Dasar Pemikiran dan Perkembangan Mazhab (1)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah khilafiyah merupakan

persoalan

yang

sering

terjadi

dalam

kehidupan manusia. Terkadang masalah khilafiyah diselesaikan melalui cara
sederhana dan mudah, dengan saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi
masalah khilafiyah dapat juga menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan antar
umat Islam, karena menimbulkan sikap ta’ashub (fanatik) yang berlebihan dan tidak
berdasarkan pertimbangan akal sehat.
Perbedaan pendapat dalam bidang hukum sebagai hasil ijtihad tidak perlu

dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan
sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada umat Islam, sebagaimana yang
diharapkan Nabi Muhammad saw. :
(‫اختلف امتى رحمة )رواه البيهقى فى الرسالة الشعرية‬
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”
(HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah)
Hal ini berarti bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari sekian banyak
pendapat, dan tidak terpaku pada suatu pendapat saja.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri
juga menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum
yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Hambali) menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidahkaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi,
teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab ini pada awalnya
hanya bertujuan untuk memberikan jalan atau langkah-langkah dalam memecahkan
berbagai persoalan hukum yang dihadapi, maupun kasus-kasus hukum yang tidak
ditemukan jawabannya dalam nash (baik dalam al-Qur’an maupun Hadis).
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam
mazhab terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya, dan tanpa disadari
menjelma menjadi doktrin untuk menggali hukum dari sumbernya. Teori-teori
pemikiran masing-masing mazhab merupakan sesuatu yang sangat penting artinya,

karena menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis
1

2

dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi inilah
yang dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sampai kapan pun akan terus berlangsung, dan
hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam dimana pola pikir manusia terus berkembang.
Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi
pegangan sampai sekarang. Masing-masing mazhab memiliki pokok-pokok pegangan yang
berbeda, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan Hadis.
Para penganut mazhab tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyah, sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash serta mengistinbathkan hukum yang
tidak ada nashnya. Ikhtilaf bukan hanya terjadi pada wilayah fiqh, tetapi juga terjadi pada aspek
teologi. Peristiwa tahkim adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masingmasing mazhab tersebut memiliki corak dan kecenderungan yang berbeda-beda, seperti dalam
mazhab fiqh. Aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal, tradisional dan ada pula
bercorak antara liberal dan tradisional.1 Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini memiliki
implikasi besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2. Bagaimana sejarah perkembangan mazhab hukum Islam?
3. Apa dasar pemikiran dalam madzhab hukum Islam?

1 Harun Nasution, Teologi Islam - Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2002), h.
48

3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mazhab Dalam Islam
2.1.1. Definisi Mazhab
Mazhab secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu shighat mashdar mimi (kata
sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat), yang diambil dari fi’il madhi,
yaitu dzahaba yang berarti pergi2, atau dapat diartikan yaitu jalan yang dilalui dan dilewati atau
sesuatu yang menjadi tujuan seseorang, baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab
bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Sedangkan pengertian mazhab
secara etimologi adalah metode (minhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,

kemudian dijalani dan dijadikan sebagai pedoman yang jelas batasan dan bagian-bagiannya, serta
dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah.
Pengertian mazhab secara terminologi adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistinbathkan hukum Islam.3 Selanjutnya
imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang
mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu, atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang
masalah hukum Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua
pengertian, yakni :
a)

Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang imam mujtahid dalam

menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis.
b) Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis.
Para ahli sejarah fiqh berbeda pendapat mengenai jumlah mazhab-mazhab. Tidak ada
kesepakatan yang pasti dari para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhabmazhab yang pernah ada. Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, hanya beberapa
mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai
sekarang hanya tujuh mazhab saja, yaitu :
- Mazhab Hanafi,

- Mazhab Maliki,
- Mazhab Syafi’i,

- Mazhab Hambali,
- Mazhab Zaidiyah,
- Mazhab Ismailiyah, dan

2 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 82
3 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Cet. III; Jakarta: Logos, 2003), h. 26

