Walter Spies Pelopor Seni Rupa dan Pariw
Walter Spies, Pelopor Seni Rupa dan Pariwata Bali
Agus Nur Setyawan, Seni Rupa Murni, FSSR, Universitas Sebelas Maret.
1895-1942 (http://en.wikipedia.org/wiki/Walter_spies)
1
Dalam percaturan kepariwisataan internasional, bahwa Bali lebih dikenal
daripada Indonesia bukanlah sekedar anekdot, akan tetapi suatu kenyataan yang
menunjukkan
keberhasilan
Bali
dalam
mengembangkan
dirinya.
Pada
kenyataannya, banyak keunggulan yang yang dimiliki pulau Bali, bila
dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di Indonesia, yang mampu
mengundang rasa ingin tahu calon wisatawan, dan pada gilirannya ingin
mengunjungi pulau dengan keragaman sajian budayanya itu. Kondisi ini
dimungkinkan oleh keberhasilan para pelaku
kepariwisataan Bali, dalam
mengembangkan aset budaya, sehingga dapat mengikuti atau menyesuaikan
kebutuhan wisatawan yang relatif memiliki waktu terbatas. Tak lepas dari
keberhasilan itu, adalah sosok seorang seniman (musisi, sasterawan dan pelukis)
kelahiran Belanda, Walter Spies namanya, yang dengan jeli telah mampu
melakukan suatu modifikasi jenius, dengan mengubah suatu bentuk ritus tradisional
yang sarat makna simbolis, menjadi sebuah bentuk sajian hiburan (entertaintmen),
sesuai dengan kebutuhan wisatawan.
Bermula dari pemahamannya soal selera dan keinginan para pelancong yang
datang ke Bali, Spies sampai pada suatu gagasan untuk mengembangkan bentukbentuk tarian upacara sakral, Barong dan Rangda, suatu tarian yang mengisahkan
legenda Calonarang, menjadi suatu kemasan seni pertunjukan yang berhasil
memenuhi tuntutan wisatawan (kitsch). Pada dasarnya tarian Barong dan Rangda
hanya diselenggarakan pada upacara-upacara Odalan atau Piodalan. Bersama-sama
2
masyarakat desa Pagutan dan Tegal Tamu di Batubulan, Spies berhasil
menyelenggarakan tarian tersebut, tiga kali dalam seminggu. Selama beberapa
tahun drama tari Calonarang ini terus dipentaskan, tanpa adanya keluhan atau
tanggapan negatif dari masyarakat sekitarnya. Dalam perkembangannya, Tarian
Barong dan Rangda ini mendapatkan bentuknya yang semakin canggih
(sophisticated) atas saran seorang manajer Bali Hotel, di Denpasar untuk
mengurangi kesakralan Calonarang. Maka digubahlah drama tari baru yang
mengangkat cerita dari Wiracarita Mahabarata, yaitu Kuntisraya, yang juga dikenal
sebagai cerita Sudamala, yang sama-sama bertemakan ruwatan sebagaimana kisah
Calonarang.
Dalam bidang seni rupa, nama Walter Spies juga tak bisa dipisahkan dari
perkembangan seni patung tradisional (terutama) di samping perannya dalam
meletakkan dasar keorganisasian seniman Bali (Ubud khususnya) dalam wadah
yang diberi Pita Maha.
Keterlibatan Spies dalam perkembangan seni patung Bali (desa Mas, Ubud
khususnya) boleh dkatakan terjadi secara kebetulan. Dalam suatu peristiwa, Spies
menemui seorang pematung utama dari desa Mas, bernama I Tegelan, untuk
memintanya dibuatkan dua buah patung dari sebatang kayu yang dibawanya.
