Makalah Pengertian dan Dasar Dasar Ushul

MAKALAH
PENGERTIAN DAN DASAR-DASAR USHUL FIQIH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Pada Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pembimbing:
Drs. NM. SANUSI

Disusun Oleh Kelompok I
ADE ZAINAB PUTRI
ATINA FITDUNIA
INTAN LIYANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
YAYASAN NURUL ISLAM
MUARA BUNGO
2018

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita
berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita
capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta
teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun
materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian,
yang kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami
jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah-makah kami di lain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudahmudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, temanteman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau
mengambil hikmah dari makalah Pengertian dan Dasar-Dasar Ushul Fiqih ini.

Muara Bungo, Februari 2018

Penulis


ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

i

KATA PENGANTAR......................................................................................

ii

DAFTAR ISI....................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................


1

B. Rumusan Masalah.................................................................................

1

C. Tujuan Penulisan...................................................................................

2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Najis....................................................................................

3

B. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqih............................................

4

C. Sumber Istinbath Hukum dalam Ushul Fiqih.......................................


5

D. Dasar - dasar (Qaidah Assasiyah) Ushul Fiqih.....................................

6

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................

9

B. Saran.....................................................................................................

10

DAFTAR PUSTAKA

iii


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang
bersifat praktis (‘amaliyah), merupakan sebuah “jendela” yang dapat
digunakan untuk melihat perilaku budaya masyarakat Islam. Definisi fiqh
sebagai sesuatu yang digali (al-Muktasab) menumbuhkan pemahaman bahwa
fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai
hukum praktis. Proses yang umum kita kenal sebagi ijtihad ini bukan saja
memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak terhingga
atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan.
Maka dari itulah diperlukan upaya memahami pokok-pokok dalam mengkaji
perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai pijakan yang
disebut dengan istilah Ushul Fiqh.
Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa
diabaikan oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan
mengenai nash-nash syariat Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak
memiliki nash. Juga merupakan suatu ilmu yang diperlukan bagi seorang
hakim dalam usaha memahami materi undang-undang secara sempurna, dan
dalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang dapat menyatakan

keadilan serta sesuai dengan makna materi yang dimaksud oleh pembuat
hukum (syari’). Ia juga suatu ilmu yang juga diperlukan ulama Fiqih dalam
melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan dan pembandingan antara
beberapa mazhab dan pendapat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ushul Fiqih?
2. Apa ruang lingkup Ushul Fiqih?
3. Apa sumber istinbath hukum dalam Ushul Fiqih?
4. Apa dasar atau qaidah assasiyah Ushul Fiqih?

1

2

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ushul fiqih.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup Ushul Fiqih.
3. Untuk mengetahui sumber istinbath hukum dalam Ushul Fiqih.
4. Untuk mengetahui dasar atau qaidah assasiyah Ushul Fiqih.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqih
Ushul fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul al-Fiqh yang terdiri dari
dua kata yaitu al-ushul dan al-fiqh. Kata al-ushul adalah jamak dari kata alashl, menurut bahasa berarti “landasan tempat membangun sesuatu”. Menurut
istilah yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas
Damaskus, kata al-ashl mengandung beberapa pengertian: (1) bermakna dalil,
(2) bermakna kaidah umum yaitu suatu ketentuan yang bersifat umum yang
berlaku pada seluruh cakupannya, (3) bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari
beberapa kemungkinan), (4) bermakna asal tempat menganalogikan sesuatu
yang merupakan salah satu dari rukun qiyas, (5) bermakna sesuatu yang
diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah1. Sedangkan kata
fiqih, dalam pandangan az-Zuhaili terdapat beberapa pendapat tentang
definisinya. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai “pengetahuan diri
seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi
kewajibannya”. oleh Ibnu Subki didefinisikan sebagai pengetahuan tentang
hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan , yang digali satu per
satu dalilnya”.2
Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan kumpulan qaidah-qaidah yang
menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan

hukum-hukum dari dalil-dalil syara’3. Sedangkan menurut Menurut A.
Hanafi, Ushul Fiqih ialah sumber-sumber (dalil-dalil) hukum syara’ tentang
perbuatan orang mukallaf dan bagaimana tata cara menunjukkannya kepada
sesuatu hukum dengan cara ijmal (garis besar) 4. Masih banyak lagi
pengertian-pengertian ushul fiqih yang telah dikemukakan oleh para ulama,
namun pada prinsipnya mereka sependapat, bahwa ushul fiqh adalah ilmu
1

