Konsep Hadis Tentang Jual Beli Makalah

Konsep Hadis Tentang Jual Beli
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat dan Hadis Ekonomi
Dosen Pengampu: Dede Rodin,M.Ag.

Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.

Wirda Khairunnisa
Nafisah
Ayu Rizky Fadhilah
Muhammad Ihwan S.

(1605036056)
(1605036057)
(1605036058)
(1605036059)


S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017

BAB l
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah Agama yang paling diridhoi di sisi Allah SWT. Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah datang untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia
termasuk muamalah. Dalam mualamah terdapat jual beli, Orang yang
melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang mencari
keuntungan semata, tetapi ia harus memahami ketentuan-ketentuan yang
harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli sehingga, supaya jika proses jual
beli sudah selesai tidak ada yang dirugikan. Bagaimana pandangan Islam
dalam jual beli dan apa saja dalil-dalilnya sehingga jual beli itu merupakan
sesuatu yang halal bukan sesuatu yang haram atau syubhat.


Dalam

makalah ini akan diuraiakan beberapa hadist yang menjelaskan tentang
jual beli.

B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Jual Beli ?
b. Bagaimana Jual Beli dalam Perspektif Hadis Nabi ?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian jual beli.
b. Untuk mengetahui jual beli dalam perspektif hadis Nabi.

1

BAB II
PEMBAHASAN

1.


Pengertian Jual Beli
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha
dagang, usaha

komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha.

Perdagangan secara termonologis di jelaskan Al-Qur’an dalam beberapa
istilah antara lain al-bai’ berarti menjual, al-syira berarti membeli. Kata jual
beli sering diistilahkan dengan al-tijarah yang disebutkan dalam Al-Qur’an
sebanyak delapan kali dan kata tijaratahum sebanyak satu kali. Istilah tijarah
berasal dari kata ta-ja-ra, yang memiliki makna berniaga dan berdagang.1
Dalam penggunaanya, kata tijarah memiliki dua pemahaman. Pertama,
perdagangan yaitu yang terdapat dalam Q.S Al- Baqarah ayat 282. Kedua,
perniagaan yang dihubungkan dengan masing-masing konteksnya yaitu yang
bersifat material dan immaterial kualitatif. Dalam fiqih, jual beli disebut
dengan al-bay’ yang memiliki arti menjual,membeli, serta menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Secara etimologi jual beli diartikan sebagai
pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain atau memberikan sesuatu untuk
menukarkan sesuatu yang lain. Jual beli juga diartikan dengan pertukaran
harta dengan harta atau dengan gantinya mengambil sesuatu yang

digantikannya itu.
Adapun definisi jual beli secara istilah, menurut Sayyid Sabiq adalah
pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik
dengan ganti yang dapat dibenarkan. Menurut Abu Muhammad Mahmud alAyni, pada dasarnya jual beli merupakan penukaran barang dengan barang
yang dilakukan dengan suka sama suka, sehingga menurut syara’, jual beli
adalah tukar menukar barang atau harta secara suka sama suka. Menurut Taqi
al-Din ibn Abi Bakr ibn Muhammad al-Husayni, adalah pertukaran harta

1

Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 72.

2

dengan harta yang diterima dengan menggunakan ijab dan qabul dengan cara
yang diizinkan syara’.
Dikalangan ulama terdapat perbedaan tentang definisi jual beli antara
lain sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiah
.‫صى‬

ٍ ‫ص ْو‬
ُ ‫ُم َبادَلَةُ َما ٍل ِب َما ٍل َعلَى َوجْ ٍه َم ْخ‬
“Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.”
ُ ‫ش ْي ٍئ َم ْر‬
.‫صى‬
َ ٌ‫ُم َبادَلَة‬
ٍ ‫غ ْو‬
ٍ ‫ص ْو‬
ُ ‫ب فِ ْي ِه ِب ِمثْ ٍل َعلَى َوجْ ٍه ُمقَّ ْي ٍد ُم ْخ‬
“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat.”
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa cara khusus dalam jual beli
adalah ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (pernyataan
menjual dari penjual) atau dapat dilakukan dengan saling memberikan
barang empat harga dari penjual dan pembeli. Disamping itu, harta yang
diperjualbelikan haruslah harta yang bermanfaat bagi manusia. Menurut
ulama Hanafiyah memperjual belikan barang yang haram dan tidak
memiliki manfaat hukumnya adalah tidak sah.
b. Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah
.‫ُم َبادَلَةُ الم ِا ِل ت َْم ِل ْي ًكا َوتَ َم ُّل ًكا‬

“saling menukar harta dengan dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik kepemilikan.”
Para ulama ini memberikan penekanan terhadap kata milik dan
kepemilikan, karena pada kenyataannya terdapat tukar menukar harta yang
sifatnya tidak harus memiliki yakni sewa menyewa(ijarah). Jual beli juga
dapat didefinisikan dengan menukar barang dengan barang atau barang
dengan uang, dengan cara melepaskan hak milik dari seseorang terhadap
seseorang lainnyaatas dasar kerelaan dari kedua belah pihak.

3

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli dapat
terjadi dengan cara pertukaran harta antara dua pihak atas dasar atas dasar
kerelaan, dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu
alat tukar yang sah diakui dalam lalu lintas perdagangan. Jual beli merupakan
transaksi atau tindakan yang telah disyariatkan dalam artian telah jelas
hukumnya dalam islam, berkenaan dengan hukum taklifi. Hukum jual beli
adalah mubah(boleh).

2.


