1.1 Pengetahuan Pra-Refleksi dan Filasafat Manusia - Materi KULIAH FILSAFAT MANUSIA Bab I Introduksi

  

KULIAH FILSAFAT MANUSIA

  INTRODUKSI

  1.1 Pengetahuan Pra-Refleksi dan Filasafat Manusia

  Bapak Filsafat, Socrates mengajarkan, noti se auton – kenalilah dirimu sendiri. Pengetahuan biasa sehari-hari yang bersifat langsung dan spontan, di mana kita merasa kita tahu tentang sesuatu, disebut pengetahuan pra-refleksif,- selalu bersifat implisit dan selalu diandaikan dalam sikap dan tutur kata kita.

  Filsafat selalu bertolak dari pengetahuan pra-refleksif, tetapi filsafat memeriksa, mengupas dan mentematisasi pengetahuan pra-refleksif itu, untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Jadi dalam hal ini, Filsafat adalah refleksi kritis atas pengetahuan pra-refleksif atau sebuah ikhtiar untuk membuat sebuah pengetahuan implisit menjadi eksplisit.

  Dalam konteks Filsafat Manusia, pertanyaan pokoknya adalah “apa dan siapa

  

manusia itu”. Apakah pertanyaan ini dapat dijawab ? Kita akan berusaha sejauh

  Eksistesi manusia lebih merupakan misteri daripada problem. Eksistensi ini selalu lebih dalam dan lebih kaya daripada apa yang dapat diucapkan, diungkapkan dan dijelaskan secara rasional ( I am more than I can say ).

  1.2 Relevansi Filsafat Manusia

  Jika manusia itu sendiri adalah sebuah pertanyaan abadi, apakah refleksi filosofis tentang manusia itu sia-sia belaka? Tentu saja tidak ! Sebab pandangan kita tentang “apa dan siapakah manusia itu” membawa konsekuensi yang sangat luas bagi manusia, baik pribadi maupun Meskipun manusia itu misteri, manusia toh berusaha menjawabnya, sebab sikap seseorang ditentukan oleh jawaban yang dia 1 berik

  Gabriel Marcel membedakan Problem dan Misteri: Problem adalah masalah yang pada prinsipnya dapat diselesaikan secara tuntas, meskipun membutuhkan waktu yang lama dan bertahap. Sedangkan Misteri adalah persoalan atau masalah yang pada prinsipnya tidak

pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Misteri adalah suatu pertanyaan abadi, karena setiap

2 jawaban akan melahirkan pertanyaan baru.

  

Sebagai contoh: Pertama, Jika manusia hanya dipandang sebagai materi (seperti pandangan

materialisme), maka dengan sendirinya manusia akan dihargai dan diperlakukan sebagai materi, yakni sejauh dia membawa kegunaan material. Sebaliknya, jika manusia lebih dilihat sebagai budi atau roh (seperti pandangan idealisme), sedangkan tubuhnya dianggap maya (semu), maka orang pasti akan mengabaikan perkembangan ekonomi dan teknologi, dll.

Kedua, Jika orang menyangkal kebebasan manusia (pandangan determinisme), maka ia dapat

jatuh ke dalam sikap fatalistis yang pasif (“sudah takdir”). Sebaliknya, jika kemerdekaan manusia dimutlakkan (liberalisme ekstrim), maka orang akan menolak segala bentuk norma 3 dan aturan.

  

Wittgenstein mengatakan, “where of one can not speak, there of one must be silent” (tentang

apa yang tak terucapkan, orang harus diam). Ungkapan ini dijawab oleh seorang Filsuf lain asal

Belanda (NN), dengan mengatakan, “where of one can not speak, there of one must speak for

  Orang-orang sederhana juga mempertanyakan makna hidupnya, namun mereka tidak merumuskannya secara jelas. Tetapi andaikata mereka tidak bertanya, mereka toh memiliki pandangan/keyakinan tertentu, entah pandangan agama atau ideologi yang diwarisi dari orang lain atau generasi lain. Namun, dalam pemikiran filosofis, kita tidak boleh hanya menerima dan mempercayai apa yang dikatakan orang lain. Kita harus bisa bertanya secara radikal dan perlahan-lahan membangun sebuah jawaban pribadi. Memang kita harus belajar dari orang lain, sebab jelas kita tidak bisa berpikir dari titik nol (zero point), namun seluruh tradisi filsafat yang kita pelajari, bukanlah suatu dogma atau jawaban final. Tradisi atau pemikiran itu hanya boleh menjadi sumber inspirasi (ibarat api, untuk menyalakan api kita sendiri).

  

1.3 Tempat Pertanyaan Tentang Manusia Dalam Filsafat Modern dan

Kontemporer

  Pertanyaan, “apa dan siapakah manusia itu” sudah dipertanyakan sepanjang sejarah filsafat, hanya saja posisi dan urgensi pertanyaan itu berbeda-beda dari masa ke masa. Dalam kurun waktu tertentu (terutama zaman purba), orang memusatkan perhatian pada alam semesta, dan manusia hanya ditempatkan sebagai satu titik atau salah satu bagian kecil dari kosmos. Pada waktu yang lain, filsafat bertitik tolak dari pemikiran tentang Tuhan, lalu manusia dibicarakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Di sini, yang pokok adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah sebagian kecil dari pokok itu.

  Dalam filsafat modern, soal manusia menduduki tempat yang sentral. Timbulnya zaman modern secara khusus dipersiapkan oleh renaissance (abat 14). Dan penemuan pertama menurut penelitian kebudayaan adalah bahwa manusia menjadi objek perhatian utama dari renaissance.

  Persiapan untuk kelahiran zaman modern telah dimulai, akan tetapi perumusan filosofis secara tegas baru dibuat oleh Rene Descartes (1596 – 1650). Descartes tidak puas dengan ajaran filsafat skolastik ketika itu, ia berusaha mencari dasar baru bagi filsafatnya. Untuk itu dia menggunakan metode kebimbangan (dubium metodicum): Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada). Dubium Metodicum adalah dasar di atas mana Descartes membangun seluruh bangunan filsafatnya. Dengan metode itu, Descartes telah menempatkan kesadaran manusia sebagai dasar dan focus filsafat, yang menjadi awal mula filsafat modern.

