Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

ABUBAKAR SAHBUDIN

NIM: 18100110000067

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M/1436 H


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

ABSTRAKSI

Konsep Kecerdasan Ruhani Guru dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Menurut Kajian Tafsir QS. Ali-‘Imran: 159

Kata Kunci: Kecerdasan Ruhani, Guru, Karakter, Peserta Didik

Kecerdasan ruhani adalah identitas sejati dalam diri manusia, dan merupakan kecerdasan tertinggi tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan yang bersumber dari Allah. Kepribadian yang dilandasi keimanan dan melahirkan perilaku akhlak mulia, adalah manifestasi dari kecerdasan ruhani.

Bahwa guru sebagai pengajar, memikul tanggung jawab berat dan besar jasanya, dalam mengembangkan pendidikan, oleh karenanya posisi guru menjadi penting (orang penting), maka ia harus tampil baik sekali (prima), sehingga ia menduduki derajat terhormat dalam masyarakat.

Tujuan penelitian ini difokuskan untuk mengungkapkan konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. Ali-‘Imran: 159. Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan secara kualitatif, yakni menelaah dan menganalisis pemikiran-pemikiran dalam berbagai sumber data yang relevan, agar memperoleh pemahaman yang mendalam atas tema pokok.

Terdapat lima kitab tafsir sebagai sumber data primer, yaitu: Tafsir Jalalain, karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir al-Mishbah, karya M. Quraish Shihab, Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-Tafsir min

ibn Katsīr) Karya Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Syeikh, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, karya Sayyid Quthb, dan Tafsir Al-Maragi, Karya Ahmad Mustafa al-Maragi. Terkait metode tafsirnya, dalam penelitian ini digunakan metode muqāran (komparasi), yaitu membandingkan kelima tafsir tersebut sehingga diketahui kecenderungan para penafsir dalam objek kajiannya, dimana membahas topik yang sama tetapi dengan redaksi yang berbeda.

Bahwa terdapat lima konsep perilaku yang mencerminkan kecerdasan ruhani yaitu: lemah lembut terhadap peserta didik (linta lahum), menjadi guru pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas), selalu mendoakan dan memohon ampunan Allah bagi peserta didiknya (wastaghfirlahum), dan bermusyawarah dengan mereka (wasyaawirhum), serta bertawakkal kepada Allah (tawakkal ‘alallah).

Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter peserta didik, sesungguhnya ada di tangan para guru yang memiliki kecerdasan ruhani, di samping memiliki berbagai kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillāhirrahmānirrahīm, penulis memulai penyusunan skripsi ini dengan menyebut Nama Dzat-Nya yang Mahamulia, dengan pengharapan semoga mengalir keberkahan-Nya sehingga ilmu dan wawasan yang diperoleh membawa manfaat setelah menyelesaikan program perkuliahan.

Al-Hamdulillāhirabbi al-‘ālamīn, seraya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam, atas anugerah berbagai nikmat, kesehatan, dan kesempatan untuk menjalani aktifitas perkuliahan sampai tuntas, dengan penuh semangat yang disertai pengalaman suka dan dukanya.

Shalawat dan Salam yang sempurna semoga Allah sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat beliau, juga para pengikut yang setia, semoga kita semua memperoleh syafaat beliau di hari pembalasan kelak. mīn YāRabba al’ālamīn.

Menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dan kontribusi dari semua pihak, rasanya mustahil bagi penulis untuk mampu menyelesaikan proses perkuliahan sampai pada tahap akhir. Teringat sebuah hadits Nabi SAW:

ها ِرُكْشَي ََْ ساَنلا ِرُكْشَي ََْ ْنَم

Siapa yang belum berterimakasih kepada sesama manusia, (mengindikasikan) ia belum bersyukur kepada Allah.

Untuk itu secara tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas jasa-jasa budi baik, kepada:

1. Ibunda tercinta Siti Maimunah Komaruddin (Emma Bita), serta Mama Ummiyati Ja’far Kansong Songge, dan Aba H. Kahruddin Kansong Songge serta Mama Hj. Sonia Azahrah Kahruddin, dan Pamanda Ale Komaruddin (Aba Ale), atas doa dan cinta kasih mereka yang tulus untuk ananda (penulis). 2. Ust. Agus Sholeh, atas dorongan semangat dari beliau, sehingga penulis


(8)

viii

3. Bapak Rektor UIN Jakarta beserta bapak ibu staf rektorat dan Dekan FITK UIN Jakarta Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, beserta bapak ibu staf dekanat. 4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen:

NO NAMA DOSEN MENGAMPU MATA KULIAH

1 Dr. Syamsul Arifin, M.Pd Bahasa Arab 1

2 Drs. E. Kusnadi Bahasa Indonesia

3 Zaharil Anasi, M.Hum Bahasa Inggris 1

4 Drs. Safiuddin Sidik, MA 1. Fiqh 1 (Ibadah)

2. Ushul Fiqh 2

5 Drs. Jais Prasojo Pendidikan Kewarganegaraan

6 Sudirman Tamin, MA Pengantar Studi Islam

7 Zainal Muttaqin, MA 1. Qawaid al-Lughah

2. Bahasa Arab 2

8 Dr. Yayah Nurmaliah, MA

1. Pengantar Ilmu Pendidikan 2. Pengembangan Kurikulum

PAI

9 Dra. Elo Al-Bugis, MA 1. Ulumul Qur'an 1

2. Ulumul Qur'an 2

10 Zikri Neni Iska, M.Psi Perkembangan Peserta Didik

(PPD)

11 Nuraini Ahmad, M.Hum 1. Filsafat Umum

2. Filsafat Ilmu

12 Cut Dien Noerwahida, MA Sosiologi Pendidikan

13 A. Irfan Mufid, MA Sejarah Peradaban Islam

14 Zaharil Anasi, M.Hum Bahasa Inggris 2

15 Dra. Sofiah, MA

1. Ulumul Hadits 1 2. Hadits 1

3. Hadis Tarbawi

16 Prof. Dr. Armai Arief dan 1. Sejarah Pendidikan Islam 1

17 Busahdiar MA (Asisten Dosen) 2. Sejarah Pendidikan Islam 2

18 Syaifuddin, MA Ilmu Kalam 1

19 Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA Pengembangan Profesi Keguruan

20 Dra. Eny Rosda Syarbaini, M.Pd 1. Bimbingan Konseling (BK)

2. Kesehatan Mental

21 Drs. Faridal Arkam, M.Pd Metode Penelitian Kependidikan

22 Dr. Zubair Ahmad, MA 1. Ushul Fiqh 1

2. Masail Fiqhiyah 1


(9)

ix

24 Prof. Dr. Abuddin Nata, MA Filsafat Pendidikan Islam

25 Dra. Djunaidatul Munawaroh, MA

1. Ilmu Pendidikan Islam (IPI) 2. Perencanaan Pembelajaran 3. Telaah Kurikulum

26 Azharuddin Latif, M.Pd Fiqh 2 (Munakahat)

27 Eva Fitriyati, M.Pd 1. Media Pembelajaran PAI

2. Materi Khusus (MK) PAI

28 Abdul Rauf, MA Ulumul Hadits 2 (Takhrijul

Hadits)

29 Nuraida, M.Si Psikologi Pendidikan

30 Prof. Dr. Rif'at Syauqi Nawawi,

MA Tafsir Tarbawy ( Studi Naskah )

31 Drs. Rasiin, MA Ilmu Kalam 2

32 Dr. Dimyati, MA Logika/Mantik

33 Prof. Dr. Muardi Chotib 1. Fiqh 3 (Mawaris)

2. Masail Fiqhiyah 2

34 Dr. Sururin, MA Psikologi Agama

35 Dr. Ahmad Shodiq, MA 1. Akhlak Tasawuf 1

2. Akhlak Tasawuf 2

36 Drs. Achmad Gholib, MA PPMDI 1

37 Abdul Ghofur, MA Qiroatul Quthub 1

38 Drs. Rusdi Jamil, MA 1. Fiqh 4 (Mu'amalah)

2. Fiqh Siyasah

39 Drs. Muarif SAM, M.Pd Adm. & Supervisi Pendidikan

40 Prof. Dr Abd. Rahman Ghozaly Qawaid Fiqhiyah

41 Dr. Ansori LAL 1. Filsafat Islam

2. Tafsir Maudhu'i

42 Dr. Dardiri Qira-atul Kutub II (Tarjamah)

43 Dra. Manerah Evaluasi Pembelajaran

44 Syamsul Aripin, MA PPMDI II

45 Dr. Abdul Majid Khon Tarikh Tasyri'

46 Dindin Sobiruddin, M.Kom Statistik Pendidikan 1

47 Dr. Sita Ratnaningsih, MA Kapika Selekta Pendidikan

48 Marhamah Saleh, Lc. Perbadingan Mazhab

49 Firdausi, S.Si, M.Pd Statistik Pendidikan 2

50 Dr. A. Basuni, MA Studi Agama-Agama

51 Dr. Ulfah Fajarini Pengantar Ilmu Sosial


(10)

x

6. Bapak Ibu Pegawai Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Bapak Ibu Pegawai Perpustakaan FITK dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Bapak Kamaluddin Taher Parasong, M.Si, dan terutama isteri beliau Ibu Dwi Indah Wahyuningsih, M.Si, selaku Kepala SMP Wawasan Nusantara Cengkareng Jakarta Barat, yang telah memberikan rekomendasi Surat Keterangan Mengajar kepada penulis sebagai persyaratan mengikuti perkuliahan.

9. Istriku tercinta Ikay Rokayah, S.Ag, dengan setianya selalu sibuk setelah shalat subuh untuk menyiapkan sarapan pagi setiap kali suaminya ini (penulis) hendak berangkat kuliah pukul 06.30 WIB.