2

Jual beli dalam perspektif hadis
Menurut Rasulullah SAW mata pencaharian yang paling baik ialah
jual beli.3 Hal ini tidak terlepas dar hakikat manusia sebagai makhluk sosial
yang memiliki sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Agama
Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan kerjasama dalam aktivitas
ekonomi untuk memperoleh keuntungan. Disamping itu, Islam juga
mengajarkan umatnya agar melakukan penegakan nilai-nilai yang positif agar
terhindar dari tindakan penipuan dan pemerasan. Dalam memenuhi kebutuhan
hidup, transaksi ekonomi harus dilaksanakan dengan cara yang benar dan
sesuai dengan aturan syariah yang berlaku yaitu yang sesuai dengan syari’at
Allah dan Rasul-Nya.4 Apresiasi rasulullah terhadap jual beli sebagai mata
pencaharian yang paling baik terdapat pada sabdanya di hadis berikut ini:
ْ َ‫ب ا‬
‫ط َيبُ ََا َل‬
ُ ‫سلَ َم‬
ِ ‫ي ْال َك ْس‬
َ ُ‫صلَى الله‬

َ ُ‫ي الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
ِ ‫َع ْن ِر َفا َعةَ ب ِْن َرافِعٍ َر‬
َ ‫ي‬
ُّ َ ‫ ا‬:َ‫سئِل‬
َ ‫ع ْنهُ اَنَ النَ ِب‬
َ ‫ض‬
.)‫ص َح َحهُ اْل َحا ِك ُم‬
َّ ‫َع َم ُل‬
ُ َ‫(ر َواهُ اْل َبز‬
َ ‫ار َو‬
َ ‫الر ُج ِل ِب َي ِد ِه َو ُك ُل َبيْعٍ َمب ُْر ْو ٍر‬

2

Idri, HADIS EKONOMI Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2016), hlm. 158.
3

Abdul QadirSyaibah al-Hamd, SYARAH BULUGHUL MARAM Fiqhul Islam, (Jakarta: Darul

Haq, 2005), hlm. 1.
Choirul Huda, “SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PELAKU BISNIS MLM SYARI’AH AHADNET
INTERNASIONAL(Studi Kasus di Kota Semarang)”, economica, (Vol. IV, No. 2, November/ 2013),
hlm. 57.
4

4

“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ r.a. bahwasanya Rasulullah SAW ditanya: Mata
pencaharian apakah yang paling bagus? Rasulullah menjawab, “pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang baik.”(HR.
al-Bazzar dinyatakan shoheh oleh al-Hakim al-Nasyaburi).
Rasulullah SAW sangat melarang perilaku dan sikap negatif dalam jual beli,
antara lain sebagai berikut:
Pertama, jual beli dengan menyembunyikan cacat barang yang dijual, yaitu
menjual barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, akan
tetapi penjual menjualnya dengan memanipulasi barang seolah-olah sangat
beharga dan berkualitas baik.5 Jual beli seperti ini hukumnya tidak sah karena
mengandung pemalsuan dan penipuan. Penjual seharusnya memberitahukan
keadaan yang sebenarnya mengenai barang tersebut kepada pembeli. Jika

penjual melakukan tindakan penyembunyian tentang kecacatan barang yang
dijualnya, maka akan terkena ancaman dari Rasulullah SAW dalam sabdanya:
‫صدَََا‬
َ ‫َع ْن َح ِكي ِْم ب ِْن ِخزَ ٍام‬
َ ‫صلَى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرََا فَِ ِ ْن‬
َ ‫ي‬
ِ َ‫ان بِا ْل ِخي‬
ِ َ‫ ْالبَيَّع‬:َ‫سلَ َم ََال‬
َّ ِ‫ع ِن النَّب‬

ْ ‫َوبَيَّنَا ب ُْو ِركَ لَ ُه َما فِى بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َكدَبَا َو َكتَ َما ُم ِح َق‬
)‫(ر َواهُ ُم ْس ِل ْم‬
َ ‫ت بَ َر َكةُ َب ْي ِع ِه َما‬

“Dari Hakim ibn Hizam dari Nabi SAW, ia bersabda, “Penjual dan pembeli
memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur, niscaya
keduanya akan diberikan barakah pada jual beli mereka. Jika keduanya
berbohong dan menyembunyikan(cacat barang), niscaya berkah jual beli
mereka dihapus. (HR. Muslim)

Suatu ketika Rasullah melewati sekumpulan orang yang melakukan penipuan
lalu beliau menegurnya. Seperti didalam hadis yang diriwayatkan Abu
Hurayrah berikut ini:
َ ِ‫سلَّ َم َم َّر َعلَى ُمب َْرة‬
‫ط َع ٍام فَا َدْ َخ َل‬
ُ ‫ي اللهُ َع ْنهُ اَ َّن َر‬
َ ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
ِ ‫َع ْن ا َ ِبى ه َُري َْري َْرة َ َر‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬
َ ‫ض‬
ْ ‫َيدَهُ فِ ْي َها َفنَا َل‬
:َ‫س ْو َل الل ِه ََال‬
َّ ‫صا َب ْيهُ ال‬
ُ ‫س َما ُء َيا َر‬
ِ ‫ب‬
ِ ‫ص‬
َ ‫اح‬
َ َ ‫ا‬:َ‫الطعَّ ِام َف َقال‬
َ ‫ َما َهذَا َيا‬:َ‫صا ِبعُهُ َب َلالً َف َقال‬
َ َ‫ت ا‬
َّ ‫اَفَالَ َج َع ْلتَهُ فَ ْوقَ ال‬
)‫(ر َواهُ ُم ْس ِل ْم‬
َّ ‫اس َم ْن غ‬
ُ ‫ط َع ِام َك ْي َي َراهُ ال َّن‬
َ ‫ْس ِم ِنى‬
َ ‫َش فَلَي‬
“Diriwayatkan Abu Hurayrah r.a Rasulullah SAW pernah lewat dihadapan
orang yang menjual setumpuk makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya
kedalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan beliau mengenai makana
yang basah didalamnya. Kemudian beliau bertanya kepada orang itu,
“Mengapa ini basah wahai penjual makanan?” orang itu menjawab,
Muhammad Saifullah, “KAJIAN SEJARAH: ETIKA BISNIS DALAM PRAKTEK MAL BISNIS
MUHAMMAD”, economica, (Vol. II, NO. 2, November/ 2010), hlm. 42.
5