Singkat kisah, pematung tersebut datang kepada Spies sambil membawa hasil
pahatannya,
bukan dua buah patung sebagaimana dipesan, akan tetapi sebuah
patung seorang penari dengan postur tubuh ramping yang seolah dipanjangkan. I
3
Tegelan, pematung tersebut, menyerahkan hasil pahatannya sambil mengatakan:”
sayang untuk memotong potongan indah dari kayu ini menjadi dua, … dengan
demikian saya membuat satu togog dari kayu itu”. Rasa heran dan kekagetan yang
semula menyelimuti perasaan Spies, perlahan sirna menyadari bahwa I Tegelan
adalah seorang tokoh yang diperhitungkan dalam bidangnya. Pada sisi lain, pada
kenyatannya patung Gadis Penari itu juga tampak indah dalam posturnya yang
mengalami pengubahan bentuk dan proporsi (deformasi). Kelak peristiwa ini
menjadi tonggak penting dalam perkembangan seni patung tradisional Bali.
Pada sisi lain Spies sangat berperan dalam membawa para seniman
tradisional Bali, Ubud terutama, dalam memperkenalkan sistem seleksi dan kurasi
untuk menentukan karya-karya yang layak dipamerkan kepada khalayak, dalam
sebuah wadah kooperatif bernama Pita Maha pada tahun 1930-an. Dalam
poendiriannya, Pita Maha juga dimaksudkan untuk meniadakan dampak negatif
pariwisata bagi produk-produk seni Bali.
Walter Spies dan Pseudo-Traditional Art.
4
Istilah pseudo-tradisional art dipakai oleh J. Maquet untuk menandai suatu
bentuk kesenian tradisional (yang sakral dan penuh nuansa simbolik)yang dikemas
demi tujuan
pariwisata (beberapa istilah lain yang memiliki pengertian sama
adalah toursit art, art by metamorphosis, atau art of acculturartion). Beberapa
pengertian di muka mengacu pada terjadinya pergeseran makna dari tujuan
diselenggarakannya bentuk kesenian dimaksud (seni pertunjukan), dari bentuk
aslinya dengan segala persyaratannya yang khusus, baik dalam hal ceritera, waktu
pertunjukan (durasi maupun saat pertunjukan), serta tempatnya, kemudian dimodifi
dan disesuaiakan dengan tujuan praktis dalam memenuhi tuntutan dunia
kepariwisataan.
Tari Barong and Kris Dance, pada mulanya adalah tari ritual yang hanya
dipertunjukkan
pada
saat
peristiwa
adat
upacara
Odalan,
di
Pura.
Diselenggarakannya ritus ini berkaitan erat dengan tujuan komunitas pura (warga
desa) dalam menjaga keutuhan dan keselamatan warga setempat. Bagi komunitas
pura yang menganut paham Hindu Dharma, mereka percaya bahwa ketenteraman
hidup berlangsung berkat terjadinya keseimbangan antara sifat baik dan sifat buruk,
atau pandangan rwa bhineda. Pandangan spiritual ini secara tradisional
diimplementasikan
dalam
bentuk
pergulatan
Barong
dan
Rangda,
yang
merepresentasikan pandangan kearifan dan kejahatan.
Dalam seni pertunjukan tari Barong dan Rangda versi Bali di Batubulan,
Barong merupakan personifikasi dari Patih Taskara Maguna utusan raja Erlangga,
5
sedangkan Rangda merupakan penjelmaan Walu Nateng Girah, atau dikenal juga
sebagai Matah Gede. Keduanya masing-masing melambangkan kebaikan dan
keburukan yang dibingkai dalam cerita kisah Calonarang dan diwujudkan sebagai
binatang mitologis.
Berkaitan dengan perkembangan kepriwisataan di Bali, adalah Walter Spies,
seniman asal Belanda yang sangat memahami selera para pelancong itu, kemudian
berinisiatif mempertunjukkan atau tepatnya menyuguhkan tarian sakral tersebut
kepada para wisatawan. Hingga dalam bentuknya sebagaimana dewasa ini,
ditunjang oleh prakarsa seorang manajer Bali Hotel yang memungkinkan tarian
Barong and Kris Dance dipertunjukkan di loby-loby hotel.
Dalam hal kisah cerita, kemudian diangkat wiracarita Mahabharata, yaitu
Kuntisraya, karena dipandang kisah Calonarang yang sakral tersebut sudah tak
cocok lagi untuk dipentaskan sebagai sajian wisata.