  Imanuel Kant merumuskan seluruh pemikiran filsafatnya dalam tiga pertanyaan, yakni: Apakah yang dapat saya tahu ? (dijawab oleh metafisika) Apakah yang wajib saya lakukan ? (dijawab oleh etika) Apakah yang boleh saya harapkan (dijawab oleh Agama). Ketiga persoalan yang dikemukakan oleh Kant tersebut dapat direduksikan menjadi satu pertanyaan saja: “Siapakah makhluk itu yang sanggup tahu, yang wajib berbuat dan yang boleh mengharap”, atau singkatnya, “Siapakah manusia itu?”

  Dalam aliran romantisisme dan voluntarisme, persoalan tentang manusia juga mendapat tempat yang sentral. Tetapi keduanya mengutamakan perasaan dan kehendak manusia. Jika Rene Descartes berkata “cogito ergo sum”, maka Meine de Biran (voluntarisme) mengubah ungkapan tersebut menjadi “volo ergo sum” (saya berkehendak

  Pada abad ke-20, muncul aliran fenomenologi, yang secara luas dikenal sejak Edmund Husserl (1859 – 1938). Fenomenologi terutama memperhatikan fenomena, yakni gejala sebagaimana tampak dalam kesadaran manusia. Intisari filsafat fenomenologi adalah bahwa kesadaran manusia bersifat intensional (intensional: bahwa kesadaran manusia itu pertama: keluar, kedua: kembali kepadanya, ketiga: sadar bahwa sesuatu itu ada).

  Selain fenomenologi, ada juga aliran filsafat eksistensialisme. Inti pandangan filsafat eksistensialisme adalah bahwa manusia adalah sebuah eksistensi. Eksistensi berarti

  Dapat disimpulkan bahwa soal manusia mempunyai posisi yang sentral dalam filsafat modern dan kontemporer. Manusia hari ini mempersoalkan dirinya sendiri. Atau dengan rumusan yang lebih radikal dari Jean Paul Satre, “manusia menemukan manusia”.

  1.4 Objek Filsafat Manusia

  Objek filsafat manusia adalah “eksistensi manusia”. Objek formal Filsafat Manusia adalah hakekat manusia atau struktur dasariah eksistensi manusia yang berlaku universal dan seharusnya. Untuk itu kita harus menyelidiki manusia itu seekstensif mungkin (menyangkut semua dimensi manusia) dan seintensif mungkin (setiap dimensi diselidiki secara mendalam).

  Objek material Filsafat Manusia adalah semua gejala atau fenomena manusiawi, seperti berbicara, bertanya, bekerja, mengharap, tertawa, berpikir, dll. Semua fenomena ini menjadi bahan atau materi penyelidikan filsafat manusia. Filsafat Manusia bertolak dari gejala-gejala ini, tetapi berusaha menerobosnya untuk sampai kepada inti atau hakekat (dari fenomenon menuju kepada noumenon/hakikat).

  1.5 Filsafat Manusia dengan Ilmu Lain yakni Exact Sciences (Ilmu Eksakta) dan Human Sciences (Ilmu Manusiawi atau sering dikenal sbg Ilmu Sosial).

  Ilmu Eksakta “menyelidiki realitas sejauh direduksikan kepada objek dan menyelidiki

  Ilmu Iksakta adalah metode penjelasan. Metode Penjelasan (Erklärende Methode) memiliki tahap-tahap sebagai berikut:

  I Mengamati secara empiris

  II Hipotesis tentang hubungan sebab-akibat

  III Verifikasi dan falsifikasi (menguji kebenaran dan melihat mana kesalahannya)

  IV Merumuskan hukum umum

  V Membuat teori global (dalil yang dapat diterima secara universal) 4 VI Membuat “deduksi” dari hukum umum yang telah dirumuskan.

  eksistensi dari kata existere (keluar dari diri) : ex (ke luar) + stare (berdiri). Boleh lah dikatakan: “kalau mau sadar diri ya keluar dulu dari diri sendiri”. Filsuf-filsuf eksistensialisme 5

yang terkenal a.l.: Kirchkegaard, Gabriel Marcell, Martin Heidegger, Merlau -Ponty, Karl Jaspers

W. Dhiltey membagi ilmu-ilmu berdasarkan metode yang dipakai: Erklärende Methode

  Human Sciences “menyelidiki aspek atau dimensi tertentu dari eksistensi manusia.” Misalnya, Sosiologi meneliti dimensi sosial manusia; Psikologi meneliti dimensi psikis manusia, Antropologi Budaya meneliti dimensi kebudayaan, dll, dst.

  Human Sciences menggunakan gabungan metode penjelasan dan metode pemahaman (Verstehende Methode). Verstehende Methode memiliki tahap-tahap sebagai berikut:

  I Selalu berusaha mengamati gejala manusia dan memahami artinya

  II Semua gejala manusiawi itu disusun secara sistematis

  III Menyusun sebuah hipotesis

  IV Verifikasi dan Falsifikasi sosial

  V Merumuskan sebuah hukum yang bersifat tentatif

  VI Menyusun sebuah teori global

  VII Membuat pertanggungjawaban kritis menurut kriteria tertentu Sedangkan dalam Filsafat Manusia “semua gejala manusia diselidiki seintensif dan seekstensif mungkin untuk mengenal hakekat manusia.” Filsafat Manusia menggunakan

  Metode Refleksif, yakni menyelidiki gejala-gejala manusiawi yang objektif dan sekaligus kembali kepada yang meneliti itu sendiri (refleksi) untuk mengerti siapakah “aku” sebanarnya.

  Dalam hubungan dengan ilmu-ilmu lain, pada satu pihak, ilmu-ilmu bisa memberikan informasi baru kepada filsafat manusia untuk memperkaya refleksinya, namun pada pihak lain, Filsafat Manusia juga memberikan insight (wawasan/tilikan) yang lebih mendalam dengan menunjukkan pengandaian-pengandaian ilmu-ilmu lain. Sebagai contoh, teori Psikoanalisis memberikan informasi baru bagi refleksi Filsafat Manusia, yakni fakta psikis manusia tentang ketaksadaran. Dan refleksi Filsafat Manusia menunjukkan batas keabsahan dari teori Psikoanalisis.

1.6 Metode-Metode Filsafat Manusia

  Secara umum Filsafat Manusia menggunakan metode refleksif. Akan tetapi dalam sejarah filsafat, banyak ditemukan aliran-aliran filsafat dengan metode-metode yang khusus.