4

- Mazhab Ja’fariah.
Adapun mazhab-mazhab selain ketujuh mazhab di atas telah tiada.4
2.1.2. Faktor-Faktor Adanya Mazhab Hukum Islam
Mazhab-mazhab hukum Islam merupakan penentu perkembangan hukum Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw. Hal ini disebabkan karena tiga faktor, yaitu :
1. Meluasnya daerah kekuasaan Islam yang mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak,
Mesir, Syam (Palestina), Persia dan lain-lain.
2. Pergaulan umat Islam dengan bangsa-bangsa yang ditaklukkannya, dimana umat Islam berbaur

dengan budaya, adat-istiadat serta tradisi bangsa tersebut.
3. Akibat jauhnya jarak negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, sehingga para
gubernur, qadi dan para ulama harus melakukan ijtihad, guna memberikan jawaban terhadap
problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Pada masa tabi’in, ijtihad sudah terpola menjadi dua bentuk, yaitu lebih banyak
menggunakan ra’yu yang ditampilkan madrasah Kufah, serta yang lebih banyak menggunakan
Hadis yang ditampilkan madrasah Madinah. Masing-masing madrasah menghasilkan para
mujtahid kenamaan. Pada masa itu, para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya
dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad, yang kemudian disebut
ushul. Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad ini melahirkan kaidah-kaidah
umum, yang dijadikan pedoman oleh generasi berikutnya dalam mengembangkan pendapat
pendahulunya. Melalui cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis,
terperinci dan opsional, dimana hal ini kemudian disebut fiqh. Mujtahid yang mengembangkan
rumusan ilmu ushul dan metode tersendiri disebut mujtahid mandiri. Dalam berijtihad, mereka
langsung merujuk pada hukum syara’ dan menghasilkan temuan orisinil. Karena antar para
mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang
dicapai juga tidak sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul
dan metode tertentu yang menghasilkan suatu pendapat tentang hukum inilah yang disebut mazhab,
dimana tokoh mujtahidnya dinamai Imam Mazhab.
2.1.3. Sejarah Perkembangan Mazhab Hukum Islam

Sebenarnya ikhtilaf (perbedaan pendapat) telah ada sejak masa sahabat, dimana hal ini
terjadi karena perbedaan pemahaman serta adanya perbedaan nash yang sampai kepada mereka.
Selain itu, juga karena pengetahuan mereka dalam masalah Hadis tidak sama, perbedaan pandangan
4 M. Musthofa Imbabi, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Cet. IX; Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Qubro,
1986), h. 33

5

tentang dasar penetapan hukum serta perbedaan wilayah tempat tinggal para sahabat. Sebagaimana
diketahui ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat nabi yang
berpindah tempat dan berpencar ke negara-negara baru. Hal ini menyebabkan kesempatan untuk
bertukar pikiran atau bermusyawarah dalam memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
Dengan adanya kejadian-kejadian di atas, dapat menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga5, yakni :
a. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an,
b. Perbedaan riwayat para sahabat, dan
c. Perbedaan dalam ra’yu serta sudut pandang para sahabat yang berbeda, terutama mengenai
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada jaman Nabi
Muhammad saw.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa tabi’in, maka muncul

kemudian generasi ketiga yaitu tabi’ut tabi’in. Ijtihad para sahabat dan tabi’in dijadikan pedoman
oleh generasi penerusnya, yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada
waktu itu. Dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika masuk abad kedua Hijriah,
dimana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam atau sering disebut dengan
istilah “The Golden Age”. Pada masa itu, umat Islam mencapai puncak kemuliaan dalam bidang
ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Berkembang pula berbagai cabang ilmu pengetahuan serta
banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena inilah yang
melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar dengan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar Bani Umayyah, dimana mereka dapat
mencapai hasil lebih baik karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Umayyah yang
besar. Periode ini dianggap pula sebagai periode kegemilangan fiqh dalam sejarah hukum Islam,
dimana lahir beberapa mazhab fiqh yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh yang berjasa
mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan hal luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi
setiap ulama fiqh sampai saat ini.6
2.2. Dasar Pemikiran dan Perkembangan Mazhab Hukum Islam
Berkembangnya aliran-aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan
madzhab-madzhab fiqh Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum, fatwa-fatwa fiqh
tersendiri serta mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian
5 Qasim Abdul Aziz Khomis, Aqwal al-Shahabah, (Kairo: Maktabah al-Iman, 2002), h. 87