5

“Makanan yang didalam itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda, “Mengapa tidak kamu letakkan diatasnya supaya diketahui oleh
orang yang membelinya? Barang siapa menipu, dia bukan dari golonganku.”
(HR. Muslim)
Kedua, menjual barang yang sudah dibeli orang lain (bay’ rajul ‘ala
bay’akhih). Barang yang sudah dibeli orang lain tidak boleh dijual kembali
kepada orang lain lagi, karena barang yang sudah dijual itu sudah menjadi
milik pembeli sehingga penjual tidak boleh menjual kembali. Rasulullah
bersabda:
)‫(ر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬
ُ ‫ الَ َي ِب ْع َب ْع‬: ‫سلَ َم ََا َل‬
ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
ُ ‫ع َم َر أَ َّن َر‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى َبيْعِ َب ْع‬
َ ‫صلَى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ض‬
َ ‫سو َل الل ِه‬
“Dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “janganlah
sebagian kamu menjual sesuatu penjualan sebagianyang lain.” (HR.
Muslim)
Menjual barang orang lain sama halnya dengan mengambil kepunyaan orang
dan menjualnya, kecuali jika pemilik barang mengizinkannya. Kalau pembeli
(pemilik barang mengizinkan), maka diperbolehkan penjual menjualnya
kembali kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
ْ ‫طبْ َعلَى ِخ‬
ُ ‫علَى بَيْع أ َ ِخ ْي ِه َوالَ يَ ْخ‬
‫ط َب ِة‬
ُ ‫َع ِن ا ْب ِن‬
َّ ِ‫ الَ يَبِع‬: ‫سلَ َم ََا َل‬
َ ‫ع َم َر‬
َ ‫الر ُج ُل‬
َ ‫صلَى الله ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ع ِن النَّبِ ِى‬
ِ
)‫(ر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬
َ ُ‫أ َ ِخ ْي ِه ِإالَّ أ َّ ْن يَأ ْ ذَنَ لَه‬
“Dari Ibn Umar dari Nabi SAW, ia bersabda, “janganlah seseorang menjual
sesuatu yang telah dijual oleh orang lain dan jangan pula meminang
pinangan orang lain kecuali jika ia mengijinkannya.” (HR. Muslim)
Termasuk dalam kategori ini adalah jual beli selama dalam masa khiyar.
Misalnya, seseorang membeli barang dari seorang pedagang. Lalu pedagang
ini memberikan hak pilih (jadi atau tidak) kepada pembeli dalam selama dua,
tiga hari atau lebih. Pada masa-masa ini, tidak ada pedagang lain yang
menawarkan barang sejenis dengan kualitas yang lebih baik dan lebih murah.
Penawaran seperti ini merupakan perbuatan haram, karena berjualan di atas
akad jual beli orang lain. Selama penjual memberikan hak pilih kepada calon
pembeli, maka biarkanlah calon pembeli berpikir, dan tidak boleh ada orang
lain yang ikut campur. Jika calon pembeli mau, ia bisa melanjutkan akad jual
6

beli atau membatalkan akad. Jika akadnya sudah rusak dengan sendirinya,
maka orang lain boleh menawarkan barang kepadanya.
Ketiga, jual beli dengan cara mencegat barang dagangan sebelum sampai di
pasar, yaitu mencegat pedagang dalam perjalanannya sebelum sampai di
pasar sehingga orang yang mencegatnya dapat membeli barang lebih murah
dari harga di pasar sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Rasulullah bersabda :
َ‫اض ٌر ِلبَا ٍد َوال‬
ُ ‫ي اللهُ َع ْنه ُ ََا َل نَ َهى َر‬
ِ ‫سلَّ َم أ َ ْن يَبِ ْي َع َح‬
َ ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
ِ ‫َع ْن أَبِ ْي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ‫سو ُل الل ِه‬
َ ‫ض‬
ُ ‫تَنَا َج‬
)‫َارئ‬
َّ ‫شوا َوالَ يَ ِب ْي ُع‬
َ ‫الر ُج ُل َعلَى بَيْعِ أ َ ِخ ْي ِه‬
ِ ‫(ر َواهُ ْالبُخ‬
“dari Abu Hurairah ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW melarang orang
desa menjual kepada orang kota, dan jangan menjual dengan cara curang
(supaya harga barang menjadi tinggi), dan janganlah seseorang untuk
menjual atas jualan saudaranya.”
Dalam hadis lain riwayat Ibn ‘Umar dijelaskan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

ُ ‫السلَ ُع َحتَّى ت َ ْبلُ َغ األَس َْواقَ َو َهذَا لَ ْف‬
‫ظ اب ِْن‬
ِ ‫سلَ َم نَ َهى أ َ ْن تُتَلَ َّق‬
ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬
َ ‫صلَى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫سو َل الل ِه‬
)‫ق (رواه مسلم‬
َ ‫صلَى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ي‬
ِ َ‫سلَ َم نَ َهى َع ِن التَّل‬
ِ ‫نُ َمي ٍْر َوََا َل اآلخ ََر‬
َّ ِ‫ان إِ َّن النَّب‬
“Dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW melarang menjemput
(membeli) barang hingga sampai ke pasar. Ini adalah lafal hadis riwayat Ibn
Numayr. Selain Ibn Umar dan Ibn Numayr bahwa sesungguhnya Nabi SAW
melarang menjemput (membeli barang dari desa sebelum sampai ke pasar)”.
(H.R Muslim)
Menemui orang-orang di desa sebelum sampai ke pasar untuk membeli
barang secara murah sehingga orang-orang desa yang tidak mengetahui harga
sebenarnya di pasar dilarang oleh Rasulullah karena dapat merugikan penjual
yang tidak tahu harga barang yang sedang berlaku. Biasanya barang yang
dibeli dari orang-orang desa atau orang-orang pedalaman itu dijual dengan
harga yang sangat tinggi. Hal ini biasanya terjadi di wilayah yang lokasinya
terletak di daerah perbatasan antara kota dan kampung. Jual beli ini tidak
7