10. Ust. Muhammad Ahmad RAM, dan Ka’ Ummi Mudzakiratin, atas dukungan doa serta bantuan moril maupun materil.

11. Kakakku dan adik-adikku serta semua keluarga besar yang secara tulus memberikan dukungan doa dan bantuan moril maupun materil, khususnya adikku Saiful Sahbudin, yang telah memberikan laptopnya, sehingga sangat membantu kelancaran penyusunan skripsi ini. Bisa dibayangkan, andaikan tanpa adanya laptop, pasti penulis akan menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses penulisan (pengetikan) skripsi. Termasuk adikku Aminullah Magun Ja’far yang memberikan bantuan dana guna pendaftaran wisuda.

12. Bapak Mertua H. As’ad Zaeni dan keluarga besar di Garut, atas dukungan doa serta bantuan moril maupun materil.

13. Bapak H. M. Syarifin Maloko, SH, Bapak H. Tuan TS, Bapak H. Dr. Muhammad Ali Taher Parasong, dan Bapak H. M. Udrus Maloko, serta Keluarga Besar PKLS (Persatuan Keluarga Lamakera Solor) di Jabodetabek dan sekitarnya.

14. Bapak M. Harun Shikka Songge dan Bapak Hasan M. Noer, yang banyak membantu secara moril maupun materil, terlebih lagi meminjamkan beberapa buku guna referensi penulisan skripsi.


(11)

xi

15. Bapak H. Lukman Sangadji, yang juga banyak membantu secara moril maupun materil.

16. Sahabatku Pak Prayitno, juga banyak membantu di saat penulis kesulitan keuangan yang sekedar buat transportasi (uang bensin) ke kampus, terlebih ketika penulis menumpang di rumahnya untuk mencetak (ngeprint) naskah skripsi ini.

17. Sahabatku Arwanto (Bos Pa’e) pengusaha sukses jasa foto copy di Cikini Jakarta Pusat, yang juga sering membantu ketika penulis kesulitan keuangan, terutama sumbangannya 2 rim kertas ukuran A4, guna penggandaan naskah skripsi ini.

18. Ust. Muhiddin dan Kakanda Syukur Mukin di Kupang NTT. Dari kakanda Syukur inilah, penulis memperoleh cerita tentang “go anak jawab kurang

to’u saja mo ma’ar we?, yang penulis masukkan dalam latar belakang masalah pada bab 1 skripsi ini. Lantaran gaya cerita Ka Syukur yang lucu, sehingga yang mendengar cerita tersebut, semuanya tertawa terpingkal-pingkal termasuk Ust. Muhiddin.

19. Rekan-rekan sesama mahasiswa dan mahasiswi Kelas A dan Kelas B.

20. Semua pihak yang penulis tidak sebutkan nama mereka dalam pengantar ini, namun telah memberikan bantuannya secara langsung maupun tak langsung.

Semoga Allah SWT, memberikan balasan dengan ganjaran kebaikan yang berlipat ganda dan ampunan serta rahmat-Nya kepada semua pihak, yang telah berjasa, sehingga penulis mampu menyelesaikan program perkuliahan dan merampungkan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya, meskipun sudah berupaya semaksimal mungkin, namun disadari, karya ini masih terdapat kelemahan dan kekurangannya, serta jauh dari tarap sempurna sebagai sebuah karya ilmiah.

Jakarta, November 2014/Shafar 1436 H Hormat Penulis

ABUBAKAR SAHBUDIN


(12)

xii

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ii

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN SKRIPSI iii

LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI iv

LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI v

ABSTRAKSI vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI xii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 6

C. Pembatasan Masalah 7

D. Perumusan Masalah 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

BAB II : KAJIAN TEORITIK

A. Acuan Teori 9

1. Dimensi Kecerdasan Manusia 9

2. Rūh Menurut Al-Qur‟an 10

3. Makna Kecerdasan Ruhani 12

4. Dinamika Ruhani dan Jiwa yang Tenang 15

5. Pengertian dan Fungsi Guru 20

6. Hubungan Guru dan Peserta Didik 21

7. Definisi dan Hakikat Karakter 22

8. Landasan Hukum Pendidikan Karakter 23

9. Tentang Tafsir dan Surat Ali-„Imran 24

a. Definisi dan Keutamaan Tafsir 24

d. Tentang Surat Ali-„Imrān 25

B. Hasil Penelitian yang Relevan 26

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian 27

B. Metode Penelitian 28

C. Fokus Penelitian 29


(13)

xiii

BAB IV : KECERDASAN RUHANI PERSPEKTIF QUR‟ANI

A. Tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159 31

B. Analisis Komparatif Tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159 35

C. Analisis Kandungan QS. 3/Ali-„Imran: 159 48

1. Lemah Lembut dan Tidak Berlaku Keras… 48

2. Memaafkan 50

3. Memohon Ampunan Allah bagi Mereka 56

4. Bermusyawarah 57

5. Tekad yang Bulat Disertai Tawakkal 58

D. Aspek-aspek Kecerdasan Ruhani Guru 60

1. Lemah Lembut terhadap Mereka (Linta lahum) 60

2. Jadilah Sosok Guru Pemaaf („aafiina „aninnaas) 63

3. Mendoakan Mereka (wastaghfir lahum) 65

4. Bermusyawarah dengan Mereka (wa syāwirhum) 67

5. Bertawakkal Kepada Allah 75

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 77

B. Implikasi 79

C. Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Guru atau pengajar dalam bahasa Arab disebut mu‟allim. Kata

al-mu‟allimu sebagai isim fā‟il(kata yang menunjukkan pelaku) berarti pengajar,

asalnya dari fi‟il (kata kerja):„allama-yu‟allimu artinya mengajarkan ilmu. Jadi, al-mu‟allimu adalah orang yang mengajarkan ilmu.1

Untuk sampai pada tingkat mu‟allimseseorang haruslah melalui proses yang cukup panjang. Proses itu dimulai dari ta‟allama-yata‟allamu artinya

belajar (menuntut ilmu secara terus menerus). Dengan ta‟allam (belajar), seseorang dapat mencapai tingkat „alima-ya‟lamu artinya mengetahui. Sedangkan „ilmu artinya pengetahuan. Orang yang memiliki ilmu/berpengetahuan disebut„ālim (pandai/pintar). Tanpa ada proses ta‟allam (belajar) seseorang tidaklah sampai pada tingkat „ālim. Sebagaimana ungkapan kata mutiara dalam pepatah/pribahasa Arab:

ْرَمْا َسْيَلَ ف ْمَلَعَ ت

اًمِلاَع ُدَلْوُ ي ُء

لِهاَج َوُه ْنَمَك ٍمْلِعوُخَا َسْيَلَو ,

Belajarlah! Karena tidak ada seorang pun yang dilahirkan langsung pandai, dan seorang yang tidak berilmu, dia seperti orang bodoh.2

Kata „ālim jamaknya (bentuk plural) adalah „ulamā‟ artinya: kumpulan orang-orang pandai. Setelah menjadi „ālim (pandai) seseorang dituntut untuk mengajarkan ilmunya („allama) kepada orang lain, sehinga sampailah ia pada tingkat mu‟allim (sebagai pengajar). Bahkan antara ta‟allama (belajar) dan

„allama (mengajar) adalah sebuah proses untuk menjadi “sebaik-baik

manusia”, sebagaimana ungkapan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW:

1

Ahmad Warson Munawir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 1984). h. 1038

2

Tim Redaksi. Mahfudhat: Kumpulan Kata Mutiara dan Pribahasa Arab-Indonesia.


(15)

ْنَم ْمُكُرْ يَخ

ََمَلَعَ ت

َو َنآْرَقْلا

َ هَمَلَع

“Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar al-Qur‟an dan

mengajarkannya”. (H.R. Bukhari)3

Betapa mulianya derajat mu‟allim, karena ia seorang yang berpengetahuan („ālim/‟ulamā‟), bahkan dikatakan bahwa ulama merupakan pewaris para nabi. Maknanya adalah menjadi pewaris berarti ia harus menjaga warisan dengan sebaik-baiknya, bukan menjual atau menggadaikan warisan itu untuk kepentingan pribadinya sendiri.

Cita-cita menjadi guru adalah panggilan jiwa. Guru laksana cahaya penerang di kegelapan malam pada setiap lintasan sejarah peradaban umat manusia. Dunia berhutang budi kepada guru. Namun tidak semua orang yang pandai itu mampu mengajarkan pengetahuannya dengan baik kepada orang lain. Hal ini disebabkan ia tidak memiliki kompetensi sebagai pengajar (guru). Kompetensi (competency) dapat diartikan dengan kemampuan, kecakapan atau wewenang.4

Makna lain kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Dengan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru, akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Artinya guru bukan saja harus pintar tetapi juga pandai mentrasfer (mengajarkan) ilmunya kepada peserta didik.5

Sejak belajar di bangku sekolah dasar hingga tingkat menengah, telah muncul istilah “guru galak” (guru killer). Bahkan sampai di perguruan tinggi pun terdengar pula istilah “dosen galak”. Konsekuensinya dapat dipahami, bahwa guru galak dibenci oleh peserta didik. Akibatnya, mata pelajaran yang

3

Mannâ Khalil Al-Qaţţân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, Terj. Oleh Mudzakir AS. Cet. 13. (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010).h. 275

4

Fachruddin Saudagar dan Ali Udrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung Persada-GP Press, 2011), Cet. III, h. 29.

