Manusia dan Tanah Harapan Kesetaraan

Manusia dan Tanah
Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo
Email: ebenhur65@yahoo.co.id
Pengantar
Seorang mantan menteri di masa kabinet Gus Dur dan Megawati bersaksi dalam Rohani
Populer Majalah Desember 2012 Vol. 260 bahwa pada waktu ia menjabat Menteri Pertanian
Indonesia hanya memiliki 2 juta hektar lahan kelapa sawit. Setelah masa jabatannya berakhir
jumlah itu telah menjadi 4 juta. 1 Selanjutnya, waktu beliau ditanya apa aktivitasnya sekarang,
yakni setelah tidak lagi menjadi menteri jawabannya adalah sebagai berikut:
Salah satu kegiatan rutin saya adalah menyelamatkan ekosistem dan orang utannya yang
terancam bahaya. Saya melakukan ini untuk bayar dosa saya, karena saya juga yang
menyebabkan ekosistem mereka terganggu. Itu karena saya yang memberi izin membuka lahan
yang menjadi ekosistem orang utan. Namun, waktu itu saya tidak tahu kalau itu sesuatu yang
salah. Karena saya beranggapan orang utan tidak lebih penting dari manusia.2
Saya membuka ercakapan kita3 dengan kisah ini untuk memperlihatkan beberapa hal.
Pertama, pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat pada sisi
lain berdampak pada terjadinya gangguan ekosistem. Tempat kediaman orang utan rusak karena
pembukaan hutan untuk kelapa sawit, yang menurut menteri menguntungkan banyak pihak,
terutama rakyat miskin.
Gangguan ekosistem karena pembangunan ini saya lihat dengan mata kepala sendiri di
Timika akibat limbah pertambangan emas PT Freeport Indonensia di Tembagapura. Menurut

kisah yang saya dengar dari beberapa penduduk lokal, gunung-gunung yang sekarang menjadi
aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia adalah seorang ibu. Dua sungai yang mengalir dari
gunung itu ke pantai Timika adalah payudara dari si ibu. Payudara itu sekarang sedang digagahi
oleh limbah pertambangan.4
1

Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih. Negara Impor Beras Karena Kita Makan Beras Terlalu Banyak. Dalam: Bahana.
Majalah Rohani Populer. Desember 2012. Vol. 269. hlm. 11
2
Ibid., hlm. 11. Huruf yang diberi cetak miring juga dikutip langsung dari sumbernya.
3
Pemahaman Alkitab yang disampaikan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia (MPL-PGI) yang dilaksanakan tanggal 25-29 Januari 2013 di gedung kebaktian jemaat GMIT Paulus
Tingkat Satu klasis Kota Kupang.

Kedua, pengalihan fungsi lahan, dari hutan atau kebun rakyat menjadi perkebunan sawit
yang dikelola oleh perusahaan atas ijin pemerintah juga berarti terjadinya peralihan status
kepemilikan atas tanah. Kalau tanah itu tidak beralih menjadi milik pemerintah, pastilah ia
menjadi milik pengusaha atau pemilik modal yang mengelola perkebunan itu.5 Petani dipisahkan
dari tanah. Seperti apakah nanti nasib para petani yang membentuk 80% penduduk Indonesia jika

mereka tidak lagi punya tanah dan hidupnya terpisah dari tanah?
Ketiga, pengalihan hak kepemilikan atas tanah dari rakyat (petani) kepada pemerintah
atau penguasaha yang memiliki uang dan selalu (bukan seringkali) mendapat kemudahan dari
pemerintah disebabkan karena hak kepemilikan rakyat atas tanah lemah. Mereka tidak dapat
menunjukkan sepotong surat (sertifikat tanah) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain alasan
tadi, pemerintah selalu membangun argumentasi dengan menunjuk kepada pasal 33 UUD 1945
bahwa pengelolaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengusaha adalah demi
kesejahteraan rakyat.
Kebenaran argumentasi ini perlu diuji lagi dengan melihat tingkat kehidupan mayoritas
rakyat (warga masyarakat) yang ada di sekitar kawasan perkebunan, pertambangan, atau aktivitas
pembangunan yang sejenis yang dikelola oleh negara melalui pengusaha. Saya ingat proyek
Hutan Tanaman Industri (HTI) di Timor di tahun1990-an. Waktu hutan rakyat di Fatule’u mulai
dibuka, bersama beberapa teman LSM saya mendatangi kantor Koramil di Bokong (Takari).
Jawaban dari Danramil begini. “Oh… masyarakat akan tetap bisa menanam jagung dan kacangkacangan di kawasan hutan itu. Hasil panennya akan menjadi milik masyarakat. Bahkan mereka
akan diberi upah bulanan karena menjaga tanaman yang ditanam dalam HTI.”
Ehhh… ternyata itu hanya berlangsung tahun pertama dan kedua. Memasuki tahun
ketiga, jagung yang ditanami rakyat tidak bisa lagi tumbuh karena tidak mendapat sinar matahari
yang cukup. Masyarakat menyiasati hal itu dengan memangkas atau bahkan menebang pohon
tanaman industri yang menghalangi sinar matahari itu. Begitu tahu hal itu, rakyat dimarahi oleh
petugas pemerintah dan perusahaan. Lalu mereka dilarang berkebun di sana, bahkan diusir keluar

