Environmental Awareness in Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis Lustantini Septiningsih
KEPEDULIAN LINGKUNGAN DALAM JAMANGILAK TAK PERNAH MENANGIS
Environmental Awareness in Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis
Lustantini Septiningsih
Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta 13220
HP: 08129816429, Pos-‐el: lustantini@yahoo.com
(Makalah Diterima Tanggal 9 Desember 2014—Direvisi Tanggal 6 Maret 2015—Disetujui Tanggal 5 Mei 2015)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kepedulian lingkungan dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penelitian dilakukan atas dasar fakta yang ada sehingga pemerian yang dikemukakan sesuai dengan fakta. Untuk mengetahui kepedulian terhadap lingkungan yang terdapat dalam novel Jamangilak Tak Pernah Menangis digunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu bentuk penelaahan sastra yang mempertimbangkan unsur sosial atau kemasyarakatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepedulian yang dilakukan oleh tokoh Molek meliputi kepedulian terhadap sungai, kepedulian terhadap Danau Toba, dan kepedulian terhadap moral. Kepedulian Molek tersebut didasari oleh tidak adanya tindakan pemerintah dalam melihat daerah yang mengalami pendangkalan sungai serta adanya polusi air dan udara dari limbah pabrik bubur kayu. Kepeduliannya terhadap moral didasari oleh tanggung jawab Molek sebagai ibu yang selalu menanamkan ajaran agama dan nilai kehidupan yang berlaku dalam masyarakat dalam mendidik anaknya.
Kata-‐Kata Kunci: kepedulian, lingkungan, faktor alam, faktor manusia
Abstract: This research aims to describe environmental awareness in novel Jamangilak Tak Pernah Menangis by Martin Aleida. The method used in this research is descriptive method; the research was conducted based on fact so that the description presented was consistent with the fact. To identify the awareness on environmental issues in Jamangilak Tak Pernah Menangis, the researcher used the sociology of literature approach which is a form of literary study considering society factor. The result of this research shows careness which conducted by Molek’s figure includes careness of river, careness of lake Toba, and careness of moral. Those careness based on none of government’s action to views the area affected by river depth of air and water pollution from the industrial wood pulp. The careness of moral based on her responsibility as a mother who always instilled religion and the value of life which applicable in society in educating her child.
Key Words: concern, environment, nature factor, human factor
PENDAHULUAN
selain kerugian materi, tidak sedikit ling-‐ Keberadaan lingkungan di Indonesia
kungan menjadi rusak yang menyebab-‐ akhir-‐akhir ini cukup memprihatinkan.
kan masyarakat tidak dapat beraktivitas. Setelah tsunami di Aceh, disusul mele-‐
Apabila diperhatikan, kerusakan ling-‐ tusnya Gunung Slamet di Banyumas dan
kungan tersebut tidak hanya disebabkan Gunung Sinabung di Medan, serta keba-‐
oleh faktor alam, tetapi juga oleh faktor karan hutan yang terjadi di berbagai
manusia. Bahkan kerusakan lingkungan wilayah Sumatera. Akibat peristiwa itu,
yang disebabkan oleh faktor manusia
ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 63—74
cenderung lebih besar dibandingkan de-‐ ngan faktor alam. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan akibat ulah manusia yang berlangsung terus-‐mene-‐ rus.
Upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak swasta. Dibentuknya Undang-‐Undang Pokok Ag-‐ raria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Tata Guna Tanah, Undang-‐Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peratur-‐ an Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Ling-‐ kungan (Amdal), dan pembentukan Ba-‐ dan Pengendalian Lingkungan (1991) merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan perusakan lingkungan. Adanya organisasi lingkungan, yaitu Wa-‐ hana Lingkungan Hidup Indonesia (Wal-‐ hi), sebagai bentukan lembaga sosial ma-‐ syarakat merupakan partisipasi masya-‐ rakat dalam menyelamatkan lingkungan.
Dalam bidang seni (sastra), rasa ke-‐ pedulian terhadap lingkungan juga telah ditunjukkan oleh para sastrawan melalui karyanya. Sebagai anggota masyarakat, sastrawan tidak menutup mata dan teli-‐ nga terhadap keadaan lingkungannya. Apa yang dilihat dan dialami mengenai lingkungannya itu diekspresikan dalam bentuk karya sastra. Dengan demikian, masyarakat yang membaca karya mere-‐ ka akan memperoleh pemahaman ten-‐ tang berbagai permasalahan lingkungan. Apabila kita membaca puisi “Sungai Cili-‐ wung yang Miskin” karya Slamet Sukirnanto, misalnya, kita akan menge-‐ tahui bahwa penyair menyebut Sungai Ciliwung di Jakarta miskin karena ku-‐ rang mendapat perhatian sehingga kalau musim hujan, sungai itu banjir dan kalau musim kering, bau sungai itu tidak sedap akibat sampah menumpuk. Selain itu, ki-‐ ta juga dapat mengetahui peran tukang sampah dalam “Potret Tukang Sampah” karya Eka Budianta. Dalam puisi itu, Eka
mengemukakan bahwa pekerjaan tu-‐ kang sampah tidak dapat diremehkan karena jasanya dapat menjadikan ling-‐ kungan (kota) bersih. Dengan demikian, karya satra sebagai ungkapan jiwa pe-‐ ngarang terhadap kehidupan berman-‐ faat bagi pembaca.