5

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru,


(16)

diajarkan oleh guru galak, juga menjadi sasaran kebencian, sehingga mata pelajaran tersebut tak dapat dipahami/diserap dengan baik oleh siswa. Guru yang memiliki perangai kasar/galak, tidak jarang menjadikan peserta didiknya sebagai sasaran kemarahannya, bahkan hingga melakukan kekerasan fisik. Penamparan, tendangan, pemukulan dengan penggaris, kayu atau rotan adalah bentuk kemarahan yang seringkali diperagakan oleh guru galak terhadap peserta didiknya.

Perilaku guru kasar, terkadang memunculkan reaksi dari para orang tua siswa. Dahulu pada dekade 1980an di kampung penulis, ada cerita menarik. Seorang murid SD ditampar gurunya lantaran tidak bisa menjawab pertanyaan pelajaran Matematika. Sang guru bertanya, 2 + 5, lalu si murid menjawab 6. Jawaban yang benar tentunya 7. Maka tak pelak lagi, si murid menerima hadiah berupa tamparan di pipi. Dengan memendam rasa takut, maka si murid membolos pulang ke rumah. Ayahnya yang bekerja di pelabuhan, kembali ke rumah untuk makan siang, mendapatkan anaknya sudah ada di rumah sebelum waktu pulang sekolah. Setelah memperoleh penjelasan anaknya, sang ayah pun bergegas menuju ke sekolah untuk menemui sang guru yang telah menampar anaknya. Di sana bertemulah dengan sang guru itu, dan keduanya terlibat pertengkaran yang hebat (baku adu mulut) dengan dialek khas bahasa kampung, sang ayah bertanya: “pa guru, kenapa anak saya dipukul?”. Sang Guru menjawab: “Ya karena tadi saya bertanya 2 + 5, anak Bapa menjawab 6, lalu saya tampar dia to?”. Sang ayah pun kembali merespon dengan dialek kampung: “beh moe pa guru, go anak jawab kurang to‟u saja mo ma‟ar

we?”6

(“ah kamu Pa Guru, anak saya menjawab kurang 1 saja kamu pukul kah?). Kelanjutan dari pernyataan sang ayah, kiri-kira maknanya begini: “bagaimana kalau anak saya menjawab kurang 2 atau kurang 3, bisa-bisa anak saya mati dibunuh”.

Tampil menjadi guru tidak hanya di lembaga pendidikan formal, karena setiap orang adalah guru. Bapak-Ibu selaku orang tua adalah guru pertama

6

Bahasa Lamaholot, merupakan bahasa daerah masyarakat gugusan kepulauan Solor yang terdiri dari tiga pulau yaitu Pulau Adonara, Pulau Lembata (Lomblen) dan Pulau Solor, yang terletak di wilayah Kabupaten Flores Timur - NTT.


(17)

bagi anak-anak dalam keluarga. Seorang kakak menjadi guru yang baik dengan keteladanannya, haruslah bersikap jujur dan amanah agar dapat dihormati oleh adik-adiknya. Bahkan para pemimpin negara mestinya dapat tampil sebagai guru-guru bangsa yang mencerahkan.

Demikian sekelumit problematika guru, baik guru di masyarakat maupun guru di lembaga pendidikan formal. Ternyata menjadi guru, tidaklah cukup memiliki kompetensi kognitif, dan berwawasan intelektualitas semata. Fachruddin Saudagar dan Ali Udrus menjelaskan bahwa kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Pertama, kompetensi pedagogik adalah sejumlah kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar. Prof. Dr. J. Hoogeveld (Belanda) menjelaskan pedagogik adalah imu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, supaya kelak ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya.

Para ahli/pakar pendidikan telah mengembangkan teori pedagogik, maka terdapat dua teori pedagogik yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan yaitu pedagogi behaviorism dan pedagogi konstruktivism. Kemudian pedagogi behaviorism mendapat kritik sebagai pedagogi penindasan, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi siswa. Maka muncullah teori pedagogi konstruktivisme yang berbasis humanisme seiring dengan berkembangnya pendidikan demokratis, pendidikan humanis, dan pedagogi yang menghargai potensi, aktivitas dan kemampuan belajar para pembelajar.7

Kedua, kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh guru adalah nilai-nilai kebajikan yang bersumber pada ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan atas nilai-nilai kebajikan tersebut, seorang guru akan tampil sebagai pribadi yang berakhlak

7Dede Rosyada. “Pembelajaran PAIS antara Behaviorisme dan Constructivisme. dalam

Marwan Saridjo (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: DPP GUPPI bekerja sama dengan RajaGrafindo Persada dan Yayasan Ngali Aksara. 2009). h. 130-152.


(18)

mulia, berwibawa, sehingga ia dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Jadi yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan tingkah laku pribadi guru, yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.

Ketiga, yang dimaksud dengan komptensi profesional adalah, seorang guru harus memiliki kemampuan yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran, yang meliputi: pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis.

Keempat, kompetensi sosial, menurut ungkapan Ahmad Sanusi adalah: mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri pada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar, pada waktu melaksanakan tugasnya sebagai guru.8

Imam Al-Ghazali menjelaskan gambaran terbaik bagi seorang pengajar yang mursyid adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, orang inilah yang disebut orang besar di kalangan para malaikat di langit. Dan tidak layak bagi seorang pengajar bersikap seperti jarum yang menjahit pakaian untuk yang lain sedang dia sendiri telanjang, atau seperti sumbu pelita yang memberikan penerangan kepada yang lain, sedang dia sendiri terbakar.9

Selanjutnya Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menjadi pengajar, hendaklah ia memelihara etika dan tugasnya sebagai berikut:

1. Menyayangi orang yang belajar kepadanya dan memperlakukannya sebagai anaknya.

2. Mengikuti jejak Rasul.

3. Janganlah ia menyimpan suatu nasihat untuk keesokan harinya, seperti larangannya mengemukakan tingkat yang lebih tinggi sebelum berhak diterima oleh muridnya, dan larangan menyelami ilmu yang samar sebelum ilmu yang terang dikuasainya.

4. Memberi nasehat kepada murid dan melarangnya dari akhlak-akhlak tercela, melalui kata-kata sindiran, tidak secara terang-terangan.

8

Fachruddin Saudagar dan Ali Udrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung Persada-GP Press, 2011), Cet. III, h. 31 - 63

9

Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya‟ „Ulumuddin, Terj.oleh Bahrun Abu Bakar. L.C. cet. I (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 32.


(19)

Karena sesungguhnya ungkapan secara terang-terangan itu merusak wibawa yang menghijabi diri gurunya.10

Berbagai usaha terus dilakukan agar tindak kekerasan dalam pendidikan seperti yang terjadi pada tahun-tahun silam atau pun terkadang masih kerap terjadi hingga saat ini, dapat diminimalisir bahkan sedapat mungkin dihapus dari dunia pendidikan. Kini secara nasional sedang diupayakan untuk mendesain sekolah ramah anak, yang secara konseptual bertujuan untuk mendidik dan melindungi anak-anak dengan memiliki prinsip-prinsip yang dapat diintegrasikan ke dalam bidang-bidang implementasi, meliputi: tanpa kekerasan, tanpa diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk tumbuh, serta penghargaan terhadap anak.11

Guna mewujudkan usaha-usaha tersebut, maka guru berada pada garda terdepan merupakan sosok yang dapat mengambil peran penting sebagai posisi strategis dalam menyelenggarakan pendidikan. Guru tidak hanya memiliki kemampuan intelektual dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik. Aspek lain seperti kecerdasan emosional dan spiritual semestinya juga harus dimiliki oleh seorang guru dalam membentuk karakter peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Dengan demikian, skripsi ini mencoba mengungkapkan aspek kecerdasan ruhani bagi setiap guru dalam mendidik, guna membentuk karakter peserta didik berdasarkan petunjuk Al-Qur‟an.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan sekelumit permasalahan sebagaimana uraian pada latar belakang masalah, maka penulis melanjutkan dengan mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

10

Ibid., 32-33

11“Sekolah Ranah Anak Menuju Pendidikan Ramah Anak”.

Warta KPAI. Edisi III, 2013. h.5


(20)

1. Dalam mengajar, sebagian guru membekali dirinya, dengan lebih mengutamakan kecerdasan intelektual, sehingga mengabaikan sisi lain dari kecerdasan yaitu kecerdasan ruhani.

2. Sebagian guru mengenal murid-muridnya dalam batas lahiriah saja, bahkan ada guru yang tidak mengetahui nama muridnya sendiri, sehingga antara guru dan murid tidak memiliki hubungan/ikatan batin yang kuat. Apalagi guru hampir tidak pernah menyertakan murid-muridnya bagian dari lantunan doanya. Dengan kata lain, guru tidak mendoakan murid-muridnya agar mereka mendapatkan ampunan Allah dan kekuatan lahir batin dalam menjalani proses pendidikan serta sukses meraih cita-cita.

3. Sebagian guru masih memfokuskan diri sekedar mentrasfer pengetahuan kepada muridnya, dan belum secara maksimal berorientasi pada pembentukkan karakter.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka penulisan skripsi ini akan dibatasi pada pembahasan teori kecerdasan ruhani serta makna dan hakikat karakter menurut beberapa sumber data yang relevan dengan tema utama yaitu: Konsep Kecerdasan Ruhani Guru dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Menurut Kajian Tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159.

D. Perumusan Masalah

Dengan memahami hal-hal yang telah diuraikan, maka penulis mengajukan rumasan masalahnya, yaitu: bagaimana konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159?


(21)

E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian

Berdasarkan perumusan masalahnya, maka penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159.