Kisah cerita Kuntisraya sendiri menuturkan kutukan Dewa Siwa, suami
Dewi Uma yang mengakibatkan sang istri berubah wujud menjadi dewi Durga,
yang harus tinggal di dunia roh-roh jahat. sebagai upaya untuk melepaskan diri dari
kutuk. Durga kemudian meminta dewi Kunti, ibunda para Pandawa agar
mengijinkan putra bungsunya, Sahadewa agar terlepas dan terbebas dari bentuknya
yang mengerikan, dengan harapan dapat kembali ke wujud semula dan kembali
hidup mendampingi suami di kahyangan. Singkat cerita, Sahadewa terlibat
peperangan dengan dewi Durga. Pada kesempatan inilah Durga membuka rahasia
6
siapa dirinya sesungguhnya, sekaligus meminta Sahadewa untuk bersedia
meruwatnya. Mengetahui kenyataan itu, Sahadewa seketika menghaturkan sembah
kepada Durga, dan seketika itu pula berubah wujud kembali menjadi dewi Uma,
dan kembali ke kahyangan, mendampingi suaminya, dewa Siwa. Sedangkan tubuh
raksasa wanita Durga lenyap seketika.
Adalah seekor burung Garuda raksasa penjelmaan salah seorang pengikut
Durga, bernama Kalika yang murka mengetahui kejadian tersebut. Akan tetapi
dengan mudah ia dapat dikalahkan oleh Sahadewa setelah berubah diri menjadi
Barong guna mengimbangi kekuatan supranatural sang Garuda. Untuk melawan
kekuatan Barong, kemudian Kalika berubah wujud lagi menjadi Rangda, seorang
raksasa wanita yang berwajah merah denga kuku-kukunya yang panjang.
Dalam adegan pergulatan yang melambangkan perseteruan antara kebaikan
dan keburukan ini, Barong dibantu oleh sejumlah penari keris yang tampil dengan
dada bertelanjang, berusaha untuk menyerang Rangda. Namun Rangda tak mudah
dikalahkan, bahkan dengan kesaktian selendang putih yang dikibas-kibaskannya ke
arah para penari keris itu, mengakibatkan para penari keris merasakan kesakitan
yang luar biasa, sehingga justru membalikkan arah kerisnya untuk menusuk dirinya
sendiri. Adegan ini menjadi klimaks dari pertunjukan Barong and Kris Dance yang
sangat mengundang kekaguman wisatawan.
Bentuk tarian baru berupa tarian Barong and Kris Dance ini dengan kisah
Kuntisraya, yang dipentaskan tak lebih satu jam di arena-arena pertunjukan umum
7
seperti di loby hotel, atau tempat-tempat lain yang mudah dijangkau penonton
(turis), namun masih mengacu pada bentuk tarian sakral Barong dan Rangda yang
semula adalah merupakan tarian adat/ tradisional, disebut sebagai salah satu bentuk
simbol semu dari tari tradisional, atau psuedo tradisional art.
Walter Spies dengan kecintaannya terhadap kesenian tradisional Bali, dan
kepekaannya terhadap karakteristik keingin-tahuan wisatawan dalam keterbatasan
waktu yang dimiliki, telah meletakkan dasar pijakan penting bagi kehidupan
pariwisata Bali dewasa ini. Seni tradisi yang pada dasarnya merupakan elemen ritus
relijius, bersifat sakral, dan”dipertunjukkan” hanya pada tempat-tempat dan waktu
tertentu, dimodifikasi sedemikian rupa dengan tanpa meninggalkan narasi aslinya,
sehingga mampu dinikmati dan diapresiasi oleh khalayak, sekaligus melestarikan
nafas kehidupan kepariwisataan Bali serta masyarakat pendukungnya.
(disadur dan disarikan kembali dari RM Soedarsono: Melacak Jejak Perkembangan
Seni di Indonesia, Bandung, Artline 2000, terjemahan dari Claire Holt: Art in
Indonesia, Continuous and Change, Ithaca, New York, Cornel University Press,
1967, dan Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, RM Soedarsono, 1999).
Agus Nur Setyawan
Jurusan Seni Murni, FSSR-UNS.
Address:
8
Perum. Gajahan Permai A-6, Gajahan, Colomadu, Karanganyar.