Dalam perkembangannya, banyak pengarang Indonesia yang peduli terha-‐ dap lingkungan. Di antara mereka, Eka Budianta dikenal sebagai pengarang lingkungan hidup karena hampir semua tulisannya mengangkat masalah lingku-‐ ngan, sehingga mantan menteri penera-‐ ngan Boediarjo menyebutnya sebagai sastrawan dan pejuang lingkungan (Ertato, 2012:59).
Pada umumnya, pengarang meng-‐ angkat masalah lingkungan itu dituang-‐
kan dalam bentuk puisi. Tema yang di-‐ angkatnya bermacam-‐macam, mulai dari masalah lingkungan rumah tangga sam-‐ pai dengan lingkungan negara. Hal itu menunjukkan adanya berbagai masalah lingkungan di Indonesia yang perlu di-‐ perhatikan.
Permasalahan lingkungan juga ditu-‐ lis oleh pengarang dalam bentuk prosa, seperti novel. Salah satu pengarang no-‐ vel yang mengangkat masalah lingkung-‐ an adalah Martin Aleida dalam karyanya Jamangilak Tak Pernah Menangis. Novel tersebut melukiskan perjuangan tokoh perempuan, Rahma boru Saragi atau Molek, dalam mengatasi kerusakan ling-‐ kungan. Perjuangan untuk menyelamat-‐ kan lingkungan penuh tantangan dan berisiko. Hal itu ditunjukkan dengan ber-‐ bagai usaha, tetapi ia justru mendapat hukuman dua tahun penjara. Namun, ke-‐ adaan itu tidak menjadikannya jera kare-‐ na ia masih bercita-‐cita menyelamatkan lingkungan yang belum berhasil diperju-‐ angkannya setelah keluar dari penjara.
Menurut pengamatan penulis, pene-‐ litian tentang kepedulian lingkungan dalam karya sastra, terutama dalam no-‐ vel, belum banyak dilakukan. Penelitian
Kepedulian Lingkungan ... (Lustantini Septiningsih)
yang dilakukan oleh Santosa (2011), memfokuskan pada analisis makna dan pesan dalam puisi lingkungan hidup. Tulisan lain berupa makalah ditulis oleh Mahayana (2008) dengan judul “Lingku-‐ ngan Hidup dalam Sastra”. Dalam tulisan itu Maman menyoroti pengarang yang menulis masalah lingkungan. Oleh kare-‐ na itu, penelitian mengenai kepedulian lingkungan perlu dilakukan guna meng-‐ gali kepedulian lingkungan yang tertu-‐ ang dalam karya sastra Indonesia, khu-‐ susnya dalam novel Jamangilak Tak Per-‐ nah Menangis (selanjutnya disingkat JTPM) karya Martin Aleida ini.
Novel JTPM merupakan karya yang mengandung kepedulian lingkungan, baik yang tecermin dari perilaku tokoh-‐ nya maupun peristiwa yang mewarnai keseluruhan novel. Untuk memahami kepedulian lingkungan, novel tersebut akan dianalisis dengan metode deskrip-‐ tif. Berdasarkan hal tersebut, yang men-‐ jadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kepedulian lingkungan yang dilukiskan pengarang dalam novel ini. Tujuan penelitian ini adalah mendes-‐ kripsikan kepedulian lingkungan dalam novel JTPM. Dengan tujuan tersebut di-‐ harapkan agar pembaca memiliki kesa-‐ daran untuk peduli terhadap lingkung-‐ annya dengan berbagai cara, misalnya ti-‐ dak membuang sampah di sungai, tidak mencemari lingkungan dengan limbah, dan menjaga perilaku dalam pergaulan.
TEORI
Untuk menganalisis karya sastra dapat digunakan berbagai pendekatan, antara lain pendekatan biografi sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sas-‐ tra, historis, mitopik, ekspresif, pragma-‐ tik, mimetik, dan objektif (Ratna, 2008:55). Kepedulian lingkungan dalam novel ini merupakan gambaran perilaku dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dengan menggunakan teori
sosiologi sastra. Dasar pendekatan ini adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat. Hubungan itu disebabkan oleh (1) karya sastra di-‐ hasilkan oleh pengarang, (2) pengarang adalah (anggota) masyarakat, (3) penga-‐ rang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (4) hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat (Ratna, 2008:61). Menurut Damono (1984:9), sosiologi dan sastra saling me-‐ lengkapi karena objeknya sama, yaitu manusia dan masyarakat. Jadi, sosiologi dapat memberikan penjelasan yang ber-‐ manfaat tentang sastra. Tanpa sosiologi, pemahaman pembaca mengenai sastra belum lengkap (Damono, 1984:11).
Dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak dapat lepas dari fakta
sejarah dan sosial budaya (Teeuw, 1983:2). Setiap zaman atau periode kar-‐ ya itu dibentuk oleh berbagai faktor dan kondisi sehingga hasil karyanya pun pa-‐
da setiap zamannya berbeda. Menurut Grebstein (dalam Damono, 1984:4), kar-‐ ya sastra tidak dipahami secara lengkap jika dipisahkan dari lingkungan atau ke-‐ budayaan yang menghasilkannya. Oleh karena itu, sastra harus dipelajari dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya dalam dirinya sendiri.
Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara, 2003:79), mengemukakan tiga perspektif berkaitan dengan sosiolo-‐ gi sastra, yaitu (1) penelitian yang me-‐ mandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan re-‐ fleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang meng-‐ ungkap sastra sebagai situasi sosial pe-‐ nulisnya, dan (3) penelitian yang me-‐ nangkap sastra sebagai manifestasi pe-‐ ristiwa sejarah dan keadaan sosial buda-‐ ya. Junus (1986:1) mengemukakan tiga pendekatan sosiologi sastra, yaitu (1) pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosio budaya, (2) pendekatan yang memandang
ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 63—74
kedudukan sosial pengarang, dan (3) pendekatan yang menekankan pada re-‐ sepsi masyarakat terhadap suatu karya pengarang tertentu. Penelitian ini me-‐ mandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang menjadi gambaran suatu za-‐ man tertentu yang monumental sekali-‐ gus estetis (Wellek, 1983:111).
Dalam penelitian ini pengertian “ke-‐ pedulian lingkungan” ditekankan pada sikap masyarakat (tokoh) dalam menyi-‐ kapi lingkungannya. Kata “kepedulian” berarti hal sangat peduli (mengindah-‐ kan; memperhatikan; menghiraukan); sikap mengindahkan (Kamus Besar Ba-‐ hasa Indonesia, 2008:1036). Sedangkan “lingkungan” berarti (1) daerah (kawas-‐ an) yang termasuk di dalamnya; (2) ba-‐ gian wilayah dalam kelurahan yang me-‐ rupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa; (3) golongan; kala-‐ ngan; (4) semua yang memengaruhi per-‐ tumbuhan manusia atau hewan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:831). Pan-‐ dangan lain menyebutkan lingkungan yang mengacu pada lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi, terma-‐ suk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ru-‐ ang tempat manusia berada dan meme-‐ ngaruhi hidup serta kesejahteraan ma-‐ nusia dalam jasad hidup lainnya (Siahaan, 2004). Dalam Undang-‐Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingku-‐ ngan Hidup menyebutkan bahwa lingku-‐ ngan hidup adalah kesatuan ruang de-‐ ngan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelang-‐ sungan peri kehidupan dan kesejahte-‐ raan manusia serta makhluk hidup. Ber-‐ dasarkan definisi tersebut, “kepedulian lingkungan” mempunyai cakupan yang meliputi manusia, flora, dan fauna.
Di samping itu, dalam lingkungan terdapat istilah “kepedulian lingkungan” manusia (ekologi manusia). Dalam eko-‐ logi manusia dipelajari hubungan antara
manusia dan lingkungannya (termasuk iklim dan tanah) dan pertukaran energi dengan makhluk hidup lainnya, terma-‐ suk tanaman, binatang, dan kelompok manusia yang lain (Koentjaraningrat, 1984:372—373). Menurut Aryandini S. (2002:10), “lingkungan” dapat menca-‐ kup “lingkungan alam”, “lingkungan ma-‐ nusia”, dan “lingkungan sosial” . Dengan demikian, dalam penelitian ini konsep “kepedulian lingkungan” yang dimaksud mencakup tiga unsur, yaitu unsur hayati (biotik), unsur fisik (abiotik), dan unsur sosial budaya. Unsur hayati adalah ling-‐ kungan hidup yang terdiri atas makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-‐ tumbuhan, dan jasad renik. Unsur fisik adalah lingkungan hidup yang terdiri atas benda tidak hidup, seperti air, uda-‐ ra, tanah, dan iklim. Unsur sosial budaya adalah lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan da-‐ lam perilaku sebagai makhluk sosial.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian des-‐ kriptif dengan novel JTPM sebagai data yang dianalisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan data yang terda-‐ pat dalam novel, kemudian dianalisis. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik studi pustaka.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kepedulian terhadap Sungai
Sungai merupakan bagian dari alam yang melingkungi manusia. Oleh karena itu, manusia tidak dapat dipisahkan dari sungai. Kerusakan lingkungan, seperti sungai, jika dibiarkan akan mengganggu kehidupan manusia. Masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada sungai dapat kehilangan pekerjaannya. Dalam novel JTPM, dilukiskan tokoh perempuan, Rahma boru Saragi atau Molek, yang tidak dapat berdiam diri
Kepedulian Lingkungan ... (Lustantini Septiningsih)
melihat sungai di daerahnya mengalami kesadaran masyarakat terhadap lingku-‐ kerusakan, yaitu pendangkalan sungai.
ngannya masih kurang. Apabila mereka Keadaan itu sudah berlangsung lama,
peduli, mereka tidak meninggalkan kam-‐ sehingga mengakibatkan sungai itu tidak
pung halamannya, tetapi membantu usa-‐ dapat lagi memberikan manfaat bagi
ha yang dilakukan Molek. Paradigma penduduk, karena berwarna keruh dan
berpikir dan cara pandang mereka dan sampahnya menumpuk.