dari kompleks itu, kawasan yang sebelum adanya HTI justru menjadi lahan bertani masyarakat.
Bagaimana masyarakat bisa sejahtera?
4

Informasi ini disampaikan kepada saya oleh Pdt. Karel Erari, di Kupang, 28 Januari 2013 dan pdt. Isak Maran di
Timika, 2 Desember 2012 di Tembagapura.
5
Bandingkan Tosca Santoso. Sarongge: Kisah Hutan-Hutan Indonesia Yang Mulai Hancur. Gramedia. 2012.

Yang saya mau tunjukan dari ocehan tadi adalah ini: Pembangunan di sektor industri dan
ekonomi dengan segala kemajuannya telah merusak dan mencemari lingkungan hidup sehingga
banyak jiwa yang terenggut dan timbulnya kerugian yang besar. Kerusakan lingkungan hidup
terjadi dalam tiga bidang.6
Pertama, kerusakan ekologi: hutan, tanah, terumbu karang dan lapisan ozon. Kedua,
punahnya sumber daya alam, keanekaragaman hayati darat, laut dan udara dan sumber mata air.
Ketiga perubahan iklim global. Kerusakan-kerusakan ini makin luas dan kompleks. Persoalanpersoalan tadi berdampak lagi pada bidang kesehatan, ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber
daya alam lintas daerah, antara daerah hulu yang mengeksploitasi habis sumber daya alamnya
dengan daerah hilir yang hanya mendapatkan banjir atau pun longsor. Ketidakadilan antara jenis
kelamin yang menempatkan kaum perempuan sebagai korban paling rentan terhadap berbagai
penyakit serta ketidakadilan antara generasi sekarang yang mengeruk, merusak dan mencemari

lingkungan hidup dengan generasi masa depan yang kehilangan berbagai sumber daya alam dan
hanya diwarisi dengan krisis serta bencana lingkungan hidup.
Kita bisa memperbanyak lagi daftar persoalan. Tetapi mengingat singkatnya waktu dan
sempitnya ruang pembahasan, dalam Pemahaman Alkitab ini saya hanya akan menyoroti
hubungan manusia dengan tanah dan arti teologi dari hubungan itu.
Manusia dan Tanah
Alkitab secara eksplisit menyebutkan adanya hubungan tak terpisahkan antara manusia
dan tanah. Manusia itu diciptakan Allah dari debu tanah (Kej. 2:7). Ia berasal dari debu tanah dan
akan kembali menjadi debu tanah (Mz. 104:29). Debu tanah yang darinya manusia dibentuk oleh
Allah bukan debu tanah yang di sorgaw. Tidak! Debu tanah yang dimaksud itu adalah debu tanah
yang konkret, yakni tanah di mana kita dilahirkan. Adam dibentuk dari tanah yang ada di
Palestina, tanah Kanaan. Kalau saja Adam dibentuk di Timor, pasti tanah yang dipakai oleh Allah
adalah tanah Timor yang banyak batunya. Orang Israel dibentuk dari debu tanah di Kanaan,
orang Belanda dibentuk dari debu tanah di Belanda, orang Timor dibentuk dari debu tanah yang
ada di Timor.
6

Astrid Bonik Lusi, S.Si. Theol. Keutamaan Kristus terhadap Masa Depan Ciptaan (Suatu Studi Hermeneutik
terhadap Kolose 1:15-23 dan Kontribusinya Bagi Rekonstruksi Ekoteologi). Skripi. Salatiga: Fak. Teologi UKSW,
2012.


