Tahun 1987 s/d 1993 SD Negeri 004 Dumai SMP : Tahun 1993 s/d 1996 SMPN 1 Dumai SMA : Tahun 1996 s/d 1999 SMUN 2 Dumai Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 1999/2004

Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008/2012 Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan


(12)

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Tiori dan Konsepsi... 8

1. Kerangka Teori ... 8

2. Konsepsi... 16

G. Metode Penelitian... 17

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 17

2. Teknik Pengumpulan Data... 18

3. Bahan Data ... 18

4. Alat Pengumpulan Data ... 19

5. Analisis Data ... 20

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009... 21

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah ... 21

B. Pelaksanaan Pemungutan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Permukaan Dan Air Bawah Tanah ... 37


(13)

PERMUKAAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI

DAERAH PROVINSI RIAU... 62

A. Sistem Pemungutan Pajak Daerah di Propinsi Riau ... 62

B. Jumlah Pajak Daerah Sebagai Acuan PAD Pemerintah Propinsi Riau... 70

C. Kontribusi Pajak Air Permukaaan dan Pajak Air bawah Tanah Terhadap PAD Propinsi Riau... 82

BAB IV KENDALA DAN UPAYA MENGATASI KENDALA DALAM PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN PAJAK AIR PERMUKAAN DAN AIR BAWAH TANAH DI PROPINSI RIAU... 91

A. Kendala-Kendala Yang ada Dalam Pengambilan Dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau... 91

B. Upaya Mengatasi Kendala Dalam Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Provinsi Riau... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran... 103


(14)

sehingga cenderung membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku dalam pemanfaatan air tanah. Sebagai salah satu objek pajak daerah di Propinsi Riau, tidak lepas dari permasalahan dalam penyelenggaraan kewenangan pemungutannya setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 tahun 2009. Hal inilah yang mendorong untuk mengetahui kewenangan pemungutan pajak pengambilan aan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, dan juga kontribusi pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada Pemerintah Propinsi Riau setalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009.

Meneliti masalah tersebut diatas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori negara kesatuan oleh CF Strong, dimana negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state, ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. Penelitian dilakukan dengan memakai metode pendekatan yuridis normative yang mengutamakan untuk melihat dan mempelajari peraturan perUndang-Undangan yang memiliki hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa setelah berlakunya undang-undang Nomor 28 tarhun 2009, kewenangan Pemungutan Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Namun. Kedua jenis pajak ini masih di pungut oleh Pemerintah Provinsi Riau dengan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2002. Kontribusinya terhadap PAD masih rendah. Hal ini disebabkan masih kurang efektifnya kinerja Dispenda dalam mengelola kegiatan pemungutan, sehingga tidak tercapainya target pemungutan Pajak Air Bawah dan Air Permukaan yang ditetapkan. Kendala-kendala yqrg terjadi dalam Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air permukaan adalah sepanjang tidak ada peraturan hukum untuk melakukan pemungutan atau penarikan pajak, maka target PAD akan sulit tercapai. Serta masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang disebabkan kurangnya informasi dan sosialisasi dari aparat pelaksana pemungutan.

Dari hasil penelitian diatas dapat diberikan saran antara lain agar Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota segera mengeluarkan peraturan-peraturan yang terkait dengan Pemungutan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Walikota/Bupati, lebih giat lagi dalam menggali potensi dari Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Serta melakukan sosialisasi penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat agar tercipta suatu kesadaran hukum pada masyarakat.


(15)

The taking of underground water can be closely done that it tends to provide opportunity to the community members to violate the existing regulation of legislation in utilizing underground water. As one of the objects of local taxes in Riau province, it is not separated from the problems existing in the administration of tax collection authority after the issuance of Law No.28/2009. The purpose of this study was to find out the tax collection authority and tax contribution of the taking and utilizing underground and surface water to locally generated revenue and the constraints and attempts done to solve the problems related to the tax collection for the taking and utilizing underground and surface water in Riau province after the issuance of Law No.28/2009.

The theory used in this study was the theory of unitary state developed by CF Strong in which there are two kinds of government authorities/business – centralized and decentralized authorities. This study was also done with normative juridical approach to especially look at and study the regulation of legislation related to the problem studied in this study.

The result of this study showed that after the enactment of Law No.28/2009, the tax collection authority of surface water was determined as the provincial tax and that of underground water as city/district tax. But these two kinds of taxes are still collected by the Provincial Government of Riau based on Provincial Regulation No.16/2002. Its contribution to the originally generated revenue is still low due to the less-effective performance of Dispenda (Local Revenue Service) staff that the target set through the collection of underground and surface water taxes is not achieved. The constraints faced in collecting underground and surface water taxes are that if there is no legal regulation of tax collection, the target of originally generated revenue will be hard to achieve and the knowledge and understanding of community members about underground and surface water taxes are still low due to less information and socialization performed by the tax collectors.

It is suggested that the District/City government should immediately issue the regulations related to the collection of underground and surface water taxes as well as their regulations of implementation such as the City Mayor/Head of District Regulations and the government should be more active in digging the underground and surface water tax potentials and socialize the extensions to the community members that they can be aware of law.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, maka pemerintah perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak, kemudian hasil dari pemungutan pajak akan digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan dan kesejahteraan bersama.1

Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada negara. Dari pajak ini, nantinya akan digunakan negara untuk membiayai kegiatan pemerintahan, dan dengan pajak ini pula, pemerintah menggunakannya sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan negara dalam bidang ekonomi dan sosial.

Pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah, sedangkan Pajak Daerah terbagi dalam Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah

1

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas,Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba Empat, Cet. II, 2000, hal.2


(17)

yang berlaku di Indonesia memberikan perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintahan, ditandai melalui suatu proses penyerahan sejumlah kekuasaan dan kewenangan, baik secara rinci maupun secara umum, dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk selanjutnya dijalankan oleh Pemerintah Daerah secara mandiri.

Dalam era otonomi sekarang ini daerah memang mempunyai kewenangan penuh untuk memanfaatkan dana yang dimilikinya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah, sejauh tetap sejalan dengan Undang-Undang yang berlaku.

Sumber dana yang diharapkan mampu menunjang daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mandiri adalah PAD. Dalam rangka untuk menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam bentuk kewenangan fiskal maka daerah harus mengenali kapasitas fiskalnya atau sumber-sumber yang dimiliki serta mampunyai kemampuan untuk menyerap penghasilan daerah baik dalam bentuk pajak maupun dalam bentuk lainnya dari sumber yang ada.2 Salah satu sumber pemasukan bagi kas daerah adalah berasal dari pajak daerah, yang merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaran otonomi daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, menyebutkan bahwa pengertian dari Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung

2

Wahyu Tumaka, Upaya Daerah Meningkatkan Pajak, Retribusi dan Dampaknya, (Volume II/Nomor 03 Tahun 2005), dalam Majalah Indonesia Tax Review, hal 29


(18)

yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.

Salah satu pajak yang tergolong baru, yang ikut menyumbang cukup lumayan kepada PAD adalah Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan (P3ABTAP) yang dipungut oleh pemerintah propinsi Riau.

Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan pajak yang sangat prospektif di masa mendatang. Sumber air bersih yang tersedia di alam di antaranya adalah air tanah, dimana ketergantungan pasokan lain seperti air permukaan memerlukan biaya pengolahan yang mahal sedangkan untuk memperoleh air dari sumber air tanah yang operasionalnya relatif murah. Selain itu pengambilan air tanah dapat dilakukan secara tertutup sehingga cenderung membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku dalam pemanfaatan air tanah.

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan pada hakikatnya dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan konservasi air bawah tanah dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengambilan oleh orang pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan rumah tangga dan pertanian rakyat. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan adalah instrumen ekonomik yang relatif masih baru, yang pada awalnya berupa pungutan (charge) pencemaran air. Instrumen ekonomik ini tidak berbeda dengan pajak karena pajak pada hakikatnya adalah pungutan. Konsep instrumen ekonomik bersumber dari


(19)

kajian ilmu ekonomi yang berpangkal tolak pada pemikiran bahwa eksploitasi air bawah tanah secara berlebihan seyogyanya dapat dihindari, di antaranya dengan menetapkan beban pungutan terhadap pemanfaatan dan pengambilan air. Instrumen ini kemudian dituangkan dalam bentuk norma atau kaidah hukum, sehingga substansinya berubah menjadi hukum pajak.3

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan telah ditetapkan untuk menjadi Pajak Daerah berdasarkan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah yang membagi jenis-jenis Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.

Propinsi Riau yang beribukota di Pekanbaru sudah berkembang dengan jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, memberikan peranan yang sangat besar bagi perkembangan industri-industri dan perusahaan. Perkembangan ini menuntut adanya usaha yang proaktif dari Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Riau dalam mengelola, memonitor, dan mengevaluasi sistem pemungutan Pajak Air Bawah Tanah. Untuk itu diperlukan sistem pemungutan pajak yang transparan dan efisien, agar memudahkan fiskus untuk melakukancheck and balance.

Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai salah satu objek pajak daerah di Propinsi Riau, tidak lepas dari permasalahan dalam penyelenggaraannya. Permasalahan tersebut baik di kalangan instansi yang memiliki 3Dyah Ayu Widowati dan Irine Handika Ikasari, Peranan pajak Pemanfaatan dan Pengambilan

Air Bawah tanah Terhadap Konservasi Air Tanah, Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 – 429


(20)

kewenangan sesuai dengan tugas dan fungsinya maupun di kalangan masyarakat sebagai pihak yang memiliki hak dan kewajiban dalam pembayaran Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, sehingga tidak jarang timbul ketidaktahuan di antara masing-masing instansi dan masyarakat serta muncul sikap pro dan kontra masyarakat terhadap pelaksanaannya. Oleh karena itu perlu ada aturan atau ketentuan yang jelas yang mengatur hubungan kerja antara instansi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Demikian pula terhadap masyarakat perlu diberikan penjelasan tentang hak dan kewajiban melalui pemahaman terhadap ketentuan yang mengatur pajak daerah khususnya pajak air bawah tanah, sehingga pada akhirnya Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan akan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PAD.

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan pencerminan dari implementasi suatu kebijaksanaan publik yang mengakibatkan timbulnya konflik antar berbagai kepentingan masyarakat yang sangat kompleks dan harus ditangani secara bijaksana agar supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama yang menyangkut kepentingan industri dan masyarakat. Pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan bijaksana, karena menyakut tanggung jawab banyak instansi pusat dan daerah maka penyelenggaraannya harus dikoordinasikan.

Dalam pengelolaan sumber daya Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, kebijaksanaan pemerintah pusat lebih menekankan bahwa sumber air bawah tanah


(21)

merupakan kekayaan alam yang harus dilestarikan guna kepentingan seluruh masyarakat. Sedangkan pemerintah daerah lebih menekankan kepada kekayaan daerah yang perlu digali guna meningkatkan pendapatan asli daerah.