Molek terhadap sungai itu memengaruhi Bagi Molek, kerusakan sungai tidak
sikap mereka dalam melihat kerusakan harus ditinggalkan, tetapi harus diatasi.
sungai. Masyarakat memandang bahwa Apalagi, sungai di daerah itu sudah men-‐
sungai tidak lagi memiliki nilai ekonomis jadi tempat bergantung penduduknya.
sehingga mereka tinggalkan. Sementara Sebagai bentuk kepeduliannya, Molek ti-‐
itu, Molek berpandangan bahwa menye-‐ dak meninggalkan kampung halaman-‐
lamatkan sungai itu lebih penting demi nya seperti penduduk di sekitar sungai
kelangsungan hidup berkelanjutan. Ke-‐ yang pindah ke daerah lain untuk men-‐
salahan paradigma berpikir dalam me-‐ cari pekerjaan. Suami Molek, Jakobsi,
mandang masalah pendangkalan sungai yang juga pergi direlakannya.
dapat menyebabkan krisis dan bencana Yang menjadi masalah bagi Molek
lingkungan hidup (Prantara, 2014:28). adalah tidak adanya dukungan pendu-‐
Hal seperti itulah yang juga dikhawatir-‐ duk terhadap apa yang ia lakukan. De-‐
kan Molek.
ngan demikian, ia melakukan penyela-‐ Cara yang dilakukan Molek dalam matan sungai dengan caranya sendiri.
menyelamatkan sungai tergolong aneh. Usaha yang dilakukan Molek sederhana.
Untuk mengatasi pendangkalan sungai, Setiap pagi ia mendatangi sungai itu. Di
bukannya melakukan pengerukan, tetapi pinggir sungai itu ia merenung mengenai
hanya merenung di sungai. Akibatnya, sungai yang dahulu memberi kehidupan
Molek mendapat ejekan dari masyara-‐ penduduknya, tetapi kini ditinggalkan
kat. Ia dikatakan sebagai si Tuktuk Ka-‐ karena tidak lagi dapat memberikan ke-‐
pur, yaitu burung yang bermuka buruk. hidupan kepada mereka. Kerusakan su-‐
Menurut cerita, burung itu diajak setan ngai dalam novel tersebut dilukiskan se-‐
turun ke bumi untuk melenyapkan bani bagai berikut.
Malayu. Oleh karena itu, burung tersebut kerjanya hanya mematuki, menggerogo-‐
Sekarang, air itu berubah menjadi ku-‐
ti, dan melinggis tiang rumah panggung
sam, cokelat kehitam-‐hitaman. Dan,
supaya runtuh (hlm. 30). Pekerjaan bu-‐
aromanya pun sudah tak surgawi lagi.
rung itu disamakan dengan pekerjaan
Baunya lebih menyengat daripada daun
Molek yang setiap pagi merenung di su-‐
pandan yang busuk. Sedangkan ham-‐
ngai. Namun, Molek tidak memedulikan-‐
paran kosong di tengah sungai, nun
nya. Suaminya yang merasa malu de-‐
persis di depan pelabuhan sana, meng-‐ ganas dengan leluasa. Menghimpun pa-‐
ngan perilaku itu juga tidak dipedulikan-‐
sir yang tiada terkira jumlahnya. Mula-‐
nya. Baginya, cara yang dilakukannya,
mula membuat alur sungai menjadi
apa pun bentuknya, merupakan usaha
dangkal. Kemudian, melalui proses tim-‐
dalam mengatasi kerusakan sungai.
bun-‐menimbun yang berlangsung ber-‐
Untuk mengatasi pendangkalan su-‐
tahun-‐tahun, butir-‐butir pasir memben-‐
ngai, memang tidak dapat dilakukan se-‐
tuk diri menjadi pulau yang menyesak-‐
orang diri, apalagi masalah kerusakan
kan dada. (Aleida, 2004:2)
sungai bukan merupakan masalah yang sederhana. Hal itu disadari oleh Molek
Dengan menampilkan permasalah-‐ sehingga ia melakukan cara lain agar an itu, pengarang menunjukkan bahwa
ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 63—74
usahanya berhasil. Ia mengajak peme-‐ pengarang kepada pemerintah bahwa rintah daerah dengan mendatangi bupati
pemerintah tidak dapat mengelola pajak guna meminta bantuannya. Molek ber-‐
guna menyejahterakan rakyat. Selain harap bupati akan peduli terhadap keru-‐
bupati, Molek juga mendatangi Dewan sakan sungai dan mau membantunya.
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) un-‐ Untuk mewujudkan harapan itu, Molek
tuk meminta bantuan. Ia mendatangi meminta agar bupati menggunakan pa-‐
DPRD karena DPRD merupakan tempat jak yang dihimpun dari masyarakat un-‐
untuk mencurahkan segala aspirasi ma-‐ tuk mengatasi kerusakan sungai.
syarakat. Mereka berkewajiban mem-‐ Pengarang menyinggung masalah
perjuangkan aspirasi rakyat. Namun, pajak dalam penyelamatan sungai kare-‐
usaha Molek menemui anggota dewan na untuk mengatasi infrastruktur, seper-‐
gagal karena mereka sedang ke luar ti kerusakan sungai, pembiayaannya dari
kota. Bagi Molek, kegagalan itu tidak pajak. Dalam JTMP dilukiskan bahwa
menjadikannya putus asa. Ia tetap ber-‐ masyarakat patuh membayar pajak se-‐
usaha menemui bupati dan anggota de-‐ hingga logis apabila Molek meminta bu-‐
wan (hlm. 35).
