Kewiraswastaan dan Etika Bisnis Teori da
Kewiraswastaan dan Etika Bisnis: Teori dan Perkembangannya
Jacobus R. Kuntag (2014)
([email protected])
ABSTRAK
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan kajian tentang perkembangan literatur
yang terkait dengan bidang kewiraswastaan, khususnya pada konteks bisnis keluarga.
Perkembangan bidang kewiraswastaan telah melahirkan berbagai teori, perspektif dan
praktik yang berbeda. Pada suatu sisi, banyak dijumpai temuan yang berbeda dan tumpang
tindih. Di sisi yang lain, sebagian wiraswasta masih belum puas dengan temuan yang ada.
Hal yang diakui bahwa dalam memenuhi tuntutan inovasi dan adaptasi teknologi kadang
terjadi pelanggaran aturan yang memunculkan banyak perdebatan antara kreativitas dan
etika berbisnis. Sebagai kesimpulan untuk makalah ini, teori yang berkembang dari gaya
tradisional hingga gaya modern saat ini belum mampu memberikan kesepakatan yang
memuaskan akademisi dan praktisi. Namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa
sebagian besar temuan empiris yang dilakukan masuk akal untuk perkembangan ekonomi
dan dapat diimplementasikan untuk merangsang pertumbuhan kewiraswastaan saat ini.
Kata Kunci: kewiraswastaan, bisnis keluarga, inovasi dan teknologi, etika bisnis.
1.
Pendahuluan
Saat ini, wiraswasta (entrepreneur) dianggap menjadi sosok yang menghantui
model ekonomi. Dikatakan ‘menghantui’ karena sejumlah literatur yang mengungkap
perkembangan kewiraswastaan (entrepreneurship) telah mengaburkan teori ekonomi
yang banyak dipelajari dan diakui sebelumnya secara universal. Namun yang diakui
juga bahwa, bahkan jika para wiraswasta tidak mengambil kendali perubahan ekonomi,
atau dengan kata lain mereka hanya mengubah arah bisnis mereka sendiri, kita tidak
akan menikmati pertumbuhan ekonomi dengan cara yang lebih baik saat ini.
Meskipun meluncurkan sebuah bisnis tidak pernah mudah, namun sumber
daya yang tersedia saat ini membuat pekerjaan lebih mudah daripada sebelumnya.
Setelah melihat bahwa pilihan yang mengatakan, “tidak semua orang mampu untuk
memegang perusahaan,” kewiraswastaan kini diterima dan dihormati sebagai bagian
dari budaya. Namun bagaimana kita melihat perkembangan bidang kewiraswastaan
selama ini, serta tantangan-tantangan apa yang telah dihadapi?
1
Penelitian dalam bidang kewiraswastaan telah banyak dilakukan dalam
konteks yang berbeda-beda (Baumol, 1993; Brenkert, 2009; Debicki et al., 2009;
Gartner, 2007; Venkataraman, 2004), bahkan di antaranya mengalami tumpang tindih
dikarenakan pertumbuhan dalam adaptasi yang sama beberapa tahun terakhir ini.
Kewiraswastaan telah mendominasi perekonomian dunia, dan tampaknya studi ilmiah
yang belakangan dilakukan dirasakan sudah terlambat. Akibatnya, kebutuhan yang baru
muncul secara sistematis, bahwa diperlukan evaluasi dari kontribusi para peneliti
sebelumnya dan bagaimana keterkaitan dari setiap kontribusi penelitian yang ada, serta
apa manfaat dari evaluasi tersebut.
Debicki et al. (2009) mencoba menjawab tuntutan kebutuhan tersebut dengan
cara mengidentifikasi sejumlah penelitian terdahulu yang telah memberikan kontribusi
pada bidang kewiraswastaan dan berfokus pada konteks bisnis keluarga, serta institusi
di mana sejumlah penelitian sebelumnya dilakukan. Mereka menganalisis isi dari bidang
yang dipelajari selama periode tahun 2001-2007. Akhirnya, dengan melakukan analisis
hubungan-jaringan di antara sejumlah penelitian terdahulu, mereka memberikan
pemahaman yang lebih bernuansa, yaitu mengapa para ilmuwan dan institusi telah
menjadi lebih produktif, dan mengapa beberapa topik tertentu menerima perhatian yang
lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya.
Baik bisnis kecil maupun bisnis keluarga, banyak orang di setiap belahan
dunia telah gencar meluncurkan bisnis baru berkat teknologi yang menyediakan akses
mudah ke pasar lokal dan global pada saat mereka baru memulai bisnis (start-up).
Bahkan, di negara-negara berkembang yang tidak dikenal sebagai sarang-sarang
aktivitas kewiraswastaan telah menjadi rumah bagi para wiraswasta dengan bisnis baru
yang menjanjikan. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa di setiap negara dengan
sarang aktivitas kewiraswastaan berkat adanya infrastruktur yang nyata seperti sistem
hukum, pasar modal yang transparan, sistem telekomunikasi dan transportasi yang
canggih, dan sebagainya. Sejumlah faktor tersebut memang merupakan prasyarat yang
diperlukan bagi kewiraswastaan berbasis teknologi.
Sering kali pemerintah berupaya mempromosikan kewiraswastaan berbasis
teknologi dengan cara menyuntikkan modal risiko. Ketika itu dilakukan, maka biasanya
investasi akan mengalir langsung ke lapisan kewiraswastaan yang berkualitas rendah.
Pemerintah sering kali menganggap bahwa investasi modal tersebut sebagai upaya awal
2
untuk menciptakan semua prasyarat lain dalam rangka pertumbuhan. Namun mengingat
bahwa salah satu sifat dari kewiraswastaan adalah ketidakberwujudan (intangible),
Venkataraman (2004) berpendapat bahwa seharusnya pemerintah menyertai upaya tak
berwujud lainnya. Modal risiko diharapkan akan menghasilkan kekayaan yang besar,
jika disertai dengan akses ke ide-ide baru, model peran, forum informal, peluangpeluang khusus, jaring pengaman, akses ke pasar besar, dan kepemimpinan eksekutif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya perkembangan teknologi juga
telah memunculkan pelanggaran-pelanggaran dengan alasan inovasi dan untuk meraih
keunggulan kompetitif. Secara khusus, Brenkert (2009) membahas keterkaitan antara
pelanggaran aturan oleh para wiraswasta ini dengan etika yang sebenarnya dalam
berbisnis. Telah banyak contoh dari sejumlah studi empiris yang mengungkap sejumlah
pelanggaran, tetapi bagaimana hal melanggar aturan itu dalam kaitannya dengan etika
kewiraswastaan menjadi hal menarik yang dikaji lebih jauh. Brenkert (2009)
memandang bahwa etika kewiraswastaan yang berbasis-kebijakan dimana dalam
sejumlah kasus salah secara moral, tetap saja dapat diterima secara etis; dan bahwa hal
itu berdampak tidak hanya bagi ekonomi, tetapi juga bagi moralitas seseorang.
Pentingnya menciptakan lingkungan pekerjaan yang positif sudah menjadi hal
penting dalam sebuah organisasi, dan untuk menciptakan lingkungan yang jujur dan
berintegritas selalu dimulai dari bagian puncak sebuah organisasi. Ini mengisyaratkan
bahwa para pemilik bisnis seharusnya memberi contoh yang sempurna untuk semua
anggota perusahaan. Selain berusaha membangun semangat kerja yang tinggi di
kalangan para karyawan, pemilik bisnis juga menetapkan standar perilaku etis.
Lingkungan kerja di mana seluruh karyawan melihat diri mereka sendiri sebagai bagian
penting dari tim yang sekaligus mencegah mereka untuk berpindah.
Pada dasarnya, etika bisnis melibatkan standar perilaku yang ditunjukkan oleh
para pemilik bisnis, karena kedudukan mereka yang penting dalam hal pengambilan
keputusan dan upaya pemecahan masalah di dalam sebuah organisasi. Dalam proses
jangka panjang, wiraswasta memiliki dasar nilai-nilai dan keyakinan pribadi yang solid
dan mereka mengartikulasikannya kepada para karyawannya serta mempraktikkannya
dengan cara-cara yang bisa diamati oleh orang lain. Namun, pemimpin yang berbasisnilai melakukan lebih dari sekadar mengikuti aturan; hati nurani mereka mendikte
bahwa mereka seharusnya melakukan apa yang benar (Scarborough, 2012, p. 712).
3
2.
Perkembangan Teoretis
2.1. Perkembangan Teori Kewiraswastaan
Sejauh ini, belum ada yang mampu menjelaskan konstruk sebenarnya dari
teori kewiraswastaan di bidang ekonomi, bahkan jika sejumlah besar ilmuwan
dikumpulkan untuk memahami dan merumuskan kebijakannya. Apabila dilihat dari
subjek dan sifatnya, banyak teori ekonomi dan manajemen yang tidak mampu
menjelaskan keterbatasannya. Sebagaimana dicatat oleh Baumol (1993, p. 198) bahwa
tampaknya hanya sebagian kecil teori ekonomi dan manajemen yang masih dapat
diterima secara masuk akal untuk digunakan dalam mengkaji secara lebih mendalam
teori kewiraswastaan. Demikian pula dalam konteks bisnis keluarga yang saat ini telah
mendominasi ekonomi dunia, Brenkert (2009, p. 151) mencatat bahwa upaya untuk
menjelaskan teori dirasakan sudah terlambat, melainkan yang dibutuhkan saat ini
adalah evaluasi dan mencari hubungan di antara penemuan yang ada.
Tidak diragukan lagi, buku yang paling menonjol adalah Schumpeter dengan
judul: “Theory of Economic Development” yang dipublikasikan pertama kali pada
tahun 1912. Meskipun bukunya yang paling biasa dikutip, definisi Schumpeter tentang
wiraswasta bukan kontribusi yang paling penting dari tulisannya. Konsep Schumpeter
tentang wiraswasta adalah “sui generis”, yaitu sebuah konstruk, sebuah tipe ideal yang
digunakan Schumpeter untuk menjelaskan teorinya tentang pembangunan ekonomi.
Baumol (1993) dalam temuannya menyimpulkan bahwa pengamatan teori
ekonomi yang dapat dan tidak dapat diperikirakan mungkin bisa dicapai. Ia
menunjukkan bahwa, teori kewiraswastaan tidak hanya menjadi aspirasi di masa
depan―tetapi teori kewiraswastaan itu sebenarnya sudah ada dan sedang diperluas,
dan bahwa teori kewiraswastaan itu sementara berkembang. Sebagian besar dari apa
yang dikaji berfokus pada inovasi kewiraswastaan, yang secara khusus menunjukkan
keprihatinannya dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan produktivitas (p. 199).
Penelitian yang dilakukan Baumol (1993) memiliki beberapa keterbatasan,
yaitu tidak berfokus pada kontribusi, tidak bersifat aktual dan prospektif, dan tidak
menggarap bidang-bidang tertentu seperti bidang sosiologi, psikologi, dan spesialis
dalam manajemen bisnis. Namun, temuannya memberikan gagasan penerapan praktis
dalam konteks yang lain, misalnya dalam upaya meningkatkan produktivitas―serta
4
memberikan dorongan dan meningkatkan kontribusi para wiraswasta dalam rangka
pertumbuhan produktivitas dan daya saing ekonomi.
Sementara studi yang dilakukan oleh Shane & Venkataraman (2000) dapat
dikatakan memberikan kontribusi yang signifikan untuk teori kewiraswastaan, dan
bahwa studi mereka memiliki implikasi penting bagi para peneliti di bidang
kewiraswastaan juga diakui oleh Gartner (2007, p. 231). Tidak hanya itu, temuan lain
Venkataraman (2004) dalam konteks techno-entrepreneur dibahas secara khusus
dalam makalah ini. Shane & Venkataraman (2000) mengemukakan tujuan dari
penelitian bidang kewiraswastaan dengan menjelaskan terlebih dahulu apa fokus dari
kewiraswastaan, serta menunjukkan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Mereka
mendefinisikan penelitian kewiraswastaan sebagai suatu pengujian ilmiah tentang
bagaimana, oleh siapa, dan dengan dampak apa, peluang untuk membuat barang dan
jasa di masa mendatang ditemukan, dievaluasi, dan dieksplorasi.