Dengan tujuan tersebut, kiranya penelitian ini juga memperoleh manfaat yaitu:

1. Untuk menambah khazanah pengetahuan khususnya bagi penulis, umumya bagi praktisi pendidikan, bapak-ibu guru dan para calon guru yang bercita-cita untuk mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan.

2. Menjadi perhatian para pemangku kebijakan pendidikan nasional, bahwa kajian ini sebagai kontribusi kecil dalam mendukung tujuan pendidikan, yang berorientasi pada pembentukan karakter.

3. Dapat digunakan oleh siapa saja sebagai rujukan untuk melakukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dan komprehensif.


(22)

9

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Acuan Teori

1. Dimensi Kecerdasan Manusia

Dalam kamus bahasa Indonesia, kecerdasan berarti kesempurnaan perkembangan akal budi.1 Kecerdasan adalah anugerah Tuhan. Para ahli mengemukakan, bahwa terdapat beberapa kecerdasan dalam dimensi kemanusiaan. Wahyuni Nafis yang mengutip Robert Frager, mengungkapkan, manusia memiliki empat kecerdasan yaitu: kecerdasan jasmani, kecerdasan pribadi, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Adapun kecerdasan spiritual berarti manusia telah dibekali aspek ruhaniah.2

Pendapat lain tentang kecerdasan manusia, ialah: kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient – IQ), kecerdasan emosi (Emotional

Quotient – EQ), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient – SQ). Menurut

Toto Tasmara bahwa kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan ruhani, kecerdasan jiwa yang bertumpu pada ajaran cinta (mahabbah).3

Manusia tercipta dari unsur tanah, kemudian hidup dengan ruh ilahi. Adanya unsur tanah, maka manusia dipengaruhi oleh kebutuhan yang sama dengan makhluk lainnya. Sedangkan unsur ruhani yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang sekedar memenuhi kebutuhan jasmani (makan, minum) dan kebutuhan biologis.4

1

W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: PN Balai Pustaka. 1976) h. 201

2

Sururin, Perempuan dalam Dunia Tarekat: Studi tentang Pengalaman Beragama

Perempuan Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, (Jakarta: Kementerian Agama RI

Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012). h. 251-259

3

M. Furqon Hidayatullah,. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas.

Cet. Ke-3. (Surakarta: Yuma Pustaka. 2010). h. 209

4

Abdul Majid & Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Cet. III. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2013). h. 75-79


(23)

Menurut Al-Ghazali (1058-1111), manusia terdiri dari dua bagian, yaitu badan dan jiwa. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak sempurna, tercipta dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur/ditakar, karena itu ia tidak bisa dibagi. Antara badan dan jiwa terdapat hakikat manusia, maka hakikat manusia adalah ruhani, yang tercipta dari alam ‘amr.5

2. Rūh Menurut Al-Qur’an

Pertanyaan mendasar: “apakah ruh itu?”. Al-Qur‟an berbicara tentang ruh: Berikut ini akan ditampilkan beberapa ayat al-Qur‟an tentang ruh:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah “ruh itu

termasuk urusan Tuhan-Ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan

melainkan sedikit”. (QS. 17/Al-Israa’: 85)

Ayat ini menjelaskan bahwa hakikat ruh tidak dapat diketahui oleh manusia, kecuali sedikit ilmu yang diberikan oleh Allah untuk menyingkap fenomena ruh.

Kalimat “ruh itu termasuk urusan Tuhan-Ku” berkemungkinan bahwa ia dalah sinonim dengan sesuatu. Maka ruh adalah bagian dari hal-hal yang besar, dan hanya diketahui oleh Allah SWT. Sedangkan penyandaran kata “amr” (urusan) adalah perkara yang pengetahuan tentangnya hanya dimiliki oleh Allah SWT.6

5 Akhmad Sodiq, MA. “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al

-Ghazali”. Disertasi

pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2008/1429. h. 31

6

Ali Abdul Halim Mahmud. Pendidikan Ruhani. Terjemahan dari at-Tarbiyatu


(24)

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah

liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah

meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu

kepadanya dengan bersujud.7(QS. 15/Al-Hijr: 28-29)

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan

kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan

bersujud kepadanya. (QS. 38/Shaad: 71-72)

Dua ayat dari surat al-Hijir: 28-29, dan surat Shaad: 71-72, menjelaskan tentang unsur terpenting dari penciptaan manusia pertama yaitu Nabi Adam as. bahwa, ia tercipta dari unsur tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk, kemudian Allah meniupkan ruh ciptaannya ke dalam tubuh yang telah dibentuk. Setelah penciptaan, para malaikat diperintahkan oleh Allah untuk bersujud kepada Adam (manusia pertama) yang telah Dia Ciptakan.

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.

7

Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan. Lihat

Al-Qur’an dan Terjemahannya, terbitan Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan kedua Tanah

Suci) Raja Fahd ibn „Abd al‟Aziz, dan telah mendapatkan Tanda Tashih dari Departemen Agama


(25)

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina

(air mani).

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya

ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,

pengelihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS.

32/As-Sajdah: 7-9)

Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucap kata-kata yang

benar. (QS. 78/An-Naba’: 38)

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud “ruh” dalam ayat tersebut. Ada yang mengatakan “Jibril” ada yang mengatakan “tentara Allah” dan ada yang mengatakan “ruh manusia”8

3. Makna Kecerdasan Ruhani

Kecerdasan ruhani adalah identitas sejati dalam diri manusia, dan merupakan kecerdasan tertinggi tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan yang bersumber dari Allah.

Ruh adalah suatu kekuatan yang tidak terlihat, abstrak, rumit, namun ia ada, yang dapat menghubungkan manusia dengan sesuatu yang tidak diketahui, dan tidak mungkin dijangkau oleh indra. Ia adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah. Maka ruhani adalah pusat eksistensi manusia, dan landasan tempat sandaran eksistensi itu, sehingga seluruh alam ini saling berhubungan. Ruhani merupakan pemeliharaan kehidupan manusia, dan penuntun kepada kebenaran ilahi. Oleh karenanya, Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan ruhani, ia merupakan suatu agama fitrah9

8

Ibid.., h. 1016

9

Muhammad Quthb. Sistem Pendidikan Islam. Terj. dari ManhājTarbiyatul Islamiyah.


(26)

Dengan demikian ruhani adalah sifat-sifat ruh atau hal-hal yang berkaitan dengan ruh, yang diberikan tugas untuk membimbing manusia agar selalu berada di jalan Tuhan. Ruhani inilah sebagai sumber jiwa rabbani yang terdapat dalam diri manusia. Hanya jiwa rabbanilah yang mampu berkomunikasi dengan Tuhan dan mengapresiasi realitas gaib yang tidak sanggup dijangkau oleh jiwa insani. Demikian menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.10

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, bahwa kata “rūh”

pada QS. 17/Al-Israa‟: 85, dipahami oleh banyak ulama adalah dalam arti potensi pada diri makhluk yang menjadikannya dapat hidup. Thabāthabā‟i menjelaskan kata “rūh” berarti sumber hidup yang dengannya hewan (manusia dan binatang) dapat merasa dan memiliki gerak yang dikehendakinya, juga digunakan untuk menunjuk hal-hal yang berdampak baik lagi diinginkan, seperti ilmu yang dinilai sebagai kehidupan jiwa.

Firman-Nya: Ruh itu termasuk urusan Tuhan-Ku, dipahami oleh Thabāthabā‟i dalam arti ketetapan Allah secara langsung, tanpa melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, tidak memerlukan pentahapan, waktu, dan tempat. Lanjutan Firman-Nya: dan tidaklah kamu diberi

pengetahuan melainkan sedikit, menunjukkan keterbatasan manusia untuk

mengetahui hakikat ruh. Atas dasar itu, boleh jadi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, manusia terus berupaya memahami hakikat ruh secara umum.11

Tentang ruh bahwa tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan

sedikit, hal ini menarik untuk mengetengahkan ungkapan Bapak Dr. Akhmad

Sodik, MA., beliau adalah dosen penulis yang mengampu mata kuliah Akhlak Tasauf, bahwa: اَنلا دْنع ٌرْيثكو هدْنع ٌلْيلق /(qalīlun ‘indallāh wa katsīrun ‘inda an

-nās)/sedikit di sisi Allah namun banyak bagi manusia. Maka hemat penulis

sebagaimana anugerah lainnya, bahwa sedikit dalam pandangan Allah, namun terasa banyak dalam pandangan manusia.

10 Komaruddin Hidayat. “Eksistensi Jiwa Rabbani” dalam

Kolom Rektor UIN Jakarta.

Jumat, 03 Agustus 2012.

11

M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 7. Cet. II. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). h. 181-184


(27)

Lebih lanjut, ketika menafsirkan QS. 32/As-Sajdah: 9, Quraish Shihab menjelaskan kata ( هحْور ْنم )/min rūhihi, secara harfiah berarti dari rūh-Nya

(dari rūh Allah), bukan berarti ada “bagian” Ilahi yang dianugerahkan kepada

manusia, karena Allah tidak terbagi, tidak juga terdiri dari unsur-unsur. Jadi ruh itu adalah ciptaan-Nya. Penisbahan ruh itu kepada Allah adalah penisbahan pemuliaan dan penghormatan. Jika dipahami, ayat ini bagaikan berkata: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam

(tubuh)nya ruh (yang mulia dan terhormat dari ciptaan-Nya).12

Dengan ruh, ia mengikat dari dimensi kebutuhan tanah itu – walau ia tidak dapat bahkan tidak boleh melepaskannya. Ruh pun memiliki kebutuhan-kebutuhan agar dapat terus menghiasi manusia. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non materi yang tidak dapat diukur di laboratorium, tidak juga dikenal di alam materi. Dimensi spiritual ini yang mengantar manusia untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan (pengabdian kepada sang Pencipta) dan lain-lain. Demikian menurut Quraish Shihab.