Pemberlakuan pajak daerah sebagai sumber penerimaan atau pendapatan daerah pada dasarnya tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah sebagai pihak yang menetapkan dan memungut pajak tetapi juga berkaitan dengan masyarakat pada umumnya karena air bawah tanah dan air permukaan merupakan air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada sisi lain justru air bawah tanah dan air permukaan tersebut dikenakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan proses pemungutan pajak daerah akan memberikan beban kepada masyarakat. Oleh karena itu masyarakat perlu memahami ketentuan pajak daerah secara jelas sehingga mau memenuhi kewajibannya dengan penuh rasa tanggung jawab termasuk pembayaran terhadap Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunlah tesis ini dengan bertitik tolak pembahasan kepada kewenangan dan kontribusi Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Di Propinsi Riau

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti adalah :


(22)

1. Bagaimana kewenangan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan setelah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Provinsi Riau?

2. Bagaimana kontribusi pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau?

3. Bagaimana kendala dan upaya mengatasi kendala yang ada terkait dengan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada Pemerintah Propinsi Riau?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui wewenang pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Provinsi Riau.

2. Untuk mengetahui sejauh mana kontribusi pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Riau.

3. Untuk mengetahui apa yang menjadi kendala dan bagaimana upayanya dalam mengatasi kendala yang ada terkait dengan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada Pemerintah Propinsi Riau.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara Teoritis


(23)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum pajak pada khususnya, terutama mengenai pengenaan pajak air bawah tanah dan air permukaan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat, khususnya para wajib pajak mengenai perpajakan khususnya dalam pengenaan pajak air bawah tanah dan air permukaan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), menunjukkan bahwa tesis dengan judul “Analisis Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Di Propinsi Riau” belum ada yang membahasnya sehingga tesis ini dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan yang diuraikan di atas sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.4

4M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Cetakan I, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal.


(24)

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.5Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.6

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.7Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.8

Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.9

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.10

Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dikemukakan

5Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986, hal. 6

6J.J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, Jakarta : UI Press, 1996 , Hal. 203 7Ibid, hal.122

8

Made Wiratha,Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: Andi,2006, hal. 6. 9Bintoro Tjokroamidjojo,Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1988, hal. 12

10


(25)

pemikiran dari CF Strong mengenai Negara kesatuan. Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.11 Sementara itu menurut Apeldoorn, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak mandiri.12

Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan.

Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam praktik administrasi publik.13Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada batasan mengenai konsep desentralisasi yaitu terdapat proses penyerahan (transfer) kekuasaan dari pemerintah pusat (the national capital) dengan dua variasi yaitu (1) melalui dekonsentrasi (delegasi) kepada pejabat instansi

11C.F. Strong,Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan

Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87.

12Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka

Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.


(26)

vertikal di daerah atau (2) melalui devolusi (pengalihan tanggung jawab) kekuasaan pada pemeritahan yang memiliki otoritas pada daerah tertentu atau lembaga-lembaga otonom di daerah.

Hakekat otonomi daerah adalah adanya kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan. Dalam konteks otonomi daerah, desentralisasi dimaksudkan agar daerah lebih mampu mengembangkan inisiatif dan kreativitas daerah dan sumberdayanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Dalam penjelasan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilia dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersedianya pembiayaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan restribusi daerah dan hak untuk mendapatkan hasil bagi sumber-sumber daya nasional


(27)

yang berada didaerah, hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.14

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menurut Abdul Halim15 menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah dapat diwujudkan dengan meletakan dasar-dasar pembiayaan daerah di atas kekuatan sendiri. Keuangan daerah merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri. Kemandirian tersebut dapat dicapai antara lain dengan mengurangi ketergantungan keuangan pada pemerintah pusat.

Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma hukum. Pajak ditetapkan oleh pemerintah, dapat dipaksakan tapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung. Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pajak negara dan pajak daerah. Pajak negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan negara atau pemerintah pusat. Termasuk dalam pajak negara ini adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang

14Soepomo Prodjoharjono, http://pomphy.blogspot.com/2008/11/konsep-keuangan-daerah.html,

dikases tanggal 18 Februari 2011

15Abdul Halim,Bunga Rampai : Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Yogyakarta :


(28)

Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga daerah.

Undang-Undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala bidang. Untuk itu agar dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan ekonomi yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut, bahkan pajak dalam suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan. 16Adapun definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro : pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.17 Sehingga hukum pajak merupakan suatu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna mencukupi pengeluaran dalam anggaran belanja negara.

16Boediono. Ekonomi Makro, Yogyakarta, BPFE,Cetakan ke-20, 2001, hal.110 17Mardiasmo,Perpajakan, Yogyakarta: ANDI, Edisi Revisi XII, 2004, hal.1


(29)

Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Mansury, terdapat empat asas dalam perpajakan yang dikenal denganAdam Smith’s four cannons of taxation, yaitu sebagai berikut :18

1. Keadilan (equity), yang berarti bahwa pajak yang dikenakan kepada orang-orang pribadi harus adil dan merata, sesuai dengan kemampuannya untuk membayar dan besarnya manfaat yang diterima. Maknanya, distribusi beban pajak harus adil, dimana setiap wajib pajak harus membayar sesuai dengan bebannya yang wajar. Pemerintah lewat kebijaksanaan fiskal dapat mempengaruhi pilihan-pilihan mengenai distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar dapat tercapai (equitable distribution of income and wealth).