Selanjutnya, Gartner (2007) menggunakan enam keputusan spesifikasi
kunci untuk penelitian kewiraswastaan, yaitu: tujuan, perspektif teoretis, fokus, tingkat
analisis, kerangka waktu, dan metodologi. Salah satu wawasan penting yang
dikemukakan Gartner (2007, p. 229) adalah bahwa “keputusan-keputusan spesifikasi
desain tersebut saling terkait, dan tidak dapat dibuat secara mandiri”. Sehubungan
dengan pendapat tersebut, Gartner (2007) menjelaskan pilihan perspektif teoretis
dalam kewiraswastaan bergantung pada asumsi yang dibuat.
Beberapa pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “dapatkah teori
kewiraswastaan mencakup bentuk-bentuk organisasi yang beragam seperti bisnis baru,
bisnis kecil, dan bisnis keluarga?” Dapatkah teori kewiraswastaan mencakup
pengaturan seperti pekerjaan yang dilakukan mandiri, manajemen perusahaan, dan
suksesi manajemen?” Sayangnya, tidak ada cara teoretis yang sempurna untuk
menghubungkan semua kepentingan penelitian yang berbeda secara bersama-sama.
2.2. Bisnis Keluarga
Wiraswasta dapat dibedakan dari dua jenis modal sosial: yang satu diperoleh
dari keluarga asal mereka dan yang lainnya dikembangkan oleh individu. Kebutuhan
akan perbedaan ini telah dikonfirmasi secara empiris yang sekaligus membantah
5
pendapat yang mengatakan anggota keluarga tidak penting untuk keberhasilan
kewiraswastaan seperti yang diyakini sebelumnya. Hanya anggota dari beberapa
kelompok etnis minoritas yang dapat mengandalkan dukungan keuangan dari anggota
keluarga. Memang, terlalu mengandalkan anggota keluarga dapat menempatkan
wiraswasta yang baru lahir menuju pada kerugian.
Studi mengenai bisnis keluarga telah banyak dilakukan, bahkan telah
mengalami tumpang tindih dikarenakan pertumbuhannya yang sama dalam beberapa
tahun terakhir ini. Bisnis keluarga telah mendominasi perekonomian dunia, dan
tampaknya studi ilmiah yang belakangan dilakukan dirasakan sudah terlambat.
Akibatnya, kebutuhan yang baru muncul secara sistematis bahwa diperlukan evaluasi
dari kontribusi para peneliti dan menunjukkan keterkaitan atas kontribusi yang ada,
serta mengambil manfaat dari evaluasi tersebut.
Debicki et al. (2009) membahas kebutuhan ini dengan mengidentifikasi
sejumlah penelitian terdahulu yang telah memberikan kontribusi pada bidang bisnis
keluarga serta berbagai institusi di mana penelitian-penelitian terdahulu dilakukan.
Mereka juga menganalisis apa isi dari bidang yang dipelajari selama periode tahun
2001-2007. Secara khusus, studi yang mereka lakukan berfokus pada 30 jurnal
manajemen yang dipublikasikan selama periode tahun 2001-2007.
Debicki et al. (2009) mengidentifikasi sejumlah penelitian terdahulu yang
karyanya telah menghasilkan kontribusi besar terhadap perkembangan bisnis keluarga.
Mereka menunjukkan bahwa pada umumnya penelitian di bidang bisnis keluarga
dapat dikelompokkan pada enam kegiatan utama penelitian yang diurutkan
berdasarkan pada jumlah cakupan yang lebih banyak dilakukan, yaitu tujuan dan
sasaran, perumusan strategi dan konten, implementasi strategi dan kontrol,
manajemen, topik-topik lain yang relevan dengan manajemen strategik, dan terakhir
topik-topik lainnya yang tidak relevan dengan manajemen strategik. Topik-topik yang
dibahas untuk tujuan dan sasaran, seperti tujuan ekonomi, tujuan non-ekonomi, dan
proses formulasi tujuan.
Selain itu, temuan Debicki et al. (2009) juga menunjukkan bahwa sejumlah
penelitian berfokus pada sejumlah faktor penting seperti massa produk kritis,
ketersediaan sumber daya, dan dukungan administrasi. Dengan menunjukkan bukti
kontribusi terhadap pengetahuan bahwa banyak institusi yang telah berinvestasi dalam
6
penelitian bisnis keluarga, temuan mereka dapat memberikan pembenaran untuk
investasi berkelanjutan dan mungkin merangsang minat para pemangku kepentingan
eksternal untuk menyediakan investasi tambahan di masa depan.
Meskipun komunitas penelitian bisnis keluarga telah bertumbuh, tetapi
sejumlah penelitian terdahulu masih dianggap sedikit dan keterkaitannya lemah, yang
memberi kesan bahwa difusi pengetahuan akan sangat bertumbuh dengan cepat dalam
tahun-tahun mendatang dan bahwa upaya-upaya lebih lanjut diperlukan untuk
memperluas komunitas tersebut. Karena analisis jaringan menggambarkan pentingnya
jaringan ilmiah untuk kemajuan penelitian, temuan Debicki et al. (2009) diharapkan
dapat mendorong para akademisi dan institusi lainnya untuk terhubung dengan
jaringan tersebut serta membangun jaringan baru mereka sendiri.
Terakhir, dengan menganalisis bidang topik yang telah dibahas dalam
penelitian bisnis keluarga dan membandingkan cakupan tersebut dengan periode
sebelumnya, Debicki et al. (2009) mengidentifikasi tren penelitian dan area yang layak
untuk penyelidikan lebih lanjut. Karena tren dan kesenjangan ini berkaitan dengan
individu, institusi, dan jaringan yang terlibat dalam penelitian bisnis keluarga, temuan
mereka diharapkan dapat merangsang para ilmuwan dalam jaringan yang ada dan baru
muncul untuk membangun momentum yang diperoleh di area penyelidikan tertentu
serta menggabungkan bidang topik baru dalam wadah mereka untuk mengisi
kesenjangan ini dalam pengetahuan yang diidentifikasi.
2.3. Inovasi dan Teknologi
Salah satu prinsip kewiraswastaan adalah kemampuan untuk menciptakan
ide-ide baru dan berguna yang dapat memecahkan masalah dan tantangan yang
dihadapi orang setiap hari (Scarborough, 2012, p. 9). “Wiraswasta berinovasi,”
sebagaimana dikatakan oleh Peter Drucker, “inovasi adalah instrumen khusus dalam
kewiraswastaan”. Wiraswasta menciptakan kesuksesan dengan cara menciptakan nilai
di pasar ketika mereka menggabungkan sumber daya dengan cara yang baru dan
berbeda untuk memperoleh keunggulan kompetitif atas pesaing. Wiraswasta
menciptakan nilai dalam berbagai cara, seperti menciptakan produk atau jasa baru,
menciptakan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, meningkatkan produk
dan jasa yang sudah ada, menemukan cara-cara yang berbeda untuk menyediakan lebih
7
banyak barang dan jasa dengan lebih sedikit sumber daya, dan sebagainya. Maksud
dari “wiraswasta yang berinovasi” bukan berarti “penyelenggaraan perusahaan”
(Baumol, 1993, p. 199), yang mana benar-benar terpisah dari model standar
perusahaan. Peran dari penyelenggaraan perusahaan, meskipun sering kali diragukan,
pada saat yang sama sangat dekat dengan peran manajer. Sementara aktivitas
manajemen itu sendiri, meskipun jarang disebutkan secara eksplisit dalam kebanyakan
model standar perusahaan, tetap saja aktivitas manajemen dapat menjadi fokus utama
analisis dalam inovasi kewiraswastaan.
Sebagai contoh, Baumol (1993) menyelidiki waktu optimal dari suatu
pengenalan sebuah inovasi. Dalam praktiknya, inovasi merupakan proses yang
berkesinambungan. Semakin lama jeda waktu dalam transfer produk baru dari fasilitas
LITBANG ke manufaktur dan pemasaran, maka produk akan semakin memungkinkan
untuk ditingkatkan. Namun jeda waktu ini juga memberikan kesempatan kompetitor
meningkatkan produknya. Ia menunjukkan bagaimana trade-off ini dapat dianalisis
secara sistematis, dan menghasilkan beberapa temuan mengejutkan tentang keputusan
yang optimal untuk waktu optimal dari suatu pengenalan produk baru.
Kesulitannya adalah pada saat menganalisis dan menggambarkan inovasi
secara umum. Berdasarkan apa yang diamati bahwa individu dapat bersikap
sembarangan hanya menjadi seperti pengulangan atas apa yang telah dilakukan
sebelumnya. Inovator memerlukan pengenalan atas apa yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan biasanya tak terduga. Sebaliknya, input yang digunakan cenderung
sama untuk saat itu di banyak cara yang sama seperti yang digunakan sebelumnya, dan
logika dari keputusan-keputusan untuk menggunakannya pun tidak mengalami
perubahan yang konstan. Misalnya, ketika manajemen mempertimbangkan akan
meminjam dana tambahan, dan menggunakannya seolah mengulangi perhitungan
yang mungkin sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Perhitungan nilai saat itu
dan pertimbangan terkait input lainnya tetap tidak berubah secara fundamental.
Seorang inovator dapat dengan mudah menunjukkan proses, sementara yang lainnya
menentukan persyaratan optimal sebelum membuat keputusan proses (p. 199).
Tidak berada di setiap rutinitas yang masuk akal, banyak keputusan proses
yang dibuat berada di luar perhitungan sistematis. Pekerjaan yang dilakukan oleh
wiraswasta yang berinovasi sama halnya dengan tugas seorang ahli strategi militer
8
yang beroperasi di medan pertempuran (Baumol, 1993, p. 199), yaitu di mana ada
keuntungan besar yang mengejutkan atau di mana setiap orang harus bersiap untuk
beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan yang tak terduga.
Teori perusahaan telah dilandaskan hasilnya hampir sepenuhnya pada premis
optimasi Baumol (1993, p. 200). Sebagai contoh, perusahaan merekrut jumlah pekerja
yang memaksimalkan laba, mempertahankan jumlah persediaan yang optimal,
membagi modal secara optimal di antara variasi produk―yang merupakan lini produk
yang menguntungkan. Matematikawan telah menawarkan seperangkat alat yang kuat
kepada bidang ilmu ekonomi dalam menganalisis keputusan secara optimal, termasuk
kalkulus diferensial, pemrograman matematika, dan teori permainan. Ekonom, pada
gilirannya, telah menempatkan alat-alat organisasi yang digunakan dengan baik dalam
memperjelas teori tentang memaksimalkan laba perusahaan. Sebagian besar penemuan
dalam inovasi dan teknologi telah menunjukkan hasil yang mengejutkan, dan terbukti
berguna dalam aplikasinya sebagai alat konsultasi dan ilmu manajemen.
Namun alasan-alasan yang disebutkan untuk wiraswasta yang berinovasi
itulah yang justru tidak diterima dari teori ekonomi formal perusahaan. Karena terusmenerus berubah, para peneliti sering kali mengalami kesulitan dalam menyediakan
gambaran umum tentang apa yang wiraswasta lakukan. Hal ini, pada gilirannya,
menghalangi setiap kesimpulan yang dibutuhkan seperti mendeskripsikannya dalam
bahasa matematika. Berbagai pilihan yang tersedia bagi wiraswasta pada waktu
tertentu tidak diketahui, dan konsekuensi dari pilihan apa pun belum dapat dijelajahi
secara lebih luas. Dengan demikian, dasar untuk perhitungan optimasi biasanya tidak
disertakan. Seakan ada ruang tersendiri yang disediakan bagi wiraswasta yang
berinovasi dan ketergantungannya pada firasat dan naluri, yang tidak dihilangkan di
dalam teori perusahaan (Baumol, 1993, p. 200).
Salah satu keterbatasan penelitian Baumol (1993) adalah memberikan
anggapan yang sama untuk konteks bisnis baru, bisnis kecil, dan bisnis keluarga.
Venkataraman (2004, p. 154) mengungkap bahwa di negara-negara berkembang,
kewiraswastaan menjadi upaya terakhir yang dilakukan. Dengan kata lain, dorongan
orang untuk melakukan inovasi atau memulai bisnis baru biasanya karena orang
menganggur, setengah menganggur, atau cacat fisik. Karena dukungan investasi
seperti real estate dan emas, dana untuk pengusaha, tidak disediakan oleh pemodal
9
ventura dan investor modal risiko lainnya, maka pemerintah yang mendanai ide-ide
berani dan risiko dari bisnis-bisnis kecil. Akibatnya, para penerima dana tersebut
masuk ke waralaba, jasa rumah tangga, eceran, atau toko kelontong, restoran, dan
produk atau jasa tiruan lainnya. Orang-orang berbakat yang ingin berinovasi atau
berbakat terpaksa berimigrasi ke tempat-tempat di mana mereka lebih mudah meraih
dana risiko tersebut. Masalah ini yang menjadi salah satu perhatian penting saat ini
karena hambatan yang membatasi mobilitas modal, tenaga kerja, dan bakat intelektual.