Jadi, dalam diri manusia terdapat ruh yang mulia dan terhormat dari ciptaan Allah sebagai sumber kehidupan. Derajat kemulian manusia terletak pada seberapa besar mengoptimalisasikan ruh ilahi guna mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan.

Lanjutan QS. 32/As-Sajdah: 9: dan Dia menjadikan bagi kamu

pendengaran, pengelihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

Ayat ini menggunakan kata ( َ عْمَسلا ) as-sam’a/pendengaran dengan bentuk tunggal dan menempatkan sebelum kata ( راصبأا ) al-abshā

r/pengelihatan-pengelihatan yang berbentuk jamak serta (َةدئفأاَ) al-af’idah/aneka hati yang

juga berbentuk jamak.13 Untuk memahaminya dengan merujuk kepada QS. 16/al-Nahl: 78, Quraish Shihab menguraikan tafsirnya: dan Dia menjadikan

bagi kamu pendengaran, pengelihatan-pengelihatan dan aneka hati sebagai

bekal dan alat-alat untuk meraih pengetahuan agar kamu bersyukur dengan

12

Ibid., Vol. 10. h. 368-369

13


(28)

menggunakan alat-alat tersebut sesuai dengan tujuan Allah menganugerahkannya kepada kamu.14

Untuk memahami kata tasykurun ( نوركشت ) dengan merujuk ke QS. 30/Ar-Rūm: 46. Quraish Shihab menguraikan tafsirnya: kata itu terambil dari kata syukur ( ركش ) yang inti maknanya adalah memfungsikan anugerah Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Sebanyak manfaat yang Anda dapat raih sebanyak itu pula pertanda kesyukuran Anda, selama Anda rasakan dan sadari bahwa semua yang Anda raih itu bersumber dari Allah dan berkat rahmat-Nya.15

Rujukan selanjutnya dari penjelasan tentang kata syukur adalah QS. 31/Luqman: 12, Quraish Shihab menguraikan tafsirnya, bahwa syukur

maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan serta penuhnya

sesuatu. Manusia bersyukur kepada Allah dimulai dengan menyadari dari

lubuk hatinya yang terdalam akan anugerah-Nya disertai dengan ketundukan dan kekaguman sehingga melahirkan rasa cinta kepada-Nya serta dorongan untuk memuji-Nya dengan ucapan sambil melaksanakan apa yang Dia kehendaki dari penganugerahan itu.16

Dengan demikian, di antara indikasi seseorang memiliki kecerdasan ruhani adalah menyadari segala anugerah Allah dengan penuh rasa syukur dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dengan penuh rasa tanggung jawab.

4. Dinamika Ruhani dan Jiwa yang Tenang

Ketika memulai mata kuliah Akhlak Tasauf, Bapak Dosen Dr. Akhmad Sodik, MA., menjelaskan tentang proses pembentukan akhlak. Dimulai dari niat, prilaku, kebiasaan, sehingga terbentuklah akhlak. Niat adalah hasil dari perdebatan batin yang mempertimbangkan masukan berupa ilham dan was-was. Prilaku adalah ekspresi niat dengan kesadaran dan

14

Ibid.,Vol. 6. h. 672

15

Ibid.,Vol. 10. h. 245

16


(29)

pemikiran, biasanya masih ada rasa keterpaksaan. Kebiasaan berarti setelah prilaku dibiasakan, maka ia menjadi ringan untuk dilakukan, tidak ada rasa berat dalam melakukan itu. Puncaknya adalah akhlak, menunjukkan bahwa jika kebiasaan itu diinternalisasikan hingga terbentuklah perbuatan yang muncul tanpa pemikiran dan pertimbangan lagi. Pada level ini pelaku akan selalu merasakan kenikmatan melakukan akhlak terkait.

Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh dinamika ruhani, sehingga melahirkan dua jenis akhlak yang saling bertentangan, yakni akhlak

mahmudah (akhlak terpuji/perilaku positif) dan akhlak madzmumah (akhlak

tercela/perilaku negatif). Masing-masing akan merasakan kenikmatannya. Bagi yang memahami dan menghayati nilai-nilai ruhani, maka dia mencapai kebahagiaan karena telah mampu mewujudkan sikap dan prilaku dengan akhlak terpuji, namun bersedih hati bila terjerumus dalam dosa. Sedangkan bagi yang mengotori jiwa dengan gejolak nafsu dan mengabaikan nilai-nilai kebenaran bahkan menentangnya, dia pun berpuas diri penuh bangga bila terus bermaksiat tanpa memikirkan akibatnya.

Bahwa dalam diri manusia terdapat al-qalb (hati), al-‘aql (rasio/akal)

dan an-nafs (nafsu). Hati adalah tempat bersemayam malaikat untuk

membimbing manusia, dan nafsu adalah tempat bercokol syetan untuk menjerumuskan manusia. Sedangkan akal laksana medan pertempuran antara malaikat dan syetan untuk menguasai perilaku manusia. Malaikat dengan kelembutannya membisikkan nilai-nilai ketuhanan dalam hati manusia. Adapun syetan dengan menggebu-gebu membisikkan angkara murka dalam nafsu.

Sebuah ilustrasi tentang daya-daya ruhani yang dikutip oleh Dr. Akhmad Sodiq, MA dari Kimiya al-Sa’adah karya Imam Al-Ghazali:

“Jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual (syahwat), sedangkan nafsu agresi (ghadhab) adalah penjaganya. Al-Qalb adalah rajanya dan al-‘aql adalah perdana menterinya. Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan perdana menteri guna menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana menteri demi kelanggengan kerajaan dan


(30)

kemakmuran negeri. Demikianlah kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-‘aql guna menjadikan nafsu syahwat dan

ghadhab di bawah kendali perintahnya. Dengan demikian situasi jiwa

benar-benar tenteram sehingga mampu mencapai sebab kebahagiaan ma‟rifat terhadap realitas transendental (al-hadhrah al-ilāhiyyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadhab dan syahwat maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka di akhirat.17 Berikut ini adalah skema dinamika ruhani yang telah disajikan oleh Dr. Akhmad Sodik, MA, ketika menyampaikan materi mata kuliah Akhlak Tasauf dalam bentuk power point:

Syetan secara menggebu-gebu telah menguasai nafsu kemudian berhasil memperdaya rasio, dan ia dengan arogansinya menolak apa pun dari rasio, padahal rasio telah menerima pencerahan hati yang bersumber dari bimbingan malaikat. Oleh karena pertarungan telah dimenangkan oleh syetan, maka melahirkan perilaku negatif. Gejolak syahwat adalah konsumsi nafsu untuk meraih apa yang diinginkan tanpa memperdulikan batas-batas moral.

(na’udzu billahi min dzālik).

17 Akhmad Sodiq, MA. “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al

-Ghazali”. Disertasi


(31)

Malaikat membisikkan dengan lembut (tidak menggebu-gebu) ke dalam hati, kemudian membimbing kepada rasio (akal), selanjutnya dengan kekuatan yang mencerahkan, akal dapat menundukkan nafsu, sehingga nafsu mampu menolak hasutan syetan, maka akan melahirkan perilaku positif.

Adalah dzikrullah sebagai konsumsi jiwa yang tenang (

nafsul-mutmainnah) karena telah mendapat bimbingan malaikat sehingga mampu

menundukkan gejolak syahwat. Jiwa yang tenang ini akan memperoleh panggilan mesra dari Tuhan.

Allah berfirman:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati

Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13/Ar-Ra‟du: 28)


(32)

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati

yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah

hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS.

89/Al-Fajr: 27-30)

Jiwa yang tenang adalah jiwa yang dikecualikan dari jiwa yang memerintah kepada keburukan, yakni jiwa yang dirahmati Tuhan:

(Yusuf berkata:) dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya

Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. 12/Yusuf:

53)

Mengutip Prof. Dr. Rif‟at Syauqi Nawawi, MA, beliau adalah dosen penulis yang mengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi. Menurutnya, bahwa manusia yang memiliki jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah) dalam rangkaian QS. 89/Al-Fajr: 27-30, diindikasikan memiliki karakter sebagai berikut:

a. Cenderung ingin kembali dan ingin dekat kepada Tuhan atau ingin sesuai dengan yang digariskan Tuhan, dalam menempuh kehidupan. Hal tersebut seperti dapat dipahami dari frase: irji’ī ila

rabbiki = kembalilah kepada Tuhan/Rabbmu. Kecenderungannya

ialah pada bagaimana hidup ini diselaraskan dengan apa yang dikehendaki Tuhan, rabbnya. Agaknya jiwa kategori ini dapat disebut dengan al-nafs al-rabbaniyyah (jiwa rabbani) yang segala sesuatu yang dikerjakannya cenderung disesuaikan dengan nilai-nilai ketuhanan.

b. Menerima dengan rela dan puas segala apa yang digariskan Allah kepadanya, dan menjalankan semuanya dengan perasaan puas pula. Hal tersebut dapat dipahami dari radhiyatan, ayat 28. (QS. 89/Al-Fajr: 28)

c. Batinnya tidak cemas dan tidak bersedih, karena merasa optimis untuk memperolah rahmat Tuhan. Inilah maksud kata

“mardhiyyah” di akhir ayat 28 (QS. 89/Al-Fajr: 28). Perasaan


(33)

amal-amal salih yang nyata dan ikhlas, serta keyakinan yang kuat bahwa Tuhan akan membalasnya pada hari akhir nanti.

d. Kecenderungannya bergabung dengan hamba-hamba Allah yang salih, untuk mencari kebaikan-kebaikan dan mencontoh keteladanan mereka. Ini dapat ditangkap dari frase: fadkhuli fi ibadi = masuklah dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, ayat yang ke 29 ((QS. 89/Al-Fajr: 29).

e. Merasa mantap, atas dasar iman yang benar, amal-amal salih yang nyata dan atas keyakinan bahwa ia pasti dibalasi oleh Tuhan di akhirat, dialah orangnya yang bakal masuk surga-Nya. Makna ini diambil dari frase: wadkhuli jannati (masuklah engkau ke dalam syurga-Ku), pada ayat 30 (QS. 89/Al-Fajr: 30).18

Jadi, jiwa yang tenang bukan berarti seseorang telah kehilangan (mati) hasratnya, akan tetapi gejolak hasratnya telah ditundukkan dan dikendalikan oleh pencerahan akal budi dalam bimbingan jiwa rabbani dan kecerdasan ruhani yang diarahkan menuju keridhaan Tuhan. Jiwa-jiwa inilah yang berhak masuk dalam kenikmatan surgawi nan abadi.