pati agar melakukan penyelamatan su-‐ Penguasa yang tidak peduli atau ti-‐ ngai dengan menggunakan uang pajak,
dak dengan cepat merespons aspirasi yaitu uang rakyat yang disetorkan kepa-‐
masyarakat menjadikan masyarakat
da kas negara berdasarkan undang-‐un-‐ bersikap lebih tegas, bahkan dapat me-‐ dang. Namun, keinginanannya bertemu
nimbulkan kekacauan sosial. Dalam no-‐ dengan bupati tidak terpenuhi karena
vel JTPM hal itu dilukiskan dengan sikap bupati tidak ada di rumah. Sikap Molek
Molek bersama anaknya, Hurlang, serta saat menemui bupati dilukiskan sebagai
masyarakat melakukan rapat akbar di berikut.
Lapangan Padang Bundar sebagai ben-‐ tuk protes karena tidak adanya respons
“Saya datang ke sini tidak untuk me-‐
dari pemerintah. Rapat bertujuan meng-‐
ngemis barang sebutir pasir pun. Saya
ingatkan pemerintah agar ikut menyela-‐
mau mempertanyakan ke mana saja
matkan sungai demi keberlangsungan
pajak puluhan tahun yang kami bayar.
hidup semua orang. Pidato yang diku-‐
Saya mau bertemu dengan Bupati.” Ke-‐
mandangkan penuh dengan protes, se-‐
tika dipertemukan dengan sekretaris
perti berikut ini.
bupati, Molek mengulangi lagi alasan-‐ nya untuk bertemu dengan penguasa
kecil dari kota kecil itu. “Apa maksud Katanya, kita berkumpul untuk men-‐ Ibu dengan mempermasalahkan pa-‐
syukuri sungai yang sudah berpuluh ta-‐ jak?” ”Berpuluh tahun suami saya dan
hun atau bahkan sudah berabad-‐abad para pedagang di kota ini, kecil maupun
menghidupi kita. Kita telah dibesarkan besar, menyerahkan pajak kepada pe-‐
sungai. Kita juga menimang dan mem-‐ merintah. Ke mana saja uang itu? Me-‐
besarkan anak serta cucu-‐cucu kita de-‐ ngapa tidak dipergunakan untuk me-‐
ngan rahmat yang dilimpahkan sungai ngeruk sungai? Kalau kota ini mati dan
kita itu. Tetapi, sebagaimana yang kita orang-‐orang semua pergi, apakah Bu-‐
lihat, kita tanggungkan derita yang di-‐ pati juga mau terbenam? Kan tidak?”
akibatkannya sekarang, sungai itu su-‐ (Aleida, 2004:33)
dah sejak lama meminta perhatian.
Lumpur dan pasir telah mendangkal-‐
kannya. Perdagangan sudah hampir
Berdasarkan kutipan tersebut, sikap
lumpuh. Darah kita terasa seperti mati
Molek yang meminta bupati untuk
mengalir. Ibu kota kabupaten pun
mengatasi kerusakan sungai dengan
sudah dipindahkan ke kota tetangga
menggunakan pajak merupakan kritik
Kepedulian Lingkungan ... (Lustantini Septiningsih)
yang dulu justru dihidupi kota kita ini,
limbah akan terganggu. Martin Aleida
ucapnya.
melihat hal seperti itu di Danau Toba,
... Di mana yang memerintah? Di mana
yang ia kemukakan melalui novelnya.
yang mengatur? Pemerintah macam
Adanya pabrik bubur kayu Rayon i
apa ini? Mengeduk uang dari sungai, ta-‐
Toba di Danau Toba merupakan akibat
pi menterbengkalaikannya. Yang mem-‐
kebijakan ekonomi pemerintah karena
bayar pajak bukan hanya para peda-‐ gang besar. Ingat, setiap barang yang ki-‐
pabrik itu memberikan keuntungan fi-‐
ta jual, semurah apa pun, menjadi sum-‐
nansial kepada pemerintah. Namun, pe-‐
ber penarikan pajak. Apa-‐apa yang kita
merintah tidak mengimbanginya dengan
beli juga dipajaki. Dan, kita yang me-‐
rasa berkeadilan kepada masyarakat de-‐
ngusung kehidupan kota ini. Sedangkan
ngan memperhatikan lingkungan. Aki-‐
pemerintah...? (Aleida, 2004:96—97)
batnya, masyarakat menerima dampak buruknya, yaitu air Danau Toba menjadi
Dalam rapat itu Molek mengingat-‐ kotor dan berbau tidak sedap. Hal itu di-‐ kan agar pemerintah turun tangan me-‐
lukiskan sebagai berikut. nyelamatkan sungai di daerahnya. Duku-‐ ngan dan bantuan pemerintah sangat di-‐
Tadi ketika lewat persis di seberang pe-‐
butuhkan oleh masyarakat. Namun ke-‐
nampungan pabrik itu Molek juga ber-‐
nyataannya pemerintah tidak memberi-‐
henti beberapa saat. Dia lihat air ber-‐
kan dukungan dan tanggapan apaapa se-‐
warna hitam kebiruan membalun-‐ba-‐
hingga cita-‐cita Molek untuk menyela-‐
lun menyosor dari celah pembatas, ber-‐
matkan sungai belum berhasil. Anggota gulung-‐gulung berbaur dengan air su-‐ dewan dan bupati seharusnya membela ngai. Tak tampak tanaman air, seperti
kiambang, dalam radius ratusan meter
kepentingan masyarakat. Akan tetapi
dan pusat pembuangan limbah itu. Air
mereka tidak memberikan perhatian ter-‐
sudah tidak jernih yang tampak dari
hadap usaha Molek. Bagi Molek, kepe-‐
jembatan tadi. Di sini air berwarna
duliannya terhadap sungai tidak mem-‐
aneh, hitam kebiruan. Kiambang yang
punyai tujuan apa-‐apa, selain menyela-‐
dibawa riak dari Danau Toba tampak
matkan sungai dari kerusakan.