6 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulja, 1968), h. 67

6

hukum Islam dikenal beberapa madzhab fiqh yang secara umum terbagi dua, yaitu madzhab Sunni
dan madzhab Syi’ah. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Adapun di kalangan Syi’ah terdapat tiga madzhab fiqh, yaitu mazhab
Zaidiyah, Ismailiyah dan Ja’fariyah. Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi pembahasan
mengenai mazhab-mazhab hanya untuk mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
2.2.1. Mazhab al-Hanifiyah (Mazhab Hanafi)
Mazhab al-Hanifiyah didirikan oleh an-Nu’man bin Tsabit bin Zutha at-Tamimy atau
lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah (80-150 H), yang hidup dalam dua masa yaitu Daulah
Umayyah dan Abbasiyah. Imam Abu Hanifah berasal dari Kufah, yang merupakan keturunan
bangsa Persia. Awalnya Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang, yang kemudian menjadi
pengembang ilmu atas anjuran al-Syabi.7 Imam Abu Hanifah mengacu pada kebebasan berpikir
dalam memecahkan masalah-masalah baru, yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Imam
Abu Hanifah banyak mengandalkan qiyas dalam menentukan pemecahan masalah hukum.8 Mazhab
al-Hanifiyah sangat dikenal dalam masalah pemanfaatan akal atau logika dalam mengupas masalah
fiqh, dimana hal tersebut dilatarbelakangi oleh :
(i)


Imam Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadis, dimana jika tidak
terlalu yakin atas keshahihan suatu hadis, maka Imam Abu Hanifah lebih memilih untuk tidak
menggunakannnya. Sebagai gantinya, Imam Abu Hanifah menemukan begitu banyak formula

seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
(ii)
Kurang tersedianya hadis yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat tinggal Imam Abu
Hanifah. Begitu banyak hadis palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa Imam Abu
Hanifah. Perlu diketahui bahwa Imam Abu Hanifah hidup di masa 100 tahun pertama wafatnya
Nabi Muhammad saw., jauh sebelum era Imam al-Bukhari dan Imam Islam yang terkenal
sebagai ahli hadis.
Imam Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan
istihsan. Imam Hanafi membangun madzhabnya dengan dasar, yaitu al-Qur’an, Hadis, perkataan
sahabat, ishtihsan, qiyas dan adat istiadat. Perbedaan dasar-dasar pemikiran Imam Abu Hanifah
dengan imam-imam lainnya terletak pada kebenaran dalam menyelami suatu hukum serta pencarian
tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum.
7 Rasyad Hanan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Jakarta: Azmah, 2009), h. 172
8 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Cet. III; Jakarta: Sinar Grafika,
2001), h. 12


7

Dalam hal ini termasuk penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan
dan lainnya. Tidak seperti imam yang lain, Imam Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan
membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka ‘illat, hikmah, tujuan-tujuan moral dan bentuk
kemaslahatan yang dipahaminya. Pemikiran fiqh Imam Abu Hanifah tidak berdiri sendiri, tetapi
berakar kuat kepada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadis di Hijaz.
Imam Abu Hanifah meninggal karena diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam
kitab al-Barr adz-Dzahabi, dimana diriwayatkan bahwa khalifah al-Manshur memberi minuman
beracun kepada Imam Abu Hanifah sehingga meninggal sebagai syahid. Adapun latar belakang
kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka kepada Imam Abu Hanifah,
sehingga memberikan keterangan palsu pada khalifah al-Manshur. Sebuah riwayat shahih
mengatakan, bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Imam Abu Hanifah bersujud hingga
meninggal dalam keadaan sujud. Mazhab al-Hanifiyah adalah mazhab yang paling dominan di
dunia Islam atau sekitar 45%, dimana penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India,
Bangladesh, Sri Langka dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon,
Kaukasia (Chechnya dan Dagestan) serta Palestina (campuran mazhab Syafi’i dan Hanafi).
2.2.2. Mazhab al-Malikiyah (Mazhab Maliki)
Mazhab al-Malikiyah didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Amir al-Ashbahi (93-179
H). Imam Malik adalah seorang imam dalam ilmu hadis dan fiqh. Imam Malik mengawali
pelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadis serta mempelajari fatwa para sahabat, dan
dengan inilah Imam Malik membangun mazhabnya. Imam Malik juga mengkaji ilmu yang ada
hubungannya dengan ilmu syariat. Imam Malik memiliki firasat yang tajam dalam menilai
seseorang dan mengukur kekuatan ilmu fiqhnya.
Imam Malik selama hidupnya tinggal di Madinah, dimana ketokohannya dalam bidang
fiqh telah memberi adil besar bagi tersebarnya mazhab al-Malikiyah. Imam Malik mempunyai
murid dari segala penjuru negeri, mulai dari Syam (Palestina), Irak, Mesir, Afrika Utara dan
Andalusia, dan dari para murid inilah mazhab al-Malikiyah kemudian menyebar ke seluruh negeri
Islam. Abdullah bin Wahab adalah salah seorang yang berguru kepadanya selama 20 tahun, dan
menyebarkan mazhab al-Malikiyah di Mesir dan Maroko. Ada juga Abdurrahman bin al-Qasim alMishriy, seorang murid yang memiliki peranan penting dalam menulis mazhab al-Malikiyah serta
meriwayatkan kitab al-Muwaththa’, dimana periwayatannya termasuk yang paling shahih.