5. Pengertian dan Fungsi Guru

Dalam Bahasa Indonesia, “guru” diartikan sebagai “pengajar”, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti” berat, besar, penting, baik

sekali, terhormat, dan pengajar. Demikian menurut Ir. Poedjawijatna yang

mengutip dari J. E. C. Gericke dan T. Roorda.19.

Dapatlah dirangkum dalam sebuah redaksi, bahwa “guru sebagai

pengajar, memikul tanggung jawab berat dan besar jasanya, dalam

mengembangkan pendidikan, oleh karenanya posisi guru menjadi penting

(orang penting), maka ia harus tampil baik sekali (prima), sehingga ia menduduki derajat terhormat dalam masyarakat” Demikian hemat penulis.

Dalam bahasa Arab, terdapat banyak kata yang mengacu pada pengertian guru, di antaranya, mu’allim (yang mengajarkan ilmu), mudarris

18Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani,

Cet. I.(Jakarta: WNI Press. 2009) h. 58-59.

19

Aris Shoimin. Guru Berkarakter untuk Implementasi Pendidikan Karakter. Cet. 1. (Yogyakarta: Gava Media. 2014). h. 8


(34)

(yang mengajarkan pelajaran), muaddib (guru khusus di istana), ustadz

(penceramah), mudzakir (pemberi peringatan), mudzakki (yang membersihkan hati), ar-rasihuna fi al-ilm (memahami pesan-pesan al-Qur‟an berdasarkan ta‟wil), dan murabbi. Kata terakhir ini: “murabbi”20 yang akar katanya “rabb” yang bermakna “Tuhan”, sebagai akar kata dari “tarbiyah” yang oleh banyak ahli digunakan sebagai kata yang bermakna “pendidikan”21

Sebagaimana kata “rabbal ‘alamin” yang berarti “mendidik,

mengatur, memelihara alam semesta”, maka guru yang memiliki kecerdasan

ruhani, dan jiwa rabbani, adalah perpanjangan tangan Tuhan di bumi yang berfungsi sebagai pendidik, pemelihara, dan pengatur umat manusia melalui “proyek besar” sepanjang sejarah yang bernama “pendidikan”.

6. Hubungan Guru dan Peserta Didik.

Seorang ibu mempunyai naluri untuk selalu dekat dengan anak-anaknya begitu pun sebaliknya, hal ini dikarenakan antara ibu dan anak memiliki ikatan batin yang kuat. Kondisi batin yang kuat karena dilandasi jiwa yang jernih bersandarkan pada kekuatan ruhani. Dengan kemampuan ruhani itulah, antara orang tua dengan anak-anaknya senantiasa hidup berkasih sayang, saling mencintai dan saling mendoakan dalam bimbingan nilai-nilai ketuhanan. Walau secara jasmani hidup berjauhan jarak, namun secara batin, terasa dekat dalam jiwa dan saling merindukan. Maka, kemampuan ruhani itulah sebagai perekat ikatan batin antara anak dengan orang tuanya. Demikian analogi tentang ikatan batin.

Saling mendoakan, hidup berkasih sayang adalah modal utama dalam ikatan cinta dan tidak hanya berlaku dalam keluarga; antara suami-istri selaku orang tua dengan anak-anaknya. Hubungan/ikatan batin dapat terjalin dalam perspektif yang lebih luas. Misalnya guru dapat bertindak sebagai pengganti orang tua bagi peserta didik di lembaga sekolah. Guru adalah subyek pendidikan (pendidik) juga sebagai media pertama sumber pengetahuan.

20Di kalangan pesantren, kata “murabbi” juga dapat digunakan sebagai sebutan “kyai”

21

Lihat Abuddin Nata. Perspektif Islam tantang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi


(35)

Sedangkan peserta didik sebagai obyek pendidikan yang siap menerima pelajaran. Maka fungsi lain dari kecerdasan ruhani yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah sebagai perekat ikatan batin dengan peserta didik.

Untuk mempererat ikatan batin dengan peserta didik, Imam al-Ghazali menekankan, agar guru memiliki delapan etika: bersikap lemah lembut, tidak meminta imbalan, tidak menyembunyikan ilmu, menjauhi akhlak yang buruk, tidak mewajibkan murid untuk mengikuti guru/mazhab tertentu, memperlakukan murid sesuai dengan kemampuannya, kerja sama dengan para pelajar dalam membahas dan menjelaskan, serta mengamalkan ilmunya.22

Kemampuan guru untuk mempererat hubungan batin dengan setiap peserta didik, dapat membantu guru untuk memahami psikologi anak didiknya. Hal ini akan memudahkan bagi guru dalam membentuk karakter sesuai dengan bakat bawaan masing-masing peserta didik.

7. Definisi dan Hakikat Karakter

Secara etimologi, karakter berasal dari kata character (Bahasa Belanda dan Inggris), caractėre (Bahasa Perancis), kharakter (Bahasa Latin dan Yunani), yang berarti: tanda, materei, watak/kepribadian, tokoh dalam

cerita, film, drama dan sebagainya.23

Kata karakter yang digunakan dalam tujuan pendidikan adalah bermakna pembentukan watak/kepribadian peserta didik berdasarkan nilai-nilai yang dianut dalam suatu masyarakat/bangsa.

Karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan

(knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan

kebaikan (doing the good). Demikian ungkapan Ryan dan Robing. Maka,

22

Ibid., 98-101

23

Surawan Martinus. Kamus Kata Serapan. Cet. 2. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008). h. 282


(36)

pendidikan karaker adalah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku.24

Standar-standar baku itu adalah nilai-nilai kebaikan, yang hanya bisa diperoleh dalam pengetahuan agama. Tidak ada sumber lain untuk memperoleh nilai-nilai kebaikan kecuali melalui agama. Inilah makna dari kehadiran agama di muka bumi untuk menebar kebaikan dan mencegah manusia dari kehancuran nilai. Dalam konteks ini, pendidikan karakter dapat dibentuk bila berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan yang tidak lain adalah bersumber dari agama. Inilah hakikat pendidikan karakter.

8. Landasan Hukum Pendidikan Karakter

Seolah-olah, “pendidikan” sudah menjadi “kata sakti” dalam pergulatan sejarah umat manusia dari dulu hingga sekarang. Kemajuan suatu bangsa, akan sangat ditentukan oleh kemajuan dalam memantapkan dasar, mengembangkan proses dan menetapkan arah tujuan pendidikan. Setiap orang bebas memahami dan memiliki pandangan tentang arti dari kata “pendidikan”.

Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 1, pendidikan adalah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara”.25

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Pasal 3, mengamanatkan: Pendidikan Nasional bertujuan: “Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

24

Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspeektif Islam. Cet. 3. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2013). h. 11.

25

Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis


(37)

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam hal ini, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.26

9. Tentang Tafsir dan Surat Ali-‘Imran

a. Definisi dan Keutamaan Tafsir

Kata “tafsir” dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an:

Tidaklah mereka (orang-orang kafir itu) datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang

benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25/Al-Furqan: 33)

Secara bahasa, kata tafsir mengikuti wazan “taf’il” berasal dari kata al-fasr ( رسفلا ) yang berarti: menjelaskan, menyingkap dan

menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan

tafsir berarti menyingkapkan maksud suatu lafadz yang musykil/pelik.

Secara istilah, tafsir ialah: ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.27

Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia juga merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Inilah keutamaan tafsir.28

26

Ibid.,. h. 42

27Mannâ‟ Khalil

Al-Qaţţân, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. Oleh Mudzakir AS. Cet. 13.

Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010. h. 456

28


(38)

b. Tentang Surat Ali-„Imrān

Surat Ali-„Imran berjumlah 200 ayat adalah surat madaniyyah

dan merupakan surat ke-3 dalam urutan mushaf Al-Qur‟an setelah al -Fatihah dan al-Baqarah. “Keluarga „Imran”, demikian makna dari nama surat Ali-„Imran. Siapakah „Imran dan siapa saja keluarganya? Imran adalah ayah Siti Maryam (ibunda dari Nabi Isa as). Termasuk dalam keluarga „Imran adalah: Istri „Imran (Ibu Maryam), Siti Maryam, Nabi Isa as, Nabi Yahya as. Nama lain dari surat ini adalah: ( نامأا ) al-amān

(keamanan), ( نكلا ) al-Kanz, ( ةبيط ) thībah.29

Kisah keluarga Imran dimulai dengan menjelaskan beberapa orang hamba-Nya yang dipilih-Nya untuk mengembangkan sebuah risalah dan sebuah agama sejak diciptakannya makhluk.30

Ayat pertama sampai ayat 83 dalam surat Ali-„Imrān diturunkan berkenaan dengan utusan Najran yang datang kepada Nabi pada tahun IX H. Demikian yang terdapat dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.31

Diketengahkan oleh Ibnu Hatim dari Rabi‟ bahwa orang-orang Nasrani datang kepada Nabi SAW, lalu membantahnya tentang Nabi Isa. Maka Allah menurunkan ayat pertama sampai delapan puluh ayat dari surat Ali-„Imran. Begitu pula kata Ibnu Ishaq yang mendapat cerita dari Muhammad bin Sahl bin Umamah, bahwa ketika datang warga Najran kepada Rasulullah SAW, mereka menanyakan kepada beliau tentang Isa bin Maryam, maka Allah menurunkan firman-Nya mengenai mereka dari awal surat Ali-„Imran hingga ayat kedelapan

29

M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 2. Cet. II. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). h. 3

30

Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As‟ad

Yasin, Abul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah. Jilid 2. Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press. 2011). h. 63

31

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Seikh. Lubabut Tafsir


(39)

puluh. Hadis ini diketengahkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Ad-Dala‟il.32

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Setelah mencari di Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan dibantu oleh petugas perpustakaan, ditemukanlah 2 karya skripsi yang penulis anggap cukup relevan dengan tema pembahasan skripsi ini. Yaitu: Aspek-aspek Kecerdasan

Spiritual (Telaah ayat 12-19 QS. Luqman), karya Muhammad Hasan, Jurusan

PGMI FITK UIN Jakarta, tahun 2013 dan Pengembangan Kecerdasan

Spiritual Siswa Melalui Pendidikan Agama Islam, karya Agung Ismail,

Jurusan PAI FITK UIN Jakarta, tahun 2013.

Relevansi kedua karya tersebut hanya pada tema awal tentang “kecerdasan spiritual”, namun sangat berbeda pada substansi tema penulisan skripsi ini. Perbedaan itu dapat dilihat, bahwa kedua karya tersebut masing-masing membahas kecerdasan spiritual bagi siswa dan aspek kecerdasan spiritual berdasarkan QS. Luqman: 12-19. Sedangkan tema skripsi ini, memfokuskan pada pembahasan kecerdasan ruhani bagi guru berdasarkan kajian tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159.

Secara definisi, boleh jadi, “kecerdasan spiritual” dan “kecerdasan ruhani”, tampaknya memiliki kesamaan makna, namun bisa saja secara substansi, “kecerdasan ruhani” memiliki makna yang lebih dekat dengan makna kandungan al-Qur‟an. Inilah perbedaan lain antara kedua karya terdahulu yang berjudul “Kecerdasan Spiritual” tersebut dengan penelitian dan penyusunan skripsi yang ada di hadapan pembaca ini yang mencantumkan judul “Kecerdasan Ruhani”.

32

Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuţi, Terjemahan Tafsir

Jalalain: Berikut Asbâbun Nuzûl,Terj. Bahrun Abubakar, LC,(Bandung: Sinar Baru Algensindo,


(40)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek penelitian dalam skripsi ini adalah karya-karya literatur yang memiliki relevansi dengan tema pokoknya. Terdapat dua sumber data sebagai objek penelitian, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Sumber data primer sebagai berikut: a. Kitab tafsir:

1) Tafsir Jalalain karya, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam

Jalaluddin As-Suyuţi,

2) Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab.

3) Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-tafsīr min Ibn Katsīr) karya Abdullah

bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Seikh,

4) Tafsir Fi Zilalil Qur’an karya Sayyid Quthb,

5) Tafsir Al-Maragi karya Ahmad Mustofa al-Maragi.

b. Karya-karya ilmiah:

1) Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya

Bangsa. KaryaAnasSalahudin dan Irwanto Alkrienciehie.

2) Pendidikan Karakter Perspektif Islam karya Abdul Majid & Dian

Andayani.

3) Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, karya Fatchul

Mu‟in,.

4) Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,

karya Doni Koesoema A,

5) Disertasi: “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al-Ghazali, karya


(41)

2. Sedangkan sumber data sekunder sebagai penunjang/tambahan yang terkait dengan tema skripsi, kesemuanya tercantum dalam daftar pustaka.

Adapun waktu penelitian, secara kronologis dimulai dengan pengajuan tiga alternatif judul skripsi pada 15-16 Maret 2014. Selain judul skripsi ini yang telah disetujui, dua judul lain yang penulis ajukan adalah:

a Subjek, Objek, dan Materi Pendidikan. Kajian Tafsir Tarbawi QS. 18/Al-Kahfi: 60-82. Kisah Nabi Khaidir As. dan Nabi Musa As. b Pembinaan Kemampuan Siswa Menghafal dan Membaca

Al-Qur‟an Secara Tartil. Sebuah Penelitian Tindakan Kelas Pada SMP

Asy-Syafi‟iyyah Pondok Gede Bekasi.

Setelah itu pada 29 Maret 2014 diadakan acara seminar skripsi, dan dalam acara itu, kami mahasiswa/i masing-masing mendapatkan persetujuan judul skripsi dari Kepala Jurusan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada Sabtu 5 April 2014, penulis memulai mengumpulkan bahan-bahan/buku-buku referensi dan literatur, dalam bentuk salinan (copy) dari Perpustakaan FITK dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya secara bertahap penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber sebagai data tambahan untuk melengkapi data yang sebagian kecil penulis telah dapatkan dari Perpustakaan FITK dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tahap selanjutnya, adalah proses penulisan skripsi ini berlangsung di bawah bimbingan dosen pembimbing hingga rampung dan memperoleh pengesahannya sebagai karya ilmiah.

B. Metode Penelitian

Metode penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan secara kualitatif, yakni menelaah, dan menganalisis pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam berbagai sumber data yang relevan


(42)

agar memperoleh pemahaman mendalam atas tema pokok pembahasan skripsi ini.

Terkait metode tafsir, dalam penelitian ini digunakan metode muqāran (komparasi), yaitu membandingkan kelima kitab tafsir sebagai sumber data primer. Melalui cara ini, dapat diketahui kecenderungan para penafsir dalam objek kajiannya, dimana membahas topik yang sama tetapi dengan redaksi yang berbeda.1

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada penjelasan tafsir QS. 3/Ali-Imran: 159, yang terdapat dalam 5 karya tafsir sebagai sumber data primer, guna menemukan penjelasan terkait dengan konsep kecerdasan ruhani.

D. Prosedur Penelitian.

Langkah-langkah penelitian yang ditempuh sebagai prosedur penelitan, melalui beberapa tahapan:

1. Identifikasi dan pengumpulan data.

Menelusuri ayat-ayat Al-Qur‟an dari berbagai surat yang berbicara tentang ruh, termasuk ayat-ayat yang mendukung penjelasan aspek-aspek kecerdasan ruhani berdasarkan kajian tafsir QS. 3/Ali-Imran: 159. Selanjutnya menelusuri beberapa karya dari berbagai sumber yang ada, guna menjelaskan definisi tentang dimensi kecerdasan manusia, khususnya kecerdasan ruhani. Selain itu, data-data yang akan dikumpulkan juga berkaitan dengan pengertian karakter dalam proses pendidikan.

2. Klasifikasi

Dari berbagai kitab tafsir yang ada, maka diklasifikasikan kitab tafsir sebagai rujukan utama dan rujukan pembanding. Data yang telah

1

M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I. (Sleman Yogyakarta: Teras. 2005) h. 46-47


(43)

dikumpulkan juga diklasifikasi guna menemukan pembahasan yang relevan dengan tema pokok penelitian ini.

3. Analisis Deskripsi Komparatif

Setelah data-data tersebut dikumpulkan dan dibaca secara objektif, maka akan dilakukan analisis kemudian dielaborasi menurut redaksi peneliti sendiri, dengan memperhatikan kaidah penulisan ilmiah. Uraian tafsirnya dideskripsikan secara komparatif antara karya tafsir yang ada sebagai sumber data primer dan pembanding serta berbagai pemikiran dalam karya lainnya sebagai sumber data sekunder.

4. Kesimpulan

Melalui prosedur penelitian inilah, dimungkinkan dapat ditemukan

formula baru mengenai aspek kecerdasaan ruhani berbasis Qur‟ani,

setidaknya dapat menambah atau memperdalam pemahaman tentang uraian kecerdasan spiritual yang telah diungkapkan oleh berbagai kalangan ahli.

Adapun teknis penulisan dari hasil penelitian dalam skripsi ini, mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.


(44)

31

BAB IV

KECERDASAN RUHANI PERSPEKTIF

QUR’AN

I

A. Tafsir QS. 3/Ali’Imran: 159

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.1 kemudian

apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

ف

(Maka) merupakan tambahan –

ت

ل ه م ة حر

(rahmat dari

Allah kamu menjadi lemah lembut) hai Muhammad –

م ل

(kepada mereka)

sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak –

ًظف ت ك ل

(dan sekiranya kamu bersikap keras) artinya akhlakmu jelek tidak terpuji –

لقلا ظيلغ

(dan berhati kasar) hingga kamu mengambil tindakan keras terhadap mereka –

م ع فع ف كل ح م ضف ا

(tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah

mereka) atas kesalahan yang mereka perbuat –

م لرفغتسا

(dan mintakanlah

ampun bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu hingga Ku-ampuni –

مهر ش

(serta berundinglah dengan mereka) artinya mintalah pendapat atau

buah pikiran mereka –

رماا ف

(mengenai urusan itu) yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru

1

Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya. Lihat Al-Qur’an dan Terjemahannya, terbitan Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fahd ibn „Abd al‟Aziz, dan telah

mendapatkan Tanda Tashih dari Departemen Agama RI pada 3 Sya‟ban 1410 H/28 Februari 1990.