Menurut Venkataraman (2004), upaya untuk menumbuhkan para wiraswasta
yang berinovasi dan berbasis teknologi pemerintah tidak hanya dengan memberikan
modal risiko, tetapi juga disertai dengan tujuh infrastruktur yang tidak berwujud yang
saling menunjang, dimulai dari kepemimpinan eksekutif, akses ke ide-ide baru, modelmodel peran, forum informal, peluang-peluang khusus-kawasan, jaring pengaman, dan
akses ke pasar besar.
Persoalan yang dikemukakan Venkataraman (2004, p. 166) adalah bagaimana
ketujuh infrastruktur tidak berwujud tersebut datang bersama-sama dalam sebuah
daerah yang tidak memilikinya? Mengandalkan kekuatan spontan atau alami mungkin
tidak menjadi solusi untuk beberapa daerah karena mungkin masalah-masalah yang
dihadapi perlu diatasi sebelumnya. Jelas, beberapa intervensi pemerintah yang
diperlukan. Ketika berpikir tentang intervensi, maka yang penting adalah pemikiran
pemerintah dan peran mereka dalam menciptakan infrastruktur tidak berwujud yang
diperlukan untuk kewiraswastaan berbasis teknologi. Apabila pemerintah bersedia
menyediakan infrastruktur tidak berwujud, maka akan memunculkan mentalitas hak.
Memang disadari bahwa budaya dengan keengganan risiko rendah dan akal
sehat untuk pembaharuan tidak semudah nilai-nilai yang diwujudkan dalam lembagalembaga publik. Pada akhirnya, badan-badan pemerintah tidak pernah pandai memilih
mana yang pemenang dan mana yang pecundang, setidaknya tidak dalam jangka waktu
yang panjang. Di sisi lain, pasar atau lembaga publik tidak selalu memecahkan
masalah batasan-batasan secara efektif dan efisien. Solusinya tidak terletak pada
berpikir dalam hal peran pasar dan pemerintah, tetapi dalam peran kepemimpinan
daerah dalam menembus batasan-batasan dan menciptakan infrastruktur tak berwujud
yang diperlukan. Kepemimpinan tersebut harus dikolaborasikan di antara para
10
pemimpin eksekutif dari lembaga publik, dan juga pemerintah meningkatkan pasar,
universitas, dan lembaga-lembaga publik lainnya.
Tujuan yang diharapkan adalah untuk secepatnya dan secara efektif
memecahkan batasan-batasan yang ada serta menciptakan lingkungan yang sesuai dan
mendukung struktur untuk mendorong inovasi. Sementara kepemimpinan visioner
juga berguna, yang lebih penting lagi adalah kepemimpinan eksekutif sebagaimana
disarankan dalam temuan (Venkataraman, 2004). Perhitungan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh para pemimpin daerah, dan bekerja secara bersama-sama akan
menghasilkan kesempatan yang lebih besar untuk sukses daripada bekerja melalui
preferensi sempit di antara lembaga secara sendiri-sendiri.
2.4. Etika Bisnis dalam Kewiraswastaan
Bagian ini membahas secara khusus mengenai etika dalam berbisnis. Apabila
argumen pada bagian sebelumnya berlaku, maka tidak ada teori kewiraswastaan yang
menjanjikan untuk bisa membantu kita dalam menjelaskan bagaimana jika wiraswasta
tidak berinovasi, atau memberikan konstruk sistematis yang menunjukkan bagaimana
wiraswasta yang berinovasi bisa meningkatkan kinerja. Setidaknya, menurut Baumol
(1993, p. 201), masih ada yang berharap untuk mempelajari lebih lanjut mengenai
inovasi dalam kewiraswastaan. Pertama, mereka ingin menemukan atribut-atribut
yang cenderung membuat seseorang memulai karier sebagai inovator, serta atributatribut yang berhubungan dengan keberhasilan. Kedua, mereka ingin mencari tahu
bagaimana saat pengaturan institusi atau fenomena sosial atau ekonomi memengaruhi
kuantitas kewiraswastaan, arah yang diperlukan, dan kemungkinan keberhasilannya,
yang mungkin pada saat yang sama juga mempelajari efek timbal baliknya.
Etika bisnis melibatkan nilai-nilai moral dan standar perilaku yang
digambarkan oleh para pebisnis, karena mereka yang membuat keputusan-keputusan
dan memecahkan masalah-masalah yang ada. Etika bisnis berasal dari komitmen untuk
melakukan apa yang benar. Perilaku etis―melakukan apa yang “benar” yang
bertentangan dengan apa yang “salah”―dimulai dari bagian puncak sebuah organisasi
dengan para karyawan. Nilai-nilai pribadi dan kepercayaan yang dimiliki oleh para
wiraswasta memengaruhi cara mereka memimpin dan jelas dalam setiap keputusan
yang mereka buat, setiap kebijakan yang mereka tulis, dan setiap tindakan yang
11
mereka ambil. Namun para pemimpin yang berbasis-nilai melakukan lebih dari
sekadar mengikuti aturan; hati nurani mereka mendikte bahwa mereka seharusnya
melakukan apa yang benar (Scarborough, 2012).
Banyak negara berkembang yang ditandai dengan adaptasi budaya dan tradisi
yang mengikat. Orang-orang paling berbakat justru berada pada posisi yang tidak
dihargai untuk membuat taruhan berani (Venkataraman, 2004, p. 154). Menurut
Brenkert (2009), ada sesuatu yang lebih kompleks terjadi secara alami menyangkut
etika bisnis dalam kewiraswastaan. Isu kompleksitas ini ditandai dari sejumlah
pandangan wiraswasta bahwa aturan moral yang bersih dan perilaku pelanggaran ini
masih dapat diterima dalam kewiraswastaan. Sebagai contoh, dalam konteks
“kompetitif”, seorang wiraswasta dapat melanggar aturan mengenai pengungkapan
kebenaran (atau publisitas) dan pengambilan janji (atau sumpah), tetapi tindakan
mereka dapat diterima sebagai hal yang wajar dilakukan oleh para wiraswasta.
Dalam kasus “Izin dan Pengampunan” (Permission dan Forgiveness),
wiraswasta mungkin melanggar aturan yang seharusnya dan tindakan mereka itu bisa
saja diampuni. Beberapa tindakan yang diambil oleh para wiraswasta bisa mengubah
konteks sehingga “yang benar bisa menjadi salah” atau “yang salah bisa menjadi
benar” (istilah untuk “Pygmalion Effects”). Contoh lain dalam kasus “Tangan Kotor”
(istilah untuk “Dirty Hands”), kedua keputusan alternatif bisa saja salah. Terakhir,
dalam kasus “Tricksterism”, melanggar aturan juga dapat menjadi bagian dari tradisilintas budaya, yang diterima, jika bukan dihormati, untuk mempermainkan “sistem”
dalam rangka mempromosikan proyek atau program.
Sebagai temuan, Brenkert (2009, p. 462) mencatat bahwa tidak ada aturan
tunggal atau prinsip yang memberikan jawaban unik untuk setiap situasi yang dihadapi
terkait dengan masalah etika dalam berbisnis. Dengan menggunakan standar teori
seperti utilitas atau deontologi dari moralitas sedikit membantu. Wiraswasta
menghadapi situasi di mana terdapat norma-norma jamak, nilai-nilai, dan kebajikan
yang mungkin dapat menyelesaikan konflik (misalnya, dalam kasus “Tangan Kotor”).
Sehingga menggunakan bimbingan moral dalam bentuk seperangkat aturan yang
menguraikan hak atau hal-hal yang dianggap salah, menjadi salah satu upaya yang
dilakukan. Tidak ada pedoman atas hal-hal tersebut.
12
3.
Perspektif dan Praktik Kewiraswastaan
Schumpeter telah menunjukkan kontribusi besar dalam sejumlah literatur
kewiraswastaan dan perkembangan teori kewiraswastaan saat ini. Pemikiran
Schumpeter yang lebih penting pada perkembangan teori ekonomi, dan seiring
berkembangnya teori kewiraswastaan telah melahirkan banyak persepsi dan praktik
yang berbeda. Kita bisa, dan tentu saja, mendiskripsikan penelitian yang ada
sebelumnya pada apa yang diterapkan oleh para wiraswasta pada masa lalu. Tetapi
deskripsi yang dapat dijelaskan hanya tentang kewiraswastaan itu, dan sebagaimana
diketahui bahwa apa pun inovasi yang dilakukan para wiraswasta saat ini, jelas berbeda
dengan apa yang dilakukan para wiraswasta sebelumnya (Baumol, 1993, p. 199). Studi
lapangan akan terlayani dengan lebih baik jika masalah dari perspektif teoretis ditujukan
langsung dan asumsi-asumsi yang tidak tertulis dihindari.
Salah satu hal penting setiap kali akan mengembangkan teori dalam penelitian
kewiraswastaan bergantung pada apakah kita (peneliti) menyadari asumsi yang kita buat
mengenai fenomena ini. Beberapa bukti menunjukkan bahwa para peneliti di bidang
kewiraswastaan tidak menyadari asumsi mereka. Gartner (2007) menemukan bahwa
para peneliti di bidang kewiraswastaan memegang keyakinan yang sangat berbeda
tentang sifat kewiraswastaan, dan bahwa para peneliti memiliki pandangan yang sangat
berbeda tentang “terdiri dari apakah” kewiraswastaan itu―sebagai sebuah fenomena.
Pengamatan yang sama juga menunjukkan mengapa sangat sulit bagi sebuah
sekolah bisnis untuk melatih para siswa menjadi wiraswasta yang berinovasi (Baumol,
1993, p. 200). Sekolah-sekolah juga dapat melengkapi diri untuk mengajar tentang
kewiraswastaan pada masa lalu. Memang, tindakan mengajar seseorang tentang apa
yang para wiraswasta lakukan dulu, atau menggambarkannya dalam sebuah buku teks,
cenderung mengubahnya dari tindakan inovatif kewiraswastaan ke dalam sebuah
tindakan rutin manajemen. Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan tugas
manajemen, yang jelas-jelas sangat penting, tetapi untuk membedakan antara aktivitas
manajemen dan aktivitas wiraswasta.
Bidang kewiraswastaan diilustrasikan seperti dalam cerita “Orang Buta dan
Gajah”. Diceritakan tentang enam orang buta menyentuh bagian yang berbeda dari
tubuh si gajah dan kemudian masing-masing mendeskripsikan secara berbeda-beda
mengenai karakteristik si gajah. Cerita ini menunjukkan sebuah silogisme dalam hal
13
memikirkan masalah yang mengintegrasikan pandangan berbeda dari suatu fenomena
yang besar dan kompleks. Tersirat dalam penemuan Gartner (2007) adalah ketakutan
bahwa penelitian yang didasarkan pada pandangan yang berbeda ini akan mengacaukan
hasil dan gagasan penelitian. Menyaring temuan yang berbeda tanpa menyadari atributatribut umum yang mendasari kewiraswastaan hanya akan menambah lapisan
kebingungan. Sebagai catatan penting di sini bahwa menjelaskan secara eksplisit
tentang apa yang kita (peneliti) yakini, dapat dimulai dengan memahami bagaimana
semua bagian yang berbeda ini dapat menjadi suatu kesatuan.
Hal penting yang digarisbawahi dalam makalah ini adalah beberapa temuan
dapat membuka wawasan kita tentang arah penelitian dalam bidang kewiraswastaan
yang sebenarnya. Seperti spesifikasi tujuan dalam Shane & Venkataraman (2000) yang
sangat berbeda dari banyak topik dan isu-isu yang muncul untuk mencakup konteks
tertentu penelitian kewiraswastaan saat ini, seperti yang dijelaskan dalam domain
khusus: penciptaan dan manajemen bisnis baru, bisnis kecil, bisnis keluarga, serta
karakteristik-karakteristik dan masalah-masalah khusus wiraswasta. Spesifikasi tujuan
mereka secara signifikan mempersempit konteks penelitian kewiraswastaan. Sebagai
contoh, Shane & Venkataraman (2000, p. 217) menekankan bahwa penelitian
kewiraswastaan tidak harus berfokus hanya pada kinerja relatif dari individu atau
perusahaan dalam konteks bisnis kecil atau bisnis baru, tetapi juga pada bisnis keluarga;
dan mereka juga menunjukkan bahwa jenis penelitian kewiraswastaan lebih tepat
dimasukkan dalam domain manajemen strategik.