  1.6.1 Metode Kritis Metode ini meneliti paham-paham para filsuf terdahulu, menyelidiki sistem-sistem teori-teori atau paham-paham tersebut. Jika ditemukan atau diduga sebagai “tidak konsisten dan tidak koheren”, maka perlu dicari-tahu alasannya, di mana letak kesalahannya (apakah kesalahan dalam argumentasinya atau karena konsep-konsepnya yang bersifat 7 kontradiktoris Metode kritis ini berguna, tetapi tidak boleh dipakai secara tersendiri.

  Konsistensi adalah sesuai dengan azas atau prinsip yang dianut. Koherensi adalah

persesuaian satu unsur dengan yang lain dalam satu sistem yang sama, sehingga merupakan

8 suatu keseluruhan yang utuh.

  Salah satu contoh di sini adalah aliran positivisme (dan kemudian empirisme), yang berpendapat bahwa sesuatu itu benar jika dapat dibuktikan secara empiris (konkret, fisik). Karena jika dipakai secara tunggal, tidak membawa orang kepada pemahaman yang positif dan utuh tentang pemahaman manusia.

  1.6.2 Metode Analitika Bahasa Metode ini bertolak dari bahasa sehari-hari (ordinary language) dan menyelidiki hubungan antara pikiran dan bahasa, dengan maksud supaya pikiran manusia dapat diungkapkan dalam bahasa yang tepat dan jelas. Metode ini berupaya untuk membersih-

  

  Para filsuf Analitika Bahasa berpendapat bahwa setiap kata dan setiap proposisi harus mempunyai satu arti yang tepat dan tertentu. Untuk tujuan itu, para filsuf analitika bahasa berusaha menyusun bahasa menurut struktur matematis, yang kemudian dikenal

  

  Sumbangan positif metode ini adalah membantu orang untuk mengungkapkan pikiran secara tepat. Catatan negatif metode ini, pertama, bahasa ideal yang dicita-citakan tidak dapat (tidak mungkin) diwujudkan, karena mengandaikan kosa kata yang tak terbatas (tak terhingga). Uniknya situasi, pengalaman, perasaan manusia tidak semuanya dapat diungkapkan dengan kosa kata yang khusus. Kedua, di balik cita-cita bahasa ideal yang serba logis dan kritis, sebenarnya tersembunyi tendensi rationalistik, yang hanya mengutamakan ratio manusia. Padahal, perasaan, kerinduan, kegelisahan dan harapan manusia lebih kuat diekspresikan bukan dalam bahasa yang logis, melainkan dalam

  1.6.3 Metode Fenomenologi Fenomenologi adalah suatu aliran filsafat yang sangat berpengaruh pada zaman ini. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938), dengan semboyan dasarnya yang terkenal, zurück zu den Sachen selbst, yang berarti kembali kepada benda-benda atau hal-hal itu sendiri, atau kembali kepada keadaan apa adanya (tanpa interpretasi apa pun). Asumsi dasar Husserl bertolak dari kesadaran manusia yang secara hakiki bersifat

  Jika kita mengamati benda-benda yang ada di sekitar kita, maka ada dua kemungkinan: pertama, menyelidiki benda itu sejauh dia berdiri di luar kesadaran; atau kedua, menyelidiki benda itu sejauh ia menampakkan diri kepada kesadaran. Dan menurut Husserl, kemungkinan kedua yang benar. Fenomenologi berusaha menemukan kembali 9 kekayaan arti sesuatu dalam pengalaman hidup manusia. Tetapi karena fenomenologi

  Ambiguitas adalah arti ganda dari sebuah ungkapan atau proposisi; Polisemy adalah arti 10 ganda dari sebuah kata.

  

Simbolic logic adalah logika terformalisir, yang merupakan bahasa buatan yang “bersih” dan

11 serba logis, bersih dari kekaburan, unsur dwiarti dan makna metaforis.

  Seorang linguist bernama von Humbaldt mengatakan, language is the infinite use of the 12 finite means (bahasa adalah sarana terbatas untuk penggunaan yang tak terbatas).

  

Menurut Husserl, pertama, semua perspektif selalu terbatas ketika kita melihat, mendengar, merasa, dll (mis. lihat rumah, yang dilihat hanya bagian tertentu dari rumah itu, tidak bisa

dilihat semua) – noetis. Kedua, karena kesadaran manusia itu bersifat kreatif, maka kesadaran

itu membuat konstruksi. Meskipun fragmentaris sifatnya pengelihatan, pendengaran, perasaan, dll, namun kesadaran kita langsung membuat konstruksi (dengan contoh di atas, mis. yang berusaha menjelaskan gejala-gejala dalam hubungan dengan kesadaran pada umumnya, maka yang perlu diteliti adalah bagaimana arti atau makna itu muncul dalam kesadaran.

  Untuk membuat pemeriksaaan sebaik-baiknya, Husserl menganjurkan beberapa langkah metodis, dimana, hal-hal yang kurang penting ditempatkan di dalam kurung, supaya kita bisa menemukan hal-hal yang pokok. Ada tiga langkah dalam metode fenomenologis Husserl:

  I Reduksi Fenomenologis: pada langkah ini kita mengurungkan semua pandangan pribadi maupun pandangan orang lain tentang sesuatu, untuk menemukan fenomena yang asli. Sebab pengalaman awal suatu fenomena itu sangat kaya.

  II Reduksi Eidetis: pada langkah ini kita mengurungkan semua aspek yang aksidental untuk menemukan inti yang bersifat universal, yang mengatasi ruang dan waktu (G: eidos: inti universal, yang mengatasi ruang dan waktu).

  III Reduksi Transendental: kesadaran itu sendiri yang individual bersifat terbatas, dikondisikan oleh ruang dan waktu. Lalu, “bagaimana kesadaran yang terbatas, yang meruang dan mewaktu bisa sampai kepada eidos yang universal?” Menurut Husserl, “harus ada subjek dari kesadaran yang bersifat universal pula”. Subjek itu disebut Husserl sebagai “Aku Transendental”. Aku Transendental adalah sumber semua nilai dan arti. Maka, tanpa “aku” dunia tidak ada.

