I.PEMBAHASAN - Bunga (Interest) = Riba ?

  

MAKALAH

BUNGA (INTEREST) = RIBA ?

  

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

MATA KULIAH TAFSIR

SEMESTER I

OLEH

DAFITRI LESMANA

DOSEN TAFSIR

Drs. AL YASSER, M.E.I.

  

AL BADR ISLAMIC INSTITUTE

FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN EKONOMI ISLAM

BANGKINANG

2003

I. PENDAHULUAN

  Alhamdulillah, segala puji hanya diserahkan kepada Allah yang telah mensyari’atkan

  hukum Islam kepada umat manusia. Shalawat dan salam, semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai pembawa syari’at Islam untuk diimani, dipelajari dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

  Permasalahan bunga bank sebenarnya telah tuntas sejak seperempat abad yang silam. Namun ternyata masih banyak umat Islam yang tidak menganggap bunga (interest) adalah riba yang diharamkan. Buktinya masih banyak umat Islam yang terlibat praktik ribawi, mereka masih menjadi nasabah bank konvensional. Di Indonesia saja misalnya, negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini, seandainya seluruh umat Islam Indonesia tidak melakukan transaksi dengan bank-bank konvensional, akan banyak bank-bank konvensional yang gulung tikar. Tapi, ternyata bank konvensional tetap berjaya. Entah karena ketidaktahuan mereka, kurangnya informasi, atau mereka tahu tapi tak mau meninggalkannya.

  Praktik bunga yang dilakukan oleh perbankan atau para rentenir hari ini ternyata telah dipraktekkan oleh bangsa Arab jahiliah. Bahkan jauh sebelum itu, orang-orang Yahudi juga telah mempraktikkannya. Mereka telah terbiasa memberikan pinjaman dan menerima riba(bunga) setiap bulannya. Inilah riba yang dimaksud oleh Al-Qur’an. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa bunga (interest) bukan riba.

  Semoga dengan makalah yang singkat ini semakin menambah keyakinan kita untuk mengucapkan selamat tinggal kepada bank-bank ribawi. Penulis menyadari bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan, karena itu penulis berharap masukan dan kritikan dari semua pihak.

I. PEMBAHASAN

  

BUNGA (INTEREST) = RIBA ?

A. APAKAH RIBA ITU?

  Riba secara literal berarti ‘ziyadah’ (tambahan) dan an-naamu (berkembang atau berbunga). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam, secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

  DR. M. Umer Chapra menulis :” dalam terminologi fiqih, riba berarti suatu tambahan dalam salah satu dari dua barang homogen yang dipertukarkan tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.” Wahid Abdus Salam Al- Baly mempertegas defenisi tersebut :”Riba merupakan tambahan yang disyaratkan terhadap uang pokok tanpa ada transaksi pengganti yang disyaratkan.”

  Batasan riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman :

  “ Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba .” ( Q.S Al-Baqarah : 275 ) Huruf “al-ma’rifah” dalam kata “ar-riba” baik sebagai keterangan “lil ‘ahd” ‘lazim dikenal’ atau “lil jinsi” ‘jenis’, atau “lil istighroq” ‘umum’, maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, mestilah diterangkan Allah kepada mereka. Ayat ini tidak mendefenisikan lagi kata riba mengingat sudah lazim dikenal secara umum. Riba sebagai suatu bentuk transaksi telah dikenal oleh bangsa Arab sejak masa jahiliyah, dan juga dikenal oleh non Arab. Bangsa Yahudi telah mempraktikkan riba jauh sebelum itu, sampai-sampai perbuatan tersebut diinventarisasi oleh Al-Qur’an dalam kumpulan catatan kriminal mereka :

  “Mereka (Yahudi) mengambil riba, padahal telah dilarang dari perbuatan itu.” (Q.S An- Nisaa’ : 161)

B. HUKUM RIBA

  Riba diharamkan oleh seluruh agama samawi, dianggap membahayakan oleh Islam, Yahudi dan Nashrani. Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda. Yang pertama, Q.S Ar-Ruum ayat 39 diturunkan di Mekkah. Yang kedua,

  Q.S An-Nisaa’ ayat 161 diturunkan pada masa permulaan periode Madinah. Wahyu yang ketiga, Q.S Ali Imran ayat 130-132 diturunkan kira-kira tahun ke-2 atau ke-3 Hijriyah. Wahyu yang keempat, Q.S Al-Baqarah ayat 275-281 diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah saw.