8

Imam Malik menyusun kitab al-Muwaththa’, dimana penyusunannya menghabiskan
waktu 40 tahun. Keistimewaan al-Muwatta’ adalah berisi rincian berbagai persoalan kaidah-kaidah
fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis dan atsar. Dalam hukumnya, Imam Malik lebih
mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadis ahad. Mazhab al-Maliqiyah berkembang
sejak awal di kota Madinah, dan ditegakkan di atas doktrin yang merujuk segala sesuatunya kepada
Hadis nabi. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar, yaitu al-Qur’an, Hadis
(tekstualitas, pemahaman zhahir, lafadz umum, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah,
tanbih alal ‘ilah), ijma’, qiyas, ‘amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan
sahabat, ishtihsab, saddu adz-dzari’ah, mura’atul khilaf, istishhab, maslahah mursalah dan syar’u
man qablana (syariat nabi terdahulu).
Mazhab al-Malikiyah adalah kebalikan dari mazhab al-Hanifiyah. Jika mazhab alHanifiyah banyak mengandalkan nalar dan logika karena kurang tersedianya nash-nash yang valid
di Kufah, maka mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Hal ini karena mazhab
al-Malikiyah tumbuh dan berkembang di kota Nabi Muhammad saw. yang penduduknya adalah
anak keturunan dari para sahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang
dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Nabi Muhammad saw. bisa dijadikan dasar hukum,
meski tanpa harus merujuk kepada hadis yang shahih. Mazhab al-Malikiyah diikuti oleh sekitar
25% umat Islam di seluruh dunia, yang didominasi oleh negara-negara Afrika Barat dan Utara.
Mazhab

al-Malikiyah

memiliki

keunikan,

yaitu

menyodorkan

tata

cara

hidup

penduduk Madinah sebagai sumber hukum, yang dikarenakan Nabi Muhammad saw. hijrah,
menetap dan meninggal di Madinah.
2.2.3. Mazhab as-Syafi’iyah (Mazhab Syafi‘i)
Mazhab as-Syafi’iyah didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i
(150-204 H), dilahirkan di Gaza, Palestina. Imam Syafi’i hidup di jaman pertentangan antara aliran
ahlu hadis dan ahlu ra’yi, dimana guru Imam Syafi’i yang berasal dari aliran ahlu hadis adalah
Imam Malik, sedangkan dari aliran ahlu ra’yi adalah Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
Pengalaman dan pengetahuan Imam Syafi’i tentang masalah kemasyarakatan sangat luas, dimana
Imam Syafi’i menyaksikan langsung kehidupan masyarakat desa, masyarakat yang sudah maju
peradabannya pada tingkat awal di Irak dan Yaman serta kehidupan masyarakat yang sangat
kompleks peradabannya seperti Irak dan Mesir. Pengetahuan Imam Syafi’i dalam bidang ekonomi
dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itulah yang memberikan bekal dalam ijtihadnya pada