  1.6.4 Metode Hermeneutika (G: hermeneia: penjelasan, terjemahan, tafsiran; hermeneuein: menjelaskan, menerjemahkan, menafsirkan). Apa yang ditafsir ? Hermeneutika menafsir Kitab Suci, Teks Purba, ucapan seseorang, tindakan atau perbuatan seseorang. Maka jelas bahwa kegiatan penafsiran manusia itu sangat luas, meliputi seluruh bidang pengetahuan manusia. Namun, jika benar bahwa pengetahuan manusia itu bersifat penafsiran, “apakah mungkin manusia mengetahui kebenaran atau mencapai kebenaran ?” Filsafat Hermeneutika menyelidiki objek penafsiran dan memakai metode-metode yang dipakai oleh human sciences untuk mengetahui metode mana yang paling bisa dipertanggungjawabkan untuk mendekati kebenaran.

  Untuk mengerti cara kerja filsafat hermeneutika, terlebih dahulu kita meninjau objek yang menjadi penelitian hermeneutika. Objek terdekat hermeneutika adalah “teks”, dan objek terjauh hermeneutika adalah “eksistensi manusia”.

  I Objek Terdekat: TEKS Teks adalah karya wacana yang dimantapkan.

  Wacana adalah

  sebuah ucapan/tulisan dalam mana seorang pembicara/penulis menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain. Wacana minimal mempunyai 3 unsur, yakni: pembicara/penulis, apa yang dibicarakan/ditulis, dan pendengar/pembaca. 13 Unsur terkecil dari wacana adalah kalimat.

  Hermeneut besar dalam sejarah antara lain: Schleimacher (1768-1834, dikenal sebagai Bapak hermeneutika modern, karena merupakan orang pertama yang secara radikal mempersoalkan “penafsiran”), Dilthey (1833-1911, orang pertama yang secara tegas membedakan human sciences dan excact sciences), Martin Heiddeger (1889-1976), Hans G.

  Karya (karya wacana) ditandai dengan 3 (tiga) ciri khas, yakni komposisi, genre literer dan gaya bahasa.

  Komposisi adalah satu kesatuan wacana yang utuh yang (biasanya) terdiri dari pendahuluan, isi pokok dan kesimpulan. Sedangkan genre literer (genre diartikan sebagai pola yang memberi kemampuan menciptakan) adalah sebuah piranti generatif yang membuat sebuah komposisi mendapat bentuknya yang spesifik sebagai puisi, novel, essay, perumpamaan, dll. Dan gaya bahasa (sebagai prinsip individuasi) merupakan cara khas penggunaan bahasa dalam komposisi dan genre literer, sehingga menghasilkan karya wacana tertentu. Jadi, komposisi adalah prinsip kesatuan yang membuat sebuah karya menjadi susunan utuh dan terpadu, genre literer merupakan prinsip spesifikasi karya tersebut, dan gaya bahasa sebagai prinsip individuasinya.

  Yang dimantapkan adalah karya wacana yang biasanya melalui tulisan. Dari segi

  penafsiran dapat dikatakan bahwa dari tulisan sebuah karya wacana mendapat otonomi

semantis /otonomi arti. Otonomi semantis adalah otonomi rangkap tiga, yakni: 1.

otonomi terhadap maksud pengarang di luar teks 2. otonomi terhadap konteks budaya 3. otonomi terhadap publik (pendengar/pembaca) yang asli.

  Jika teks memiliki otonomi semantis, maka tujuan setiap penafsiran teks bukanlah kembali kepada maksud pengarang yang asli melainkan menjajaki kemungkinan- kemungkinan baru berdasarkan arti yang disarankan teks untuk pembaca yang konkret saat ini. Jadi, dalam penafsiran ada dua bagian besar yang merupakan inti penafsiran, yakni: 1. analisis struktur teks untuk melihat kekayaan makna sebagaimana terberi di dalam teks (anakronis atau diakronis dan sinkronis); dan 2. aplikasi arti teks melalui suatu

  II. Obyek Terjauh : EKSISTENSI MANUSIA Untuk apa kita menafsir teks ? Kita menafsir teks untuk mengerti diri sendiri dalam cermin sebuah teks; dan selanjutnya kita dapat merealisasikan diri menurut saran teks.

  

Komposisi yaitu bagian/hal-hal yang terpenting yang diambil dari pengalaman yang

  kemudian membentuk kepribadian. Genre kultural adalah pengaruh budaya (nilai budaya) yang mempengaruhi pribadi seseorang. Dan gaya eksistensial yaitu gaya pribadi seseorang yang mutlak berbeda dengan orang lain.

  Filsafat Hermeneutika mendekati eksistensi manusia dari segi bahasa atau lebih khusus dari segi teks, untuk menemukan kembali secara baru definisi manusia yang yang (sebenarnya lebih tepat) 14 zoon logon ec

  Otonomi terhadap maksud pengarang di luar teks, karena sebuah teks memuat ciri 15 psikoanalisis seseorang dan sebuah teks memiliki kata polysemy (arti ganda).

  

Otonomi terhadap konteks budaya asli karena sebuah teks memiliki kemampuan baik untuk

dekonstruksi maupun untuk rekonstruksi (dekonstruksi- keluar dari yang asli; rekonstruksi- 16 masuk kepada/di dalam kebudayaan baru).

  

Horison disini dipahami sebagai keseluruhan makna yang mengitari suatu titik tindakan (bdk.

17 tindakan mengangkat tangan untuk menyetop mobil).

  Identitas manusia adalah identitas naratif, karena orang hanya bisa menunjukkan siapa 18 dirinya dengan bercerita. diterjemahkan: manusia adalah makhluk yang berbudi bahasa (manusia: menunjukkan budi; dan bahasa menunjukkan kultural/budaya).

  1.6.5 Metode Transendental Metode ini dimulai oleh Imanuel Kant dan kemudian diteruskan oleh Joseph

  Marechal dalam Filsafat, dan Karl Rahner dalam Teologi. Metode transcendental berusaha menyelidiki syarat-syarat a priori yang hadir secara implisit tetapi senantiasa berperan aktif dalam kegiatan berpikir kita. Syarat-syarat itu disebut a priori karena dibawa sejak lahir. Syarat-syarat ini bukan dipelajari, melainkan menjadi prasyarat supaya kita bisa belajar (contoh: seorang anak kecil bila sudah mulai belajar, dia sudah tahu bila sebuah pisang yang dipotong lebih sedikit daripada pisang yang belum dipotong). Syarat-syarat itu disebut implisit karena selalu hadir dan diandaikan dalam tindakan manusia dan berperan aktif dalam semua tindakan itu.