Memang sulit untuk menerima bahwa pendapat yang dikemukakan Shane &
Venkataraman (2000) diadaptasi oleh para peneliti di bidang kewiraswastaan saat ini.
Sementara Baumol (1993) menyarankan fokus pada bisnis baru (label yang mungkin
mencakup baik bisnis kecil maupun bisnis keluarga). Shane & Venkataraman (2000)
melihat dari segi individu dan peluang. Implikasinya, orang akan menduga bahwa
peneliti ini meyakini fokus pada bisnis yang didirikan (bisnis baru maupun bisnis kecil)
tidak penting untuk memahami kewiraswastaan. Memang, hal ini menarik untuk dicatat
bahwa Shane & Venkataraman (2000) tidak mengutip literatur mengenai orientasi
kewiraswastaan sama sekali, seperti halnya Debicki et al. (2009).
14
Fokus penelitian Gartner (2007) pada bidang kewiraswastaan mengacu dari
pendapat sebelumnya dari Shane & Venkataraman (2000) yang fokus utamanya pada
individu dan peluang-peluang yang dapat dihasilkan oleh suatu bisnis atau perusahaan.
Alasan yang dikemukakannya yaitu karena “pengorganisasian” yang lebih besar
kemungkinannya untuk dipahami juga sebagai penciptaan bisnis atau perusahaan
(Gartner, 2007, p. 233).
Sering kali dikatakan bahwa untuk menciptakan bisnis atau perusahaan,
seseorang harus melanggar aturan sehingga ia dapat mengambil keuntungan dari setiap
peluang yang diidentifikasi atau setiap peluang baru yang bisa diciptakan. Akibatnya,
para wiraswasta mengalami dilema moral, terlebih karena melanggar aturan
berhubungan langsung dalam konteks hukum dan moral. Praktik yang demikian
memunculkan persepsi tentang orang-orang yang dikatakan licik, penipu, dan
sebagainya. Namun kenyataannya, beberapa pelanggaran yang terjadi, dari segi hukum
dan moral, hanya menjadi bagian dari mitologi kewiraswastaan. Kelihatannya, tanpa
tindakan yang berani dan atau licik, proses produksi dan kesuksesan perusahaan tidak
akan tercapai. Akibatnya, anekdot tersebut tidak melahirkan kesepakatan yang berlaku
untuk aturan hukum dan moral yang ada.
Bagaimanapun juga, ada banyak praktik bisnis yang tidak melanggar aturan,
khususnya mereka yang paling taat dengan hukum dan moral. Di sisi lain, praktik yang
melanggar aturan muncul belakangan dan dijadikan sebagai alasan bahwa mereka
melakukannya untuk memanfaatkan peluang dan atau membenarkan keadaan; atau
hanya sebagian dari tubuh organisasi yang melanggar aturan, sedangkan yang lainnya
tidak melanggar aturan. Namun dalam beberapa kasus tertentu, sering kali hanya dengan
melakukan perbandingan atas prinsip-prinsip yang diterapkan oleh suatu organisasi
dengan organisasi yang lain, muncul pembenaran bahwa ada organisasi yang melakukan
pelanggaran. Oleh karena itu, semua pandangan yang muncul biasanya mengandalkan
aturan-aturan yang umum dan universal, dan pada akhirnya sangat sulit bagi kita untuk
memperoleh gagasan yang spesifik mana yang seharusnya diikuti dan diterapkan.
Para peneliti di bidang kewiraswastaan perlu mengenali perbedaan yang sangat
signifikan dalam keyakinan yang diyakini orang tentang kewiraswastaan. Menyadari
bahwa ada perbedaan keyakinan ini mungkin menjadi aspek keseluruhan yang sama.
Atau, mungkin ada perbedaan yang diperdebatkan orang tentang kewiraswastaan, yang
15
mungkin timbul dan menjadi semakin kacau dan sulit (Gartner, 2007). Mungkin tidak
ada teori kewiraswastaan yang dapat mencerminkan semua pendapat para peneliti,
seperti apa yang selama ini dipraktikkan. Namun sebagaimana disampaikan Baumol
(1993, p. 210) bahwa seseorang dapat membawa teori kewiraswastaan pada analisis
teori lebih lanjut, hanya jika batasan-batasan itu dipahami dan dihormati.
Untuk alasan yang tersirat, Baumol (1993, p. 200) mencatat bahwa
kewiraswastaan yang mengorganisasi-perusahaan dapat diajarkan dalam kurikulum
bisnis. Misalnya, apa yang harus dipertimbangkan oleh calon wiraswasta sebelum
memulai suatu bisnis baru. Tentu saja, yang dapat diajarkan tidak hanya prinsip-prinsip
yang muncul dari model ekonomi, tetapi juga berbagai pertimbangan terkait lainnya,
seperti pembatasan hukum, pengaruh serikat buruh dan politik, dan sejumlah hal penting
dan yang relevan lainnya. Hal yang sama dapat dikatakan pada bagaimana keputusan
yang akan dihadapi oleh calon wiraswasta ini setelah perusahaan beroperasi. Karena
teori aktivitas wiraswasta yang mengorganisasi-perusahaan tidak hanya ada, tetapi juga
berkembang, maka sekolah-sekolah bisnis tidak kekurangan subjek untuk bahan
pelajaran kewiraswastaan.
Perlu dicatat pula bahwa ada kemiripan yang erat antara wiraswasta yang
mengorganisasi-perusahaan dengan manajemen perusahaan; memang, tidak berarti
bahwa ada sesuatu yang bisa diperoleh dengan mencari persamaan antara keduanya
(Baumol, 1993, p. 200). Namun, yang penting adalah bahwa apa yang wiraswasta
lakukan, umumnya juga dilakukan oleh orang-orang manajemen. Aktivitas mereka,
hingga batasan tertentu, akan berubah menjadi rutinitas. Sehingga dari banyak hal yang
dapat mereka lakukan, konsekuensinya, manfaat yang ditimbulkan sama-sama perlu
dianalisis dengan alat-alat perhitungan optimalisasi.
4.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan untuk makalah ini, penulis menyadari bahwa dalam
menjelaskan perkembangan teori kewiraswastaan secara komprehensif perlu mengacu
pada sejumlah besar studi literatur dan studi empiris yang membahas semua konteks.
Oleh karena itu, penulis menandai perkembangan teori kewiraswastaan pada tahun
penelitian Debicki et al. (2009). Walaupun penelitian mereka bersifat kualitatif, studi
literatur dan terbatas pada konteks bisnis keluarga, namun mereka mampu mengungkap
16
secara baik artikel-artikel penelitian yang berkontribusi besar pada periode tahun 20012007. Pada dasarnya, bisnis keluarga memiliki prinsip yang sama dengan bisnis pribadi
dalam hal inovasi, teknologi, dan etika bisnis.
Secara khusus, bahasan dalam makalah ini terkait inovasi, teknologi, dan etika
bisnis. Dalam perkembangannya, bidang kewiraswastaan telah memunculkan banyak
pemikiran yang kadang berdiri sendiri dan ada yang saling tumpang tindih, sehingga
baik teori maupun persepsi yang muncul terjadi kompleksitas.
Gaya kewiraswastaan tradisional umumnya ditandai oleh kurangnya teori yang
mampu menjelaskan isu-isu dalam bidang kewiraswastaan. Kebanyakan temuan
penelitian hanya menghasilkan sejumlah anggapan dan sedikitnya studi empiris tidak
dapat digeneralisasikan untuk kewiraswastaan (Baumol, 1993). Sebagai contoh, ada
sejumlah praktik dalam kewiraswastaan yang tidak dapat dijelaskan oleh teori ekonomi
dan teori manajemen yang umum dipelajari dan diterima sebagai konsep yang berlaku
universal. Selain itu, upaya untuk menerapkan etika bisnis dalam kewiraswastaan juga
sangat sulit dilakukan dan hanya mengaburkan persepsi (Brenkert, 2009). Akibatnya,
banyak pelaku bisnis yang kurang puas dengan teori yang ada. Mereka yang melakukan
inovasi dengan cara melanggar aturan justru yang meraih keunggulan kompetitif.
Bagaimanapun juga, telah banyak penelitian yang menawarkan gagasangagasan baru pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu pandangan yang dapat dibenarkan
adalah bahwa teori kewiraswastaan akan selalu mengalami kompleksitas ke depannya.
Aturan hukum dan moral yang sebelumnya dianggap sensitif di kalangan para
wiraswasta mulai mendapatkan kejelasan dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan
tertentu, terbukti dengan munculnya beberapa istilah dalam organisasi yang intinya
menerima bahwa “yang salah bisa menjadi benar” dan “yang benar bisa menjadi salah”
dan membenarkan bahwa inovasi dapat tercipta dari pandangan tersebut (Brenkert,
2009) tanpa melanggar nilai-nilai dan keyakinan organisasi.
Salah satu tanda peralihan gaya kewiraswastaan tradisional ke modern adalah
dengan bertambahnya wawasan mengenai konsep bisnis keluarga. Namun, membahas
lebih lanjut teori bisnis keluarga dirasakan sudah terlambat, melainkan saat ini yang
dibutuhkan adalah mengevaluasinya dalam rangka menghasilkan implementasi positif
(Debicki et al., 2009). Sementara yang paling dirasakan saat ini adalah difusi
pengetahuan dan perkembangan informasi dan teknologi. Persoalan yang kemudian
17
muncul adalah bagaimana wiraswasta dapat meningkatkan kemampuan menyerap
pengetahuan dengan lebih baik, dan bagaimana memberikan rangsangan kepada calon
wiraswasta untuk mengakui bahwa pekerjaan tersebut sangat bernilai tinggi.
Sayangnya, baik di era sebelum tahun 2001 maupun di era sesudah tahun 2001,
bidang kewiraswastaan tidak terlalu diyakini mencapai kejelasan teori. Namun penulis
menghormati temuan bahwa setidaknya ada beberapa pendapat yang dapat diterima
secara masuk akal. Di luar dari anekdot dan bukti-bukti pelanggaran yang menjadi
perdebatan perihal etika dan moral, bagaimanapun juga, tujuan organisasi adalah untuk
mencapai produktivitas. Hanya saja, cara-cara untuk mencapainya dengan inovasi dan
penyerapan teknologi diperlukan upaya yang berbeda antara satu perusahaan dengan
perusahaan yang lainnya.
Saran bagi para akademisi adalah perhatian yang lebih kritis pada asumsi yang
dikemukakan sebelum mencoba untuk membangun atau mengembangkan teori.
Persoalannya adalah bagaimana para peneliti dapat mengumpulkan berbagai temuan
yang berbeda dan membentuknya menjadi suatu kesatuan. Jika tidak memungkinkan,
maka sebaiknya dilakukan evaluasi dan mencari koneksi di antara temuan yang ada.
Terakhir, saran yang mungkin dapat diberikan bagi para praktisi adalah tetap
merangsang pertumbuhan kewiraswastaan dengan kreativitas yang ada. Walaupun
masalah etika dan moral dalam berbisnis merupakan hal yang sulit untuk diatasi, namun
kesadaran bahwa integritas organisasi hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai dan
keyakinan merupakan hal yang tidak terbantahkan.
18
REFERENSI
Baumol, William J. (1993). Formal entrepreneurship theory in economics: Existence and
bounds. Journal of Business Venturing, 8(3), 197-210. doi: 10.1016/08839026(93)90027-3
Brenkert, George G. (2009). Innovation, rule breaking and the ethics of entrepreneurship.
Journal of Business Venturing, 24(5), 448-464. doi:
10.1016/j.jbusvent.2008.04.004
Debicki, Bart J., et al. (2009). Family business research in the new millenium. Family
Business Review, 22(2), 151-166.
Gartner, William B. (2007). Is There an Elephant in Entrepreneurship? Blind Assumptions
in Theory Development*. In Á. Cuervo, D. Ribeiro & S. Roig (Eds.),
Entrepreneurship (pp. 229-242): Springer Berlin Heidelberg.
Scarborough, Norman M. (2012). Effective Small Business Management: An
Entrepreneurial Approach (10th ed.). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice
Hall.
Shane, Scott., & Venkataraman, Sankaran. (2000). The promise of entrepreneurship as a
field of research. Academy of Management Review, 25(1), 217-226.