menjadi masalah jika orang-orang desa atau pendalaman itu mengetahui
harga pasar waktu itu.
Keempat,, jual beli secara curang (najsyi) supaya harga barang lebih tinggi,
yaitu menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya. Misalnya
dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran barang dengan harga
tertentu, kemuadian ada seseorang yang menaikkan harga tawarnya, padahal
ia tidak berniat untuk membelinya. Dia hanya ingin menaikkan harganya
untuk memancing pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik
orang ini bekerjasama dengan oenjual ataupun tidak. Orang yang menaikkan
harga, padahal tidak berniat membelinya telah melanggar larangan Rasulullah
sebagaimana sabdanya:
)‫سلَ َم نَ َهى َع ِن النَّجْ ِش ( ُمت َ َف ٌق َعلَ ْي ِه‬
ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
ُ ‫ع َمر أ َ َّن َر‬
َ ‫صلَى الل ُهعَلَ ْي ِه َو‬
َ ‫سو َل الل ِه‬
“Dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW melarang jual beli najasyi.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kelima, jual beli dengan cara paksaan (bay’ al-ikrah). Jika seseorang dipaksa
melakukan jual beli, maka jual beli itu tidak sah. Hanya saja, jika ada
kerelaan setelah terjadinya paksaan, maka jual beli tersebut menjadi sah. Jual
beli ini tidak mengikat pembeli dan penjual sehingga keduanya mempunyai
kebebasan memilih atau meneruskan jual beli setelah membatalkannya
setelah paksaan terjadi. Rasulullah bersabda:
َ ‫ض‬
ْ ‫سلَّ َم َع ْن بَيْعِ ْال ُم‬
ُ‫(ر َواه‬
َ ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ َ‫طر َوبَي ِْع ْالغ ََر ِر َع ْن َوبَي ِْع الث َّ َم َرةِ ََ ْب َل أ َ ْن تُد ِْرك‬
َ ‫َوََدْ نَ َهى ال َنبِ ِى‬
.)ُ ‫اَحْ َمد‬
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli dengan unsur paksaan, jual
beli dengan unsur penipuan, dan jual beli buah yang belum diketahui
buahnya.” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
Keenam, jual beli barang yang diharamkan seperti bangkai, babi, khamar dan
sebagainya.barang-barang

ini

diharamkan

misalnya dalam surah An-nahl ayat 115:
8

berdasarkan

firman

Allah,

ُ ‫ض‬
ْ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوالد ََّم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َما أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر الل ِه بِ ِه فَ َم ِن ا‬
َ‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َوالَ َعا ٍد فَِِ َّن الله‬

‫َغفُ ْو ٌر َر ِح ْي ٌم‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi barang siapa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak
pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil
penjualannya. Rasulullah melarang jual beli yang diharamkan ini. Rasulullah
telah melarang menjual khamar, babi, patung dan lain sebagainya,
sebagaimana sabdanya:
‫ام ْالفَتِِْ َوه َُو‬
ُ ‫س ِم َع َر‬
َ ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ى اللهُ َع ْن ُه َما أَنَّه‬
ِ ‫َع ْن َجا ِب ِر ب ِْن َع ْب ِد الل ِه َر‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬
َ ‫سلَّ َم َيقُ ْولُ ْو َع‬
َ ‫ض‬
)‫ى‬
ُ ‫بِ َم َّكةَ إِ َّن اللهَ َو َر‬
َ ‫س ْولَهُ َح َّر َم بَ ْي َع ْال َخ ْم ِر‬
ِ ‫(ر َواهُ ْالبُخ‬
ُ ‫َار‬
“Dari Jabir bin Abdillah r.a. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda
pada tahun penaklukan kota Mekkah, pada waktu ia di Mekkah.
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar.”
(H.R Al-Bukhari)
Ketujuh, jual beli barang yang tidak dimiliki. Misalnya, seorang pembeli
datang kepada seorang pedagang mencari barang tertentu. Adapun barang
yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara penjual
dan pembeli saling sepakatuntuk melakukan akad dan menentukan harga
dengan dibayar sekarag ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi
hak milik pedagang ataupun penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli
barang dimaksud dan menyerahkan kepada pembeli. Jual beli seperti
hukumnya haram, karena pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak
ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya. Rasulullah
melarang cara berjual beli seperti ini. Dalam suatu riwayat, ada seorang
sahabat bernama Hakim bin Hazam berkata Rasulullah, “Wahai Rasulullah
seorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara
barang yang dicari tidak ada padaku, kemudian aku ke pasar dan membelikan
barang itu.” Rasulullah bersabda:
9