  Kant membedakan dua hal: das Ding an sich (benda pada dirinya sendiri) dan das Ding für micht (benda sejauh dia tampak untuk saya). Maka menurut Kant, sesuatu itu / benda itu saya tidak tahu, saya tahu / kenal sejauh dia nampak kepada saya. Namun, bagaimana dia mempunyai arti ? Menurut Kant, dia mempunyai arti kalau disusun oleh sesuatu yang disebut sebagai syarat a priori.

  Menurut Kant, pada mulanya semua gejala merupakan rangsangan-rangsangan yang tidak teratur. Rangsangan-rangsangan itu ditangkap lebih dahulu oleh panca indera dan langsung disusun menurut dua forma a priori panca indera, yaitu kategori ruang dan waktu. Hasil godokan panca indera itu diteruskan ke akal budi untuk diolah lagi sehingga menjadi konsep. Tetapi untuk menjadi konsep semua data panca indera deprogram Semua pengetahuan konseptual mendapat bahannya dari pengalaman inderawi dan disusun menurut kategori a priori akalbudi. Menurut Kant, pengetahuan inderawi tanpa kategori a priori adalah buta, dan sebaliknya kategori a priori tanpa pengalaman inderawi bersifat kosong. Sintesis antara pengalaman inderawi dan kategori a priori adalah konsep.

  Di belakang/di dasar semua pengetahuan konseptual terdapat tiga idea, yakni idea tentang Allah, idea tentang jiwa dan idea tentang dunia. Menurut Kant, idea-idea ini tidak bisa kita ketahui secara konseptual, tetapi hanya merupakan petunjuk-petunjuk yang samar, karena idea-idea itu terlalu besar untuk diketahui secara konseptual oleh akal budi. Tetapi ketiga idea itu berfungsi memberi kesatuan pada seluruh pengetahuan manusia.

  Seluruh analisis tentang forma a priori mengandaikan adanya subjek, yang disebut

  

  oleh Kant sebagai yang memiliki forma Aku Transendent a priori dalam seluruh kegiatan pengetahuan.

  Metode transcendental memiliki 3 (tiga) langkah:

  logon echon” (manusia adalah makhluk yang mempunyai budi); dan budi dalam pengertian 19 filsafat Aristoteles menyangkut akal (pintar/otak) dan hati nurani.

  12 forma a priori akal budi menurut Kant, yaitu; Quantitas (unitas, pluralitas, totalitas), Qualitas (realitas, negasi, limitasi/pembatasan), Relasi/Hubungan (substansi-aksiden, sebab- akibat, interaksi), Modalitas (mungkin-tidak mungkin, ada-tidak ada, necessity/niscaya- 20 kontingentia/kebetulan). Pertama, Reduksi Transendental: pada tahap ini struktur pikiran dan pengetahuan manusia dianalisis untuk menemukan syarat-syarat a priori yang menyebabkan pengetahuan rasional itu mungkin.

  Kedua, Retorsi atau Pembalikan: pada tahap ini secara negatif dibuktikan bahwa syarat-syarat a priori tadi bersifat mutlak. d/l, syarat-syarat a priori tidak pernah bisa disangkal dalam kegiatan berpikir yaitu apabila kita mau berpikir secara logis dan benar. Jadi, melalui retorsi mau ditunjukkan bahwa orang yang secara eksplisit menyangkal kategori a priori akal budi, secara implisit membatalkan pendapatnya sendiri Ketiga, Deduksi Transendental: pada tahap ini syarat-syarat a priori diaplikasikan pada gejala-gejala manusiawi yang telah diamati secara teliti. Kalau ada pertentangan antara beberapa pernyataan mengenai manusia, maka isi pernyataan itu harus dikonfrontasikan dengan syara-syarat a priori, untuk melihat apakah syarat-syarat a priori yang perlu diperbaiki atau isi pernyataan kita tentang manusia yang perlu dirumuskan kembali.

  1.6.6 Metode Yang Dipakai Dalam Kuliah Ini : “METODE METAFISIK” Dalam kuliah ini, metode yang dipakai adalah “metode metafisik”, dengan langkah- langkah berikut:

  Pertama, dari banyak fenomena manusiawi kita berusaha menangkap satu pemahaman yang fundamental dan sentral (satu inti). Inti ini dieksplisitasi tahap demi tahap secara sistematis. Kedua, eksplisitasi itu terus-menerus bersentuhan dengan realitas konkret yang ingin dijelaskan. atau d/l, refleksi mengenai inti pokok harus disesuaikan terus-menerus dengan pengamatan kritis terhadap realitas. Dengan ini metode fenomenologi diintegrasikan. Ketiga, metode ini juga berusaha memberi perumusan yang lebih tepat dari apa yang kita amati sehari-hari. Pada tahap ini metode analitika bahasa diintegrasikan.

  1.7 Nama Filsafat Manusia Filsafat Manusia sangat erat berkaita dengan Psikologi dan Antropologi. Pada zaman dahulu filsafat manusia disamakan dan digabungkan dalam psikologi (ilmu tentang jiwa manusia). Kemudian untuk membedakannya dari psikologi empiris lalu namanya menjadi psikologi rasional, psikologi spekulatif, psikologi metafisik.

  Filsafat Manusia juga disebut antropologi (ilmu tentang manusia). Tetapi untuk membedakannya dari antropologi budaya dan antropologi ragawi, maka filsafat manusia disebut antropologi filosofis atau antropologi metafisik.

21 Hal ini misalnya dapat dilihat dalam skeptisisme sebagai argumen Agustinus: “ada dan tidak

  ada tidak bisa diucapkan sekaligus pada benda/hal yang sama”. Pernyataan ini kemudian

BAB I MANUSIA MENGAKUI DIRI DAN YANG LAIN SEBAGAI SUBSTANSI DAN SUBJEK Persoalan Pokok : Mencari titik tolak Filsafat Manusia. Yang kita cari dalam

  pembahasan ini adalah faktum primum / fakta yang paling asli / fakta induk yang mendasari dan merangkum seluruh pemahaman filosofis tentang manusia. Titik tolak Filsafat Manusia yang kita pakai dalam kuliah ini adalah Aku sebagai

  

Substansi dan Subjek dalam hubungan dengan yang lain. Titik tolak ini bersifat

mutlak dan tidak bisa disangkal.