  Rasulullah juga mengutuk, dengan menggunakan kata-kata yang sangat terang, bukan saja mereka yang mengambil riba, tetapi juga yang memberikan riba dan juga para penulis yang mencatat transaksi atau para saksinya. “ Dari Jabir r.a, Rasulullah saw.

  

bersabda, ‘Terkutuklah orang yang menerima dan membayar riba, orang yang menulisnya,

dan dua orang saksi yang menyaksikan transaksi itu.’ Beliau lalu bersabda, ‘Mereka semua

(H. R Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

sama (dalam berbuat dosa).

  Dalam agama Yahudi, disebutkan di Perjanjian Lama :”Bila saudaramu

  

membutuhkan, penuhilah, dan jangan meminta keuntungan serta manfaat darinya… (ayat

  24, pasal 22, Eksodus). Hanya sangat disayangkan, tangan-tangan jahil telah menjamah Perjanjian Lama itu, sehingga kata “saudaramu” dimaknai secara khusus sebagai bangsa Yahudi. Dalam Eksodus 19-23 disebut adanya standar ganda ini, “untuk orang asing

  

engkau pinjami dengan mengambil riba, akan tetapi untuk saudaramu jangan kau pinjami

dengan riba.”

  Dalam agama Nashrani Injil Lukas menyebutkan, “Lakukan yang baik-baik,

  

berikanlah pinjaman dengan tanpa mengharapkan imbalan keuntungan darinya. Bila itu

kalian lakukan, pahala kalian sangat besar.” (ayat 24-25, pasal 6).

  Pandangan serupa juga dianut oleh para filsuf. Filsuf Yunani kuno, tepatnya Solon (peletak undang-undang Athena kuno) dan Plato, mengharamkan riba. Aristoteles menganggap riba sebagai hasil yang tidak wajar karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Ia berpendapat, uang tidak bisa melahirkan uang.

KLASIFIKASI C.

  Terdapat perbedaan pendapat Ulama dalam mengklasifikasikan riba. Ada yang menyebutkan riba terbagi 2, terbagi 3 dan terbagi 4. disini penulis mengambil pendapat Ulama yang membagi riba kepada dua macam, yaitu riba Fadhl dan riba Nasi’ah. Karena penulis menilai ini lebih mudah dicerna dan dimengerti.

  Diantara para Ulama yang membagi riba kepada fadhl dan Nasi’ah adalah : Sayyid Sabiq, Fakhruddin Ar-Razi, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Abdullah bin Ahmad Al-Muqdasi (Faqih Hambali), Hasan Ibnul Muttahar (Faqih Ja’fari), DR. Yusuf Al-Qardhowi.

  Kata riba telah disebutkan secara umum dalam Al-Quran atau hadits. Maka, konotasinya tidak lain dari riba yang hakiki, yaitu apa yang dikenal pada era jahiliyah, dan yang populer dengan istilah “riba nasi’ah” ‘riba utang’. Namun, ada lagi jenis riba lain yang dalam hadits disebut “riba fadhl” ‘riba jual-beli’.

  Pembahasan penulis kali ini berkisar tentang riba yang asli atau riba jahiliah. Yaitu, riba yang terkenal pada umat-umat dahulu, dan masih berlansung efektif sampai saat ini. Riba inilah yang merupakan tulang punggung bagi sistem kapitalis dan kolonialis Barat.