tak berdaya dikuakkan oleh limbah yang
bergulung-‐gulung. (Aleida,
Kepedulian terhadap Danau Toba
Dalam era industrialisasi, di kota besar
banyak dibangun industri. Pembangun-‐ Berdasarkan kutipan tersebut, ting-‐ an industri akan memberikan banyak
kat kekotoran air dan udara Danau Toba manfaat bagi manusia karena kebutuhan
sangat membahayakan kehidupan ma-‐ manusia dapat terpenuhi dari hasil in-‐
syarakat sekitarnya. Orang dapat ter-‐ dustri tersebut. Selain itu, adanya pem-‐
jangkit berbagai penyakit, bahkan dapat bangunan industri dapat membuka lapa-‐
meninggal dunia, karena air dan udara ngan pekerjaan. Hal itu juga berarti akan
yang tidak sehat. Akibat bahaya limbah mengurangi pengangguran. Sebaliknya,
juga dilukiskan pengarang dengan me-‐ pembangunan industri akan merugikan
ngungkapkan bukti nyata, yaitu laporan masyarakat apabila industri tersebut ti-‐
hasil penelitian, sebagai rujukan berba-‐ dak memperhatikan limbah yang dihasil-‐
hayanya pencemaran yang ditimbulkan kannya. Artinya, apabila limbah industri
oleh pabrik bubur kayu Royan i Toba. pabrik itu tidak dikelola dengan baik,
Laporan itu disusun oleh tiga orang ahli, limbah tersebut dapat mencemari udara
Manurun, M. air, dan tanah. Kehidupan masyarakat
yaitu
Alexander
Tampubolon, dan J.E. Tambunan. Lapor-‐ yang tinggal di daerah yang tercemar
annya, antara lain, menyebutkan sebagai berikut.
ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 63—74
Dua alinea menjelang penutupan lapo-‐ ran itu sungguh menyentakkan pikiran Molek dan membuatnya tercenung se-‐ ketika setelah selesai menyimaknya ba-‐ ik-‐baik. Kata laporan itu tentang ke-‐ mungkinan bencana yang muncul aki-‐ bat limbah kimia yang disemprotkan pabrik ke udara dan yang dibuang se-‐ enaknya ke sungai: ”Limbah gas juga merusak kesehatan manusia secara langsung merusak saluran pernapasan dan kulit manusia. Gas CO2 terbawa oleh aliran darah ke seluruh jaringan tubuh dan merusak susunan saraf, bah-‐ kan merusak gen dalam sperma. Apa-‐ kah ini suatu ’genocide’ jangka panjang terhadap masyarakat sekitar!” (Aleida, 2004:190—191)
Keadaan itu menggugah Molek untuk melakukan tindakan penyelamat-‐ an Danau Toba. Molek secara diam-‐diam melakukan survei dengan memasuki area pabrik bubur kayu. Keberhasilan-‐ nya memasuki pabrik menjadikannya mengetahui keadaan yang sebenarnya. Laporan dari masyarakat dan kenyataan yang ia lihat benar adanya. Kondisi di Danau Toba yang mengkhawatirkan itu menuntut Molek untuk mengambil tin-‐ dakan. Untuk itu, Molek memutuskan untuk mengadakan rapat akbar di Sim-‐ pang Sigura-‐gura. Keputusannya itu di-‐ respons dengan baik oleh masyarakat. Sekitar lima ribu orang dari berbagai da-‐ erah hadir dalam rapat itu.
Dalam pidatonya, Molek mengajak masyarakat untuk menutup pabrik bu-‐ bur kayu tersebut karena limbahnya membahayakan kehidupan masyarakat di sekitar Danau Toba. Untuk meyakin-‐ kan kepada mereka, Molek mengemu-‐ kakan bahayanya limbah, antara lain, se-‐ bagai berikut.
Dan, yang paling menyakitkan dan jadi dosa yang tidak berampun adalah kejahatan pabrik itu yang telah menye-‐ barkan berbagai gas, yang antara lain bisa merusak sperma, mambunu itti ni
ngolu ni na mangolu (membunuh inti hidup dari kehidupan). Apa yang akan terjadi dengan anak cucu kita?! Maka, perlawanan ini harus kita teruskan Le-‐ bih keras. Lebih berani.... Kita hanya akan berhenti seperti yang dikatakan salah satu poster yang dibawa anak-‐ anak sekolah yang berjejer di depan itu, “Hamuttal pe langit do hot tano on, anggo Rayon i Toba ikkon saut do tutup (“Biar langit dan bumi ini runtuh, Rayon ni Toba itu harus tutup”).” (Aleida, 2004:218—219)
Keputusan Molek mengajak masya-‐ rakat untuk menutup pabrik bubur kayu Rayon i Toba merupakan kepeduliannya yang sangat besar terhadap Danau Toba. Ajakannya itu mendapat sambutan dari masyarakat karena mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyelamatkan lingkungan demi keberlangsungan kehi-‐ dupan yang sehat.