  1.1 Beberapa Pandangan Tentang Titik Tolak Filsafat Manusia Pada umumnya, para filsuf yang lebih tua (kurang-lebih sampai dengan Descartes), menerima kepastian manusia mengenai diri dan yang lain sebagai substansi dan sebagai subjek, tanpa banyak mempersoalkannya; meskipun kedudukan metafisis yang diberikan atas refleksinya diterangkan secara berbeda oleh masing-masing filsuf.

  1.1.1 Filsafat dan Filsuf Yang Menolak Kemutlakan

  a. Skeptisisme berpandangan bahwa tidak ada kebenaran (mutlak), kalau pun ada kita tidak sanggup mengetahui kebenaran itu.

  Skeptisisme menolak semua kepastian.

  b. Sensisme berpandangan bahwa pengetahuan manusia hanya berasal dari pengalaman inderawi (a.l. Hobbes, Locke, Berclay, Hume

  c. Bergson (Yahudi-Paris) berpandangan bahwa manusia bukanlah substansi, karena substansi adalah sesuatu yang mati/statis. Sedang AKU adalah dinamisme hidup dan dinamisme hidup itu bersifat kreatif. Tenaga dasar yang menggerakkan seluruh dinamisme hidup adalah l’elan vital (semangat hidup) dan l’elan vital itu hanya dapat diketahui manusia melalui intuisi langsung.

  d. Positivisme berpandangan bahwa realitas yang benar adalah yang bisa diukur menurut kategori ilmu-ilmu positif. Sedangkan substansi adalah sesuatu yang tidak bisa diukur. Maka Positivisme menolak substansi e.

  I. Kantberpandangan bahwa Aku Transendental merupakan syarat mutlak untuk semua pengetahuan. Aku Transendental bukanlah substansi, sebab substansi adalah satu dari 12 kategori a priori akal 22 Hume, misalnya, menolak substansi manusia, karena “aku” tidak lain hanya merupakan berkas

  

fenomena kesadaran, yang mengalir dan berturut-turut secara terus-menerus tanpa ada kepastian apa pun dan tanpa ada “aku” tetap. 23 budi. Aku Transendental hanyalah idea yang bisa dipikirkan, tetapi tidak bisa diketahui secara konseptual.

  1.1.2 Filsuf Yang Menerima Substansi Mutlak, Tetapi Dalam Arti Yang Terlalu Sempit

  a. Parmenides (Monisme) berpandangan bahwa “hanya ada satu substansi mutlak”, yakni “yang ada”, dan “yang ada” itu adalah “ada”. Tidak ada tempat bagi substansi manusia yang bersifat

  b. Descartes mendasarkan pandangan filsafatnya pada prinsip kesadaran subjektif: cogito ergo sum. Manusia memiliki kepastian mutlak mengenai adanya sendiri, sebab dipahami dengan jelas dan tepat, hal mana menjadi patokan bagi semua hal yang dipahami sebagai benar dan tepat bahwa itu benar.

  Cogito (aku yang berpikir) adalah substansi spiritual yang berdikari/mandiri, tanpa membutuhkan sesuatu yang lain.

  c. Spinoza (Yahudi-Spanyol) berpandangan bahwa “hanya ada satu substansi mutlak”, dan substansi mutlak itu adalah Allah sendiri. Yang bukan Ilahi, termasuk manusia bukanlah substansi, tetapi hanya merupakan cara berada (modus) dari sifat (attributus) ilahi. Maka

  d. Malebranche & Leibniz berpandangan bahwa “aku” adalah substansi rohani yang bersifat tertutup. Semua idea sudah ada di dalam substansi rohani. Maka “aku” tidak ada hubungan dengan “kamu” (dunia luar), hanya ada hubungan dengan Tuhan melalui intuisi, dan melalui itu juga tahu tentang dunia luar. Leibniz menambahkan bahwa “aku” telah menerima ide-ide tentang dunia luar sejak kelahiran.

  e. Fichte, Schelling, Hegel (para filsuf idealisme) berpandangan bahwa hanya ada satu realitas, yaitu Aku yang absolut. Manusia individual hanya merupakan momen atau unsur di dalam (perkembangan) kesadaran Aku mutlak. Hal ini dibuktikan melalui ajaran dialektis Hegel: Tesis : roh mutlak yang kekal adalah Allah Anti Tesis : materi adalah yang berlawanan dengan roh mutlak. Sintesis : kesadaran manusia bahwa roh yang ada pada manusia 24 adalah roh mutlak

  

Menurut Parmenides, “Ada itu Ada”. Ada itu harus sempurna, Ada itu harus kekal dan Ada itu

25 bukan ada plural.

  

Jika aliran Pantheisme berpandangan bahwa seluruh dunia adalah bagian dari Allah, maka

Spinoza mengemukakan prinsip panentheisme (en: di dalam): kita semua berada di dalam

Allah, karena: Deus sive natura (Tuhan adalah natura/alam); menurut Spinoza, ada dua macam

Natura, yaitu, natura naturans (alam yang melahirkan) dan natura naturata (alam yang 26 dilahirkan). Maka Spinoza menyimpulkan bahwa kita semua ada di dalam Allah

  1.1.3 Pendapat Yang Lebih Seimbang

  a. Neo-Thomism (pengikut Thomas Aquinas) menyempurnakan metode Kant, yakni metode transcendental, yang mana manusia mengeksplisitkan pengakuan mutlak akan adanya diri sendiri, yang diandaikan oleh fakta keputusan dan yang dituntut oleh kepastian keputusan itu. Aliran ini berpandangan bahwa manusia adalah makhluk sosial, “aku selalu berhubungan dengan yang lain”.