)‫ى‬
َ َ‫ْس ِع ْندَك‬
ِ ‫(ر َواهُ البُ َخ‬
َ ‫الَ تَبِ ْع َما لَي‬
ُ ‫ار‬
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Al-bukhari)
Dari riwayat lain dari Hakim Ibn Hizam, ia mengatakan bahwa Rasulullah
melarang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya, sebagaimana hadis berikut:
‫ى‬
ُ ‫َع ْن َح ِكي ِْم ب ِْن ِجزَ ٍام ََا َل نَ َهانِى َر‬
َ ُ‫صلَى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ْس ِع ْندِى‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬
َ ‫سلَ َم ا َ ْن ا َ ِب ْي َع َما َلي‬
ُ ‫(ر َواهَ التِ ْر ِم ِد‬
َ ‫َواَحْ َمدُ َوال‬
.)‫ى‬
ُ ِ‫طب َْران‬
“Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Rasulullah melarang aku menjual
sesuatu yang bukan milikku.” (HR al-tirmidzi, Ahmad, danAl-Thabrani).
Menurut al-Mubarakfuri, hadis diatas berkenaan dengan larangan berjual beli
barang yang tidak dimiliki penjual ketika akad dilangsungkan bukan jual beli
sifat seperti jual beli pesanan (bay’ salam) dimana pembeli memesan barang
dengan melihat ciri-cirinya sedang barang itu belum ada ditangan penjual.
Jual beli ini diperbolehkan.
Kedelapan, Jual beli sesuatu yang tidak ada (bay’ ma’dum) yaitu menjual
atau membeli suatu barang yang tidak ada, Misalnya, seseorang membeli
buah mangga yang belum ada dipohonnya. Hal ini didasarkan pada hadis di
atas. Menurut Al-Muhyi al-Din Ali, tidak diragukan bahwa dari hadis diatas
dapat dipahami larangan jual beli sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan
atau tidak ada dalam tanggungan seseorang. Jual beli sejenis ini dilarang
sesuai dengan kesepakatan para ulama. Menurutnya, terdapat empat jenis
barang yang tidak ada, yaitu:
1. Barang yang tidak ada dan tidak mungkin ada selamanya baik menurut
akal maupun kebiasaan, tidak boleh diperjual belikan selamanya pula.
2. Barang yang tidak ada sewaktu akad jual beli tapi kemungkinan ada
setelah itu, seperti menjual bayi binatang yang masih dalam kandungan
induknya. Jual beli kategori ini tidak sah kecuali jika sudah ditentukan sifatsifatnya.

10

3. Barang yang tidak ada yang mengikuti barang yang ada, misalnya jual beli
buah pohon yang belum tampak bersamaan dengan pohonnya. Seseorang
membeli pohon dan buahnya yang belum nampak ikut terbeli, ini
diperbolehkan.
4. Barang yang tidak ada yang disifati dengan tanggungan yang kemudian
akan ada, seperti jual beli pesanan. Barang yang dibeli atau dipesan waktu
akad tidak ada, tetapi nantinya barang itu akan ada diserahkan kepada
pembeli sesuai dengan perjanjian atau sifat-sifat yang ditentukan.
Kesembilan, jual beli sesuatu sebelum diterima atau dimiliki (bay’ al-sil’ah
qabl qabdhiha), misalnya seorang akan membeli suku cadang sepeda motor
ke suatu dealer padahal disitu tidak tersedia, kemudian dealer itu melakukan
akad jual beli sambil mencari suku cadang. Hal ini dilarang sebgai mana
sabda Nabi :
‫ َال النبي صلي الله عليه و سلم‬: ‫عن عبد الله بي د ينا رَال سمعت ابن عمر رضي الله عنهما يقول‬
]‫من ابتاع طعاما فال يبعه حتي يقبضه [رواه البخاري‬
“ Dari ‘Abd. Allah ibn Dinar, katanya : Aku mendengar ibn Umar r.a
berkata : Rasulullah SAW bersabda “barang siapa membeli makanan maka
janganlah ia membeli (membayar)-nya hingga ia menerimanya.” (H.R. ahBukhari)
Hadist diatas menjelaskan bahwa Nabi melarang menjual bahan makanan
sebelum bahan itu ada ditangannya. Jual beli ini disebut bay’ al-sil’ah qabl
qabdh , yaitu jual beli sebelum diterima (dimiliki) penjual. Dikalangan ulama
fiqh, terdapat beberapa pendapat tentang jual beli ini :
a. Ibn Abbas, Jabir ibn ‘Abd. Allah,Sa’id ibn al-Musayyib, Sufyan al-Tsawri,
al-Syafi’I, ahmad ibnu Hambal, Muhammad ibnu Hasan dan Zufa dari
Mazhab Hanafi, ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Zaydiyah menyatakan bahwa
tidak boleh jual beli sesuatu sebelum diterima secara mutlak baik yang
diperjual belikan itu makanan atau lainnya, barang yang dapat ditakar atau
ditimbang, barang tetap atau bergerak.
11

b. ‘Atha ibn Rabbah , ‘Utsman al-Batti, dan golongan Syi’ah Immamiyah
berpendapat bahwa boleh jual beli sesuatu sebelum diterima secara mutlak
dan segala bentuk transaksi yang terkait dengannya.
c. Malik ibn Annas, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Abu Tsur, dan Ibnu
Mundzir mengambil jalan tengah dan memerinci serta mereka berbeda
pendapat tentang sesatu yang boleh dan tidak boleh diperjual belikan sebelum
dimilikinya.
Kesepuluh, jual beli secara ‘inah, yaitu seseorang menjual barang kepada
orang lain dengan membayar dibelakang, kemudian orang itu membeli barang
itu lagi dari pembeli tadi dengan harga yang lebih murah tetapi dengan
pembayaran kontan yang diserahkan kepada pembeli. Ketika sudah tempo
pembayaran, dia meminta pembeli membayar penuh sesuai harga yang telah
ditentukan saat dia membeli barang. Hal ini haram, karena hanya bersifat
untuk mensiasati riba.
‫اذا تبايعتم بالعينة واخذتم اذناب البقر ورضيتم بالزرع سلط الله عليكم ذالال ينزعه حتى ترجعوا الى‬
‫دينكم‬
)‫(رواه ابو داود‬
“Jika kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah
memegang ekor sapi, dan kalian rela dengan bercocok tanam, Allah akan
menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mengangkatnya
sampai kalian kebali kepada agama kalian.”(HR Abu Dawud)
Kesebelas, jual beli muzabanah, yaitu jual beli buah yang basah dengan buah
yang kering, atau menjual padi yang kering dengan harga padi yang basah.
Hal ini dilarang karena berat timbangan biji padi yang basah yang kering
berbeda dan mengandung unsur penipuan dalam transaksi semacam ini.
‫عن انس بن مالك رضي الله عنه انه َال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المحا َلة‬
)‫والمخاضرة والمالمسة والمنابذة والمزابنة (رواه البخارى‬