Masing-masing kita menyatu dengan tanah di mana kita lahir dan dibesarkan. Ya, tiaptiap manusia menjadi satu dengan tanah tumpah darahnya. Sebagaimana hidup seorang Israel
tidak bisa dilepaskan dari tanah Kanaan, begitu juga hidup seorang Batak, Sulawesi, Papua,
Ambon dan Timor tidak dapat dipisahkan dari tanah di mana dia ada. Kalau orang Yahudi tidak
dapat melupakan Sion dan Yerusalem (Mz. 137:5), demikian juga seorang Batak, Sulawesi,
Papua dan Timor tidak dapat melupakan tanah di mana dia lahir dan dibesarkan.
Untuk hal yang satu ini orang Timor penghuni pulau Timor mempunyai satu lagu yang
menjadi tanda pengenal mereka: Bo lelebo. Tanah Timor lelebo. Baik tidak baik, tanah Timor
Lebih baik. Suku Sabu di Nusa Tenggar Timor juag punya lagu yang mengingatkan anak-anak
daerah yang merantau jauh agar tidak melupakan tanah Sabu: tanah tuak dan gula (bole balloballo rai di rai hawu, rai due nga do nahu). Wejangan ini diwujudkan juga dalam sebuah
perangkat adat yang disebut rukattu, ritus membawa pulang si mati, atau salah satu organ tubuh
si mati (seperti rambut) ke pula Sabu pada saat yang bersangkutan meninggal dunia.7
Ada hubungan yang erat antara manusia dan tanah. Tanah bukanlah melulu sebuah obyek
atau sesuatu yang manusia jumpai atau hadapi. Manusia sendiri adalah tanah (Mz. 103:14).
Menjaga tanah sama dengan menjaga hidupan. Menjual tanah identik dengan menjual
kehidupan. Menguasai tanah seseorang setali tiga uang dengan menguasai kehidupan orang itu.
Merusak dan menghancurkan tanah di satu tempat sama dengan merusak dan menghancurkan
kehidupan orang-orang yang berasal dari tanah itu.
Ini point pertama kalau kita berbicara tentang hubungan manusia dan tanah. Hubungan
ini kita sebut sebagai hubungan asal-usul atau derivasi. Selanjutnya, manusia yang diciptakan

dari debu tanah, ditempatkan Allah dalam sebidang tanah (taman di Eden) untuk mengusahakan
dan memelihara tanah itu (Kej. 2:15). Tanah itu telah dilengkapi manusia dengan semua hal yang
perlu. Manusia tinggal mengolah dan memelihara tanah itu. Point kedua hubungan manusia
dengan tanah kita namakan hubungan penugasan atau vokasi.
Manusia bukan hanya berasal dari tanah, akan kembali menjadi tanah. Hidupnya yang
singkat itu - digambarkan sebagai bunga
7

(Mz. 103:15) - akan menjadi bermakna kalau

Paoina Ngefak-Bara Pa. “Amu Hawu Bangunan Berperspektif Gender pada Masyarakat Sabu.” Dalam: Gregor
Neonbasu. Kebudayaan Sebuah Agenda Dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya. Jakarta: Gramedia. 2013. lm.
269.

berlangsung di atas tanah sambil mengusahakan dan memelihara tanah itu. Dalam hubungan
vokasi, tanah memiliki beberapa fungsi: sosial, ekonomi, dan religius.
Fungsi sosial dari tanah menunjuk pada peranan tanah sebagai tempat di mana manusia
membangun dan memperkuat relasi dengan sesame. Fungsi ekonomi dari tanag berhubungan
dengan perintah untuk bekerja. Sambil mengolah tanah itu untuk hidupnya, manusia juga harus
menjaga tanah itu. Kesejahteraan hidupnya bergantung pada dua hal tadi, bagaimana dia