Venkataraman, Sankaran. (2004). Regional transformation through technological
entrepreneurship. Journal of Business Venturing, 19(1), 153-167. doi:
10.1016/j.jbusvent.2003.04.001
19
Jacobus R. Kuntag (2014)
([email protected])
ABSTRAK
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan kajian tentang perkembangan literatur
yang terkait dengan bidang kewiraswastaan, khususnya pada konteks bisnis keluarga.
Perkembangan bidang kewiraswastaan telah melahirkan berbagai teori, perspektif dan
praktik yang berbeda. Pada suatu sisi, banyak dijumpai temuan yang berbeda dan tumpang
tindih. Di sisi yang lain, sebagian wiraswasta masih belum puas dengan temuan yang ada.
Hal yang diakui bahwa dalam memenuhi tuntutan inovasi dan adaptasi teknologi kadang
terjadi pelanggaran aturan yang memunculkan banyak perdebatan antara kreativitas dan
etika berbisnis. Sebagai kesimpulan untuk makalah ini, teori yang berkembang dari gaya
tradisional hingga gaya modern saat ini belum mampu memberikan kesepakatan yang
memuaskan akademisi dan praktisi. Namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa
sebagian besar temuan empiris yang dilakukan masuk akal untuk perkembangan ekonomi
dan dapat diimplementasikan untuk merangsang pertumbuhan kewiraswastaan saat ini.
Kata Kunci: kewiraswastaan, bisnis keluarga, inovasi dan teknologi, etika bisnis.
1.
Pendahuluan
Saat ini, wiraswasta (entrepreneur) dianggap menjadi sosok yang menghantui
model ekonomi. Dikatakan ‘menghantui’ karena sejumlah literatur yang mengungkap
perkembangan kewiraswastaan (entrepreneurship) telah mengaburkan teori ekonomi
yang banyak dipelajari dan diakui sebelumnya secara universal. Namun yang diakui
juga bahwa, bahkan jika para wiraswasta tidak mengambil kendali perubahan ekonomi,
atau dengan kata lain mereka hanya mengubah arah bisnis mereka sendiri, kita tidak
akan menikmati pertumbuhan ekonomi dengan cara yang lebih baik saat ini.
Meskipun meluncurkan sebuah bisnis tidak pernah mudah, namun sumber
daya yang tersedia saat ini membuat pekerjaan lebih mudah daripada sebelumnya.
Setelah melihat bahwa pilihan yang mengatakan, “tidak semua orang mampu untuk
memegang perusahaan,” kewiraswastaan kini diterima dan dihormati sebagai bagian
dari budaya. Namun bagaimana kita melihat perkembangan bidang kewiraswastaan
selama ini, serta tantangan-tantangan apa yang telah dihadapi?
1
Penelitian dalam bidang kewiraswastaan telah banyak dilakukan dalam
konteks yang berbeda-beda (Baumol, 1993; Brenkert, 2009; Debicki et al., 2009;
Gartner, 2007; Venkataraman, 2004), bahkan di antaranya mengalami tumpang tindih
dikarenakan pertumbuhan dalam adaptasi yang sama beberapa tahun terakhir ini.
Kewiraswastaan telah mendominasi perekonomian dunia, dan tampaknya studi ilmiah
yang belakangan dilakukan dirasakan sudah terlambat. Akibatnya, kebutuhan yang baru
muncul secara sistematis, bahwa diperlukan evaluasi dari kontribusi para peneliti
sebelumnya dan bagaimana keterkaitan dari setiap kontribusi penelitian yang ada, serta
apa manfaat dari evaluasi tersebut.
Debicki et al. (2009) mencoba menjawab tuntutan kebutuhan tersebut dengan
cara mengidentifikasi sejumlah penelitian terdahulu yang telah memberikan kontribusi
pada bidang kewiraswastaan dan berfokus pada konteks bisnis keluarga, serta institusi
di mana sejumlah penelitian sebelumnya dilakukan. Mereka menganalisis isi dari bidang
yang dipelajari selama periode tahun 2001-2007. Akhirnya, dengan melakukan analisis
hubungan-jaringan di antara sejumlah penelitian terdahulu, mereka memberikan
pemahaman yang lebih bernuansa, yaitu mengapa para ilmuwan dan institusi telah
menjadi lebih produktif, dan mengapa beberapa topik tertentu menerima perhatian yang
lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya.
Baik bisnis kecil maupun bisnis keluarga, banyak orang di setiap belahan
dunia telah gencar meluncurkan bisnis baru berkat teknologi yang menyediakan akses
mudah ke pasar lokal dan global pada saat mereka baru memulai bisnis (start-up).
Bahkan, di negara-negara berkembang yang tidak dikenal sebagai sarang-sarang
aktivitas kewiraswastaan telah menjadi rumah bagi para wiraswasta dengan bisnis baru
yang menjanjikan. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa di setiap negara dengan
sarang aktivitas kewiraswastaan berkat adanya infrastruktur yang nyata seperti sistem
hukum, pasar modal yang transparan, sistem telekomunikasi dan transportasi yang
canggih, dan sebagainya. Sejumlah faktor tersebut memang merupakan prasyarat yang
diperlukan bagi kewiraswastaan berbasis teknologi.
Sering kali pemerintah berupaya mempromosikan kewiraswastaan berbasis
teknologi dengan cara menyuntikkan modal risiko. Ketika itu dilakukan, maka biasanya
investasi akan mengalir langsung ke lapisan kewiraswastaan yang berkualitas rendah.
Pemerintah sering kali menganggap bahwa investasi modal tersebut sebagai upaya awal
2
untuk menciptakan semua prasyarat lain dalam rangka pertumbuhan. Namun mengingat
bahwa salah satu sifat dari kewiraswastaan adalah ketidakberwujudan (intangible),
Venkataraman (2004) berpendapat bahwa seharusnya pemerintah menyertai upaya tak
berwujud lainnya. Modal risiko diharapkan akan menghasilkan kekayaan yang besar,
jika disertai dengan akses ke ide-ide baru, model peran, forum informal, peluangpeluang khusus, jaring pengaman, akses ke pasar besar, dan kepemimpinan eksekutif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya perkembangan teknologi juga
telah memunculkan pelanggaran-pelanggaran dengan alasan inovasi dan untuk meraih
keunggulan kompetitif. Secara khusus, Brenkert (2009) membahas keterkaitan antara
pelanggaran aturan oleh para wiraswasta ini dengan etika yang sebenarnya dalam
berbisnis. Telah banyak contoh dari sejumlah studi empiris yang mengungkap sejumlah
pelanggaran, tetapi bagaimana hal melanggar aturan itu dalam kaitannya dengan etika
kewiraswastaan menjadi hal menarik yang dikaji lebih jauh. Brenkert (2009)
memandang bahwa etika kewiraswastaan yang berbasis-kebijakan dimana dalam
sejumlah kasus salah secara moral, tetap saja dapat diterima secara etis; dan bahwa hal
itu berdampak tidak hanya bagi ekonomi, tetapi juga bagi moralitas seseorang.
Pentingnya menciptakan lingkungan pekerjaan yang positif sudah menjadi hal
penting dalam sebuah organisasi, dan untuk menciptakan lingkungan yang jujur dan
berintegritas selalu dimulai dari bagian puncak sebuah organisasi. Ini mengisyaratkan
bahwa para pemilik bisnis seharusnya memberi contoh yang sempurna untuk semua
anggota perusahaan. Selain berusaha membangun semangat kerja yang tinggi di
kalangan para karyawan, pemilik bisnis juga menetapkan standar perilaku etis.
Lingkungan kerja di mana seluruh karyawan melihat diri mereka sendiri sebagai bagian
penting dari tim yang sekaligus mencegah mereka untuk berpindah.
Pada dasarnya, etika bisnis melibatkan standar perilaku yang ditunjukkan oleh
para pemilik bisnis, karena kedudukan mereka yang penting dalam hal pengambilan
keputusan dan upaya pemecahan masalah di dalam sebuah organisasi. Dalam proses
jangka panjang, wiraswasta memiliki dasar nilai-nilai dan keyakinan pribadi yang solid
dan mereka mengartikulasikannya kepada para karyawannya serta mempraktikkannya
dengan cara-cara yang bisa diamati oleh orang lain. Namun, pemimpin yang berbasisnilai melakukan lebih dari sekadar mengikuti aturan; hati nurani mereka mendikte
bahwa mereka seharusnya melakukan apa yang benar (Scarborough, 2012, p. 712).
3
2.
Perkembangan Teoretis
2.1. Perkembangan Teori Kewiraswastaan
Sejauh ini, belum ada yang mampu menjelaskan konstruk sebenarnya dari
teori kewiraswastaan di bidang ekonomi, bahkan jika sejumlah besar ilmuwan
dikumpulkan untuk memahami dan merumuskan kebijakannya. Apabila dilihat dari
subjek dan sifatnya, banyak teori ekonomi dan manajemen yang tidak mampu
menjelaskan keterbatasannya. Sebagaimana dicatat oleh Baumol (1993, p. 198) bahwa
tampaknya hanya sebagian kecil teori ekonomi dan manajemen yang masih dapat
diterima secara masuk akal untuk digunakan dalam mengkaji secara lebih mendalam
teori kewiraswastaan. Demikian pula dalam konteks bisnis keluarga yang saat ini telah
mendominasi ekonomi dunia, Brenkert (2009, p. 151) mencatat bahwa upaya untuk
menjelaskan teori dirasakan sudah terlambat, melainkan yang dibutuhkan saat ini
adalah evaluasi dan mencari hubungan di antara penemuan yang ada.
Tidak diragukan lagi, buku yang paling menonjol adalah Schumpeter dengan
judul: “Theory of Economic Development” yang dipublikasikan pertama kali pada
tahun 1912. Meskipun bukunya yang paling biasa dikutip, definisi Schumpeter tentang
wiraswasta bukan kontribusi yang paling penting dari tulisannya. Konsep Schumpeter
tentang wiraswasta adalah “sui generis”, yaitu sebuah konstruk, sebuah tipe ideal yang
digunakan Schumpeter untuk menjelaskan teorinya tentang pembangunan ekonomi.
Baumol (1993) dalam temuannya menyimpulkan bahwa pengamatan teori
ekonomi yang dapat dan tidak dapat diperikirakan mungkin bisa dicapai. Ia
menunjukkan bahwa, teori kewiraswastaan tidak hanya menjadi aspirasi di masa
depan―tetapi teori kewiraswastaan itu sebenarnya sudah ada dan sedang diperluas,
dan bahwa teori kewiraswastaan itu sementara berkembang. Sebagian besar dari apa
yang dikaji berfokus pada inovasi kewiraswastaan, yang secara khusus menunjukkan
keprihatinannya dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan produktivitas (p. 199).
Penelitian yang dilakukan Baumol (1993) memiliki beberapa keterbatasan,
yaitu tidak berfokus pada kontribusi, tidak bersifat aktual dan prospektif, dan tidak
menggarap bidang-bidang tertentu seperti bidang sosiologi, psikologi, dan spesialis
dalam manajemen bisnis. Namun, temuannya memberikan gagasan penerapan praktis
dalam konteks yang lain, misalnya dalam upaya meningkatkan produktivitas―serta
4
memberikan dorongan dan meningkatkan kontribusi para wiraswasta dalam rangka
pertumbuhan produktivitas dan daya saing ekonomi.
Sementara studi yang dilakukan oleh Shane & Venkataraman (2000) dapat
dikatakan memberikan kontribusi yang signifikan untuk teori kewiraswastaan, dan
bahwa studi mereka memiliki implikasi penting bagi para peneliti di bidang
kewiraswastaan juga diakui oleh Gartner (2007, p. 231). Tidak hanya itu, temuan lain
Venkataraman (2004) dalam konteks techno-entrepreneur dibahas secara khusus
dalam makalah ini. Shane & Venkataraman (2000) mengemukakan tujuan dari
penelitian bidang kewiraswastaan dengan menjelaskan terlebih dahulu apa fokus dari
kewiraswastaan, serta menunjukkan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Mereka
mendefinisikan penelitian kewiraswastaan sebagai suatu pengujian ilmiah tentang
bagaimana, oleh siapa, dan dengan dampak apa, peluang untuk membuat barang dan
jasa di masa mendatang ditemukan, dievaluasi, dan dieksplorasi.
Selanjutnya, Gartner (2007) menggunakan enam keputusan spesifikasi
kunci untuk penelitian kewiraswastaan, yaitu: tujuan, perspektif teoretis, fokus, tingkat
analisis, kerangka waktu, dan metodologi. Salah satu wawasan penting yang
dikemukakan Gartner (2007, p. 229) adalah bahwa “keputusan-keputusan spesifikasi
desain tersebut saling terkait, dan tidak dapat dibuat secara mandiri”. Sehubungan
dengan pendapat tersebut, Gartner (2007) menjelaskan pilihan perspektif teoretis
dalam kewiraswastaan bergantung pada asumsi yang dibuat.