Sebagai tindak lanjut usahanya untuk menutup pabrik bubur kayu, Molek bersama masyarakat melakukan protes kepada pemerintah. Molek menu-‐ ju kantor pemerintah karena pemerin-‐ tah sebagai penguasa yang seharusnya menindak pabrik bubur kayu, tetapi ti-‐ dak melakukan apa-‐apa terhadap pabrik itu. Mereka mendatangi pemerintah un-‐ tuk menindaklanjuti tujuan mereka, yai-‐ tu menutup pabrik bubur kayu Royan i Toba (hlm. 226). Molek bersama masya-‐ rakat tidak akan melakukan aksi seperti itu apabila pembangunan ekonomi di da-‐ erah Danau Toba itu didukung dengan
kehidupan berkeadilan. Artinya, pabrik itu tetap berjalan dan kehidupan masya-‐ rakat di sekitarnya tidak terganggu. Jadi, antara kepentingan ekonomi dan lingku-‐ ngan berjalan bersama. Seperti dalam falsafah lingkungan hidup, bahwa eko-‐ nomi dan ekologi merupakan dua sisi dalam satu hal yang sama. Hanya berbe-‐
da dalam cara memandang, memahami, dan memperlakukan alam sekitar. Tidak ada pemisahan yang tegas di antara
Kepedulian Lingkungan ... (Lustantini Septiningsih)
keduanya karena pada akhirnya kedua-‐ rakyat. Cara pengendalian demonstrasi nya memastikan adanya kehidupan yang
yang dilakukan oleh aparat keamanan sehat, yang penuh dengan segala dimen-‐
terhadap demonstran menunjukkan sinya dan memberi kebahagiaan. Kedua-‐
bahwa masyarakat diposisikan sebagai nya menyatu dalam tempat yang sama,
lawan atau musuh. Molek sebagai pe-‐ yaitu alam sekitar (Prantara, 2014:28).
mimpinnya dan juga anaknya, Hurlang, Cara menyampaikan keinginan me-‐
mendapat hukuman penjara masing-‐ma-‐ lalui demonstrasi tidak lepas dari risiko.
sing dua tahun dan empat tahun penjara Ada yang bentrok dengan anggota ke-‐
(hlm. 233—235). Ketidakberpihakan pe-‐ amanan, bahkan meninggal dunia kare-‐
merintah terhadap rakyat dapat diarti-‐ na tertembak. Seperti demonstrasi yang
kan sebagai ketidakberpihakan terhadap pernah terjadi pada waktu kenaikan har-‐
lingkungan.
ga BBM atau pada waktu demonstrasi Perjuangan Molek sebagai wujud pelengseran Soeharto, selain banyak
kepeduliannya terhadap Danau Toba be-‐ korban yang luka, juga ada korban yang
lum berhasil seperti yang dicita-‐citakan. meninggal dunia (Wardaya, 2007).
Namun, aspirasinya telah didukung ba-‐ Demonstrasi yang dilakukan Molek
nyak orang bahwa pabrik bubur kayu di bersama masyarakat yang dengan jelas
Danau Toba sangat membahayakan ke-‐ dinyatakan sebagai aksi damai juga tidak
hidupan masyarakat di Danau Toba dan lepas dari korban. Hal itu disebabkan
sekitarnya sehingga keberadaannya ha-‐ pemerintah melihat demonstrasi yang
rus ditutup. Kepedulian Molek terhadap dilakukan Molek dan pengikutnya diang-‐
lingkungan itu didorong oleh tidak ada-‐ gap membahayakan stabilitas keaman-‐
nya perhatian pemerintah terhadap ke-‐ an, yaitu kekuasaan pemerintah teran-‐
rusakan lingkungan (sungai) dan tidak cam. Keadaan itu terbukti dengan sikap
adanya perhatian pemerintah terhadap pemerintah melalui aparatnya memberi-‐
limbah pabrik bubur kayu yang mence-‐ kan perlawanan dengan melakukan pe-‐
mari air, sungai, dan udara. nangkapan, penyiksaan, dan penembak-‐ an, baik terhadap laki-‐laki maupun pe-‐
Kepedulian terhadap Moral
rempuan. Akibatnya, setelah demons-‐ Permasalahan moral merupakan perma-‐ trasi tersebut, banyak terjadi korban,
salahan manusia yang berpikir untuk hi-‐ ada korban luka dan tiga pastor mening-‐
dup lebih baik daripada sebelumnya. gal dunia.
