Apa itu p m p sherly

Apa itu sisiologi agama ????
.Jika berbicara mengenai definisi sosiologi agama, maka ada beberapa hal lain yang tidak lupa
kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian sosiologi,
agama,. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara
empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan
individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi. Agama dalam
arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, pereturan etika, praktek penyembahan,
amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama adalah suatu
kepercayaan atau seperangkat nilai yang minmbulkan ketaatan pada seseorang atau kelompok
tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.
Adapun kalau kedua istilah “sosiologi” dan “agama” digabungkan maka memiliki beberapa
definisi berikut yaitu :
 Sisologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai
kesatuan masyarakat atau perbedaan masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem
agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai
masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.
 Sisologi agama studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai
fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip
umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
 suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis

guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Oleh karena itu tugas utama sosiologi agama adalah untuk menjelaskan kehadiran dari
keyakinan dan praktik keagamaan dalam masyarakat manusia.
Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim.
Jika tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hokum kemasyarakatan yang seluasluasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan
ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun
luas) yang unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajar agama dan masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka
sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan
dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama
dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi
masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsure kepercayaan mempengaruhi
pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan
jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar-dasar haluan Negara; memainkan peranan dalam
munculnya strata (lapisan) social; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses social,
perubahan social, fanatisme dan lain sebagainya.

Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian

paada 1). Kelompok-kelompok dan lemabaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya,
kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya 2). Perilaku
individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses social yang mempengaruhi status
keagamaan dan perilaku ritual 3). Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan,
Kristen dengan Islam dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian
kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama,
sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai sutu system (dogma dan moral), tetapi
agama sebagai fenomena social, sebagai fakta social yang dapat dilaksanakan dan dialami
oleh banyak orang. Ilmu ini hanya mengkonstatasi akibat empiris kebenaran-kebenaran supraempiris, yaitu yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari
sosiologi agama.
Prinsip sosiologi ditandai dengan 2 prinsip dasar, yaitu: percaya kepada data empiric dan
objektivitas. Sosiolog hanya berurusan dengan fakta-fakta yang dapat diukur, diobservasi dan
diuji. Dalam prinsip objektivitas, bukan berarti bahwa sosiolog mengklaim bahwa tidak bias
salah, atau bias mencapai kebenaran umum, sebab tidak ada satu disiplin ilmu pun yang
berhak menyatakan dirinya maha tahu atau paling benar. Objektivitas berarti sosiolog berusaha
mencegah kepercayaan agama pribadi masuk ke dalam bidang studinya. Ilmuan social harus
sepenuh hati untuk mencari kebenaran. Sebagai warga Negara sosiolog mempunyai
kepentingan dan preferensi nasional namun mereka harus terbuka terhadap data dan
menghindarkan diri dari prejudgment (mengambil keputusan sebelum membuktikan

kebenarannya) terhadap suatu kelompok atau proses keagamaan tertentu. Seorang sosiolog
boleh tidak setuju dengan pandangan suatu kelompok yang sedang diteliti, tetapi harus
berusaha untuk mengerti kelompok itu atas dasar penelitiannya menghindarkan bias dalam
interpretasi proses-proses kelompok itu.
Talcott Parsons berpendapat, jika seorang sosiolog agama akan melakukan suatu analisis
tentang sosiologi terhadap agama, maka ia harus memahami:
1.

System fisiologis organisme

2.

Sistm kepribadian individu

3.

Sistem social kelompok

4.


Sistem budaya

Tempat Sosiologi Agama
Tempat sosiologi agama sudah diterangkan dalam definisi sosiologi agama itu sendiri. Ia
merupakan cabang dan juga vertical dari sosiologi umum. Maka, sosiologi agama merupakan
ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang sacral; ilmu yang dilakukan
dan dibina oleh sarjana ilmu social, baik orangnya suci maupun tidak suci. Karena maksud ilmu
tersebut bukanlah untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk
mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai
kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu social yang lain,dan ilmu ini lebih

merupakan ilmu praktis (terpakai) daripada ilmu teoritis murni. Ia diciptakan untuk memecahkan
masalah-masalah sosio-religius yang timbul waktu itu di Eropa akibat kurangnya pengetahuan
tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama.
Fungsi Sosiologi Agama
Sosiologi agama memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai
sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan
yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan
pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para

pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya
dengan masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola
interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol
atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan
bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai,
norma, tradisi dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan
yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama,
membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social
keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat
terhadap setiap situasi social yang kita hadapi.
Menurut pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan
masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi
agama, yaitu:
1. Menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama di beragai kelompok masyarakat,
maupun pada tingkat individu;
2. Suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk
menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti
sekuler maupun religious.
Dengan cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam
masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim, serta Simmel

berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang harus mengerti peran
penting agama dalam masyarakat.