mengolah dan memelihara tanah itu bersama dengan semua hal yang ada di tanah itu.
Hubungan antara kesejahteraan hidup manusia dan pengelolaan tanah itu tersirat dalam
perintah berikut: “Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu pohon atau di
tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk
mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu bersamasama dengan anak-anaknya. Setidak-tidaknya induk itu haruslah kaulepaskan, tetapi anakanaknya boleh kauambil. Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu (Ul. 22:6-7).
Maksud dari perintah ini adalah sebagai berikut. Manusia boleh mengambil sesuatu dari
alam untuk hidupnya, tetapi tetap harus berpikir tentang kelangsungan hidup dari sesuatu yang
diambilnya itu.8 Manusia patut memperhatikan baik-baik cara dia menjalani hidup di atas tanah
yang diberikan Tuhan, supaya baik keadaannya. Alkitab, terutama kitab Ulangan penuh dengan
berbagai prinsip etika tentang bagaimana manusia berlaku di atas tanah pemberian Tuhan itu.
Ada hubungan yang erat antara ekonomi dan ekologi.
Fungsi religius dari tanah bersangkut paut dengan kehidupan peribadahan. Allah
memberikan tanah kepada manusia supaya di situ dia memberlakukan nilai-nilai etika, moral dan
spiritualitas sebagai perwujudan iman dan percayanya kepada Allah.
Karena fungsi tanah tadi adalah penting agar kelangsungan hidup tanah dijaga. Salah satu
ketentuan yang digariskan oleh Allah ialah bahwa tanah itu tidak boleh dipindah-tangankan.
Dalam bilangan 36:1-13 ditegaskan bahwa tanah yang sudah dibagi-bagikan Tuhan kepada
keduabelas suku Israel dengan membuang undi pada saat pendudukan Kanaan, tidak boleh
dibalik nama hak kepemilikannya. Orang Israel haruslah masing-masing memegang milik
8


Foster R. McCurley. Proclamation Commentaries. Genesis, Exodus, Leviticus, Number. Philadelphia: Fortress
Press. 1979. hlm. 121.

pusaka suku nenek moyangnya (Bil. 36:7). Kalau sampai terjadi bahwa tanah itu mengalami
pergantian hak kepemilikan, misalnya karena urusan perkawinan, maka pada tahun Yobel, tanahtanah yang telah berganti kepemilikan itu harus dikembalikan.
Erat berkaitan dengan larangan membalik hak nama kepemilikan atas tanah, Allah juga
melarang Israel untuk melakukan pemindahan batas tanah (Ul. 19:14, 27:17). Menjual beli tanah
diizinkan, tetapi tidak boleh dijual mutlak (Im. 25:23). Larangan itu dimaksud agar tidak ada
orang mengklaim diri sebagai pemilik permanen dari sebidang tanah. Jual beli boleh sejauh
hendak diusahakan bagi kesejahteraan bersama. Dan bila tiba tahun Yobel, tanah-tanah yang
sudah berganti pemilik itu harus dikembalikan kepada pemilik mula-mula (Im. 25:28). Ya.
Supaya batas-batas tanah seperti yang sudah dibagikan kepada tiap suku Israel pada masa
pendudukan Kanaan tidak berubah.
Hidup yang dijalani di atas tanah dengan mengabaikan hukum dan ketentuan yang
ditetapkan Tuhan hanya akan mendatangkan berbagai kesulitan, malapetaka dan bencana, seperti
tidak akan ada hujan dari Tuhan ke atas tanah itu (Ul. 11:17). Salah satu akibat dari sikap
sewenang-wenang di atas tanah yang diberikan Tuhan itu disebutkan dalam Imamat 18:27-28;
20:22, yakni tanah itu akan memuntahkan mereka karena telah muak dengan segala kenajisan
dan kejahatan yang dilakukan di atas tanah itu. Atau bahwa Tuhan akan bertindak untuk

mengusir dan menghalau penduduk yang menempati tanah itu, lalu tanah itu diberikan kepada
bangsa yang lain.9
Adalah bangsa-bangsa Kanaan yang semua memiliki tanah (negeri) pengunung orang
Amori. Tetapi karena mereka menajiskan tanah itu dengan berbagai kejahatan, negeri itu
memuntahkan mereka (Im. 18:27-28). Tanah itu kemudian diberikan Tuhan kepada bangsa
Israel. Ternyata, Kanaan juga kemudian memuntahkan orang Israel, yakni pada peristiwa
pembuangan ke Babel.
Point ketiga yang patut kita catat berhubungan dengan tanah adalah bahwa tanah itu
memiliki hidupnya sendiri. Tanah bukan sekedar sebuah komoditi ekonomi. Ia adalah tempat
untuk beribadah kepada Tuhan, mentaati hukum-hukum Allah, yakni menunjukan cinta kasih