12

“Dari Anas ibn Malik r.a ia berkata : Rasulullah melarang jual beli
muhakalah, mukhadarah, mulamasah,munabadzah, dan muzabanah.” (HR
al-Bukhari)
Kedua belas, jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang dikaitkan dengan syarat
tertentu. Jual beli bersyarat ini dilarang oleh Rasulullah sebagaimana hadist
yang diriwayatkan oleh at-Thirmidzi :
)‫نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع وشرط (رواه اطبرانى‬
”Rasulullah SAW melarang jual beli dengan syarat.” (HR Thabrani)
Ketiga belas, jual beli dengan cara menimbun barang, yaitu seseorang
membeli barang yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya
sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan
meningkatnya harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan
orang lain dengan kelangkaannya dan sulit didapat yang mengakibatkan harga
barang yang tinggi. Rasulullah melarang menimbun harta sebagaimana dalam
hadisnya :
)‫ من احتكر فهو خاطئ (رواه المسلم‬: ‫عن معمر َال َال رسول الله عليه وسلم‬
“Dari Ma’mar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :”barang siapa yang
menimbun barang maka ia bersalah (berdosa).” (HR Muslim)
Keempat belas, jual beli sperma binatang, Rasulullah melarang seseorang
menjual sperma binatang jantan yang digunakan untuk membuahi binatang
betina sehingga bisa melahirkan, sebagaimana sabdanya :
)‫عن ابن عمر رضي الله عنهما َال نهي النبي صلي الله عليه وسلم عن عسب الفحل (رواه البخاري‬

13

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a berkata “Rasulullah SAW melarang
seseorang menjual spermma binatang jantan.” (HR. al-Bukhari) 6
A. Rukun dan syarat jual beli
Menurut Shalih ibn Ghanim al-Sadln, rukun jual beli dibagi menjadi tiga :
a. Shigat (ijab dan qabul)
b. Dua pihak yang berakad (penjual dan pembeli)
c. Tempat akad (harga dan barang)
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama’ :
a. Penjual (Bai’)
b. Pembeli (musytari)
c. Ijab qabul
d. Nilai tukar pengganti barang7
Disamping rukun, terdapat pula syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada
pada setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama’ syarat-syarat tersebut :
1. Orang yang berakad (‘aqaid). Baik penjual maupun pembeli harus
memenuhi syarat tertentu sehingga aktifitas jual belinya sah secara hukum,
yaitu berakal (aqil) dan orang yang berakad harus cakap dalam bertindak
hukum.
2. Saling rela antara ke dua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak
untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya berdasarkan hadist
Nabi Riwayat Ibnu Majah : “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka
sama suka)
3. Barang atau objek jual beli jual beli (ma’qud ‘alayh) harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
6

Idri, Hadist Ekonomi dalam Perspektif Hadist Nabi (Jakarta : Prenada Media Grup, 2016), hlm
167
7

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta : Prenada Media Grup, 2016), hlm. 104

14

a.

Barang tersebut harus ada, maka tidak sah menjual barang yang tidak
ada atau belum ada. Sesuai dengan hadist Nabi :
)‫التبع ما ليس عندك (رواه البخاري‬
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. alBukhari)

b.

Benda yang diperjual belikan harus miliknya atau milik orang yang
diwakilkan. Jika benda yang diperjual belikan bukan milik sendiri,
menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali jual beli tersebut
boleh dan sah dengan syarat harus mendapat ijin dari pemiliknya
begitupun sebaliknya. Sesuai dengan hadist Rasulullah :

‫ َال النبي صلي الله عليه وسلم‬:‫عن عبد الله بن دينار َال سمعت ابن عمر رضي الله عنهما يقول‬
)‫من ابتاع طعاما فال يبعه حتي يقبضه (رواه البخاري‬
“Dari ‘Abdullah ibn Dinar, berkata : aku mendengar Ibn ‘Umar r.a
berkata : Rasulullah bersabda :”barang siapa membeli makanan, maka
janganlah ia membeli (mambayar)-nya kecuai setelah ia menerima atau
memegangnya.” (HR. al-Bukhari)
c. Barang tersebut dapat diserahkan secara langsung meskipun akad
sedang berlangsung, atau barang diserahkan sesuai waktu yang telah
disepakati. Ketika transaksi berlangsung kemampuan untuk menyerahkan
barang di idsyaratkan tidak ada kesulitan. Misalnya, memebeli ikan dalam
kolam tetapi ikan tersebut nampak jelas dan bisa dilihat, dan air kolam
tersebut tidak bertemu air sungai atau air laut adalah sah, karena tidak ada
unsur penipuan. Sedangkan, jual beli yang mengandung penipuan adalah
dilarang dalam islam. Seperti pada hadist Nabi :