  Istilah nasi’ah berasal dari akar kata nasaa’ yang berarti menunda, menangguhkan atau menunggu, dan mengacu pada waktu yang diberikan bagi pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan “tambahan” atau “premi”. Karena itu riba nasi’ah mengacu kepada bunga pada utang.

  Setidaknya ada dua bentuk riba pinjaman yang dipraktekkan oleh bangsa Arab jahiliah. Pertama, riba yang baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi dua pilihan : melunasi seluruh pokok pinjaman atau perpanjangan waktu dengan “penambahan” pembayaran. “Penambahan” ini kita kenal dengan baik. Penambahan ini bisa berupa kuantitas, seperti menangguhkan pengambalian seekor unta sekarang dengan dua ekor unta dimasa mendatang, atau dalam umur, seperti menangguhkan pengembalian seekor unta yang berumur satu tahun dengan seekor unta yang berumur dua atau tiga tahun di masa mendatang.

  Jadi, riba baru dikenakan bila ada perpanjangan waktu. Ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan sistem bunga perbankan modern. Bahkan, tanpa meminta perpanjangan waktupun, sipeminjam harus membayar beban bunga. Masihkah kita akan berdalih bahwa bunga bank tidak memberatkan seperti riba jahiliah? Bahkan, praktik pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktek riba an-nasiah diatas.

  Bunga perbankan hari ini ternyata juga telah ada praktiknya pada zaman jahiliah. Yaitu bentuk yang kedua, yang mana bangsa Arab sudah terbiasa dengan situasi di mana seorang pemberi pinjaman uang untuk suatu periode tertentu dan mengambil sejumlah riba (bunga) tertentu setiap bulan. Inilah riba yang berlaku sekarang dan dikutip oleh bank dan lembaga-lembaga keuangan lain di dunia. Allah telah mengharamkannya bagi kaum muslimin.

  Intinya, larangan riba nasi’ah mengandung implikasi bahwa penetapan suatu keuntungan positif di depan pada suatu pinjaman sebagai imbalan karena menunggu, manurut syari’ah tidak diperbolehkan. Tidak ada perbedaan apakah persentase keuntungan dari pokok itu bersifat tetap atau berubah, atau suatu jumlah tertentu yang dibayar didepan atau pada saat jatuh tempo, atau suatu pemberian (hadiah) atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman.

  Permasalahan bunga (interest) sebenarnya telah dikaji oleh para Ulama dan Pemikir Islam. Mereka telah sepakat menyatakan bahwa bunga (interest) dari semua jenis pinjaman adalah riba yang diharamkan, melalui berbagai keputusan diskusi, seminar dan konfrensi Ilmia Islam Internasional diantaranya :

  a. Keputusan Muktamar Islam II Lembaga Riset Islam diselenggarakan di Kairo pada Muharram 1385 H/ Mei 1965 M, dihadiri oleh para wakil dan utusan dari 35 negara Islam.

  b. Keputusan Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI), dalam sidang Muktamar II di Jeddah, pada tanggal 10-16 Rabi’uts Tsani 1406H /22-28 Desember 1985 M.

  c. Keputusan Lembaga Fikih Islam Rabithah Alam Islami dalam sidangnya yang ke-9, di aula Rabithah Alam Islami di Mekkah, Rajab 1406 H.

  d. Keputusan Muktamar Bank Islam II 1403 H/ 1983 M di Kuwait.