Beberapa pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “dapatkah teori
kewiraswastaan mencakup bentuk-bentuk organisasi yang beragam seperti bisnis baru,
bisnis kecil, dan bisnis keluarga?” Dapatkah teori kewiraswastaan mencakup
pengaturan seperti pekerjaan yang dilakukan mandiri, manajemen perusahaan, dan
suksesi manajemen?” Sayangnya, tidak ada cara teoretis yang sempurna untuk
menghubungkan semua kepentingan penelitian yang berbeda secara bersama-sama.
2.2. Bisnis Keluarga
Wiraswasta dapat dibedakan dari dua jenis modal sosial: yang satu diperoleh
dari keluarga asal mereka dan yang lainnya dikembangkan oleh individu. Kebutuhan
akan perbedaan ini telah dikonfirmasi secara empiris yang sekaligus membantah
5
pendapat yang mengatakan anggota keluarga tidak penting untuk keberhasilan
kewiraswastaan seperti yang diyakini sebelumnya. Hanya anggota dari beberapa
kelompok etnis minoritas yang dapat mengandalkan dukungan keuangan dari anggota
keluarga. Memang, terlalu mengandalkan anggota keluarga dapat menempatkan
wiraswasta yang baru lahir menuju pada kerugian.
Studi mengenai bisnis keluarga telah banyak dilakukan, bahkan telah
mengalami tumpang tindih dikarenakan pertumbuhannya yang sama dalam beberapa
tahun terakhir ini. Bisnis keluarga telah mendominasi perekonomian dunia, dan
tampaknya studi ilmiah yang belakangan dilakukan dirasakan sudah terlambat.
Akibatnya, kebutuhan yang baru muncul secara sistematis bahwa diperlukan evaluasi
dari kontribusi para peneliti dan menunjukkan keterkaitan atas kontribusi yang ada,
serta mengambil manfaat dari evaluasi tersebut.
Debicki et al. (2009) membahas kebutuhan ini dengan mengidentifikasi
sejumlah penelitian terdahulu yang telah memberikan kontribusi pada bidang bisnis
keluarga serta berbagai institusi di mana penelitian-penelitian terdahulu dilakukan.
Mereka juga menganalisis apa isi dari bidang yang dipelajari selama periode tahun
2001-2007. Secara khusus, studi yang mereka lakukan berfokus pada 30 jurnal
manajemen yang dipublikasikan selama periode tahun 2001-2007.
Debicki et al. (2009) mengidentifikasi sejumlah penelitian terdahulu yang
karyanya telah menghasilkan kontribusi besar terhadap perkembangan bisnis keluarga.
Mereka menunjukkan bahwa pada umumnya penelitian di bidang bisnis keluarga
dapat dikelompokkan pada enam kegiatan utama penelitian yang diurutkan
berdasarkan pada jumlah cakupan yang lebih banyak dilakukan, yaitu tujuan dan
sasaran, perumusan strategi dan konten, implementasi strategi dan kontrol,
manajemen, topik-topik lain yang relevan dengan manajemen strategik, dan terakhir
topik-topik lainnya yang tidak relevan dengan manajemen strategik. Topik-topik yang
dibahas untuk tujuan dan sasaran, seperti tujuan ekonomi, tujuan non-ekonomi, dan
proses formulasi tujuan.
Selain itu, temuan Debicki et al. (2009) juga menunjukkan bahwa sejumlah
penelitian berfokus pada sejumlah faktor penting seperti massa produk kritis,
ketersediaan sumber daya, dan dukungan administrasi. Dengan menunjukkan bukti
kontribusi terhadap pengetahuan bahwa banyak institusi yang telah berinvestasi dalam
6
penelitian bisnis keluarga, temuan mereka dapat memberikan pembenaran untuk
investasi berkelanjutan dan mungkin merangsang minat para pemangku kepentingan
eksternal untuk menyediakan investasi tambahan di masa depan.
Meskipun komunitas penelitian bisnis keluarga telah bertumbuh, tetapi
sejumlah penelitian terdahulu masih dianggap sedikit dan keterkaitannya lemah, yang
memberi kesan bahwa difusi pengetahuan akan sangat bertumbuh dengan cepat dalam
tahun-tahun mendatang dan bahwa upaya-upaya lebih lanjut diperlukan untuk
memperluas komunitas tersebut. Karena analisis jaringan menggambarkan pentingnya
jaringan ilmiah untuk kemajuan penelitian, temuan Debicki et al. (2009) diharapkan
dapat mendorong para akademisi dan institusi lainnya untuk terhubung dengan
jaringan tersebut serta membangun jaringan baru mereka sendiri.
Terakhir, dengan menganalisis bidang topik yang telah dibahas dalam
penelitian bisnis keluarga dan membandingkan cakupan tersebut dengan periode
sebelumnya, Debicki et al. (2009) mengidentifikasi tren penelitian dan area yang layak
untuk penyelidikan lebih lanjut. Karena tren dan kesenjangan ini berkaitan dengan
individu, institusi, dan jaringan yang terlibat dalam penelitian bisnis keluarga, temuan
mereka diharapkan dapat merangsang para ilmuwan dalam jaringan yang ada dan baru
muncul untuk membangun momentum yang diperoleh di area penyelidikan tertentu
serta menggabungkan bidang topik baru dalam wadah mereka untuk mengisi
kesenjangan ini dalam pengetahuan yang diidentifikasi.
2.3. Inovasi dan Teknologi
Salah satu prinsip kewiraswastaan adalah kemampuan untuk menciptakan
ide-ide baru dan berguna yang dapat memecahkan masalah dan tantangan yang
dihadapi orang setiap hari (Scarborough, 2012, p. 9). “Wiraswasta berinovasi,”
sebagaimana dikatakan oleh Peter Drucker, “inovasi adalah instrumen khusus dalam
kewiraswastaan”. Wiraswasta menciptakan kesuksesan dengan cara menciptakan nilai
di pasar ketika mereka menggabungkan sumber daya dengan cara yang baru dan
berbeda untuk memperoleh keunggulan kompetitif atas pesaing. Wiraswasta
menciptakan nilai dalam berbagai cara, seperti menciptakan produk atau jasa baru,
menciptakan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, meningkatkan produk
dan jasa yang sudah ada, menemukan cara-cara yang berbeda untuk menyediakan lebih
7
banyak barang dan jasa dengan lebih sedikit sumber daya, dan sebagainya. Maksud
dari “wiraswasta yang berinovasi” bukan berarti “penyelenggaraan perusahaan”
(Baumol, 1993, p. 199), yang mana benar-benar terpisah dari model standar
perusahaan. Peran dari penyelenggaraan perusahaan, meskipun sering kali diragukan,
pada saat yang sama sangat dekat dengan peran manajer. Sementara aktivitas
manajemen itu sendiri, meskipun jarang disebutkan secara eksplisit dalam kebanyakan
model standar perusahaan, tetap saja aktivitas manajemen dapat menjadi fokus utama
analisis dalam inovasi kewiraswastaan.
Sebagai contoh, Baumol (1993) menyelidiki waktu optimal dari suatu
pengenalan sebuah inovasi. Dalam praktiknya, inovasi merupakan proses yang
berkesinambungan. Semakin lama jeda waktu dalam transfer produk baru dari fasilitas
LITBANG ke manufaktur dan pemasaran, maka produk akan semakin memungkinkan
untuk ditingkatkan. Namun jeda waktu ini juga memberikan kesempatan kompetitor
meningkatkan produknya. Ia menunjukkan bagaimana trade-off ini dapat dianalisis
secara sistematis, dan menghasilkan beberapa temuan mengejutkan tentang keputusan
yang optimal untuk waktu optimal dari suatu pengenalan produk baru.
Kesulitannya adalah pada saat menganalisis dan menggambarkan inovasi
secara umum. Berdasarkan apa yang diamati bahwa individu dapat bersikap
sembarangan hanya menjadi seperti pengulangan atas apa yang telah dilakukan
sebelumnya. Inovator memerlukan pengenalan atas apa yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan biasanya tak terduga. Sebaliknya, input yang digunakan cenderung
sama untuk saat itu di banyak cara yang sama seperti yang digunakan sebelumnya, dan
logika dari keputusan-keputusan untuk menggunakannya pun tidak mengalami
perubahan yang konstan. Misalnya, ketika manajemen mempertimbangkan akan
meminjam dana tambahan, dan menggunakannya seolah mengulangi perhitungan
yang mungkin sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Perhitungan nilai saat itu
dan pertimbangan terkait input lainnya tetap tidak berubah secara fundamental.
Seorang inovator dapat dengan mudah menunjukkan proses, sementara yang lainnya
menentukan persyaratan optimal sebelum membuat keputusan proses (p. 199).
Tidak berada di setiap rutinitas yang masuk akal, banyak keputusan proses
yang dibuat berada di luar perhitungan sistematis. Pekerjaan yang dilakukan oleh
wiraswasta yang berinovasi sama halnya dengan tugas seorang ahli strategi militer
8
yang beroperasi di medan pertempuran (Baumol, 1993, p. 199), yaitu di mana ada
keuntungan besar yang mengejutkan atau di mana setiap orang harus bersiap untuk
beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan yang tak terduga.
Teori perusahaan telah dilandaskan hasilnya hampir sepenuhnya pada premis
optimasi Baumol (1993, p. 200). Sebagai contoh, perusahaan merekrut jumlah pekerja
yang memaksimalkan laba, mempertahankan jumlah persediaan yang optimal,
membagi modal secara optimal di antara variasi produk―yang merupakan lini produk
yang menguntungkan. Matematikawan telah menawarkan seperangkat alat yang kuat
kepada bidang ilmu ekonomi dalam menganalisis keputusan secara optimal, termasuk
kalkulus diferensial, pemrograman matematika, dan teori permainan. Ekonom, pada
gilirannya, telah menempatkan alat-alat organisasi yang digunakan dengan baik dalam
memperjelas teori tentang memaksimalkan laba perusahaan. Sebagian besar penemuan
dalam inovasi dan teknologi telah menunjukkan hasil yang mengejutkan, dan terbukti
berguna dalam aplikasinya sebagai alat konsultasi dan ilmu manajemen.
Namun alasan-alasan yang disebutkan untuk wiraswasta yang berinovasi
itulah yang justru tidak diterima dari teori ekonomi formal perusahaan. Karena terusmenerus berubah, para peneliti sering kali mengalami kesulitan dalam menyediakan
gambaran umum tentang apa yang wiraswasta lakukan. Hal ini, pada gilirannya,
menghalangi setiap kesimpulan yang dibutuhkan seperti mendeskripsikannya dalam
bahasa matematika. Berbagai pilihan yang tersedia bagi wiraswasta pada waktu
tertentu tidak diketahui, dan konsekuensi dari pilihan apa pun belum dapat dijelajahi
secara lebih luas. Dengan demikian, dasar untuk perhitungan optimasi biasanya tidak
disertakan. Seakan ada ruang tersendiri yang disediakan bagi wiraswasta yang
berinovasi dan ketergantungannya pada firasat dan naluri, yang tidak dihilangkan di
dalam teori perusahaan (Baumol, 1993, p. 200).
Salah satu keterbatasan penelitian Baumol (1993) adalah memberikan
anggapan yang sama untuk konteks bisnis baru, bisnis kecil, dan bisnis keluarga.
Venkataraman (2004, p. 154) mengungkap bahwa di negara-negara berkembang,
kewiraswastaan menjadi upaya terakhir yang dilakukan. Dengan kata lain, dorongan
orang untuk melakukan inovasi atau memulai bisnis baru biasanya karena orang
menganggur, setengah menganggur, atau cacat fisik. Karena dukungan investasi
seperti real estate dan emas, dana untuk pengusaha, tidak disediakan oleh pemodal
9
ventura dan investor modal risiko lainnya, maka pemerintah yang mendanai ide-ide
berani dan risiko dari bisnis-bisnis kecil. Akibatnya, para penerima dana tersebut
masuk ke waralaba, jasa rumah tangga, eceran, atau toko kelontong, restoran, dan
produk atau jasa tiruan lainnya. Orang-orang berbakat yang ingin berinovasi atau
berbakat terpaksa berimigrasi ke tempat-tempat di mana mereka lebih mudah meraih
dana risiko tersebut. Masalah ini yang menjadi salah satu perhatian penting saat ini
karena hambatan yang membatasi mobilitas modal, tenaga kerja, dan bakat intelektual.