Email:
[email protected]
[email protected]
[email protected]
9
Agus Nur Setyawan, Seni Rupa Murni, FSSR, Universitas Sebelas Maret.
1895-1942 (http://en.wikipedia.org/wiki/Walter_spies)
1
Dalam percaturan kepariwisataan internasional, bahwa Bali lebih dikenal
daripada Indonesia bukanlah sekedar anekdot, akan tetapi suatu kenyataan yang
menunjukkan
keberhasilan
Bali
dalam
mengembangkan
dirinya.
Pada
kenyataannya, banyak keunggulan yang yang dimiliki pulau Bali, bila
dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di Indonesia, yang mampu
mengundang rasa ingin tahu calon wisatawan, dan pada gilirannya ingin
mengunjungi pulau dengan keragaman sajian budayanya itu. Kondisi ini
dimungkinkan oleh keberhasilan para pelaku
kepariwisataan Bali, dalam
mengembangkan aset budaya, sehingga dapat mengikuti atau menyesuaikan
kebutuhan wisatawan yang relatif memiliki waktu terbatas. Tak lepas dari
keberhasilan itu, adalah sosok seorang seniman (musisi, sasterawan dan pelukis)
kelahiran Belanda, Walter Spies namanya, yang dengan jeli telah mampu
melakukan suatu modifikasi jenius, dengan mengubah suatu bentuk ritus tradisional
yang sarat makna simbolis, menjadi sebuah bentuk sajian hiburan (entertaintmen),
sesuai dengan kebutuhan wisatawan.
Bermula dari pemahamannya soal selera dan keinginan para pelancong yang
datang ke Bali, Spies sampai pada suatu gagasan untuk mengembangkan bentukbentuk tarian upacara sakral, Barong dan Rangda, suatu tarian yang mengisahkan
legenda Calonarang, menjadi suatu kemasan seni pertunjukan yang berhasil
memenuhi tuntutan wisatawan (kitsch). Pada dasarnya tarian Barong dan Rangda
hanya diselenggarakan pada upacara-upacara Odalan atau Piodalan. Bersama-sama
2
masyarakat desa Pagutan dan Tegal Tamu di Batubulan, Spies berhasil
menyelenggarakan tarian tersebut, tiga kali dalam seminggu. Selama beberapa
tahun drama tari Calonarang ini terus dipentaskan, tanpa adanya keluhan atau
tanggapan negatif dari masyarakat sekitarnya. Dalam perkembangannya, Tarian
Barong dan Rangda ini mendapatkan bentuknya yang semakin canggih
(sophisticated) atas saran seorang manajer Bali Hotel, di Denpasar untuk
mengurangi kesakralan Calonarang. Maka digubahlah drama tari baru yang
mengangkat cerita dari Wiracarita Mahabarata, yaitu Kuntisraya, yang juga dikenal
sebagai cerita Sudamala, yang sama-sama bertemakan ruwatan sebagaimana kisah
Calonarang.
Dalam bidang seni rupa, nama Walter Spies juga tak bisa dipisahkan dari
perkembangan seni patung tradisional (terutama) di samping perannya dalam
meletakkan dasar keorganisasian seniman Bali (Ubud khususnya) dalam wadah
yang diberi Pita Maha.
Keterlibatan Spies dalam perkembangan seni patung Bali (desa Mas, Ubud
khususnya) boleh dkatakan terjadi secara kebetulan. Dalam suatu peristiwa, Spies
menemui seorang pematung utama dari desa Mas, bernama I Tegelan, untuk
memintanya dibuatkan dua buah patung dari sebatang kayu yang dibawanya.
Singkat kisah, pematung tersebut datang kepada Spies sambil membawa hasil
pahatannya,
bukan dua buah patung sebagaimana dipesan, akan tetapi sebuah
patung seorang penari dengan postur tubuh ramping yang seolah dipanjangkan. I
3
Tegelan, pematung tersebut, menyerahkan hasil pahatannya sambil mengatakan:”
sayang untuk memotong potongan indah dari kayu ini menjadi dua, … dengan
demikian saya membuat satu togog dari kayu itu”. Rasa heran dan kekagetan yang
semula menyelimuti perasaan Spies, perlahan sirna menyadari bahwa I Tegelan
adalah seorang tokoh yang diperhitungkan dalam bidangnya. Pada sisi lain, pada
kenyatannya patung Gadis Penari itu juga tampak indah dalam posturnya yang
mengalami pengubahan bentuk dan proporsi (deformasi). Kelak peristiwa ini
menjadi tonggak penting dalam perkembangan seni patung tradisional Bali.