2. Kepastian (certainty), bahwa pajak harus mengandung kepastian hukum, dan tidak ditentukan secara sewenang-wenang.

3. Tepat waktu dan memudahkan (convenience), dimana penagihan dilakukan tepat waktu sehingga tidak memberatkan wajib pajak dan bila perlu diperbolehkan membayar secara cicilan.

4. Ekonomis dan efisien (economy and efficient), dimana biaya pemungutan oleh petugas pajak serta biaya untuk memenuhi kewajiban bagi wajib pajak hendaknya sekecil mungkin. Kemudahan administrasi perpajakan. Struktur pajak yang efisien berkaitan dengan apa yang disebut biaya administrasi pajak


(30)

(administration cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost). Semakin kecil biaya administrasi pajak dan biaya kepatuhan, semakin efisien struktur pajak. Air merupakan sumber kehidupan. Semua makhluk membutuhkan air. Untuk kepentingan manusia, makhluk hidup dan kepentingan lainnya, ketersediaan air dari segi kualitas maupun kuantitas mutlak diperlukan.

Air bawah tanah merupakan barang milik bersama (common goods). Manfaat dari barang tersebut tidak hanya dirasakan oleh 1(satu) individu saja, melainkan oleh seluruh anggota masyarakat, dan setiap orang akan mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan (over use) jika tidak ada yang mengatur atau membatasinya, sehingga dalam jangka panjang cadangan air bawah tanah atau potensi air bawah tanah tidak dapat seluruhnya dipulihkan dengan serapan air hujan. Ini disebabkan karena air hujan yang tidak dapat terserap semua oleh permukaaan tanah, akibat tertutup oleh bangunan dan gedung-gedung.

Air bawah tanah masuk dalam kategori kekayaan bersama (common property). Peranan pemerintah dalam hal ini adalah mengendalikan penggunaan barang bersama tersebut agar tercapai kepuasan bersama yang optimal (pareto optimal) dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang/badan yang mengambil air bawah tanah atau air permukaan.


(31)

Pajak PPABT dipungut di wilayah tempat air berada. Pungutan pajak PPABT bertujuan selain untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga untuk mengendalikan pengambilan air bawah tanah.

Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tidak semata-mata dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah, akan tetapi lebih diutamakan lagi untuk kepentingan pengendalian lingkungan dan mempertahankan ekosistem akibat pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Pajak PPABT adalah pajak langsung ditinjau dari segi administratif yaitu pajak yang dikenakan atas Surat Ketetapan Pajak (Kohir) dan Pengenaannya dilakukan secara berkala (periodik).

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,19 yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan kepada proses penelitian ini. Oleh


(32)

karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

a. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah dan Air permukaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang/badan yang mengambil air bawah tanah atau air permukaan.

b. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di tas permukaan tanah.

c. Air permukaan adalah air yang berada dipermukaan bumi, tidak termasuk air laut, misalnya air sungai, air danau.

d. Pajak Daerah merupakan pajak yang dikelolah oleh pemerintah daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota yang berguna untuk menunjang pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam APBD.

e. Kontribusi adalah sumbangan yang diberikan pajak daerah terhadap peningkatan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk


(33)

menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.20

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perUndang-Undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Bahan Data

(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. norma atau kaidah dasar.

b. peraturan perUndang-Undangan yang terkait dengan perpajakan khususnya mengenai Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.


(34)

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Alat Pengumpul Data

(1). Study Dokumen

Dokumen adalah data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data tentang pajak, khususnya mengenai Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk menguji, menafsirkan, dan meramalkan.

(2). Pedoman Wawancara (Interview Guide)

Untuk mendukung data sekunder maka diperlukan wawancara terhadap informan.

Informan dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pendapatan Daerah dan atau yang mewakili dari Kantor Pendapatan Daerah di Propinsi Riau.

Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam penelitian. Sehingga ketika dilakukan wawancara


(35)

bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada para informan tersebut.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini. Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya evaluasi data secara kualitatif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan di olah, kemudian di analisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.


(36)

BAB II

KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah

Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, kemakmuran rakyat dan sebagainya.21 Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang diantaranya berbunyi:22

”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen keempat yang berbunyi:

”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara

21

Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet. 2, (Bandung: Eresco, 1992), hal. 1-2 22


(37)

diatur dengan undang-undang.”

Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.23

Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut sebagai perampokan.24

Peraturan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UUD 1945.

Hierarki norma hukum, menurut penjelasan Kelsen, berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Dengan menggariskan bahwa pajak diatur dengan UU, UUD 1945 hendak memastikan pemungutan pajak dikendalikan juga oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut, setelah perumusan peraturan pajak disetujui oleh perwakilan rakyat, maka dapat dianggap bahwa tidak ada lagi pemungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup nasional. Maka pemungutan uang kepada rakyat di luar yang diatur dalam UU dapat 23 Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Edisi Pertama, (Jakarta: Salemba

Empat, 2001), hal. 5.


(38)

digolongkan sebagai perampokan sebagaimana pepatah yang sudah lazim kita dengar:

tax without law is robbery.25

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah

25http://bukabukaanpajak.wordpress.com/2010/02/17/tentang-pasal-23-a-uud-1945/akses


(39)

sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu:26

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok.

Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan 11 (sebelas) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu :27

1. Pajak Hotel; 2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan; 4. Pajak Reklame;

5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7. Pajak Parkir;

8. Pajak Air Tanah;

9. Pajak Sarang Burung Walet;

26Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 27Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


(40)

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya”.

Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak.

Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif.


(41)

Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya seperti Indonesia ini. Di samping memudahkan koordinasi dalam permerintahan, sistem desentralisasi lebih demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.28

Pembagian kewenangan/ fungsi (Power Sharing) antara pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan menjadi semakin jelas dengan diberikannya porsi peranan daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan pusat.

Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam 28Departemen Keuangan (Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah), Di

dalam Buku Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, Edisi Kedua, 2007, Hal 1


(42)

melaksanakan urusan-urusan di daerah.29 Disamping itu peraturan daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono, peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain.30

Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya.

29Mahendra Putra Kurnia, dkk,Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total

Media, Yogyakarta, 2007, hal. 55

30Muhammad Ikhwan, Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia)

http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam_10.html akses tanggal 17 Februari 2011


(43)

Oleh sebab itu, diharapkan peran dan perhatian pemerintah dalam pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang pungutan pajak, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dan menjadikan pajak sebagai hal yang menakutkan. Pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah suatu perbuatan menentukan peraturan/norma hukum yang mengikat umum, karenanya harus dilakukan dengan cermat, hati-hati dan mempertimbangkan berbagai segi secara komprehensif. Pemungutan pajak akan berjalan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan setidaknya 4 (empat) syarat agar tercapai keadilan dan kepastian hukum. Syarat-syarat tersebut adalah Syarat-syarat yuridis, Syarat-syarat ekonomis, Syarat-syarat finansial dan Syarat-syarat sosiologis.31

Hak terhadap air merupakan asasi setiap manusia. Undang-Undang dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menjamin hak dasar tersebut, Pasal 33 ayat (2) berbunyi “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini berarti negara harus dapat menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Itulah sebabnya negara harus dapat membatasi/mengendalikan pemakaian air bawah tanah tersebut agar kebutuhan setiap individu akan air selalu dapat dipenuhi. Untuk dapat mengendalikannya pemerintah daerah mengenakan pajak atas pengambilan air bawah tanah tersebut.

31Muqodim, Perpajakan, Buku Satu, Edisi ke 2 (Revisi), UII Press dan EKONISIA,


(44)

Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) disebutkan bahwa “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:32

a. Nama, objek, dan Subjek Pajak;

b. Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. Wilayah pemungutan;

d. Masa Pajak; e. Penetapan;

f. Tata cara pembayaran dan penagihan; g. Kedaluwarsa;

h. Sanksi administratif; dan i. Tanggal mulai berlakunya.

Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:33 a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu

atas pokok pajak dan/atau sanksinya;

b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

32Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 33Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


(45)

Salah satu jenis pajak provinsi dalam undang-undang tersebut adalah Pajak Air Permukaan. Dengan demikian, maka kewenangan untuk memungut pajak air permukaan dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi. Namun demikian, undang-undang pajak daerah masih memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang dapat diatur dalam peraturan daerah sehubungan dengan Pajak Air Permukaan. Dalam pasal 21 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, undang-undang mengecualikan objek pajak air pemukaan, ”pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.” Pemerintah daerah juga diberi kewenangan lanjutan dalam butir b. ayat tersebut untuk menambahkan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dalam Peraturan Daerah. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah adalah untuk menetapkan Nilai Perolehan Air Permukaan. Nilai Perolehan Air Permukaan adalah dasar pengenaan Pajak Air Permukaan. Hal itu diatur dalam pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur sesuai pasal 23 ayat 4 Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kewenangan terakhir yang cukup penting yang diberikan oleh undang-undang mengenai pajak air permukaan adalah mengenai pengaturan tarif. Dalam Pasal 24 ayat (2) UU PDRD dinyatakan bahwa Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun demikian dalam ayat (1) pasal tersebut dibatasi bahwa


(46)

Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi yang ditetapkan pemerintahan daerah adalah sebesar 10% (sepuluh persen).34

Sebagai landasan hukum pemungutan pemanfaatan dan pengambilan air bawah tanah di satu sisi, peranan tersebut memudahkan daerah untuk melaksanakan pemungutannya karena tidak diperlukan lagi mencari bentuk untuk menyusun peraturan pelaksanaanya. Daerah mempunyai wewenang yang cukup besar dalam pengaturan pajak air bawah tanah. Apabila ketidakadilan sebagai akibat dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam produk-produk sebelumnya, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi atau perbaikan-perbaikan. Pajak air bawah tanah memerlukan pengaturan yang lebih luwes, menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pergerakan menuju penyesuaiaan antara fiskus dan wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat merasa ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan petugas-petugas pajak.

Bahwasanya Peraturan Daerah tentang pajak provinsi dan pajak daerah merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Propinsi atau Daerah masing-masing, oleh sebab itu nominal atau nilainya antar propinsi dan Daerah tidak sama.

Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Dalam artian bahwa saat ini pihak Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten masih menggunakan

34 Derry Patra Dewa, http://derrypatra.wordpress.com/tag/environment/akses tanggal 17


(47)

Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Hal ini disebabkan belum dikeluarkannnya Peraturan Daerah mengenai pemungutan Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Belum dikeluarkannya Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak pemerintah kabupaten/kota.35 Menjabarkan amanat UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah harus segera melakukan revisi perda-perda yang tidak sejalan dengan UU tersebut.

Untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna Pemungutan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Propinsi Riau yang diatur dengan Undang-Undang yang kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah selanjutnya melalui Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang Dasar Hukum pemungutan pengambilan dan pemanfaatannya adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan, serta keputusan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Keputusan Gubernur Riau No. 3

35Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi


(48)

Tahun 2003 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Air Permukaan. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Permukaan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, disebutkan beberapa pengertian sehubungan dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai berikut :

1. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.

2. Air permukaan adalah air yang berada di atas Permukaan Bumi, tidak termasuk air laut.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau. Objek Pajak dan Wajib Pajak dalam Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau


(49)

memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan.36

2. Objek Pajak adalah :37

a. Pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan b. Pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan

c.. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah, dengan ketentuan sebagai berikut :38

1. Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air.

2. Nilai Perolehan Air dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung menurut sebahagian atau seluruh Faktor-faktor:

a. Jenis Sumber Air

b. Tujuan Pengambilan Air c. Volume air yang diambil d. Kualitas Air

e. Luas areal tempat pengambilan air f. Musim pengambilan air

36Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak

Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

37Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak

Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

38 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak


(50)

g. Tingkat kerusakan lingkungan

Dikecualikan dari Objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :39

a. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

b. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemenfaatan air permukaan oleh BUMN dan BUMD yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air

c. Pengambilan atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat.

d. Pengambilan dan pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dari dan atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga dan ibadah.

Meskipun pemerintah daerah diberikan kewenangan yang begitu luas, tetapi untuk menghindari hal-hal yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka di dalam Undang-Undang tetap diatur mengenai pengawasan yang diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah sebenarnya telah melakukan antisipasi

39Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak


(51)

(dalam bentuk pengawasan) agar daerah tidak terlalu kreatif dalam memungut pajak sehingga otonomi daerah tidak malah menjadi momok bagi rakyat. Pengawasan tersebut berupa kewajiban pemerintah daerah untuk menyampaikan Peraturan Daerah kepada pemerintah pusat yang berwenang pula untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah yang tidak sesuai dengan Undang-undang.

Sehubungan dengan adanya peraturan kebijakan di bidang perpajakan daerah, tentu diperlukan upaya yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerah sesuai dengan kategori jenisnya guna menghindari adanya tumpang tindih yang berakibat dapat dibatalkannya perda tentang pajak daerah.

Seyogyanya, Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini.40

Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk pemungutan Pajak Air Bawah Tanah masih dimungkinkan dengan Perda tersebut. Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28 Tahun 2009 Tentang pajak dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku 40Lihat Pasal 180 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


(52)

untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.41

Pada pasal 185 UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan bahwa UU tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, oleh sebab itu untuk berlakunya Perda pajak provinsi dan pajak daerah masih mengikuti kebijakan yang lama dan akan disesuaikan dlm jangka 2 tahun setelah UU ini diberlakukan dengan kata lain Peraturan Daerah yang baru tentang Pajak Provinsi dan Pajak Daerah akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012.

Saat ini, masih banyak perda pajak dan retribusi yang dimiliki harus segera direvisi, karena tidak sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 2009. Waktu yang tersisa untuk merevisi perda yang ada sudah sangat sedikit, sehingga harus dilakukan dengan segera. Selanjutnya dalam UU tersebut sudah jelas diatur tentang proses revisi perda yang ada di masing-masing pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam pasal 180 ayat 1 dan 2 UU No. 28 Tahun 2009 menyebutkan, setelah dua tahun diberlakukannya UU ini, peraturan yang ada di bawahnya harus disesuaikan. Ini artinya, pada Januari 2012 seluruh perda pajak dan retribusi sudah harus direvisi.42

B. Pelaksanaan Pemungutan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Permukaan Dan Air Bawah Tanah.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan,

41Lihat Pasal 180 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 42Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi


(53)

yang berwenang melakukan pemungutan pajak ini adalah Dinas Pendapatan Daerah. Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan tidak dapat diborongkan. Artinya, seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Walaupun demikian, dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada wajib pajak, atau menghimpun data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.43

Secara sederhana tata laksana Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Riau dapat digambarkan dalam alur sebagai berikut :

1. Pendataan dan Penatausahaan

Orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah wajib mendaftarkan terlebih dulu. Izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan Propinsi Riau setelah dilengkapinya syarat1syarat yang ditentukan. Setelah izin pengambilan dan pemanfaatan diterbitkan maka wajib pajak wajib mendaftarkan kepada Dispenda Riau untuk diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Pengambilan dan Pengambilan Air Bawah Tanah. Dalam pelaksanaannya data wajib pajak disampaikan oleh Badan

43Marihot P. Siahaan,Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,


(54)

Pengendalian Dampak Lingkungan yang memberikan izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah.

Dengan demikian pendataan wajib pajak dilakukan dengan koordinasi antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota/Kabupaten dengan Dispenda Propinsi Riau.