9

Chr. Barth. Theolgia Perjanjian Lama. Jilid Dua. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985. hlm. 21.

kepada sesama. Tanah itu memiliki kekudusan. 10 Hukum sabat yang diterapkan juga atas tanah,
aturan terhadap sisa panen yang tidak lagi boleh dipunggut, dst menunjukan fungsi tanah sebagai
tempat beribadah.
Dari sini dapat kita bayangkan menjadi apa hidup seseorang atau satu suku yang tidak
memiliki tanah, atau yang tanahnya sudah berpindah kepemilikan secara permanen. Dia bukan

hanya kehilangan hidupnya, kehilangan sumber atau mata pencahariannya dan tidak dapat
melaksanakan lagi vokasinya, baik untuk bekerja maupun untuk beribadah.11
Manusia dan Tanah dalam Kearifan Lokal
Pesan Alkitab tadi, yang menekankan hubungan tak terpisahkan antara manusia dengan
tanah juga kita temui dalam berbagai kearifan lokal masyarakat suku-suku di berbagai belahan
bumi. Suku Meto di Timor menggambarkan bumi (tanah) sebagai ibu yang memangku dan
menyuapi (a aifat, a fafat). Identifikasi organ-organ vital kehidupan manusia juga diterapkan
kepada struktur bumi di mana mereka hidup. Tanah (naijan) dilihat sebagai daging. Batu (fatu)
dipandang sebagai tulang. Air (oel) adalah darah yang terus mengalir dalam tubuh dan hutan
adalah paru-paru (faf) yang merakit dan menyatukan semua yang lain. 12 Suku ini memahami
hidupnya sebagai yang berasal dari tanah (gunung batu keramat = fatu kanaf), menjalani
hidupnya dalam satu teritori yang disebut kuan dan pada saat mati akan kembali ke batu keramat
dari mana leluhurnya berasal.13
Pandangan serupa juga kita jumpai dalam pandangan suku Aborijin di Australia.
Beginilah teologi mereka:14
Tanah kami adalah ibu bagi kami. Ia adalah sumber kehidupan kami, agama kami, jati
diri kami. Bagi kami, tanah adalah sesuatu yang hidup. Kami adalah bagian darinya, dan
ia adalah bagian dari kami.
10


Hans Ucko. Akar Bersama. Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen – Yahudi. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2001. hlm. 28.
11
Choan-seng Song. “Oh, Yesus, Sini Bersama Kami.” Dalam: R.S. Sugirtharajah. Wajah Yesus di Asia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1996. hlm. 214.
12
Dikutip dari thesis magister Sosiologi Agama Pdt. Olivianus Kause, sebagai hasil wawancaranya dengan Bapak
Seprianus E. Sipa, tanggal 3 Januari 2013 di Kapan – Timor Tengah Selatan.
13
Eben Nuban Timo. Pemberita Firman Pencinta Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2006. hlm.
14
Dikutip dari Choan-seng Song. “Oh, Yesus, Sini Bersama Kami.” Dalam: R.S. Sugirtharajah. Wajah Yesus di Asia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996. hlm. 212.

Karena tanah adalah ibu, maka kehidupan selalu mulai dari tanah, sama seperti kehidupan
dimulai dari dalam kandungan ibu. Karena tanah adalah agama, maka makna dari kehidupan
seseorang ditemukan pada, dibangun di atas dan diukir pada ruas-ruas tanah. Karena tanah
adalah jatidiri, maka kesejatian hidup seseorang atau satu komunitas berkait erat dengan tanah
yang memberikannya akar. Tentang hubungan manusia dan tanah, Kosuke Koyama menulis hal
berikut ini: “Terpisah dari tanah menimbulkan masalah-masalah psikologis yang mendalam.
Manusia berarti berada di atas tanah, yaitu untuk orang-orang Melayu di Singapura suatu eretsologi teologi.”15
Betapa