Metode Penelitian Dalam Sosiologi Agama
Sebagaimana penelaahan proses social lainnya, kajian sosiologi agama menggunakan metode
ilmiah. Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara lain dengan data sejarah,
analisis komparatif lintas budaya, eksperimen yang terkontrol, observasi, survai samlpling dan
content analisis.
a.

Analisis Sejarah

Objek studi sosiologi adalah menerangkan realitas masa kini, yang berhubungan erat dengan
kehidupan manusia dan yang mempengaruhi gagasan serta perilaku manusia. Untuk mengerti
persoalan yang dihadapi manusia saat ini, kita harus mngetahui sejarah masa silam. Meskipun

terkadang metode ini tidak selalu dapat menjawab persoalan yang dihadapi karena agama tidak
sama nilai maupun kepentingannya untuk setiap tempat dan waktu.
Sejarah dalam hal ini hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat
menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga. Karna

itu, setiap kita harus menjelaskan fakta manusiawi yang berhubungan dengan sesuatu waktu,
apakah itu masalah kepercayaan, hokum, moral, system ekonomi, teknologi, kita perlu melihat
sejarah kejadian dan perkembangan eksistensinya dimulai dari bentuk yang sederhana hingga
bentuk yang lebih kompleks yang tampak sekarang.
Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan menelusuri
sumber di masa lampau sebelim tercampuri tradisi lain. Pendekatan tersebut didasarkan
kepada personal historis dan perkembangan kebudayaan umat manusia. Pendekatan yang
didasarkan atas sejarah personal, berusaha menelusuri awal perkemabangan tokoh
keagamaan secara individual, untuk menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan
perilaku keagamaan sebagai hasil dialog dengan dunia sekitarnya.
Beberapa sosiolog menggunakan data historis untuk mencari pola-pola interaksi antara agama
dan masyarakat. Pendekatan ini telah membimbing ke arah pengembangan teori tentang
evolusi agama dan perkembangan tipologi kelompok-kelompok keagamaan. Analisis hisoris
telah digunakan oleh Talcott Parson dan Bellah dalam rangka menjelaskan evolusi agama,
Berger dalam uraian tentang memudarnya agama dalam masyarakat modern, Max Weber
ketika menerangkan tentang sumbangan teologi Protestan dalam melahirkan kapitalisme dan
sebagainya.
b.

Analisis Lintas Budaya


Dengan membandingkan pola-pola sosioreligius di beberapa daerah kebudayaan, sosiolog
dapat memperoleh gambaran mengenai korelasi unsure budaya tertentu atau kondisi
sosiokultural secara umum.
Talmon menggunakan data lintas budaya untuk menelaah pola-pola di antara gerakan
millenarian, yaitu gerakan keagamaan yang menganggap akan adanya era baru di masa yang
akan dating setelah jatuhnya penguasa yang lama. Salah satu kesulitan pelaksanaan analisis
sosiologi agama melalui analisis lintas budaya yaitu sangat bervariasinya konsep agama pada
daerah kebudayaan yang berlainan, juga sulit dalam mendapatkan ketepatan yang disyaratkan
oleh para saintis.
c.

Eksperimen

Metode eksperimen sulit dilaksanakan dalam bidang sosiologi agama. Namun, di dalam
beberapa hal masih dapat dilalukan, misalnya untuk mengeevaluasi hasil pebedaan belajar dari
beberapa model pendidikan agama.

d.