2. Penetapan dan Penagihan

Penetapan dan Penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Provinsi Riau terdiri dari beberapa kegiatan yang berkoordinasi dengan Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Riau. Kegiatan penetapan hingga penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah terdiri dari:

a. Kegiatan Pencatatan Meteran Air

Dinas Pertambangan menyampaikan data pelanggan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah kepada Dinas Pendapatan Daerah. Data tersebut kemudian dibukukan dan digunakan sebagai dasar dalam mencatat meteran air. b. Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)

Daftar rekapitulasi yang diterima dari Dipenda, dijadikan dasar untuk membuat/mencetak SKPD rangkap 5 yang terdiri dari lembar ke11 untuk wajib pajak, lembar ke12 untuk BKP yang Bersangkutan, lembar ke13 untuk Dinas Pendapatan Daerah Riau, lembar ke14 untuk kantor/pos pelayanan Dispenda yang bersangkutan, lembar ke15 untuk arsip. Perhitungan pajak dalam SKPD harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku,


(55)

SKPD dalam 5 rangkap rekapitulasinya diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 25 setiap bulannya.

c. Kegiatan Pencocokan Meneliti SKPD

SKPD yang diterima oleh Dinas Pendapatan Daerah diteliti dan dicocokan dengan daftar rekapitulasi. Dalam hal ini terjadi ketidakcocokan maka SKPD dikembalikan kepada wajib pajak.Sedangkan untuk SKPD yang telah sesuai dengan daftar rekapitulasi diproses pengesahannya sebagai SKPD.

d. Perbaikan Penerbitan SKPD

Wajib Pajak menerima koreksi SKPD dan Daftar rekapitulasinya paling lambat tanggal 25 tiap bulannya. Berdasarkan data koreksi tersebut dan disampaikan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 29 setiap bulannya.

e. Penyampaian SKPD

SKPD diterima Dinas Pendapatan dari Wajib Pajak paling lambat tanggal 29 setiap bulannya. SKPD rangkap 5 ini kemudian disampaikan Dinas Pendapatan daerah kepada Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur paling lambat akhir bulan berikutnya.

f. Pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

Setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya Bank yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur atas tempat izin yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur melayani dan menerima pembayaran pajaknya. Atas SKPD yang tidak/belum dibayar, dikembalikan kepada Dinas


(56)

Pendapatan Daerah. Pembayaran yang terlambat atau yang dilakukan setelah tanggal 15 setiap bulannya serta yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) dilakukan di KPKD.

g. Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)

Pada tanggal 16 setiap bulannya, Dinas Pendapatan Daerah menerima SKPKD rangkap 5 yang tidak/belum dilunasi dari Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur.

Pelaksanaan pemungutan Pajak Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan yang diimplementasikan melalui Keputusan Gubernur Propinsi Riau Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petujuk Pelaksanaan Peraturan daerah Nomor 16 tahun 2002 Tentang Pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan. Untuk mewujudkan peraturan tersebut diperlukan adanya administrasi pemungutannya, yang mana administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan kebijakan perpajakan. Administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi instrument yang bekerja secara efisien dan efektif, sebab sebaik apapun kebijakan perpajakan dan Undang-Undang perpajakan jika kegiatan administrasi tidak dilakukan secara efisien dan efektif, maka sasaran yang hendak dicapai menjadi gagal. Secara umum pelaksanaan pemungutan Pajak pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam implementasi


(57)

pemungutannya, Dinas Pendapatan Daerah berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan dan Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi.

Dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, setiap aparatur pemerintah bertugas melaksanakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang masing-masing. Dengan demikian tujuan dan sasaran yang harus dicapai oleh Pemerintah selalu menyangkut kegiatan-kegiatan atau tugas lebih dari satu aparatur pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, kegiatan aparatur Pemerintah perlu satukan dan diselaraskan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih dan kesimpang siuran dalam pelaksanaanya. Dengan demikian koordinasi anatar kegiatan aparatur pemerintah harus dilakukan.

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah dari berbagai institusi yang bersinergi dan didukung oleh sumber daya manusia sebagai suatu kesatuan sosial, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu, sehingga setiap organisasi memiliki fungsi yang jelas sebagai suatu kesatuan yang mempunyai tertentu dan batasan-batasan yang jelas. Pada pemungutan pajak air bawah tanah, petugas pemungutan pajak air bawah tanah saling berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya, di antaranya Dinas Pendapatan Daerah dengan Kantor Pendapatan Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Propinsi Riau.

Pemungutan pajak air bawah tanah dan air permukaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Riau sebagai koordinator pemungutan air bawah tanah, berkoordinasi dengan Dinas Kantor Pendapatan Daerah dan Pos Pelayanan Daerah , pelaksanaannya yaitu terdiri dari:


(1)

pemungut. Sanksi tersebut dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis ataupun dengan melakukan pergantian pimpinan sebab itu merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi

3. Kendala-kendala yang terjadi dalam pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah sepanjang tidak ada peraturan hukum untuk melakukan pemungutan atau penarikan pajak, maka target PAD akan sulit tercapai. Selama ini masih menggunakan Perda yang seharusnya tak dapat lagi digunakan. Keberadaan perda yang ada masih didasarkan pada peraturan yang lama, sehingga potensi penerimaan yang ditemukan atau yang diperoleh sulit untuk direalisasikan. Serta masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang disebabkan kurangnya informasi dan sosialisasi dari aparat pelaksana pemungutan.

B. Saran

1. Agar Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota segera mengeluarkan peraturan-peraturan yang terkait dengan Pemungutan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Walikota/Bupati. Penerbitan Peraturan Daerah tersebut bersifat mutlak karena merupakan dasar hukum dalam rangka melaksanakan kewenangan yang diberikan tersebut.

2. Agar pemerintah daerah lebih giat lagi dalam menggali potensi dari Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.Terlebih lagi kontribusinya


(2)

kompetensi aparat daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak Pemanfaatan dan Pengambilan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan terutama dengan memberikan sanksi-sanksi yang keras agar lebih efektif dalam mengelola kegiatan pemungutan pajak P3ABTAP.