Satria Effendi & M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 1-2.
Ibid., hlm. 2-4.
3
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1985), hlm. 4.
4
Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sukses Offset,2009), hlm. 9-10.
2

3

4


yang objek kajianya berupa dalil hukum syara’ secara ijmal (global) dengan
semua permasalahanya.5
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqih
Ruang lingkup kajian (maudhu’) ushul fihh secara global
adalah sebagai berikut :6

1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan
dalilnya.

4. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat
( mujtahid ) dengan berbagai permasalahannya.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa
tahunh 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul fih ada 4h yaitu: 7

1. Hukum-hukum syara’h karena hukum syara’ adalah tsamarah
(buah / hasil ) yang dicari oleh ushul fih.


2. Dalil-dalil hukum syara’h seperti al-kitabh sunnah dan ijma’h
karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).

3. Sisi penunjukkan dalil-dalil ( wujuh dalalah al-adillah )h karena
ini adalah tharii al-istitsmar ( jalan / proses pembuahan ).
Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4h yaitu dalalah bil manthui
( tersurat )h dalalah bil mafhum ( tersirat )h dalalah bil
dharurat ( kemadharatan )h dan dalalah bil ma’na al-ma’iul
( makna rasional ).

4. Mustamtsir

(yang

membuahkan)

yaitu

mujtahid


yang

menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan).
Lawan mujtahid adalah
mujtahidh

sehingga

muiallid yang wajib mengikuti

harus

menyebutkan

syarat-syarat

muiallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.
5

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, Cet.II (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press,
2006), hlm. 8
6
Ibid., hlm. 10
7
Ibid., hlm. 11

5

C. Sumber Istinbath Hukum dalam Ushul Fiqih
Imam Syafi’i mengurutkan sumber ijtihad atau dalil-dalil hukum ke
dalam lima peringkat, yaitu:8
1. Al-Qur’an dan as-Sunnah. Keduanya menempati peringkat yang sama,
karena as-Sunnah adalah penjelasan bagi al-Qur’an dan sekaligus menjadi
perinci (mufashshil) bagi ayat-ayat al-Qur’an yang lebih sering bersifat
umum (mujmal). Hadits yang sejajar dengan al-Qur’an adalah hadits yang
shahih. Adapun sunah yang memiliki derajat ahad, tidak dapat menyamai
al-Qur’an dari sisi kualitas nash yang mutawatir, karena hadits ahad
memang tidak mutawatir. Sebuah hadits juga tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur’an.
2. Ijma’ ulama terhadap hukum-hukum yang tidak terdapat penjelasannya di
dalam aal-Qur’an atau hadits. Yang dimaksud dengan ijma’ disini adalah
ijma’ para ahli fiqih yang menguasai ilmu khusus (fiqih) dan sekaligus
menguasai beberapa ilmu umum. Jumhur ulama memberikan pengertian
bahwa ijma adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya sang Nabi pada masa tertentu terhadap
sebuah hukum syariat.
3. Pendapat para sahabat nabi dengan syarat tidak ada yang menentang
pendapat tersebut, dan juga tidak melanggar ucapan shabat lain.
4. Pendapat para sahabat yang paling mendekati ketetapan al-Qur’an, hadits,
atau qiyas (analogi) ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
5. Qiyas terhadap sebuah perkara yang berketetapan hukum dalam al-Qur’an,
hadits, atau ijma’ (konsensus). Qiyas adalah menganalogikan sesuatu yang
tidak terdapat dalam nash untuk mengasilkan hukum syariat dengan
sesuatu yang hukumnya sudah terdapat dalam nash disebabkan adanya
persamaan antara kedua hal tersebut dari segi hukum.
8

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan AlQur’an dan Hadits (Terjemahan), (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 20-30

6

D. Dasar - dasar (Qaidah Assasiyah) Ushul Fiqih
1. Segala sesuatu bergantung pada tujuannya
Contoh: kalau kita solat pasti bertemu dengan yang namanya niat,
kalau kita tidak bertemu dengan niat berarti kita tidak pernah solat. Begitu
juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji, dll. Kita pasti bertemu
dengan yang namanya niat.9
Para ulama mengambil dasar kaidah ini dari ayat Al-Qur’an:

        
       
       
 
Artinya: “ Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya.
barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat
itu. dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145).
Salah satu cabangnya: “maksud dari suatu lafadz adalah menurut niat
orang yang menguapkannya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam
sumpah dihaadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz
menurut niat hakim.”10
2. Kemudharatan harus dihilangkan
Contoh: jika ada sebuah pohon yang besar dan memiliki buah yang
besar dan selalu jatuh menimpa pejalan kaki dibawahnya sampai hahrus
dibawa ke rummah sakit maka pohon tersebut harus ditebang. Dasar
kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an:

      
       
 
Artinya: “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan
9

Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.249
Ibid., hlm. 251

10

7

dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Contoh cabang kaidahnya; “jika ada dua kemudharatan yang bertentangan,
diambil kemudharatan yang paling besar.”11
3. Kebiasaan dapat menjadi hukum
Contoh:ketika disuatu tempat ada suatu kebiasaan yang telah
mendarah daging dan ketika tidak melakuan maka akan mendapatkan
sangsi, seperti petik laut didaerah pesisir jika tidak melakukannya maka
akan dikucilkan.berdasarkan nash Al-Qur’an:

       
Artinya: “ Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS.
Al-A’raf: 199)
Cabangnya: “yang ditetapkan melaui ‘urf sama dengan yang ditetapkan
melalui nash.”12
4. Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya kekurangan
Contoh: jika kita ragu masih memiliki wudu atau tidak maka
berwudulah, tapi jika kita yakin maka solatlah dan itu sah walau pada
kenyatannya kita tlah batal wudu. Cabangnya: “asal dari kemudahan
adalah keharaman.”13
5. kesukaran mendatangkan kemudahan
Jika kita sedang dalam perjalanan dan telah sampai pada waktu
untuk mengqasar salat, maka kita boleh mengqasanya karena jika kita
tidak mengqasar solat maka kita tidak akan solat tepat pada waktunya.
Karena orang yang sedang diperjalanan pastilah dikejar waktu dan sulit
untuk melaksanakan solat tepat waktu. Qaidah ini berdasarkan Al-Qur’an:

      
     
       
        
       
11

Ibid., hlm. 260
Ibid., hlm. 262
13
Ibid., hlm. 254
12

8

     
   
Artinya: “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Cabangnya atas kaidah: “rukhsah itu tidak dapat disangkut pautkan dengan
keraguan.”14

14

Ibid., hlm. 257

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak pengertian ushul fiqih yang telah dikemukakan oleh para
ulama, namun pada prinsipnya mereka sependapat, bahwa ushul fiqh adalah
ilmu yang objek kajianya berupa dalil hukum syara’ secara ijmal (global)
dengan semua permasalahanya.
Ruang lingkup kajian (maudhu’) ushul fiqh, secara global adalah
sebagai berikut :
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat ( mujtahid )
dengan berbagai permasalahannya.
Imam Syafi’i mengurutkan sumber ijtihad atau dalil-dalil hukum ke
dalam lima peringkat, yaitu:
1. Al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Ijma’ ulama
3. Pendapat para sahabat nabi dengan syarat tidak ada yang menentang
pendapat tersebut, dan juga tidak melanggar ucapan shabat lain.
4. Pendapat para sahabat yang paling mendekati ketetapan al-Qur’an, hadits,
atau qiyas (analogi) ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
5. Qiyas
Berikut adalah dasar-dasar atau qaidah assasiyah ushul fiqih:
1. Segala sesuatu bergantung pada tujuannya
2. Kemudharatan harus dihilangkan
3. Kebiasaan dapat menjadi hukum
4. Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya kekurangan
5. kesukaran mendatangkan kemudahan

9

10

B. Saran
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila ada
kesalahan dan kami sangat mengharap saran yang membangun dari pembaca
agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Dedi Rohayana. (2006). Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press.
Burhanuddin. (2001). Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Departemen Agama. (1985). Ilmu Fiqh. Jakarta: Ditjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam.
Satria Effendi & M. Zein. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Zen Amiruddin. 2009). Ushul Fiqh. Yogyakarta: Sukses Offset.
Zuhaili, Wahbah. (2010). Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Terjemahan). Jakarta: Almahira.