sekarang

kita

mengerti

gigihnya

perjuangan

orang-orang

Palestina

mempertahankan tanah mereka. Mereka sama sekali tidak takut mati tertembak oleh tank-tank
Israel yang biadab, karena mati bagi mereka sama dengan perjalanan kembali ke tanah, kembali
ke kandungan ibu. Mati bukan ketiadaan dan kebinasaan. Mati adalah kembali ke rahim ibu
sendiri.
Tuan Tanah atau Tanah Tuhan
Pada waktu bangsa Israel menduduki tanah Kanaan, negeri itu dibagikan secara merata
kepada tiap suku Israel. Kanaan menjadi milik umat Israel. Kata Ibrani yang paling dominan
dipakai untuk menggambarkan Kanaan sebagai milik Israel adalah nahala. Selain itu juga
dipakai kata ahuzzah dan yerusysyah.
Satu penelitian yang saksama terhadap kata-kata itu menunjukan bahwa tidak dimaksud
di situ bahwa Israel adalah pemilik parmanen dari tanah itu. Lebih tepat disebutkan bahwa tanah
itu diberikan kepada Israel sebagai tempat kediaman, lokasi untuk bermukim. Pemilik
sesunguhnya dari tanah itu adalah Allah.16
Kepemilikan manusia atas tanah, termasuk juga Israel harus dipahami dari arti hak guna
usaha yang ia terima dari Tuhan. Dalam mengaktualisasikan hak guna usaha atas tanah yang
dimilikinya, Israel sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah harus memperhatikan berbagai
ketentuan dan aturan. Orang asing yang ada di Kanaan harus juga diberi kesempatan untuk ikut
menikmati hasil bumi dari tanah itu.
15
16

Kosuke Koyama. Injil Dalam Pandangan Asia. Hilversum: Gooi en Sticht. 1976. hlm. 7.
Chr. Barth. Theolgia Perjanjian Lama. Jilid Dua. hlm. 31.

Itu sebabnya tidak boleh ada yang menggeser batas kepemilikan tanah. Kalau pun tanah
itu dijual, maka si pemilik baru tidak bisa memilikinya secara parmanen. Pada tahun Yobel,
tanah-tanah yang berpindah kepemilikan karena jual-beli harus dikembalikan kepada pemilik
semula.
Jelasnya menurut kesaksian Alkitab tidak ada tuan tanah lain selain Allah. Tuan-tuan
tanah yang lain dari Allah tidak lain dari pemilik sementara, atau pemegang hak pakai. Allah
memberikan mereka wewenang untuk memiliki tanah itu agar dijadikan tempat untuk
menjalankan ibadah dan berbakti kepada Allah dengan cara melayani sesama sesuai hukumhukum yang ditetapkan Allah.17 Israel sebagai satu bangsa harus memperhatikan hal itu. Para
pemimpin umat yang sekaligus adalah pemimpin masyarakat juga yang menjaga agar
kepemilikan Allah atas tanah dan hukum-hukum Allah diberlakukan di tanah itu.
Kalau tuan tanah sebenarnya adalah Allah dan kita semua hanyalah pemegang hak guna
atas tanah, maka ide tahun Yobel di mana tanah yang diperoleh dengan cara apapun harus
diserahkan kembali kepada pemilik mula-mula, tidak lalu berarti bahwa tanah yang pernah
diserahkan kepada gereja harus gereja kembalikan kepada pemilik mula-mula. Tidak. Pemilik
mula-mula itu bukan manusia, tetapi Allah. Jadi penyerahan kembali kepada pemiliknya pada
tahun yobel artinya dikembalikan kepada Allah. Penyerahan kembali itu harus lebih dipahami
sebagai penyerahan tanah itu kembali kepada Allah dalam arti pemilik belakangan harus
mengefektifkan pemanfaatan tanah itu bagi kesejahteraan semua orang kepunyaan Allah.
Allah sebagaimana disaksikan dalam PL dan juga yang menjadi nyata dalam hidup dan
karya Kristus memihak kepada orang miskin dan mereka yang diabaikan dalam masyarakat.
Allah bahkan menjadikan diriNya sebagai salah satu di antara mereka. Jadi mengembalikan
tanah kepada pemilik mula-mula artinya memberi kesempatan kepada orang-orang miksin untuk
menikmati buah-buah dari tanah itu.
Di Israel itu ditunjukan dengan tiap panen, pemilik tidak boleh menyabit semua gandum.
Ia harus membiarkan ada sisa yang menjadi bagian orang miskin. Pada tahun ketujuh tanah tidak
boleh dikelola. Apa saja yang tumbuh di tanah itu boleh diambil oleh fakir miskin. Inilah yang

17

Bandingkan juga Emanuel Gerrit Singgih. Dunia Yang Bermakna. Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1999. hlm. 202-212.