3. Agar pemerintah daerah segera membuat peraturan daerah yang baru tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah dan air permukaan dan memfasilitasi pemberian informasi serta melakukan sosialisasi penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat agar tercipta suatu kesadaran hukum pada masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

At., Salamun, Pajak, Citra dan Upaya Pembaruannya, Jakarta, PT. Bina Rena Pariwara, Cet. Ketiga, 1993

Attamimi, A. Hamid S, Hukum tentang peraturan perUndang-Undangan dan peraturan kebijakan (hukum tata Negara), Jakarta, universitas indonesia, 1990 Bird, Richard M. & Vaillancourt, Francois, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara

berkembang. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2000 Boediono, B,Perpajakan Indonesia, Jakarta, Diadit Media, 2000

Brotodihardjo, R. Santoso,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ed. ke-3 Bandung: Refika Aditama, 1998.

Chairir, Ali,Hukum Pajak Parlementer, Bandung, Cet. Ke I, Eresco NV, 1993

Davey, K.,J, Pembiayaan Pemerintah Daerah, diterjemahkan oleh Amanullah, dkk, Jakarta, UI-Press, 1998

Devas, dkk,Keuangan Pemerintahan Daerah di Indonesia,Jakarta : UI Press, 1989. Devano, Sony dan Rahayu, Siti Kurnia,Perpajakan. Konsep, Teori, dan Isu Jakarta:

Kencana, 2006.

Direktur Jenderal Pajak. Himpunan Peraturan Pelaksanaan Perubahan Undang-Undang Perpajakan Juli 2001, Jakarta: CV Eko Jaya, 2001.

Djatmiko, H., Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: Lembaga LP3 Artha Bakti PSIK, 2002.

Gunadi M, Djoned. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Jakarta: Pusdiklat Perpajakan, 2001

Halim, Abdul, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Revisi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 2004


(4)

Hoessin, Bhenyamin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Konsep, Teori, dan Aplikasi,Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2002

Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII,2002

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Mardiasmo,Perpajakan, Yoyakarta: ANDI, Edisi Revisi XII, 2004.

Kuncoro,Mudrajat, Desentralisasi Fiskal di Indoonesia : Dilema Otonomi dan Ketergantungan, dalam PRISMA No. 4 XXIV April 1995, Jakarta: LP3ES-UI, 1995.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, Cetakan ke I, 1994.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, cet. 3 Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002.

Nurmantu, S.,Pengantar Perpajakan,Jakarta: Grani, 2003.

Pontjowinoto, Didit M. P., “Alternatif Reformasi Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah”, dalam Prisma No. 8, Agustus 1991. Jakarta: LP3ES, 1991. Rasyid, M. Ryaas, Syaukani.HR, Afan Gaffar, Otonomi Daerah Dalam Negara

Kesatuan,Yogyakarta, Cetakan I, Pustaka Pelajar, 2002.

Rosdiana, Haula dan Tarigan, Rasin, Perpajakan. Teori dan Aplikasi Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Setyawan, S. dan Suprapti, E., Perpajakan,Malang : Bayu Publishing, 2004.

Siahaan, Marihot P,Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tnjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1995


(5)

Soelarno, Slamet, Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, STIA LAN Press, 1999

Soemarso, SR, Beberapa Faktor Keberhasilan Pungutan Pajak di Indonesia, Pusat Pengkajian Fiskal dan Moneter Seri Kajian Fiskal dan MOneter No. 18, 1996. Soemitro, Rochmat,Pajak Bumi dan Bangunan, Bandung, PT. Eresco, 1989. _______________,Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung, Eresco NV, 1990

Soeprapto,Maria Farida Indrati, Ilmu PerUndang-Undangan. Dasar-Dasar dan Pembentukannya, cet. 11 Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Subiyantoro, H. dan Riphat, S., Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep dan Implementasi,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Suryabrata, Sumadi,Metodologi Penelitian, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002.

Tim Penyusun Ditjen Pajak dan Yayasan Bina Bangunan,Buku Panduan PBB, Edisi Revisi, Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Tjokroamidjojo, Bintoro, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1988.

Valentina, S. dan Suryo, A.,Perpajakan Indonesia, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2003.

Waluyo, Perubahan PerUndang-Undangan Perpajakan Era Reformasi, Jakarta: Salemba Empat, 2000.

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, Cetakan II, 2000.

Waluyo, Bambang,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Widodo, Joko, Good Governance, Telaah dari dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya: Insan Cendekia, 2002.


(6)

Widjaja, HAW,Penyelenggaraan otonomi Di Indortesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Wuisman , J.J.J. M.,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, Jakarta: UI Press, 1996.

B. Makalah, Artikel dan Karya Ilmiah

http://www.sosial-budaya.blogspot.com/2009/05/tujuan-dan-fungsi-hukum.html, diakses tanggal 19 Desember 2010.

http://pengetahuanhukum.blogspot.com/2009/05/teori-keadilan-john-rawls.html diakses pada tanggal 21 Desember 2010.

http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal 21 Desember 2010

http://www.scribd.com/doc/22004521/Dasar-Dasar-Keuangan-Publik, diakses pada tanggal 19 Desember 2010.

http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=573, diakses pada tanggal 23 Desember 2010

C. Peraturan PerUndang-Undangan

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang No.12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah

UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Peraturan daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

Keputusan Gubernur Riau Nomor 48 tahun 2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.