9

masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Imam Syafi’i belajar hukum fiqh dari para mujtahid
mazhab Hanafi dan mazhab Malik, serta menyatukan kedua mazhab tersebut setelah menguasainya
dan merumuskan sumber-sumber hukum Islam yang baru.
Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qadim) di Baghdad pada masa
pemerintahan khalifah al-Amin. Imam Syafi’i lalu pindah ke Mesir pada tahun 200 H dan
menuliskan madzhab baru, yaitu madzhab jadid. Mazhab jadid adalah pendapat Imam Syafi’i
selama berdiam di Mesir, yang banyak mengoreksi pendapat-pendapatnya sebelumnya.
Karakteristik pemikiran Imam Syafi’i dalam mazhab jadid lebih bersifat pengembangan
pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah. Imam Syafi’i wafat di Mesir sebagai
syuhadaul ‘ilm di akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu karangan Imam Syafi’i yang terkenal adalah
ar-Risalah, buku pertama tentang ushul fiqh. Kitab al-Hujjah yang merupakan madzhab lama Imam
Syafi’i diriwayatkan oleh empat imam Irak, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani dan alKarabisyi. Sementara kitab al-Umm sebagai madzhab fiqh Imam Syafi’i yang baru diriwayatkan
oleh pengikutnya di Mesir, yaitu al-Muzani, al-Buwaithi dan ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman.
Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis dan ushul. Imam Syafi’i
mampu memadukan fiqh ahli ra’yi (mazhab al-Hanifiyah) dan fiqh ahli hadis (mazhab alMalikiyah). Dasar madzhab as-Syafi’iyah adalah al-Qur’an, Hadis, ijma’ dan qiyas. Imam Syafi’i
tidak mengambil perkataan sahabat, karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa saja salah, serta tidak
juga mengambil istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya. Imam
Syafi’i menolak pula maslahah mursalah serta gambaran perbuatan penduduk Madinah.
Al-Qur’an dan Hadis berada dalam satu tingkat menurut Imam Syafi’i, dan merupakan
satu kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori seperti qiyas, istihsan, istishhab dan lainlain, hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari
sumber utamanya tadi. Pemahaman integral al-Qur’an dan Hadis ini merupakan karakteristik
menarik dari pemikiran fiqh Imam Syafi’i. Kedudukan Hadis dalam banyak hal, menjelaskan dan
menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam al-Qur’an, merinci yang global, mengkhususkan
yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Dalam
pemikiran Imam Syafi’i, setiap persoalan telah ada ketentuan hukumnnya di dalam al-Qur’an.
Untuk membuktikannya, Imam Syafi’i menyebut cara-cara al-Qur’an dalam menerangkan suatu
hukum, yaitu :

10

1.

Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash yang jelas, seperti nash yang mewajibkan
shalat, puasa, zakat dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan
bangkai, darah dan yang lainnya.

2.

Suatu hukum disebut secara global dalam al-Qur’an dan dirincikan dalam Hadis, misalnya
jumlah rakaat dalam shalat dan waktu pelaksanaannya.

3.

Nabi Muhammad saw. sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam
al-Qur’an. Bentuk penjelasan al-Qur’an untuk masalah ini adalah dengan mewajibkan taat
kepada perintah Nabi Muhammad saw. dan menjauhi larangannya.

4.

Allah swt. mewajibkan kepada hambaNya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang
tidak ada ketentuan nashnya dalam al-Qur’an dan Hadis. Penjelasan al-Qur’an dalam masalah
ini adalah dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan), sesuai dengan kapasitas
pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan
qiyas atau penalaran analogis.
Mazhab as-Syafi’iyah memiliki penganut sekitar 28% umat Islam di dunia. Pengikut

mazhab ini paling banyak tersebar di Indonesia, Turki, Irak, Iran, Syria, Mesir, Somalia, Yaman,
Kamboja, Vietnam, Thailand, Singapura, Sri Langka, Filipina serta menjadi mazhab resmi di
negara Malaysia dan Brunei Darussalam.
2.2.4. Mazhab al-Hanabilah (Mazhab Hambali)
Mazhab al-Hanabilah didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bin Asad asy-Syaibani
(164-241 H), yang dilahirkan di Baghdad.9 Imam Hambali memiliki pengalaman mencari ilmu di
pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekkah, Madinah, Yaman dan Syam (Palestina). Imam
Hambali berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad, sehingga menjadi mujtahid
mutlak mustaqil. Imam Hambali mempunyai guru yang mencapai ratusan dan menguasai banyak
hadis, sehingga menjadi ahli hadis di jamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi
Hazim Al-Bukhari.10
Imam Hambali adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Umumnya ahli hadis pernah belajar
kepada Imam Hambali, dimana yang paling menonjol adalah Imam Bukhari, Imam Islam, Abu
Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Imam Hambali melakukan perjalanan mencari hadis dengan
mendengar langsung dari perawinya yang masih hidup, dan merasa tidak cukup hanya dengan
9 Rasyad Hanan Khalil, op.cit., h. 193-194
10 Ibid., h. 194