  b. Eksistensialisme berpandangan bahwa “manusia adalah makhluk Eksistensi menunjuk kepada cara berada manusia yang khas, yang membedakannya dari semua hal yang lain. Hanya manusia yang ber- eksistensi dengan keterbukaan hakiki bagi yang lain. Heidegger mengatakan bahwa manusia adalah Da Sein (sein: ada/berada, da: di sana),yang berarti “mengemukakan diri keluar”. Jadi sifat hakiki manusia adalah berada di dalam dunia. Dengan cara tertentu manusia mengatasi dirinya (transenden) dan keluar dari dirinya sendiri menuju kepada “yang lain”. Mengintegrasikan pandangan fenomenologis, bahwa kesadara manusia secara hakiki berisifat “intensional”, karena:

  a. kesadaran manusia diarahkan kepada suatu objek tertentu (bukan hanya cogito, tetapi cogito aliquid – sbg koreksi bagi Descartes. b. Objek itu lain daripada kesadaran manusia itu sendiri, sehingga tidak pernah dapat dikembalikan dan disamakan dengan kesadaran sendiri (sebagai koreksi bagi Hegel). c. Sifat “intensional” itu bukan hanya suatu ‘sifat tambahan’ pada kesadaran, melainkan seluruh kesadaran sama dengan arah ‘keluar’ itu; keterarahan itu merupakan inti sari seluruh kesadaran. d. Kesadaran itu tidak hanya memuat unsur pengertian saja, melainkan juga aspek afektif (perasaan) dan aspek

  1.2 Manusia Menyadari Diri Sebagai Aku Yang Otonom 1.2.1 “AKU”

  Kita hendak memulai penelitian filosofis dengan bertolak dari gejala-gejala manusia seekstensif mungkin. Kita memperhatikan harapan, kecemasan, kerinduan, pikiran, perasaan, kehendak, pengalaman, rencana, dll. Kita amati semua gejala itu. Gejala-gejala itu tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan “aku”, sehingga dapat dikatakan: pikiran-ku, perasaan-ku, pengalaman-ku, dst… Juga objek kesadaran selalu dihubungkan dengan “aku”, sehingga disebut: rumah-ku, teman-ku, buku-ku, kampung-ku, dst…

  27 28 termasuk di sini adalah Karl Rahner, Marc, Lonergan, dll

to exist is to co-exist (berada adalah berada bersama; berada berarti mengada secara sadar

29 bersama yang lain).

  Meskipun sangat kompleks menurut keseluruhannya, tetapi semua fenomena itu Fenomen AKU itu termuat dalam semua fenomen lain, dan merupakan aspek asali yang meresapi dan mewarnai semuanya (entah itu keputusan, perbuatan, pertanyaan, pengalaman, dst maupun objek kesadaran).

  Maka di balik semua gejala manusiawi hanya ada satu fenomen yang paling dasar, yaitu

  1.2.2 “AKU ADA” AKU sebagai fenomena dasar/fakta induk yang mendasari semua gejala lain, tidak dapat disangkal dengan cara apa pun. Maka “AKU” mesti (niscaya) ada. Seandainya saya menyangkal secara eksplisit tentang kenyataan absolut bahwa ‘aku’ ada, maka secara implisit saya membatalkan pendapat saya sendiri, sebab ‘aku’-lah yang menyangkal, bukan d/l: “AKU ada saat ini merupakan kenyataan mutlak dan niscaya. Dia tidak

  1.2.3 “AKU SUBSTANSI” AKU sebagai SUBSTANSI memiliki tiga ciri khas:

  a. AKU sebagai SUBSTANSI selalu bersifat TERTENTU Kesadaran akan AKU sebagai fakta induk bukanlah sesuatu yang umum, dan bukan pula sebagai sesuatu yang kosong. Aku mempunyai isi tertentu dengan identitas dan batas-batasnya sendiri.

  b. AKU sebagai SUBSTANSI merupakan kesatuan YANG UTU AKU ini identik dengan diriku sendiri. Aku tidak terbagi-bagi atau terpecah melawan diriku, melainkan merupakan kesatuan yang utuh. Meskipun AKU (mungkin) tidak dapat mengatakan dengan tepat apa yang termasuk AKU dan apa yang tidak termasuk AKU, tetapi AKU tetap satu kesatuan yang UTUH.

  c. AKU sebagai SUBSTANSI itu OTONOM/BERDIKAR AKU bukanlah merupakan satu bagian (atau tambahan) dari satu keseluruhan yang 30 lebih besar atau lebih luas. Aku ada di dalam kekuasaanku sendiri, dan secara jelas

  Sebagai ilustrasi: saya sadar akan uang yang sedang saya hitung, dan di dalamnya saya

sadar akan kesadaran itu. Saya sadar bahwa saya tahu, saya rasa,saya memilih. Semua gejala

31 itu saya sadari dalam hubungan dengan saya. Jadi semuanya berpusat pada saya.

  

AKU memiliki beberapa makna: Aku Shifter: aku linguistik (aku nama), Aku Eksistensial (aku

yang memiliki pikiran): pribadi yang mengklaim, misalnya “ini pendapat saya…”, “ini pikiran 32 saya…” dst… 33 Secara implisit saya sadari bahwa aku-lah yang menyangkal secara eksplisit.

  

Mutlak atau absolut di sini tidak dalam pengertian berlawanan dengan relatif. Mutlak di sini

menunjukkan *keharusan dan keniscayaan; *kenyataan yang tak-tersangkal, tidak boleh tidak

ada baik menurut adanya maupun menurut pemahamannya; dan *selalu dan dimana-mana

berlaku. “Saya sadar bahwa saya ada” adalah kenyataan yang tidak seorangpun atau apapun

34 yang dapat menyangkalnya. 35 Tertentu berarti tidak bisa ditukar, tiada duanya, dan tidak bisa diganti.