“Hidup lebih baik” itu berarti lebih ber-‐ moral atau lebih beradab. Menurut
Kabar tentang terbunuhnya ketiga
Suyanto (dalam Septiningsih, 2007:1),
orang pastor itu segera menyebar ke
moral itu menjadi sumber aturan peri-‐
seluruh pelosok Porsea. Di Minggu pagi
laku karena moral mengacu pada nilai
itu, lonceng-‐lonceng gereja di seluruh
yang memiliki implikasi takaran kualita-‐
desa yang terhampar di daratan Porsea
tif, seperti baik-‐buruk, benar-‐salah, wa-‐
berdentang syahdu lebih awal dari bia-‐
jar-‐tidak wajar, dan pantas-‐tidak pantas.
sanya. Kidung-‐kidung kemalangan ber-‐ sahut-‐sahutaan di atas hamparan la-‐
Moral juga memberi kepastian tentang
dang dan bukit dipantulkan daun-‐daun
hal yang harus dilakukan dan apa yang
pada batang-‐batang pohon yang hen-‐
tidak boleh dilakukan.
dak mati meranggas.
(Aleida,
Permasalahan moral dalam JTPM
secara dominan digambarkan melalui perilaku Hurlang, anak laki-‐laki Molek,
Keadaan itu menunjukkan bahwa yang melanggar moral dalam pergaulan-‐ pemerintah belum memihak kepada
nya. Pelanggaran itu dimulai dengan
ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 63—74
perkenalannya dengan wanita muda peranakan Tionghoa yang bernama Lebi di tempat bekerjanya. Pergaulan mereka sangat bebas sampai Hurlang melupa-‐ kan ajaran agama yang ditanamkan oleh ibunya sejak kecil dengan mengirimkan-‐ nya ke pengajian pada sore hari supaya menjadi anak saeh (Aleida, 2004:152). Kebebasan mereka itu menjadikan me-‐ reka sampai melakukan hubungan sek-‐ sual sebelum menikah. Akhirnya, mere-‐ ka menikah tanpa memberi tahu ibunya. Namun, tidak lama kemudian mereka berpisah karena tujuan mereka menikah hanya semata-‐mata untuk pelampiasan hawa nafsu (Aleida, 2004:145). Dari pe-‐ ristiwa tersebut, pengarang menunjuk-‐ kan perilaku manusia yang tidak dapat mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu. Mereka hanya ingin menikmati kesenangan belaka.
Berpisahnya Hurlang dengan Lebi tidak menjadikan Hurlang menjauhi per-‐ buatan zina. Pertemuannya dengan se-‐ orang wanita yang sudah bersuami, yai-‐ tu Dwipati Kristi, menguji moralitas Hurlang. Latar belakang kehidupanan Hurlang yang bebas bersama Lebi dan dorongan biologis yang kuat menjadikan penentu Hurlang dalam melakukan hu-‐ bungan seksual dengan Dwipati tanpa ikatan pernikahan. Apabila agama yang ditanamkan oleh ibunya sejak kecil dipe-‐ gang teguh, tentu Hurlang dapat menga-‐ tasi godaan. Sebagaimana yang dikemu-‐ kakan Viktor Frankel (dalam Handayani, 2005:47) bahwa meskipun manusia me-‐ miliki dorongan biologis, ada determi-‐ nan perilaku lain, yaitu nilai-‐nilai yang merupakan aspek moralitas dan spiritu-‐ alitas. Bagian peristiwa yang menunjuk-‐ kan keamoralan perilaku Hurlang bersa-‐ ma Dwipati dilukiskan se-‐bagai berikut.
Di dalam gedung bioskop sebenarnya pikiran kami bukan ke tontonan, kami sibuk sendiri, lebur mengikuti kata hati, saling bersentuhan, dan ketika film su-‐ dah selesai, ketika penonton sudah
keluar semua, kami puaskan hasrat ka-‐ mi dengan berciuman di gang di depan pintu kamar kecil. Sering kami lanjut-‐ kan lagi di taman-‐taman kota dan me-‐ nunggu di sana sampai suasana sepi se-‐ hingga kami bisa berpagutan rapat-‐ra-‐ pat sampai bibir terasa kebas dengan harapan tak seorang pun yang mem-‐ perhatikan dan keberatan terhadap ke-‐ lakuan kami yang sedang melayang kasmaran. (Aleida, 2004:148)
Dari kutipan tetsebut juga dapat di-‐ ketahui bahwa Hurlang mengabaikan ajaran agama yang ditanamkan oleh ibu-‐ nya sejak lama. Keberadaan Hurlang, yang sudah menyimpang dari ajaran agama, di mata Molek tidak ada nilainya. Oleh karena itu, semua kebaikan yang te-‐ lah dilakukan Hurlang dalam membantu ibunya dianggap tidak ada artinya kare-‐ na perilakunya yang bertentangan de-‐ ngan ajaran agama seperti dilukiskan se-‐ bagai berikut.
Molek dengan wajah marah menimpali: “Jangan kau katakan itu lagi. Kau telah membantu aku dalam mempersiapkan rapat raksasa di Padang Bundar itu, menuntun apa yang harus aku lakukan. Semua kebaikanmu itu tiada setara un-‐ tuk dosa yang telah kau lakukan terha-‐ dap perempuan itu. Ini tak bisa kuma-‐ afkan. Mengapa kau menghina perem-‐ puan dengan jalan begitu. Apa yang di-‐ lakukan suaminya bukan urusanmu. Penderitannya urusan Yang Kuasa. Kau bukan seorang pahlawan, cuma se-‐ orang pendosa yang tak layak meneri-‐ ma pengampunan. Kau harus meneri-‐ ma azab-‐Nya.” (Aleida, 2004:151)