Observasi Partisipatif

Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam
konteks religious. Hal itu dapat dilakukan dengan terus terang, artinya orang yang dobservasi
itu boleh mengetahui bahwa mereka sedang dipelajari. Keuntungan dari metode observasi
partisipatif adalah:

1. Memungkinkan pengamatan interaksi simbolik antara anggota kelompok secara mendalam.
Interaksi simbolik maksudnya adalah suatu perspektif teoritik sosiologi dan psikologi social.
Dengan perspektif ini, indivudu tidak dilihat reponnya yang lahir, namun dipahami makna dari
perilaku itu. Sering makna simbolik dan tata laku dielajari sejak dini secara menyeluruh dengan
jalan individu berperan serta di dalam kelompok. Pakainan, pandangan mata, jarak antara
orang yang sedang bicara dan gerak merupakan contoh fenomena yang sering secara simbolik
sangat signifikan dalam rangka memperoleh pengertian suatu kebudayaan. Tipe-tipe anggota
yang menjadi objek dalam interaksi simbolik itu digunakan sebagai dasar analisis;
2. Observasi peran serta berguna jika peneliti berpendapat bahwa ada kesenjangan antara
apa yang dikatan dengan perilaku orang-orang yang sedang diteliti. Misalnya, responden
menyatakan bahwa ia sangat komitmen dengan ajaran ortodoksi agama, namun perilakunya
sehari-hari tidak relevan, perlu dipertanyakan;
3. Observasi peranserta memberikan kesempatan untuk mendapatkan data secara otentik,

terutama mengenai perilaku atau karakteristik yag sifatnya pribadi. Dengan observasi peran
serta dapat terungkap kualitas perilaku yang lebih dalam, yang mungkin tidak tercakup oleh
kuesioner maupun interview singkat. Karena itu, observasi seperti ini sering dihubungkan
dengan metode riset kualitatif.
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah:
1. Mungkin data terbatas pada kemampuan observer dan apa yang dianggap benar dalam
suatu kasus, belum tentu benar pada kasus lain;
2. Studi kasus member peluang bagi peneliti untuk mengumpulkan data secara mendalam,
tetapi sering kurang meluas, terikat oleh sesuau aspek tertentu yang menjadi perhatian peneliti;
3.

Diperlukan sejumlah besar kasus untuk menggenaralisasikan pola yang diidentifikasikan;

4. Data yang dilaporkan sering terikat oleh system penyaringan peneliti sendiri. Tidak semua
observer tertarik pada pola yang sama. Apa yang dipilih dan dicatat oleh observer mungkin
tidak lengkap.
e.

Riset Survei dan Analisis Statistik


Peneliti menyusun kuesioner, melakukan interview dengan sampel dari sustu populasi. Sampel
dan populasi bias berupa oganisasi keagamaan atau penduduk sustu kota atau desa.
Responden misalnya ditanya tentang:
1.

Afiliasi keagamaannya;

2.

Frekuensi kehadiran ditempat-tempat peribadatan;

3.

Frekuensi keteraturan sembahyangnya;

4. Pengetahuan tentang ajaran agama atau doktrin yang dikembangkan oleh sesuatu
organisasi keagamaan;
5. Kepercayaan kepada sesuatu konsep keagamaan tertentu seperti tentang hidup setelah
mati, eksistensi tuhan, tentang akan kembalinya nabi Isa (yesus) dan indicator religiousitas
lainnya.

Prosedur ini sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan
tertentu dengan sesuatu sikap social, atau atribut religious tertentu. Kalau metode historis dan
observasi memberi peluang kepada interpretasi data subjektif, maka data survey untuk
mengidentifikasi sesuatu lebih cermat dari korelasi religious dengan sikap dan karakteristik
social tertentu. Misalnya korelasi antara:
1.

Fundamentalisme dengan anti semitisme

2. Frekuensi menghadiri acara kegerejaan atau pengajian dengan tradisionalisme peran
wanita dan pria.
3. Afiliasi denominasi atau organisasi keagamaan tertentu dengan mobilitas social dan tingkat
pendapatan.
Dengan kata lain, riset survey memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengendalikan
variable dan identifikasi korelasi. Adapun kesukarannya antara lain adalah:
1. Analisis statistic tentang korelasi karakteristik keagamaan dengan atribut social belum tentu
menunjukkan factor penyebab dari atribut tersebut, yang berarti interpretasi makna suatu event
kadang-kadang hilang.
2. Data tidak menunjukkan proses yang dilalui oleh sesuatu subyek hanya bersifat statis atau
non hirostik, tidak menunjukkan fase-fase perkembangan sebab akibat.
3. Kadang-kadang peneliti beranggapan jawaban yang negative terhadap sesuatu
pertanyaan, diartikan”kurang religious atau kurang orthodox seseorang responden.
4. Pertanyaan-pertanyaan sering tidak memberikan peluang kepada orang untuk
mengemukakan modes alternatif religiuisitas yang lainnya.
5.