  Utuh berarti tidak terbagi/terpecah melawan diri sendiri. Dalam (konteks) pengertian ini, sikap frustasi, menyesali diri, mengutuk diri, dst… adalah bentuk sikap yang melawan diri 36 sendiri, yang menghancurkan diri pribadi. berbeda dari semua yang lain. AKU sendirilah yang merupakan pusat yang OTONOM, sebab AKU sanggup menentukan sendiri dan mengatur diriku sendiri. Aku bersifat unik (unique): hanya AKU-lah yang seperti AKU, dan tidak akan pernah ada yang lain yang seperti AKU, yang memahami dan menyadari diriku tepat seperti AKU memahami dan menyadari diriku sendiri. AKU yang OTONOM itu bersifat unik (unique) berarti AKU itu tiada duanya, dan tidak tergantikan. Dengan mewujudkan ketiga ciri tersebut di atas, maka AKU adalah SUB yang unik dan khas. 1.2.4 “AKU SUBJEK”

  Pengakuan akan diri sendiri bukan merupakan perasaan belaka atau pernyataan netral saja, tetapi melampaui sekedar perasaan. AKU sebagai SUBJEK adalah sumber

  otonom dan sadar bagi semua gejala dan kegiatan say

  a. AKU adalah SUBJEK yang memiliki PENGERTIAN Manusia mempunyai pengertian, dan dengan pengertian itu dia sanggup memahami segala realitas (banyak hal). Melalui semuanya itu, AKU mampu mengenal dan tahu tentang diriku sendiri. AKU sanggup memikirkan diriku melalui atau di dalam sebuah refleksi, mengecek atau memeriksa dan akhirnya mengafirmasi bahwa inilah AKU, inilah dirik

  b. AKU adalah SUBJEK yang memiliki KEHENDAK Aku juga menghendaki diriku sendiri. Aku menerima dan menyetujui diriku. Ketika saya menghendaki dan memilih hal-hal khusus untuk diriku, maka saya sebenarnya menghendaki diriku sendiri Tetapi dengan menolak hal- hal atau aspek tertentu dalam diriku itu, sebenarnya dengan itu pula saya secara lebih tegas menghendaki diriku yang lebih baik

  c. AKU adalah SUBJEK yang memiliki RASA

  37 Substansi dari kata substantia (L: sub-: di bawah, dan stare: berdiri), yang secara harafiah berarti berdiri di bawah atau terletak di bawah. Maka Substansi adalah semua yang berdiri di bawah dan mendasari semua yang lain yang sekunder. Namun dalam perkembangan arti,

kemudian pengertian substansi menjadi sama dengan pengertian kata subsistentia (subsisten):

bertahan terus dalam keadaannya sendiri. Dalam pemahaman ini, maka AKU sbg SUBSTANSI

sama dengan AKU yang Subsisten: yang berarti bahwa di balik semua fenomena yang khusus,

yang berbeda-beda, yang terpecah-pecah… ada fakta induk AKU, yang satu, tetap, unik dan mandiri. 38 Subjek dari kata subicere (L) arti harafiahnya: “melemparkan di bawah” atau “yang berbaring di bawah”. Dari pengertian harafiah itu, Subjek di sini bukan dalam pengertian linguistik, tetapi menurut arti metafisis. 39 Cogito me ipsum (saya memikirkan diriku sendiri) 40 Volo me ipsum, Eligo me ipsum (saya menghendaki diriku sendiri, saya memilih diriku sendiri). 41 Misalnya bentuk badan, warna kulit, bentuk rambut, dll 42

   tetapi

  kita harus bisa membedakan perasaan yang sederhana yang juga ada pada binatang (rasa panas, dingin, haus, lapar, ingin (pada tingkat tertentu), marah, takut, dll), dengan rasa yang mendalam yang hanya ada pada manusia (spt. rasa Secara keseluruhan, AKU merasakan diriku sendiri.

  d. AKU adalah SUBJEK yang DINAMIS Saya tidak menerima dengan pasif atau menerimanya sebagai sesuatu yang tetap sama, tetapi saya mengakui diri, mengadakan dan menjamin kesatuan diriku.

  Saya akhirnya menemukan kesadaran akan AKU sendiri, sebagai fakta induk yang tak terbantahkan. AKU adalah utuh, orisinil yang membedakan AKU dari apapun yang lain. Substansi yang mendasari keberadaanku itu saya miliki dengan tahu dan mau, sadar, dan dinamis, sehingga subjektivitas sejatiku terwujud.

  1.3 Manusia Menyadari Yang Lain Sebagai Yang Otonom

  1.3.1 Yang Lain Pada Umumnya Pengakuan akan ada-ku pada pokoknya selalu mengandaikan dan menuntut keberadaan yang lain. Ketika AKU mengakui diriku sendiri, maka secara implisit terkandung pengertian bahwa aku lain dari yang lain, dan aku adalah bukan yang lain. Dengan melawankan diriku dengan yang lain yang bukan diriku, justru mengandung Saya hanya dapat memahami diri sebagai AKU yang tertentu jika ada yang lain yang kusapa sebagai ENGKU dan DIA. AKU hanya aku ini jika ada engkau itu dan dia itu. Maka yang lain itu juga adalah tertentu. Jadi, pengakuan akan AKU sendiri mengandaikan dan menuntut pengakauan akan YANG LAIN sebagai syarat mutlak. Maka keberadaan yang lain itu adalah mutlak.

  YANG LAIN itu juga adalah satu-utuh, mandiri dan adalah substansi yang otonom. Meskipun saya belum dapat memastikan secara eksplisit tentang yang lain itu secara tepat, namun ADA-nya YANG LAIN adalah tak-tersangkalkan.

  1.3.2 Yang Lain Sebagai Subjek dan Infrasubjek 43 44

infrahuman: (infra: di bawah) lebih rendah dari manusia, termasuk binatang & makhluk lain.

  

Untuk membantu pemahaman kita tentang hal ini, kita perlu secara lebih jeli membedakan

beberapa term yang sering kita pakai dalam keseharian. Mis. Keingingan & Kerinduan (Keinginan itu terbatas pada objek tnt, sedangkan Kerinduan itu tidak terbatas, merupakan dambaan abadi dan hanya dapat dipenuhi oleh yang tidak terbatas), Takut & Cemas (Takut: 45 terhadap objek tertentu, sedangkan Cemas itu tidak tertentu, kosong/tidak teridentifikasi). 46 Possum facere me ipsum (saya melaksanakan diriku sendiri).

  

Contoh: saya hanya bisa ada sebagai murid jika ada yang lain sebagai guru; saya hanya bisa a. AKU menemukan diriku sebagai aku, yang berbeda dari aku-aku yang lain. Fakta induk, yakni kesadaran tentang ADA-KU, selalu memuat juga kesadaran akan manusia lain, yang memiliki dirinya sendiri secara sadar. Maka, yang lain sebagai manusia itu adalah Subjek.

  b. Jika AKU mengakui keberadaanku dan yang lain sebagai Subjek, maka hal itu selalu mengandaikan adanya substansi lain, yang tidak sampai pada taraf keberadaannya