Menurut Venkataraman (2004), upaya untuk menumbuhkan para wiraswasta
yang berinovasi dan berbasis teknologi pemerintah tidak hanya dengan memberikan
modal risiko, tetapi juga disertai dengan tujuh infrastruktur yang tidak berwujud yang
saling menunjang, dimulai dari kepemimpinan eksekutif, akses ke ide-ide baru, modelmodel peran, forum informal, peluang-peluang khusus-kawasan, jaring pengaman, dan
akses ke pasar besar.
Persoalan yang dikemukakan Venkataraman (2004, p. 166) adalah bagaimana
ketujuh infrastruktur tidak berwujud tersebut datang bersama-sama dalam sebuah
daerah yang tidak memilikinya? Mengandalkan kekuatan spontan atau alami mungkin
tidak menjadi solusi untuk beberapa daerah karena mungkin masalah-masalah yang
dihadapi perlu diatasi sebelumnya. Jelas, beberapa intervensi pemerintah yang
diperlukan. Ketika berpikir tentang intervensi, maka yang penting adalah pemikiran
pemerintah dan peran mereka dalam menciptakan infrastruktur tidak berwujud yang
diperlukan untuk kewiraswastaan berbasis teknologi. Apabila pemerintah bersedia
menyediakan infrastruktur tidak berwujud, maka akan memunculkan mentalitas hak.
Memang disadari bahwa budaya dengan keengganan risiko rendah dan akal
sehat untuk pembaharuan tidak semudah nilai-nilai yang diwujudkan dalam lembagalembaga publik. Pada akhirnya, badan-badan pemerintah tidak pernah pandai memilih
mana yang pemenang dan mana yang pecundang, setidaknya tidak dalam jangka waktu
yang panjang. Di sisi lain, pasar atau lembaga publik tidak selalu memecahkan
masalah batasan-batasan secara efektif dan efisien. Solusinya tidak terletak pada
berpikir dalam hal peran pasar dan pemerintah, tetapi dalam peran kepemimpinan
daerah dalam menembus batasan-batasan dan menciptakan infrastruktur tak berwujud
yang diperlukan. Kepemimpinan tersebut harus dikolaborasikan di antara para
10
pemimpin eksekutif dari lembaga publik, dan juga pemerintah meningkatkan pasar,
universitas, dan lembaga-lembaga publik lainnya.
Tujuan yang diharapkan adalah untuk secepatnya dan secara efektif
memecahkan batasan-batasan yang ada serta menciptakan lingkungan yang sesuai dan
mendukung struktur untuk mendorong inovasi. Sementara kepemimpinan visioner
juga berguna, yang lebih penting lagi adalah kepemimpinan eksekutif sebagaimana
disarankan dalam temuan (Venkataraman, 2004). Perhitungan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh para pemimpin daerah, dan bekerja secara bersama-sama akan
menghasilkan kesempatan yang lebih besar untuk sukses daripada bekerja melalui
preferensi sempit di antara lembaga secara sendiri-sendiri.
2.4. Etika Bisnis dalam Kewiraswastaan
Bagian ini membahas secara khusus mengenai etika dalam berbisnis. Apabila
argumen pada bagian sebelumnya berlaku, maka tidak ada teori kewiraswastaan yang
menjanjikan untuk bisa membantu kita dalam menjelaskan bagaimana jika wiraswasta
tidak berinovasi, atau memberikan konstruk sistematis yang menunjukkan bagaimana
wiraswasta yang berinovasi bisa meningkatkan kinerja. Setidaknya, menurut Baumol
(1993, p. 201), masih ada yang berharap untuk mempelajari lebih lanjut mengenai
inovasi dalam kewiraswastaan. Pertama, mereka ingin menemukan atribut-atribut
yang cenderung membuat seseorang memulai karier sebagai inovator, serta atributatribut yang berhubungan dengan keberhasilan. Kedua, mereka ingin mencari tahu
bagaimana saat pengaturan institusi atau fenomena sosial atau ekonomi memengaruhi
kuantitas kewiraswastaan, arah yang diperlukan, dan kemungkinan keberhasilannya,
yang mungkin pada saat yang sama juga mempelajari efek timbal baliknya.
Etika bisnis melibatkan nilai-nilai moral dan standar perilaku yang
digambarkan oleh para pebisnis, karena mereka yang membuat keputusan-keputusan
dan memecahkan masalah-masalah yang ada. Etika bisnis berasal dari komitmen untuk
melakukan apa yang benar. Perilaku etis―melakukan apa yang “benar” yang
bertentangan dengan apa yang “salah”―dimulai dari bagian puncak sebuah organisasi
dengan para karyawan. Nilai-nilai pribadi dan kepercayaan yang dimiliki oleh para
wiraswasta memengaruhi cara mereka memimpin dan jelas dalam setiap keputusan
yang mereka buat, setiap kebijakan yang mereka tulis, dan setiap tindakan yang
11
mereka ambil. Namun para pemimpin yang berbasis-nilai melakukan lebih dari
sekadar mengikuti aturan; hati nurani mereka mendikte bahwa mereka seharusnya
melakukan apa yang benar (Scarborough, 2012).
Banyak negara berkembang yang ditandai dengan adaptasi budaya dan tradisi
yang mengikat. Orang-orang paling berbakat justru berada pada posisi yang tidak
dihargai untuk membuat taruhan berani (Venkataraman, 2004, p. 154). Menurut
Brenkert (2009), ada sesuatu yang lebih kompleks terjadi secara alami menyangkut
etika bisnis dalam kewiraswastaan. Isu kompleksitas ini ditandai dari sejumlah
pandangan wiraswasta bahwa aturan moral yang bersih dan perilaku pelanggaran ini
masih dapat diterima dalam kewiraswastaan. Sebagai contoh, dalam konteks
“kompetitif”, seorang wiraswasta dapat melanggar aturan mengenai pengungkapan
kebenaran (atau publisitas) dan pengambilan janji (atau sumpah), tetapi tindakan
mereka dapat diterima sebagai hal yang wajar dilakukan oleh para wiraswasta.
Dalam kasus “Izin dan Pengampunan” (Permission dan Forgiveness),
wiraswasta mungkin melanggar aturan yang seharusnya dan tindakan mereka itu bisa
saja diampuni. Beberapa tindakan yang diambil oleh para wiraswasta bisa mengubah
konteks sehingga “yang benar bisa menjadi salah” atau “yang salah bisa menjadi
benar” (istilah untuk “Pygmalion Effects”). Contoh lain dalam kasus “Tangan Kotor”
(istilah untuk “Dirty Hands”), kedua keputusan alternatif bisa saja salah. Terakhir,
dalam kasus “Tricksterism”, melanggar aturan juga dapat menjadi bagian dari tradisilintas budaya, yang diterima, jika bukan dihormati, untuk mempermainkan “sistem”
dalam rangka mempromosikan proyek atau program.
Sebagai temuan, Brenkert (2009, p. 462) mencatat bahwa tidak ada aturan
tunggal atau prinsip yang memberikan jawaban unik untuk setiap situasi yang dihadapi
terkait dengan masalah etika dalam berbisnis. Dengan menggunakan standar teori
seperti utilitas atau deontologi dari moralitas sedikit membantu. Wiraswasta
menghadapi situasi di mana terdapat norma-norma jamak, nilai-nilai, dan kebajikan
yang mungkin dapat menyelesaikan konflik (misalnya, dalam kasus “Tangan Kotor”).
Sehingga menggunakan bimbingan moral dalam bentuk seperangkat aturan yang
menguraikan hak atau hal-hal yang dianggap salah, menjadi salah satu upaya yang
dilakukan. Tidak ada pedoman atas hal-hal tersebut.
12
3.
Perspektif dan Praktik Kewiraswastaan
Schumpeter telah menunjukkan kontribusi besar dalam sejumlah literatur
kewiraswastaan dan perkembangan teori kewiraswastaan saat ini. Pemikiran
Schumpeter yang lebih penting pada perkembangan teori ekonomi, dan seiring
berkembangnya teori kewiraswastaan telah melahirkan banyak persepsi dan praktik
yang berbeda. Kita bisa, dan tentu saja, mendiskripsikan penelitian yang ada
sebelumnya pada apa yang diterapkan oleh para wiraswasta pada masa lalu. Tetapi
deskripsi yang dapat dijelaskan hanya tentang kewiraswastaan itu, dan sebagaimana
diketahui bahwa apa pun inovasi yang dilakukan para wiraswasta saat ini, jelas berbeda
dengan apa yang dilakukan para wiraswasta sebelumnya (Baumol, 1993, p. 199). Studi
lapangan akan terlayani dengan lebih baik jika masalah dari perspektif teoretis ditujukan
langsung dan asumsi-asumsi yang tidak tertulis dihindari.
Salah satu hal penting setiap kali akan mengembangkan teori dalam penelitian
kewiraswastaan bergantung pada apakah kita (peneliti) menyadari asumsi yang kita buat
mengenai fenomena ini. Beberapa bukti menunjukkan bahwa para peneliti di bidang
kewiraswastaan tidak menyadari asumsi mereka. Gartner (2007) menemukan bahwa
para peneliti di bidang kewiraswastaan memegang keyakinan yang sangat berbeda
tentang sifat kewiraswastaan, dan bahwa para peneliti memiliki pandangan yang sangat
berbeda tentang “terdiri dari apakah” kewiraswastaan itu―sebagai sebuah fenomena.
Pengamatan yang sama juga menunjukkan mengapa sangat sulit bagi sebuah
sekolah bisnis untuk melatih para siswa menjadi wiraswasta yang berinovasi (Baumol,
1993, p. 200). Sekolah-sekolah juga dapat melengkapi diri untuk mengajar tentang
kewiraswastaan pada masa lalu. Memang, tindakan mengajar seseorang tentang apa
yang para wiraswasta lakukan dulu, atau menggambarkannya dalam sebuah buku teks,
cenderung mengubahnya dari tindakan inovatif kewiraswastaan ke dalam sebuah
tindakan rutin manajemen. Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan tugas
manajemen, yang jelas-jelas sangat penting, tetapi untuk membedakan antara aktivitas
manajemen dan aktivitas wiraswasta.
Bidang kewiraswastaan diilustrasikan seperti dalam cerita “Orang Buta dan
Gajah”. Diceritakan tentang enam orang buta menyentuh bagian yang berbeda dari
tubuh si gajah dan kemudian masing-masing mendeskripsikan secara berbeda-beda
mengenai karakteristik si gajah. Cerita ini menunjukkan sebuah silogisme dalam hal
13
memikirkan masalah yang mengintegrasikan pandangan berbeda dari suatu fenomena
yang besar dan kompleks. Tersirat dalam penemuan Gartner (2007) adalah ketakutan
bahwa penelitian yang didasarkan pada pandangan yang berbeda ini akan mengacaukan
hasil dan gagasan penelitian. Menyaring temuan yang berbeda tanpa menyadari atributatribut umum yang mendasari kewiraswastaan hanya akan menambah lapisan
kebingungan. Sebagai catatan penting di sini bahwa menjelaskan secara eksplisit
tentang apa yang kita (peneliti) yakini, dapat dimulai dengan memahami bagaimana
semua bagian yang berbeda ini dapat menjadi suatu kesatuan.
Hal penting yang digarisbawahi dalam makalah ini adalah beberapa temuan
dapat membuka wawasan kita tentang arah penelitian dalam bidang kewiraswastaan
yang sebenarnya. Seperti spesifikasi tujuan dalam Shane & Venkataraman (2000) yang
sangat berbeda dari banyak topik dan isu-isu yang muncul untuk mencakup konteks
tertentu penelitian kewiraswastaan saat ini, seperti yang dijelaskan dalam domain
khusus: penciptaan dan manajemen bisnis baru, bisnis kecil, bisnis keluarga, serta
karakteristik-karakteristik dan masalah-masalah khusus wiraswasta. Spesifikasi tujuan
mereka secara signifikan mempersempit konteks penelitian kewiraswastaan. Sebagai
contoh, Shane & Venkataraman (2000, p. 217) menekankan bahwa penelitian
kewiraswastaan tidak harus berfokus hanya pada kinerja relatif dari individu atau
perusahaan dalam konteks bisnis kecil atau bisnis baru, tetapi juga pada bisnis keluarga;
dan mereka juga menunjukkan bahwa jenis penelitian kewiraswastaan lebih tepat
dimasukkan dalam domain manajemen strategik.
