Antara Agama dan Budaya docx

Antara Agama dan Budaya
Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari
Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan
budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan
budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama
sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh
para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat
Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia.
Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh
manusia-manusia yang memeluknya.
Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi sebagian orang
tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau budaya. Ambil contoh tradisi
tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang beranggapan bahwa upacara tahlilan
adalah kewajiban agama, yang harus mereka selenggarakan meskipun untuk itu harus
berhutang. Mereka merasa berdosa kalau tidak mengadakan tahlilan ketika ada anggota
keluarga yang meninggal dunia. Padahal yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan
kematian adalah “memandikan, mengkafani, menyalatkan, mengantar ke makan,
memakamkan, dan mendoakan”. Sangat simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini
berarti bahwa upacara tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang
mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah duka,
yang kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam hal ini

adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-praktek
keberagamaan seperti itu secara proporsional.
Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama qurban
(sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah perintah agama
meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah. Tapi di tengah masyarakat
muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor dibandingkan dengan tahlilan.
Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap urusan kematian daripada urusan
kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa “sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada orang
yang tidak mengadakan tahlilan lebih keras dibandingkan dengan orang yang tidak
melaksanakan qurban dan aqiqah.
Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga dianggap
sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi madah nabawi (pujian
kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan dan diiringi dengan musik.
Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu atau musik shalawat. Karena shalawat
itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi
madah nabawi (yang kalimatnya berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan
musiknya, serta merta dinilai sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis
dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan
dalam katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa
Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa kepada

Allah SWT.

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai tempat
kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk tradisi yang sudah
hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang dilarang, ada yang
dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan dijadikan bagian dari ajaran
Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam budaya dan tradisi di tengah
masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok
akidah, syariah dan akhlak Islam?

AGAMA DAN BUDAYA
A. PENGERTIAN AGAMA
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama
dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu
menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari
seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama
manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan
agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan

diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam
pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan
hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungan antar
sesamanya (horizontal).
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia
tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini
ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal
yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman
dalam hidupnya.
B.

PENGERTIAN BUDAYA
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta serta akal budi manusia untuk
memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau,

kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang
digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.

Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan
kehidupan serta sikon manusia berada.
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur
kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan.
Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia
disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya.
Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa
lalu atau warisan nenek moyangnya, melainkan termasuk mengembangkan hasil-hasil
kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam
interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi.
Tradisi iasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi
akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya
pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsurunsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi
formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan antara agama dan kebudayaan.

Teori evolusi menurut agama islam
Di dalam Al-Qur’an manusia pertama memang tidak diungkap secara eksplisit. Tampaknya,
mengurai asal-usul manusia pertama bukanlah tema substantif al-Qur’an. Seperti yang kita
tau, Manusia modern pertama atau yang disebut Homo Sapien bermula dari Afrika baru

selanjutnya menyebar keseluruh dunia. Apakah Homo aspen tersebut yang bernama adam?
Tapi kalau dilihat dari segi bahasa, Homo sapien dan adam memiliki arti yang sama, kata
adam berasal dari bahasa aram kuno yang berarti manusia atau yang kita kenal manusia
modern, sedangkan kata Homo sapien sendiri juga berarti Manusia modern Adam sebagai
Khalifah, Substansi dari dialog dengan malaikat (Q.s. al-Baqarah: 30-31 ) adalah penegasan
bahwa sesungguhnya Allah sebagai Pencipta atau Penjadi khalifah di muka bumi ini. Kata
“jaa`ilun” sebagai konstruksi isim fa`il yang berarti subyek pelaku dalam frasa Innii jaa’ilun
fi al-ardhi khaliifah tidak harus diartikan “hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.
Seandainya arti ini yang dipahami, maka tidak ada khalifah sebelum Adam. Konseksuensi
logisnya, Adam adalah manusia pertama. Khalifah sebelum Adam dan khalifah yang hendak
diciptakan Allah ini adalah khalifah yang benar-benar berasal dari golongan manusia.
Perhatikan ayat berikut ini: Dan Dialah yang telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat
cepat ‘iqab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (Q.s. alAn’am: 165). Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa sesungguhnya Allah adalah pencipta

para khalifah di muka bumi ini. Kata ganti orang kedua (dhamir mukhatab) pada ja’alakum
merujuk pada seluruh umat manusia. Menilik pada keumuman lafadz ini, apabila dikaitkan
dengan pertanyaan malaikat tentang penciptaan khalifah, maka khalifah sebelum Adam
adalah khalifah dari golongan manusia juga. Ada banyak “Adam-Adam” lain yang

sebelumnya diciptakan Allah dengan fungsi yang sama namun dengan karakter yang berbeda;
destruktif. Adam dan Instalasi al-Asma’ Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis
tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan karakter
“destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah karakter hominid
memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur fisik yang hampir mirip
manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera). Mereka tercipta dengan volume
otak yang kecil yang dengan sendirinya perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi
atau bersifat kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah. Sementara itu,
khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah untuk mengelola bumi
ini.

Evolusi adalah suatu fenomena yang muncul pada kepercayaan-kepercayaan atau agama,
agar lebih adaftatif dan dapat diterima, lebih otonom dan kompleks, agar lebih dapat diterima
oleh masyarakat penganutnya. Fenomena inilah yang oleh ahli disebut sebagai evolusi
agama. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai logika tentu memandang fenomena
berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh orang lain. Ketika suatu fenomena yang
dianggap diluar batas kekuatan manusia muncul, maka ada yang menyebutnya sebagai tuhan,
tapi adapula yang lebih cerdas yang menganggap bahwa ada sesuatu yang berkuasa atas
fenomena itu.