Pada sisi lain Spies sangat berperan dalam membawa para seniman
tradisional Bali, Ubud terutama, dalam memperkenalkan sistem seleksi dan kurasi
untuk menentukan karya-karya yang layak dipamerkan kepada khalayak, dalam
sebuah wadah kooperatif bernama Pita Maha pada tahun 1930-an. Dalam
poendiriannya, Pita Maha juga dimaksudkan untuk meniadakan dampak negatif
pariwisata bagi produk-produk seni Bali.
Walter Spies dan Pseudo-Traditional Art.
4
Istilah pseudo-tradisional art dipakai oleh J. Maquet untuk menandai suatu
bentuk kesenian tradisional (yang sakral dan penuh nuansa simbolik)yang dikemas
demi tujuan
pariwisata (beberapa istilah lain yang memiliki pengertian sama
adalah toursit art, art by metamorphosis, atau art of acculturartion). Beberapa
pengertian di muka mengacu pada terjadinya pergeseran makna dari tujuan
diselenggarakannya bentuk kesenian dimaksud (seni pertunjukan), dari bentuk
aslinya dengan segala persyaratannya yang khusus, baik dalam hal ceritera, waktu
pertunjukan (durasi maupun saat pertunjukan), serta tempatnya, kemudian dimodifi
dan disesuaiakan dengan tujuan praktis dalam memenuhi tuntutan dunia
kepariwisataan.
Tari Barong and Kris Dance, pada mulanya adalah tari ritual yang hanya
dipertunjukkan
pada
saat
peristiwa
adat
upacara
Odalan,
di
Pura.
Diselenggarakannya ritus ini berkaitan erat dengan tujuan komunitas pura (warga
desa) dalam menjaga keutuhan dan keselamatan warga setempat. Bagi komunitas
pura yang menganut paham Hindu Dharma, mereka percaya bahwa ketenteraman
hidup berlangsung berkat terjadinya keseimbangan antara sifat baik dan sifat buruk,
atau pandangan rwa bhineda. Pandangan spiritual ini secara tradisional
diimplementasikan
dalam
bentuk
pergulatan
Barong
dan
Rangda,
yang
merepresentasikan pandangan kearifan dan kejahatan.
Dalam seni pertunjukan tari Barong dan Rangda versi Bali di Batubulan,
Barong merupakan personifikasi dari Patih Taskara Maguna utusan raja Erlangga,
5
sedangkan Rangda merupakan penjelmaan Walu Nateng Girah, atau dikenal juga
sebagai Matah Gede. Keduanya masing-masing melambangkan kebaikan dan
keburukan yang dibingkai dalam cerita kisah Calonarang dan diwujudkan sebagai
binatang mitologis.
Berkaitan dengan perkembangan kepriwisataan di Bali, adalah Walter Spies,
seniman asal Belanda yang sangat memahami selera para pelancong itu, kemudian
berinisiatif mempertunjukkan atau tepatnya menyuguhkan tarian sakral tersebut
kepada para wisatawan. Hingga dalam bentuknya sebagaimana dewasa ini,
ditunjang oleh prakarsa seorang manajer Bali Hotel yang memungkinkan tarian
Barong and Kris Dance dipertunjukkan di loby-loby hotel.
Dalam hal kisah cerita, kemudian diangkat wiracarita Mahabharata, yaitu
Kuntisraya, karena dipandang kisah Calonarang yang sakral tersebut sudah tak
cocok lagi untuk dipentaskan sebagai sajian wisata.