Memang sulit untuk menerima bahwa pendapat yang dikemukakan Shane &
Venkataraman (2000) diadaptasi oleh para peneliti di bidang kewiraswastaan saat ini.
Sementara Baumol (1993) menyarankan fokus pada bisnis baru (label yang mungkin
mencakup baik bisnis kecil maupun bisnis keluarga). Shane & Venkataraman (2000)
melihat dari segi individu dan peluang. Implikasinya, orang akan menduga bahwa
peneliti ini meyakini fokus pada bisnis yang didirikan (bisnis baru maupun bisnis kecil)
tidak penting untuk memahami kewiraswastaan. Memang, hal ini menarik untuk dicatat
bahwa Shane & Venkataraman (2000) tidak mengutip literatur mengenai orientasi
kewiraswastaan sama sekali, seperti halnya Debicki et al. (2009).
14
Fokus penelitian Gartner (2007) pada bidang kewiraswastaan mengacu dari
pendapat sebelumnya dari Shane & Venkataraman (2000) yang fokus utamanya pada
individu dan peluang-peluang yang dapat dihasilkan oleh suatu bisnis atau perusahaan.
Alasan yang dikemukakannya yaitu karena “pengorganisasian” yang lebih besar
kemungkinannya untuk dipahami juga sebagai penciptaan bisnis atau perusahaan
(Gartner, 2007, p. 233).
Sering kali dikatakan bahwa untuk menciptakan bisnis atau perusahaan,
seseorang harus melanggar aturan sehingga ia dapat mengambil keuntungan dari setiap
peluang yang diidentifikasi atau setiap peluang baru yang bisa diciptakan. Akibatnya,
para wiraswasta mengalami dilema moral, terlebih karena melanggar aturan
berhubungan langsung dalam konteks hukum dan moral. Praktik yang demikian
memunculkan persepsi tentang orang-orang yang dikatakan licik, penipu, dan
sebagainya. Namun kenyataannya, beberapa pelanggaran yang terjadi, dari segi hukum
dan moral, hanya menjadi bagian dari mitologi kewiraswastaan. Kelihatannya, tanpa
tindakan yang berani dan atau licik, proses produksi dan kesuksesan perusahaan tidak
akan tercapai. Akibatnya, anekdot tersebut tidak melahirkan kesepakatan yang berlaku
untuk aturan hukum dan moral yang ada.
Bagaimanapun juga, ada banyak praktik bisnis yang tidak melanggar aturan,
khususnya mereka yang paling taat dengan hukum dan moral. Di sisi lain, praktik yang
melanggar aturan muncul belakangan dan dijadikan sebagai alasan bahwa mereka
melakukannya untuk memanfaatkan peluang dan atau membenarkan keadaan; atau
hanya sebagian dari tubuh organisasi yang melanggar aturan, sedangkan yang lainnya
tidak melanggar aturan. Namun dalam beberapa kasus tertentu, sering kali hanya dengan
melakukan perbandingan atas prinsip-prinsip yang diterapkan oleh suatu organisasi
dengan organisasi yang lain, muncul pembenaran bahwa ada organisasi yang melakukan
pelanggaran. Oleh karena itu, semua pandangan yang muncul biasanya mengandalkan
aturan-aturan yang umum dan universal, dan pada akhirnya sangat sulit bagi kita untuk
memperoleh gagasan yang spesifik mana yang seharusnya diikuti dan diterapkan.
Para peneliti di bidang kewiraswastaan perlu mengenali perbedaan yang sangat
signifikan dalam keyakinan yang diyakini orang tentang kewiraswastaan. Menyadari
bahwa ada perbedaan keyakinan ini mungkin menjadi aspek keseluruhan yang sama.
Atau, mungkin ada perbedaan yang diperdebatkan orang tentang kewiraswastaan, yang
15
mungkin timbul dan menjadi semakin kacau dan sulit (Gartner, 2007). Mungkin tidak
ada teori kewiraswastaan yang dapat mencerminkan semua pendapat para peneliti,
seperti apa yang selama ini dipraktikkan. Namun sebagaimana disampaikan Baumol
(1993, p. 210) bahwa seseorang dapat membawa teori kewiraswastaan pada analisis
teori lebih lanjut, hanya jika batasan-batasan itu dipahami dan dihormati.
Untuk alasan yang tersirat, Baumol (1993, p. 200) mencatat bahwa
kewiraswastaan yang mengorganisasi-perusahaan dapat diajarkan dalam kurikulum
bisnis. Misalnya, apa yang harus dipertimbangkan oleh calon wiraswasta sebelum
memulai suatu bisnis baru. Tentu saja, yang dapat diajarkan tidak hanya prinsip-prinsip
yang muncul dari model ekonomi, tetapi juga berbagai pertimbangan terkait lainnya,
seperti pembatasan hukum, pengaruh serikat buruh dan politik, dan sejumlah hal penting
dan yang relevan lainnya. Hal yang sama dapat dikatakan pada bagaimana keputusan
yang akan dihadapi oleh calon wiraswasta ini setelah perusahaan beroperasi. Karena
teori aktivitas wiraswasta yang mengorganisasi-perusahaan tidak hanya ada, tetapi juga
berkembang, maka sekolah-sekolah bisnis tidak kekurangan subjek untuk bahan
pelajaran kewiraswastaan.
Perlu dicatat pula bahwa ada kemiripan yang erat antara wiraswasta yang
mengorganisasi-perusahaan dengan manajemen perusahaan; memang, tidak berarti
bahwa ada sesuatu yang bisa diperoleh dengan mencari persamaan antara keduanya
(Baumol, 1993, p. 200). Namun, yang penting adalah bahwa apa yang wiraswasta
lakukan, umumnya juga dilakukan oleh orang-orang manajemen. Aktivitas mereka,
hingga batasan tertentu, akan berubah menjadi rutinitas. Sehingga dari banyak hal yang
dapat mereka lakukan, konsekuensinya, manfaat yang ditimbulkan sama-sama perlu
dianalisis dengan alat-alat perhitungan optimalisasi.
4.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan untuk makalah ini, penulis menyadari bahwa dalam
menjelaskan perkembangan teori kewiraswastaan secara komprehensif perlu mengacu
pada sejumlah besar studi literatur dan studi empiris yang membahas semua konteks.
Oleh karena itu, penulis menandai perkembangan teori kewiraswastaan pada tahun
penelitian Debicki et al. (2009). Walaupun penelitian mereka bersifat kualitatif, studi
literatur dan terbatas pada konteks bisnis keluarga, namun mereka mampu mengungkap
16
secara baik artikel-artikel penelitian yang berkontribusi besar pada periode tahun 20012007. Pada dasarnya, bisnis keluarga memiliki prinsip yang sama dengan bisnis pribadi
dalam hal inovasi, teknologi, dan etika bisnis.
Secara khusus, bahasan dalam makalah ini terkait inovasi, teknologi, dan etika
bisnis. Dalam perkembangannya, bidang kewiraswastaan telah memunculkan banyak
pemikiran yang kadang berdiri sendiri dan ada yang saling tumpang tindih, sehingga
baik teori maupun persepsi yang muncul terjadi kompleksitas.
Gaya kewiraswastaan tradisional umumnya ditandai oleh kurangnya teori yang
mampu menjelaskan isu-isu dalam bidang kewiraswastaan. Kebanyakan temuan
penelitian hanya menghasilkan sejumlah anggapan dan sedikitnya studi empiris tidak
dapat digeneralisasikan untuk kewiraswastaan (Baumol, 1993). Sebagai contoh, ada
sejumlah praktik dalam kewiraswastaan yang tidak dapat dijelaskan oleh teori ekonomi
dan teori manajemen yang umum dipelajari dan diterima sebagai konsep yang berlaku
universal. Selain itu, upaya untuk menerapkan etika bisnis dalam kewiraswastaan juga
sangat sulit dilakukan dan hanya mengaburkan persepsi (Brenkert, 2009). Akibatnya,
banyak pelaku bisnis yang kurang puas dengan teori yang ada. Mereka yang melakukan
inovasi dengan cara melanggar aturan justru yang meraih keunggulan kompetitif.
Bagaimanapun juga, telah banyak penelitian yang menawarkan gagasangagasan baru pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu pandangan yang dapat dibenarkan
adalah bahwa teori kewiraswastaan akan selalu mengalami kompleksitas ke depannya.
Aturan hukum dan moral yang sebelumnya dianggap sensitif di kalangan para
wiraswasta mulai mendapatkan kejelasan dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan
tertentu, terbukti dengan munculnya beberapa istilah dalam organisasi yang intinya
menerima bahwa “yang salah bisa menjadi benar” dan “yang benar bisa menjadi salah”
dan membenarkan bahwa inovasi dapat tercipta dari pandangan tersebut (Brenkert,
2009) tanpa melanggar nilai-nilai dan keyakinan organisasi.
Salah satu tanda peralihan gaya kewiraswastaan tradisional ke modern adalah
dengan bertambahnya wawasan mengenai konsep bisnis keluarga. Namun, membahas
lebih lanjut teori bisnis keluarga dirasakan sudah terlambat, melainkan saat ini yang
dibutuhkan adalah mengevaluasinya dalam rangka menghasilkan implementasi positif
(Debicki et al., 2009). Sementara yang paling dirasakan saat ini adalah difusi
pengetahuan dan perkembangan informasi dan teknologi. Persoalan yang kemudian
17
muncul adalah bagaimana wiraswasta dapat meningkatkan kemampuan menyerap
pengetahuan dengan lebih baik, dan bagaimana memberikan rangsangan kepada calon
wiraswasta untuk mengakui bahwa pekerjaan tersebut sangat bernilai tinggi.
Sayangnya, baik di era sebelum tahun 2001 maupun di era sesudah tahun 2001,
bidang kewiraswastaan tidak terlalu diyakini mencapai kejelasan teori. Namun penulis
menghormati temuan bahwa setidaknya ada beberapa pendapat yang dapat diterima
secara masuk akal. Di luar dari anekdot dan bukti-bukti pelanggaran yang menjadi
perdebatan perihal etika dan moral, bagaimanapun juga, tujuan organisasi adalah untuk
mencapai produktivitas. Hanya saja, cara-cara untuk mencapainya dengan inovasi dan
penyerapan teknologi diperlukan upaya yang berbeda antara satu perusahaan dengan
perusahaan yang lainnya.
Saran bagi para akademisi adalah perhatian yang lebih kritis pada asumsi yang
dikemukakan sebelum mencoba untuk membangun atau mengembangkan teori.
Persoalannya adalah bagaimana para peneliti dapat mengumpulkan berbagai temuan
yang berbeda dan membentuknya menjadi suatu kesatuan. Jika tidak memungkinkan,
maka sebaiknya dilakukan evaluasi dan mencari koneksi di antara temuan yang ada.
Terakhir, saran yang mungkin dapat diberikan bagi para praktisi adalah tetap
merangsang pertumbuhan kewiraswastaan dengan kreativitas yang ada. Walaupun
masalah etika dan moral dalam berbisnis merupakan hal yang sulit untuk diatasi, namun
kesadaran bahwa integritas organisasi hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai dan
keyakinan merupakan hal yang tidak terbantahkan.
18
REFERENSI
Baumol, William J. (1993). Formal entrepreneurship theory in economics: Existence and
bounds. Journal of Business Venturing, 8(3), 197-210. doi: 10.1016/08839026(93)90027-3
Brenkert, George G. (2009). Innovation, rule breaking and the ethics of entrepreneurship.
Journal of Business Venturing, 24(5), 448-464. doi:
10.1016/j.jbusvent.2008.04.004
Debicki, Bart J., et al. (2009). Family business research in the new millenium. Family
Business Review, 22(2), 151-166.
Gartner, William B. (2007). Is There an Elephant in Entrepreneurship? Blind Assumptions
in Theory Development*. In Á. Cuervo, D. Ribeiro & S. Roig (Eds.),
Entrepreneurship (pp. 229-242): Springer Berlin Heidelberg.
Scarborough, Norman M. (2012). Effective Small Business Management: An
Entrepreneurial Approach (10th ed.). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice
Hall.
Shane, Scott., & Venkataraman, Sankaran. (2000). The promise of entrepreneurship as a
field of research. Academy of Management Review, 25(1), 217-226.
Venkataraman, Sankaran. (2004). Regional transformation through technological
entrepreneurship. Journal of Business Venturing, 19(1), 153-167. doi:
10.1016/j.jbusvent.2003.04.001
19