ِ ‫صا‬
ُ ‫ع ْن أَبِى ُه َري َْرة َ ََا َل نَ َهى َر‬
َ ‫ت َو‬
َ ‫سلَّ َم‬
َ ُ‫صلَّى الله‬
َ
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ع ْن بَيْعِ ْال َح‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬
ِ‫ع ْن بَيْع‬
)‫ْالغ ََر ِر (رواه مسلم‬
“Dari Abu Hurayrah r.a. Berkata Rasulullah saw melarang jual beli
dengan lemparan batu (kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim)
d. barang tersebut diketahui oleh kedua belah pihak. Yang dimaksud disini
adalah waktu akad atau sebelum akad dengan syarat benda tersebut tidak
berubah saat akad berlangsung. Menurut mazhab Hanafi untuk mengetahui
15

benda yang di perjual belikan bisa menggunakan jalan isyarah
(menyebutkan spesifikasi benda tersebut). Ketentuan tersebut terdapat
dalam Hadis :

َ‫س ِلقُ ْون‬
ْ ‫عب‬
َ ُ‫ي الله‬
ِ ‫َّاس َر‬
َ ‫ع ْن اب ِْن‬
َ
َ ُ‫ ْال َم ِد ْينَةُ َو ُه ْم ي‬:‫ي صلى الله عليه وسلم‬
ُّ ‫ع ْن ُه َما ََا َل ََدَ َم النَّ ِب‬
َ ‫ض‬
‫ْئ فِ ْي َك ْي ٍل َم ْعلُ ْو ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُ ْو ٍم اِلَى ا َ َج ٍل‬
َ ‫ف فِ ْي‬
ِ ‫سنَتَي ِْن َوالث َّ َال‬
َّ ‫بِالث َّ َم ِر ال‬
َ َ‫ث فَقَا َل َم ْن ا َ ْسل‬
ٍ ‫شي‬
)‫َم ْعلُ ْو ٍم (رواه مسلم‬
“Diriwayatkan dari ibn Abbas r.a. ia berkata: Nabi SAW datang ke
Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam (memesan)
kurma selama dua tahun dan tiga tahun. Kemudian Nabi bersabda,
“barangsiapa yang melakukan akad salam terhadap sesuatu hendaklah
dilakukan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai
batas waktu yang jelas.” (HR. Muslim)
e. barang tersebut harus ada manfaatnya dan harus suci. Barang yang tidak
ada manfaatnya dan najis maka tidak sah transaksinya. Seperti yang
diterangkan dalam surah al-a’raf ayat 157.
4. syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul, agar sebuah transaksi menjadi
sahnya akad maka harus memenuhi beberapa syarat berikut : a) Tujuan
pernyataan jelas, b) Antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian, artinya antara
penjual dan pembeli mengerti betul tentang barang tersebut dan pembeli rela
akan barang tersebut, c) Pernyataan ijab dan qabul mengacu pada suatu
kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu.
Beberapa cara untuk menyatakan ijab dan qabul, yaitu:
a) Ucapan, dalam hal ini tidak disyaratkan untuk menyebut barang yang
menjadi objek kecuali akad dalam pernikahan.
b) Tulisan, dapat dilakukan oleh yang dapat bicara maupun tidak.
c) Perbuatan, melakukan sesuatu yang hendak akan melakukan akad, misal
pembeli memberi uang kepada penjual terhadap suatu barang.

16

d) Isyarat, hanya boleh dilakukan oleh orang yang tuna wicara, namun,
apabila mereka bisa melakukan tulis menulis alangkah baiknya
menyatakan dengan tulisan.
5.

syarat yang berkaitan dengan nilai tukar (harga barang). Ulama fiqh

mengemukakan syarat dari nilai tukar sebagai berikut:
a) Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya
b) Dapat diserahkan secara langsung ketika akad sedang berlangsung, apabila
barang tersebut dibayar kemudian (utang) maka harus jelas pula kapan
pembayaranya
c) Apabila jual beli dilakukan secara barter maka barang tersebut yang
dijadikan sebagai nilai tukar dan barang yang dibenarkan oleh syara’.
Persyaratan diatas bersifat kumulatif, artinya keseluruhan syarat haruslah
di penuhi untuk menjadi sah nya suatu transaksi. Apabila salah satu dari
hal diatas tidak dipenuhi maka salah satu pihak akan merasa diberatkan
atau dirugikan. Akibatnya akan termakan harta orang lain yang bukan hak.
B. Tujuan dan Bentuk-bentuk Jual Beli
Dalam aktifitas jual beli terdapat unsur tolong-menolong, dimana penjual
mencari rezeki dengan menjual barang daganganya dan pembeli membelinya,
umtuk pembeli kebutuhanya terpenuhi dan dapat membelinya yang telah
disediakan oleh penjual di pasar. Alquran sendiri telah menjelaskan bahwa
hidup itu harus saling tolong menolong seperti yang terkandung dalam surah
al-maidah ayat 2.
Toleransi atau lapang dada diperlukan dalam rangka memelihara tujuan
tersebut, dalam aktifitas perdagangan jual beli hal seperti ini perlu dilakukan
dan itu merupakan usaha yang mendatangkan keberhasilan serta keberkahan
usaha. Rasulullah bersabda:

17

ُ‫ َر ِح َم الله‬:َ‫سلَّ َم ََال‬
ُ ‫ع ْن ُه َما أ َ َّن َر‬
َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ُ‫ي الله‬
ِ ‫ع ْب ِد الله َر‬
َ ‫ع ْن َجا ِب ْر ب ِْن‬
َ
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو َل الل ِه‬
َ ‫ض‬
‫ضى‬
َ َ ‫س ْم ًحا إِذَا با‬
َ َ ‫ع َوإِذا ا ْشت ََرى َوإِذَا ا َْت‬
َ ‫َر ُج ًال‬
“Dari Jabir ibn Abd Allah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Allah mengasihi kepada orang-orang yang memberikan kemudahan ketika
ia menjual dan membeli serta ketika menagih haknya.” (HR. al-Bukhari)
Selain itu, jual beli menghindarkan seseorang dari penguasaan harta secara
tunggal atay agar harta tersebut tidak berputar atau beredar dilingkungan
orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7), dan juga agar umat manusia terutama
kaum beriman terhindar dari perbuatan memakan harta yang diperoleh secara
batil maka di adakanlah perniagaan atau jual beli (QS. An-Nisa: 29).
Bentuk-bentuk jual belidapat dilihat dari beberapa segi, yakni:
1) Dari segi keabsahanya menurut syara’, ada dua bentuk jual beli yaitu:
a) Jual belli yang Sahih
b) Jual beli yang tidak Sahih, jual beli yang rukunya tidak terpenuhi.
2) Dilihat dari objek jual beli ada tiga bentuk:
a) Jual beli umum yakni menukar barang dengan uang
b) Jual beli al-surf (money changer) yaitu penukaran uang dengan uang
c) Jual beli Barter yakni menukar barang dengan barang
3) Dilihat dari standarisasi harga, terdapat tiga bentuk, diantaranya:
a) Jual beli tawar menawar, penjual tidak memberikan harga perolehan
barang dagangan
b) Jual beli amanah, penjual memberitahukan harga perolahan barang
dagangan
c) Jual beli lelang, penjual menawarkan suatu barang kemudian pembeli
berlomba-lomba menawar barang tersebut namun penjual menjualnya
kepada pembeli yang berani menawar tinggi.
4) Dilihat dari cara pembayaran, terdapat empat bentuk jaul beli
a) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran dilakukan secara
langsung
b) Jual beli dengan pembayaran tertunda
18

c) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda
d) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama
tertunda.

C. Prinsip-prinsip Jual Beli
Berbagai penjelasan mengenai jual beli tidak lain agar aktivitas jual
beli sesuai dengan prinsip-prinsip jual beli dalam islam, prinsip yang
dimaksud adalah:
a) Prinsip suka sama suka (‘an taradhin).Segala bentuk aktifitas
dalam jua beli yang di halalkan dan tidak boleh ada unsur paksaan,
penipuan, kecurangan, atau praktik-praktik lain yang dapat
menghilangkan kebebasan, kebenaran, dan kejujuran dalam
transaksi. Yang dimaksud suka sama suka yakni penjual dan
pembeli sepakat atas barang dan harga yang ditransaksikan.
b) Takaran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan nilai
timbangan dan ukuran yang tepat dan standar harus di utamakan.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah al-Mutaffifin (83)
ayat 1-7.
c) Iktikad baik. Islam selain menenekankan pada timbangan agar
melakukanya dengan benar dan tepat juga harus menunjukkan
iktikad yang baik dalam bertransaksi karena hal ini merupakan
hakikat bisnis. Segala perjanjian harus dinyatakan dalam bentuk
tulisan karena hal tersebut dapat menguatkan kesaksian dan
mencegah keragu-raguan. Hal ini juga dipaparkan dalam firman
Allah surah al-baqarah ayat 282.

19

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Jual beli adalah pertukaran harta antara dua pihak atas dasar atas dasar
kerelaan, dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu
alat tukar yang sah diakui dalam lalu lintas perdagangan, jual beli merupakan
transaksi atau tindakan yang telah jelas hukumnya dalam islam. Dalam
persepektif hadis jual beli juga dibenarkan selama tidak melanggar ketentuan
syariah karena disini jual beli merupakan kegiatan yang mengandung unsur
tolong menolong selain dalam mencari keuntungan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, transaksi ekonomi harus
dilaksanakan dengan cara yang benar dan sesuai dengan aturan syariah yang
berlaku yaitu yang sesuai dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah
SAW sangat melarang perilaku dan sikap negatif dalam jual beli, antara lain
sebagai berikut:
1. Jual beli dengan menyembunyikan cacat barang yang dijual
2. Jual beli secara curang (najsyi) supaya harga barang lebih tinggi,
yaitu menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya
3. Jual beli dengan cara paksaan (bay’ al-ikrah)
Melakukan transaksi jual beli juga harus ada rukun dan syarat Jual beli, untuk
rukun jual beli ada beberapa pendapat. Adapun rukun jual beli menurut
jumhur ulama’ :
a. Penjual (Bai’)
b. Pembeli (musytari)
c. Ijab qabul
d. Nilai tukar pengganti barang
20

Disamping rukun, terdapat pula syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada
pada setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama’ syarat-syarat tersebut :
1. Orang yang berakad (‘aqaid).
2. Saling rela antara ke dua belah pihak.
3. Barang yang diperjual belikan harus sesuai syarat menurut syariah, seperti:
a) Barang tersebut harus ada, maka tidak sah menjual barang yang
tidak ada atau belum ada.
b) Benda yang diperjual belikan harus miliknya atau milik orang yang
diwakilkan.
c) Barang tersebut dapat diserahkan secara langsung meskipun akad
sedang berlangsung, atau barang diserahkan sesuai waktu yang
telah disepakati.
d) Barang tersebut diketahui oleh kedua belah pihak.
e) Barang tersebut harus ada manfaatnya dan harus suci.

21

DAFTAR PUSTAKA

Rodin, Dede, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015.
Idri, HADIS EKONOMI Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, Jakarta:
Prenada Media Group, 2016.
Al-Hamd, Abdul Qadir Syaiban, SYARAH BULUGHUL MARAM: Fiqhul
Islam, Jakarta: Darul Haq, 2005.
Huda, Choirul, “SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PELAKU BISNIS MLM
SYARI’AH

AHADNET

INTERNASIONAL

(Studi

Kasus

di

Kota

Semarang)”, economica, (Vol. IV, No. 2, November/ 2013)
Saifullah, Muhammad, “KAJIAN SEJARAH: ETIKA BISNIS DALAM
PRAKTEK MAL BISNIS MUHAMMAD”,

economica, (Vol. II, NO. 2,

November/ 2010)
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta : Prenada Media Grup, 2016)