patut dipahami secara mendalam oleh semua kita yang menjalani hidup di atas tanah, terutama
korporasi-korporasi besar yang membangun usahanya di atas areal tanah yang cukup luas.
Hasil dari tanah yang sudah kita beli atau pindahkan hak atas kepemilikannya dari
pemilik mula-mula harus ikut juga dinikmati oleh orang-orang miskin di sekitarnya. Kalau di
atas tanah itu dibangun perusahaan, maka pemilik perusahaan harus memperhatikan social
responsibility yang diambil dari keuntungan hasil usaha. Ini tentu untuk mewujudkan tema kita
(PGI): Tuhan itu baik bagi semua orang.
Sehubungan dengan itu patut kita catat hal berikut. Pdt. Kuntadi Sumadikarya dalam
sebuah ceramahnya di Abepura18 menunjukan bahwa hal “memecahkan roti” dan “berbagi roti”
merupakan hal sangat sentral dari kata perusahaan. Kata perusahaan dalam bahasa Inggris
company. Akar katanya berasal dari dua kata Latin cum (bersama-sama) dan panis (roti). Jadi
company berarti orang yang memecahkan roti secara bersama-sama. Sayangnya, perusahaanperusahaan saat ini lebih cenderung mengambil roti untuk diri sendiri dan bukan berbagi roti
dengan orang lain.
Nilai ini patut kita perhatikan supaya jangan terjadi lagi seperti kasus baru-baru ini,
seorang nenek dihukum denda 1,5 juta karena mencuri ubi untuk cucu-cucunya yang lapar di
tanah perusahaan yang mulanya adalah tanah milik warga setempat termasuk nenek itu.
Gereja Masa Kini dan Tanah
Karena cinta kepada Tuhan, banyak warga gereja yang mempersembahkan tanah mereka
untuk dipakai bagi pelayanan. Di atas tanah itu gereja kemudian membangun sekolah, panti
asuhan, lapangan terbang, bengkel, dll. Tetapi belakangan ini menjadi nyata bahwa kepemilikan
gereja atas bidang-bidang tanah itu dipersoalkan karena dokumen-dokumen kepemilikan yang
sah secara hukum tidak gereja miliki. Gereja selama ini tidak peduli untuk mengurus dokumendokumen dimaksud.
Ada juga banyak masalah agraria yang dihadapi warga karena tanah di atasnya mereka
membangun rumah tingga atau usaha. Perhatian gereja terhadap masalah-masalah itu terkesan
18

Pdt. Kuntadi Sumadikarya. “Pendidikan Kristen Sebagai Ziarah Spiritual. Kasus GKI Sinwil Jabar dan BPK
Penabur.” Makalah yang dipresentasikan dalam Konsultasi Nasional Gereja dan Pendidikan Kristen Tahun 2012 di
Abepura, 22-15 Nopember 2012.

minim atau asal-asalan. Pertanyaan kita adalah mengapa hal itu terjadi? Kami mencatat
sekurang-kurangnya tiga alasan.
Pertama, masalah tologis. Hans Ucko menunjukan hal itu. 19 Ia berkata bahwa dalam
Yudaisme pemilihan dan tanah yang dijanjikan adalah dua tema keagamaan yang hadir
bersamaan dan mengandaikan keberadaan persekutuan umat Yahudi. Allah memilih Israel dan
memberikan tanah kepada mereka supaya di atas tanah itu mereka menjalani hidup yang kudus.
Firman dan kehendak Allah harus ditaati dan dilaksanakan di Kanaan, yakni ibu pertiwinya
Israel. Dalam teologi Kristen pemilihan tidak lagi dihubungkan dengan tanah. Tanah sudah
dirohanikan. Orang Kristen menjadi tidak lagi peduli dengan tanah di bumi, karena mereka telah
memiliki tanah di sorga yang kebaikan dan keindahannya melampaui apa yang teralami di bumi.
Ini berakibat karakter ortopraxis dari panggilan Allah (soal benar tidaknya tindakan manusia di
atas tanah) diubah menjadi ortodoksi (hal benar tidaknya ajaran agama atau doktrin). Singkatnya,
kekristenan lebih menyibukkan diri dengan hal-hal ajaran dan dogma serta kurang
memperhatikan hal-hal praktik kehidupan.
Kedua, pemahaman akan Injil. Oleh pengaruh pietisme injil yang dibawa Yesus Kristus
sering dipahami sebagai berita tentang keselamatan keselamatan tanpa masa kini yang
berdampak pada ketidakpedulian akan kehidupan masa kini yang tanpa keselamatan. Hal ini
jelas menyimpang dari hakikat injil yang disaksikan Yesus Kristus sebagai keselamatan masa
kini.20
C.S. Song secara lebih berani mengungkapkan kritiknya terhadap kecenderungan gereja
yang dalam berteologi lebih sibuk membahas tentang sorga, gelisah memikirkan berapa banyak
orang yang bakal menghuni sorga dan menghabiskan banyak waktu untuk mengira-ngira berapa
banyak malaikat yang dapat menari di ujung jarum. Pemberitaan gereja tentang kasih Allah lebih
bersifat bebas gravitasi.21 Akibatnya gereja lupa memperhatikan bumi yang terbakar, aancaman
senjata nuklir yang makin nyata, serta lingkungan yang rusak akibat polusi dan berbagai bentuk
keserakahan manusia mengeksploitasi alam. Padahal Alkitab dengan tegas menunjukan bahwa
kasih yang ditunjukan Allah di dalam Yesus Kristus pada hakikatnya terikat-gravitas.