Apa yang dikatakan orang dikatakan orang tidak selaras dengan perilakunya.

6. Informasi survey tidak melibatkan kepada studi yang langsung mengenai pengalaman
keagamaan itu sendiri, hanya menfokuskan pada laporan pengalaman keagamaan.
7. Informasi yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan “lebih lunak” dari pada hakikat
informasi yang sebenarnya.
f.

Analisis Isi

Peneliti mencoba mencari keterangan dari teman-tenman religious; baik berpa tulisan, bukubuku khotbah, doktrin, deklarasi teks dan lain-lain. Misalnya:
1. Sikap suatu kelompok keagamaan dapat dianalisisdari isi khotbah yang diterbitkan oleh
kelompok tersebut;
2. Pandangan hidup dari organisasi atau aliran agama dapat diidentifikasi dari tema atau isi
lagu-lagu yang biasa dinyanyikan di gereja, atau lagu qasidahan yang dilantunkan oleh
senimannya;
3. Keterlibatan religious seorang Amerika misalnya, dianalisis dari buku-buku agama popular
yang terbit di Negara tersebut;

4. Tentang eivil religion (sejenis agama bangsa) dipelajari melalui analisis isi referensi
relegius, misalnya dalam Declaration of Independence, pidato pengukuhan presiden dan
statement lain yang erat hubungannya dengan tujuan bangsa sesuatu Negara.
Content analisis bermanfaat, namun salah satu kesulitannyaadalah asumsinya bahwa asumsi
tertulis dianggap sebagai gambaran tepat dari pandangan rakyat. Padahal pidato pengukuhan
presiden misalnya, belum tentu mencerminkan sikap dan nilai yang demiliki dan disetujui oleh
suatu penduduk suatu Negara tertentu. Sangat lakunya buku-buku agama belum tentu
menggambarkan tingkat religiusitas penduduk.
2.5

ALIRAN-ALIRAN DALAM SOSIOLOGI AGAMA

Sosiologi agama bukan merupakan satu kesatuan yang seragam. Adapun perbedaan aliran
dalam sosiologi agama dengan cirri-ciri tersendiri disebabkan oleh:
1. Perbedaan visi atas realitias masyarakat, khususnya mengenai kekuatan tertentu yang
dianggap memerankan peranan dominan atas kehidupan masyarakat;
2. Akibat dari perbedaan visi tesebut, digunakan pula metode dan pendekatan yang
berbeda.
A.

Aliran Klasik

Aliran ini muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama dari abad ke-20 yang
ditopang oleh sejumlah sarjana (kecuali Durkheinm dan Weber). Bagi mereka kedudukan
sosiologi agama sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan
analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama.
Tujuan aliran ini adalah hendak mengungkap pola-pola social dasar dan peranannya dalam
mencipatakan masyarakat. Instansi pemerintah dan kalangan agama yang berkonsultasi
dengan pendukung aliran ini, akan mendapat jawaban panjang tentang sejarah dari masyarakat
agama yang bersangkutan dan akan ditunjukkan kekuatan-kekuatan (social) yang mendorong
berdirinya unsure-unsur budaya yang menopang kelangsungan hidup, disbanding dengan
tuntutan-tuntutan modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilakan instansi
yang bersangkutan untuk mengadakan perubahan yang sesuai.
B.

Aliran Positivisme

Aliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivistis dan menyetarakan masyarakat agama
dengan benda-benda alamiah. Ia menyibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat
yang kualitatif dengan metode pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yang
dibuktikan dengan fakta-fakta. Dengan kata lain, kesimpulan yang sifatnya netral tanpa diwarnai
pertimbangan teologis atau filosofis, dilepas dari konteks sejarah perkembangan yang dialami
masyarakat itu dalam waktu yang lampau. Cara penganalisisan demikian itu dipegang ketat dan
konsekuen demi tercapainya hasil yang diinginkan, yaitu hasil yang seobjektif mungkin.
Instansi pemerintah atau keagamaan yang berkonsultasi dengan pendukung aliran ini untuk
mengadakan penelitian mengenai lembaganya atau organisasinya, akan mendapat keterangan
banyak tentang struktur organisasinya, mengenai kualitas pemimpinnya dan reaksi (baik positif
maupun negative) dari naggota-anggota lemaganya. Instansi yang berkonsultasi akan
diyakinkan mengenai pentingnya keterangan (ilmiah) itu, tetapi kepadanya diserahkan
sepenuhnya untuk menentukan sendiri bagaimana ia akan menggunakan informasi itu.