11

menukil dari buku untuk kemudian disampaikan lagi. Kecenderungan Imam Hambali tehadap hadis
dan periwayatan tersebut memberi dampak besar bagi dalam ilmu fiqh, dimana setiap hadis yang
dikuasainya menjelma menjadi sebuah pemahaman yang sangat dalam. Imam Ahmad menjadi
seorang mujtahid mandiri yang memiliki mazhab tersendiri berkat keahlian fiqhnya yang besar dan
kemampuannya dalam menggali suatu masalah.
Dasar madzhab al-Hanabilah adalah al-Qur’an, Hadis, fatwa sahabat, ijma’, qiyas,
istishhab, maslahah mursalah dan saddu adz-dzari’ah.11 Dari dasar-dasar dan metode-metode
pengambilan hukumnya, terlihat bahwa Imam Hambali mempersempit penggunaan rasio sampai
pada batas tertentu, dan lebih mendahulukan penggunaan qiyas. Imam Hambali tidak mengarang
satu kitab pun tentang fiqhnya, namun pengikutnya yang membukukan madzhabnya dari perkataan,
perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Imam Hambali mengarang sebuah kitab hadis alMusnad yang memuat ± 40.000 hadis serta mengunakan hadis mursal dan hadis dha’if, yang
derajatnya meningkat menjadi hadis hasan.12 Mazhab al-Hanabilah diikuti oleh sekitar 5% umat
Islam di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab al-Hanabilah merupakan mazhab
yang saat ini dianut oleh warga Arab Saudi.

11 Ibid., h. 195-196
12 Ahmad Asy-Syurbasi, op.cit., h. 195

12

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan mengenai dasar pemikiran dan perkembangan mazhab
hukum Islam di atas, maka penulis menyimpulkan, yaitu :
1.

Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, dimana hal ini
telah ada sejak Islam belum berkembang seperti sekarang. Perbedaan pendapat sering terjadi
karena adanya ciri dan pandangan yang berbeda dalam memahami Islam. Perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam akan terus berlangsung sampai kapan pun, dan ini menunjukkan
kedinamisan umat Islam. Hal ini juga yang melahirkan mazhab-mazhab hukum Islam, yang
masih menjadi pegangan saat ini. Masing-masing mazhab memiliki pokok pegangan yang
berbeda, sehingga melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk

2.

pandangan terhadap kedudukan al-Qur’an dan Hadis.
Hasil ijtihad para imam mazhab dapat diketahui setelah disusun secara sistematis dan melalui
penyempurnaan di tangan murid-muridnya, sehingga menghasilkan mazhab fiqh. Ketentuan
hukum dalam mazhab fiqh itulah yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari, serta
menjadi rujukan para hakim dalam menyelesaikan perkara. Mazhab fiqh peninggalan para
imam mazhab merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan dan perkembangan

3.

pemikiran mazhab hingga saat ini.
Terdapat kemiripan latar belakang adanya mazhab-madzhab hukum Islam, dimana dasar yang
digunakan pada mazhab-mazhab tersebut mengutamakan dan berpedoman pada al-Qur’an dan
Hadis, dengan menambahkan pedoman lain sebagai pelengkap.

3.2. Saran
Setelah membaca urai-uraian mengenai mazhab hukum Islam di atas, penulis berusaha
menyarankan beberapa hal, yaitu :
1. Mazhab yang ada di dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa jumlahnya.
Dengan ada banyaknya mazhab hukum Islam, maka dapat digunakan sebagai panduan untuk
menyelesaikan berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan, dimana kita harus lebih
banyak mengkaji dan mencari setiap literatur mengenai pandangan mazhab-mazhab tersebut.

13

2. Umat Islam harus selalu bersikap terbuka dan bijaksana dalam memandang serta memahami arti
perbedaan, sehingga dapat sampai pada satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik
dengan bertentangan, dan Islam adalah satu dalam keragaman.
3. Dalam memilih dan menentukan mazhab mana yang akan dijadikan pedoman, kita harus
mengetahui secara dalam ajaran-ajaran apa yang diperkenalkan, karena kesemua ajaran tersebut
memiliki perbedaan.