D. ALASAN YANG MUNCUL UNTUK MEMBELA BUNGA (INTEREST)

  Di dunia ini akan selalu ada konfrontasi yang abadi, yaitu peperangan antara al-haq dan al-bathil. Masing-masing mempunyai pengikut yang setia membelanya. Ketika para pembela al-haq telah sepakat bunga (interest) adalah riba yang diharamkan, muncul para pendukung al-bathil dengan seribu satu macam alasannya untuk membela bunga (interest). Dalam makalah ini penulis hanya memunculkan satu alasan diantara sekian banyak alasan yang dimunculkan oleh para pendukung riba.

  a. Masalah riba yang berlipat ganda. Dalam upaya untuk mencari-cari celah membolehkan bunga bank, ada orang yang beralasan bahwa riba yang diharamkan Al Qur’an ialah riba yang adh’afan

  

mudha’afah’berlipat ganda’, sedangkan riba yang kecil seperti 8% atau 10% tidak termasuk

  riba yang dilarang. Ungkapan ini terdengar sejak awal abad kedua puluh, dengan alasan berpegang kepada konotasi ayat Al Qur’an :

  “ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat .” (Q.S Ali Imran : 130) ganda, takutilah Allah, semoga kamu beruntung

  Orang yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan mnemahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini ‘adh’afan mudha’afah’ adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan bunganya.

  Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba. Dalam arti bahwa berlipat ganda hukumnya boleh. Lagi pula manakah yang disebut disebut riba yang kecil dan mana riba yang besar? Siapa yang menyatakan 10% itu kecil dan 12% itu besar? Apa ukurannya? Sangat relatif. Jika kita mau berpegang pada makna eksplisit ayat, maka yang disebut berlipat ganda itu besarnya 600% sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Prof. Dr.Muhammad Daraz, karena kata ‘adh’af’ itu sendiri bentuk jamak, paling sedikitnya tiga. Maka, jika tiga dilipatgandakan walaupun sekali, maka akan menjadi enam. Adakah yang membenarkan hal ini?

  Dalam surah Al Baqarah, terdapat penghapusan riba secara total. “Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melepaskan seluruh sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiya.” ( Q.S Al Baqarah : 278-279 ).

II. PENUTUP

  Setelah mengetahui keharaman bunga (interest) muncul pertanyaan ‘apa solusinya?’. Jawaban sederhananya adalah kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunah. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem perkonomian Islam yang bebas riba telah mampu memakmurkan bumi ini. Pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sulit dicari orang yang berhak menerima zakat.

  Kewajiban pertama bagi umat Islam adalah membebaskan diri dari keterikatan dengan bank-bank ribawi. Pindahkan semua uang ke bank-bank Islam. Pemerintah wajib mendukung dan membantu pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam. Namun tidak berarti ketiadaan lembaga keuangan Islam menjadi alasan untuk membolehkan praktek ribawi. Masih banyak alternatif yang lain, diantaranya muzara’ah.

  Disamping para ekonom muslim wajib mengkaji Ekonomi Islam lebih mendalam, sehingga permasalahan umat dibidang perekonomian terselesaikan. Karena ada benyak transaksi-transaksi model baru yang dibutuhkan umat saat ini. kita harus berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke riba.

III. DAFTAR PUSTAKA

  • ,1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. CV Toha Putra Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram. Diterjemahkan oleh DR. Setiawan Budi Utomo, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.

  Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Diterjemahkan oleh H. Kamaluddin, A. Marzuki, PT.

  AlMa’arif, Bandung. Baly, Wahid Abdus Salam. 2002. Dialog Bank Syari’ah vs Bank Konvensional.

  Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, Darul Falah, Jakarta. Chapra, M. Umer. 2000. Sistem Moneter Islam. diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, Gema Insani Pers, Jakarta.

  Chapra, M. Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam. diterjemahkan oleh Ikhwa Abidin Basri, Gema Insani Pers, Jakarta. Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani Pers. Al-Qordhawi, Yusuf. 2000. Norma dan Etika Ekonomi Islam.diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Gema Insani Pers, Jakarta. Al-Qordhawi, Yusuf. 2001. Halal Haram dalam Islam. diterjemahkan oleh Wahid Ahmadi, dkk, Gema Insani Pers, Jakarta. Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif. Gema Insani Pers, Jakarta. Suhendi, Endi. 2002. Fiqh Muamalah. Rajawali Pers, Jakarta.