C.

Aliran Teori Konflik (Teori Kritis)

Menurut ahli teori ini, masyarakat yang baik ialah masyarakat yang hidup dalam situasi
konfliktual. Masyarakat yang hidup dalam keseimbangan (equilibrium) dianggap sebagai
masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam peruses kemajuannya. Karena konflik social
dianggapnya sebagai kekuatan social utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju
kepada tahap-tahap yang lebih sempurna. Gagasan ini dicetuskan oleh Hegel, Karl Marx dan
Weber. Sebagai sarana mutlak (yang diberikan oleh alam sendiri) untuk memajukan
masyarakat manusia.
Aliran ini tidak sepakat dengan para ahli aliran fungsionalisme yang melihat keseimbangan
soosial masyarakat sebagai bentuk hidup yang ideal, karena dianggap kurang menyadari atau
membiarkan adanya kekurangan dan ketidakadilan yang dibungkam oleh struktur kekuasaan
yang bertahan. Aliran ini juga tidak menyetujui metode kuantitatif dari aliran positivism, karena
dianggap sebagai suatu hal yang mengasingkan orang dari masyarakat.
Aliran ini tidak dapat memusatkan perhatiannya pada problem mikro saja, karena pengkajian
masalah yang kecil akan mengundang persoalan yang lebih besar. Dan hal yang tidak boleh
dilupakan dalam analisisnya adalah usaha menempatkan situasi yang dhadapi dalam kurun
sejarah perkembangan yang telah dilewati yang tidak dapat dilepaskan dari masalah baru yang
hendak dicari pemecahannya. Aliran sosiologi ini mempunyai persamaan dengan aliran
sosiologi kalsik yang selalu tertarik pada problem-problem makro, dan masalah-masalah mikro
hanya diperhatikan sejauh itu dapat memberikan keterangan bagi pemecahan masalah yang
besar.
Jika salah satu instansi pemerintah dan keagamaan berkonsultasi dengan pendukung aliran ini,
maka mereka akan mendapat seperangkat penjelasan tentang unsure-unsur pertentangan yang
ada dalam tubuh organisasinya, dan yang berhasil digali dari keasadaran kelompok-kelompok
yang saling bertentangan, lalu diberikan solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalahmasalah yang dihadapi.
D.

Airan Fungsionalisme

Para pendukung aliran ini bertolak belakang dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu
system perimbangan, di mana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas melalui
peranannya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya suatu masyarakat. Menurut
mereka, timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang berfungasi korektif untuk
membenahi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi, yang tidak berjalan baik. Penelitian yang
dilakukan sebegaian besar bertujuan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang
apakah tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pimpinan adan anggotanya berjalan dengan baik.
Aliran ini menerima prinsip kerja yang memperkecil penelitiannya pada suatu problem mikro,
yang dianggap berguna sebagai sampel untuk mengetahui kedaan keseluruhannya sebagai
system keseimbangan. Apabilapendukung aliran ini diminta untuk melakukan sebuah penelitian
terhadap suatu masyarakat agama, maka ada 2 hal pokok yang menjadi perhatian utamanya:
1). Bagian mana dari lembaga tersebut yang berfungsi baik 2). Bagian mana dari lembaga
tersebut yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penelitian yang dilakukan oleh aliran fungsionalisme telah melahirkan kesimpulankesimpulanyang sangat berguna bagi instansi-instansi keagamaan/ pemerintah. Menurut aliran

ini, baik masyarakat religious maupun masyarakat profan, keduanya mengembang fungsi bagi
umat manusia, dan mempunyai kewajiban moril untuk menyadari sifat saling
ketergantungannya.
Teori ini melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya
meresapi tingkah laku manusia penganutnya, baik lahiriyah maupun bathiniyah, sehingga
system sosialnya untuk sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh agama.