Kisah cerita Kuntisraya sendiri menuturkan kutukan Dewa Siwa, suami
Dewi Uma yang mengakibatkan sang istri berubah wujud menjadi dewi Durga,
yang harus tinggal di dunia roh-roh jahat. sebagai upaya untuk melepaskan diri dari
kutuk. Durga kemudian meminta dewi Kunti, ibunda para Pandawa agar
mengijinkan putra bungsunya, Sahadewa agar terlepas dan terbebas dari bentuknya
yang mengerikan, dengan harapan dapat kembali ke wujud semula dan kembali
hidup mendampingi suami di kahyangan. Singkat cerita, Sahadewa terlibat
peperangan dengan dewi Durga. Pada kesempatan inilah Durga membuka rahasia
6
siapa dirinya sesungguhnya, sekaligus meminta Sahadewa untuk bersedia
meruwatnya. Mengetahui kenyataan itu, Sahadewa seketika menghaturkan sembah
kepada Durga, dan seketika itu pula berubah wujud kembali menjadi dewi Uma,
dan kembali ke kahyangan, mendampingi suaminya, dewa Siwa. Sedangkan tubuh
raksasa wanita Durga lenyap seketika.
Adalah seekor burung Garuda raksasa penjelmaan salah seorang pengikut
Durga, bernama Kalika yang murka mengetahui kejadian tersebut. Akan tetapi
dengan mudah ia dapat dikalahkan oleh Sahadewa setelah berubah diri menjadi
Barong guna mengimbangi kekuatan supranatural sang Garuda. Untuk melawan
kekuatan Barong, kemudian Kalika berubah wujud lagi menjadi Rangda, seorang
raksasa wanita yang berwajah merah denga kuku-kukunya yang panjang.
Dalam adegan pergulatan yang melambangkan perseteruan antara kebaikan
dan keburukan ini, Barong dibantu oleh sejumlah penari keris yang tampil dengan
dada bertelanjang, berusaha untuk menyerang Rangda. Namun Rangda tak mudah
dikalahkan, bahkan dengan kesaktian selendang putih yang dikibas-kibaskannya ke
arah para penari keris itu, mengakibatkan para penari keris merasakan kesakitan
yang luar biasa, sehingga justru membalikkan arah kerisnya untuk menusuk dirinya
sendiri. Adegan ini menjadi klimaks dari pertunjukan Barong and Kris Dance yang
sangat mengundang kekaguman wisatawan.
Bentuk tarian baru berupa tarian Barong and Kris Dance ini dengan kisah
Kuntisraya, yang dipentaskan tak lebih satu jam di arena-arena pertunjukan umum
7
seperti di loby hotel, atau tempat-tempat lain yang mudah dijangkau penonton
(turis), namun masih mengacu pada bentuk tarian sakral Barong dan Rangda yang
semula adalah merupakan tarian adat/ tradisional, disebut sebagai salah satu bentuk
simbol semu dari tari tradisional, atau psuedo tradisional art.
Walter Spies dengan kecintaannya terhadap kesenian tradisional Bali, dan
kepekaannya terhadap karakteristik keingin-tahuan wisatawan dalam keterbatasan
waktu yang dimiliki, telah meletakkan dasar pijakan penting bagi kehidupan
pariwisata Bali dewasa ini. Seni tradisi yang pada dasarnya merupakan elemen ritus
relijius, bersifat sakral, dan”dipertunjukkan” hanya pada tempat-tempat dan waktu
tertentu, dimodifikasi sedemikian rupa dengan tanpa meninggalkan narasi aslinya,
sehingga mampu dinikmati dan diapresiasi oleh khalayak, sekaligus melestarikan
nafas kehidupan kepariwisataan Bali serta masyarakat pendukungnya.
(disadur dan disarikan kembali dari RM Soedarsono: Melacak Jejak Perkembangan
Seni di Indonesia, Bandung, Artline 2000, terjemahan dari Claire Holt: Art in
Indonesia, Continuous and Change, Ithaca, New York, Cornel University Press,
1967, dan Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, RM Soedarsono, 1999).
Agus Nur Setyawan
Jurusan Seni Murni, FSSR-UNS.
Address:
8
Perum. Gajahan Permai A-6, Gajahan, Colomadu, Karanganyar.
Email:
[email protected]
[email protected]
[email protected]
9