19

Hans Ucko. Akar Bersama. hlm. 18, 23.
Lihat Konsultasi Nasional yang diselenggarakan DGI yang diterbitkan dalam buku Keselamatan Masa Kini.
21
C.S. Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 78, 89.
20

Ketiga, masalah wawasan pelayanan. Paul Borthwick menggambarkan pemahaman
gereja tentang pelayanan dalam tiga tipe: evangelism, engagement dan integration.22 Pelayanan
lebih pahami sebagai keinginan untuk memenangkan jiwa bagi Tuhan (evangelism) dari pada
terlibat aktif (engagement) dan menjalani hidup dalam intergrasi penuh dengan persoalanpersoalan konkret untuk kebaikan bersama. Jelasnya, wawasan pemahaman tetang pelayanan
gereja masih terkurung dalam kotak spiritualism. Wawasan pelayanan yang berdimensi sosialkemasyarakat belum berakar kuat dalam kesadaran bergereja kita.23
Solusi dan rekomendasi
Pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI telah cukup jelas memberikan kepada kita
tuntunan untuk ambil bagian aktif dalam tanggung jawab sosial. Tetapi rasanya itu perlu
dilanjutkan dengan format pemikiran teologi tentang hubungan manusia dengan tanah dan sikap
yang benar terhadap tanah patut kita rumuskan bersama dan kita jadikan sebagai bahan ajar di
sekolah minggu dan katekesasi. Ini penting sebagai pemandu dalam gerakan bersama di jemaatjemaat.
Pengalaman saya pada waktu Hutan Tanaman Industri dibuka di NTT, warga gereja tidak
berada dalam satu gerakan. Ada kelompok yang mendukung HTI sementara kelompok lain
dalam jemaat justru menentangnya. Hal ini masih terus terjadi saat ini dalam berbagai upaya
pembangunan yang cenderung merusak keseimbangan ekologi.
Penutup
Saya berhenti di sini untuk memberi kesempatan kepada peserta sidang MPL PGI yang
terhormat untuk berbagi pengalaman dan pemahaman dalam dua hal. Pertama, memperkaya tiga
alasan tadi dengan alasan lain yang lahir dari pengalaman bergereja di tempat masing-masing
dan yang belum terakomodir dalam PA ini. Kedua, membagi dari perbendaharaan pengalaman
pelayanan, solusi apa yang sudah dan yang mungkin dilakukan untuk menjadikan gereja peduli

22

Paul Borthwick. Six Dangereous Questions. Illinois: InterVarsity Press. 1996. hlm. 88-91.
Dr. A.A. Yewangoe yang saat buku ini ditulis menjabat sebagai Ketua Umum PGI menunjukan dalam studinya
yang saksama terhadap kehadiran PGI di Indonesia menunjukkan bahwa gereja-gereja di Indonesia justru memberi
perhatian besar pada masalah-masalah sosial. Liha. Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 2009. hlm 107-127. Kalau hal ini kami angkat sebagai salah satu alasan maksud kami tentu
adalah mengingatkan kita semua untuk tetap waspada terhadap godaan menspiritualisasikan injil Yesus kristus.
23

terhadap masalah-masalah sumberdaya alam, ekologi dan secara khusus pertanahan seperti yang
digambarkan di atas.