(45)

sunnah dan jejak langkahmu, maka Rasulullah Saw., banyak bermusyawarah dengan mereka. –

تمزعاذ ف

(Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu, –

ه لع لك تف

(maka bertawakkallah kepada Allah) artinya percayalah kepada-Nya –

يلك ت لا حي ه ا

(Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakkal) kepada-Nya.2

Demikian Tafsir Jalalain yang tampak sederhana, sehingga penulis mengutipnya secara utuh. Secara ringkas dapat dibaca sebagai berikut:

Maka rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka

hai Muhammad, sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak, dan sekiranya kamu bersikap keras,

artinya akhlakmu jelek tidak terpuji dan berhati kasar, hingga kamu mengambil tindakan keras terhadap mereka, tentulah mereka akan

menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka atas kesalahan

yang mereka perbuat dan mintakanlah ampun bagi mereka atas kesalahan-kesalahan itu hingga Ku-ampuni, serta berundinglah dengan mereka, artinya mintalah pendapat atau buah pikiran mereka, mengenai urusan itu, yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru sunnah dan jejak langkahmu, maka Rasulullah Saw., banyak bermusyawarah dengan mereka. Kemudian apabila kamu telah berketetapan

hati, untuk melaksanakan apa yang kamu kehendaki setelah bermusyawarah

itu, maka bertawakkallah kepada Allah, artinya percayalah kepada-Nya.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Bahwa ayat ini diturunkan khusus untuk Nabi Muhammad Saw, berkenaan dengan peristiwa perang Uhud, namun menjadi pelajaran bagi seluruh umat.

Dikisahkan, bahwa sebelum perang Uhud, Rasulullah Saw., mengungkapkan dalam majelis permusyawaratan dengan menyampaikan mimpinya kepada para sahabatnya: “Demi Allah. Sungguh aku telah

2

Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuţi.Tafsir Jalalain: Berikut

Asbâbun Nuzûl,Terj. Bahrun Abubakar, LC,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), Jilid 1, Cet.


(46)

bermimpi baik. Aku bermimpi melihat sapi disembelih, mata pedangku

sumbing, dan aku memasukkan tanganku dalam baju besi.:” Rasulullah

menakwilkan mimpinya tersebut: sapi disembelih, bermakna sekelompok

sahabatnya yang terbunuh; dan mata pedangku sumbing bermakna seorang

dari ahli baitnya terluka; sedangkan memasukkan tangan dalam baju

bermakna kota madinah. Dengan takwil mimpi ini, beliau mengusulkan pendapatnya kepada para sahabat agar tidak keluar dari kota Madinah.3

Namun sebagian sahabat yang tidak ikut ketika perang Badr, mengusulkan untuk keluar dan mendesak agar menghadapi musuh di luar kota Madinah, sampai akhirnya Rasulullah menyetujuinya. Rasulullah pun masuk ke rumahnya kemudian keluar dengan mengenakan baju perang dan membawa senjata. Melihat keadaan Rasulullah itu, sahabat yang mengusulkan hal tersebut, menyesali diri karena merasa telah memaksa Rasulullah, kemudian mengatakan: “Ya Rasulullah, kami telah mendesak Anda untuk keluar padahal tidak selayaknya kami berbuat demikian. Karena itu jika Anda suka, maka sebaiknya duduklah saja dan mengurungkan niat

untuk menghadapi musuh di luar Madinah”. Maka Rasulullah pun menjawab:

“Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya

untuk meletakkannya kembali sebelum berperang”.4

Tidak jauh berbeda dengan kisah tersebut, dalam Tafsir Al-Maragi

dapat dibaca:

Ayat itu turun seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi saw. Akibat pelanggaran itu, akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyrikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin), dan Rasulullah saw. mengalami luka-luka. Namun Nabi saw. tetap bersabar, tahan uji, dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sahabat. Sikap Rasulullah itu adalah menuruti kitabullah. Sebab dalam peristiwa itu, banyak sekali ayat-ayat yang diturunkan. Di situ dibahas kelemahan yang dialami sebagian kaum

3

Syaikh Shafiyur-Rahman Al-Mubarakfury. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Rahmat dari Sirah Nabawiyah Cet. 3. (Jakarta: Robbani Press. 2002) h. 347

4 Muhammad Sa‟id Ramadhan Al

-Buthy. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Sejarah

Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Terj. Ainur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc. dari Fiqhus

Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiah li Siratil Musthafa ‘Alaihi Shalatu wa-Salam. Cet. 3 (Jakarta: Robbani Press. 2000) h. 217


(47)

muslimin, dan pelanggaran mereka terhadap perintah, serta kesembronoan yang mereka lakukan. Bahkan disebutkan pula mengenai prasangka-prasangka dan bisikan-bisikan hati yang jelek. Tetapi celaan yang Dia tuturkan itu disertai penuturan tentang ampunan dan janji pertolongan di samping keseluruhan kalimah-Nya.5

Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan:

Setelah dalam ayat-ayat yang lalu Allah membimbing dan menuntun kaum mslimin, kini tuntunan diarahkan kepada Nabi Muhammad saw. sambil menyebut sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslim khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usulan mayoritas mereka, walau beliau sendiri kurang berkenan, beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus dan lain-lain. Jika demikian maka disebabkan rahmat yang besar dari Allah-lah,

sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kalimat

rahmat. Bukan oleh satu sebab yang lain, sebagaimana dipahami dari

huruf (

م

) yang digunakan di sini dalam konteks penetapan rahmat-Nya – disebabkan rahmat Alllah itu – engkau berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu berlaku keras, buruk perangai, kata

kasar lagi berhati kasar, tidak peka terhadap keadaan orang lain,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan

antipati terhadapmu. Karena perangaimu tidak seperti itu, maka

ma'afkanlah kesalahan-kesalahan mereka yang kali ini mereka

lakukan, mohonkanlah ampun kepada Allah bagi mereka, atas dosa-dosa yang mereka lakukan, dan bermusyawaratlah dengan mereka

dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan dan urusan dunia,

bukan urusan syariat atau agama. Kemudian apabila engkau telah

melakukan hal di atas dan telah membulatkan tekad, melaksanakan musyawarah kamu, maka laksanakan sambil bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal

kepada-Nya dan dengan demikian, Dia akan membantu dan

membimbing mereka ke arah apa yang mereka harapkan.6

5

Ahmad Mustafa al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. Cet. 2. Juz. IV. Terj. oleh Bahrun Abubakar, Lc. Dan Hery Noer Aly. (Semarang: CVToha Putra. 1993) h. 193

6

M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Cet. III. Vol. 2. (Jakarta: Lentera Hati. 2010). h. 309-310


(48)

Dari penjelasan tafsir al-mishbah, bahwa ayat dalam QS. 3/Ali‟Imran: 159 ini menjadi bukti kelemahlembutan Nabi Muhammad Saw. karena sanggup memaafkan kesalahan para sahabatnya yang menyebabkan penderitaan dan kekalahan pasukan Islam dalam peristiwa perang Uhud. Sebuah pelajaran penting, bahwa sebesar apa pun kesalahan yang dilakukan, maka sebagai sesama muslim, hendaklah senantiasa saling memaafkan dan saling mendoakan.

B. Analisis Komparatif

Tafsir QS. 3/Ali’Imran: 159

Membandingkan 5 (lima) kitab tafsir sebagai sumber data primer dalam penelitian ini, masing-masing memiliki corak uraian yang berbeda.

Tafsir Jalalain, penjelasannya singkat yaitu menjelaskan makna per kata atau

kalimat, dan menghubungkan antara kata atau kalimat dengan menambahkan penjelasan singkat, sehingga secara global pembaca dapat menangkap maksud dari kandungan ayat 159 Surat Ali-„Imran. Maka Tafsir Jalalain ini dapat digolongkan ke dalam tafsir yang menggunakan metode ijmali

(global).7

Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-tafsīr min Ibn Katsīr), Tafsir Fi Zilalil

Qur’an, dan Tafsir Al-Maragi, yang merupakan sumber data primer dalam

penelitian ini, adalah kitab tafsir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari kitab aslinya yang berbahasa Arab. Dengan membaca terjemahan ketiga tafsir tersebut, ditemukan penjelasan secara luas sesuai dengan konteks makna ayatnya dengan mengartikan kosa kata, dan berdasarkan asbabun nuzul ayat, namun beberapa bagian tidak dibahas secara luas. Misalnya dalam QS. 3/Ali-„Imran: 159 ini, pada bagian

(karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka), tidak

ditemukan uraiannya. Maka ketiga tafsir tersebut, dapat digolongkan ke dalam tafsir dengan metode tahlili.

7

M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I. (Sleman Yogyakarta: Teras. 2005). h. 43


(49)

Metode tahlili, Baqir Al-Shadr menyebutnya metode tajzi’iy adalah

“metode yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat

Al-Qur‟an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat

al-Qur‟an sebagaimana tercantum di dalam mushaf”. Uraiannya bermula dari arti kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain. Walau pun sifatnya luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan.8

Perbedaan bagian penjelasan ketiga tafsir tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tafsir

Bagian Penjelasan

Ibnu Katsir

1. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.

2. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. 3. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun

bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.

4. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal

kepada-Nya.9

Fi Zilalil Qur’an

1. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

2. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.

3. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya

8

M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat. Cet. VI. (Bandung: Mizan. 1994) .h. 86

9

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Seikh. Lubabut Tafsir

Min Ibnu Katsir. Jilid 2. Terj. Abdul Ghaffar. Cet. 1 (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i. 2001) h. 173


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)