Poligami Perspektif Islam dan Hukum Posi

“Aisyah, Poligami tidak semudah itu. Ada banyak hal yang harus aku pertanggungjawabkan. Kamulah satu-satunya yang ku pilih atas nama Alllah” (Ayat-Ayat Cinta)
Prolog
Islam sebagai agama yang memberikan rahmatan lil’alamin bagi segenap umat
manusia didunia diturunkan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari
kebathilan dan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan diturunkannya ayat-ayat suci AlQur’an pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yang berlaku sebagai ajaran
norma dan nilai untuk menjalankan kehidupan, baik dalam kehidupan duniawi dan
ukhrawi yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain; keduanya harus
diraih dalam batas-batas kodrat kemanusiaan. Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan
“ atau “hafalan”, atau dalam tafsiran lain bisa diartikan sebagai “kitab-kitab yang berisi
firman Allah yang diwahyukan kepada Muhammad dalam bahasa Arab dan sampi
kepada kita (umat muslim) melalui periwayatan yang tidak putus atau (tawatur) .
Dalam konteks kehidupan duniawi, kita sebagai seorang muslim pastinya menyadari
bahwa Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat muslim memiliki tujuan dasar untuk
menjaga jiwa, akal, keturunan umat manusia, harta kekayaan, dan agama itu sendiri
Dalam konteks keturunan, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk
menikah, membentuk keluarga sakinah dan warrohmah guna menghasilkan keturunan
yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan memainkan peranan
yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya sebagai legalitas
hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk perbuatan hukum yang
berawal dari perikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan
tanpa ada paksaan maupun suruhan oleh orang lain, ini merupakan suatu bentuk

perjanjian yang sakral karena dilegalkan oleh agama sebagai keyakinan trasendental
kedua mempelai. Hal ini dipertegas dalam Surah An-Nisa Ayat 19 yang menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka
melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara
yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi

kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah memberikan kebaikan yang banyak
padanya”
Sedangkan dalam hadist nabi diuraikan oleh dalam Hadist Riwayat Bukhari,
yang menyatakan secara eksplisit :
“Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasullah saw memuji Allah dan menyanjungNya
seraya bersabda : “Tetapi aku berpuasa, berbuka, shalat, tidur dan mengawini
wanita. Barang siapa yang benci kepada sunnahku (caraku) ia bukan dari
golonganku”
Perkawinan adalah sebagai sunnatullah yang berlaku umum pada semua
mahkluk, terutama kepada manusia sebagai mahkluk yang diciptakan paling sempurna
di muka bumi. Ikatan perkawinan dalam Islam merupakan suatu ikatan yang sangat
kuat (mitsaqan ghalizha) yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam wadah

keluarga yang penuh ketentraman, rasa kasih dan sayang. Sehingga, tidak bisa
dinafikan bahwa dasar dari perkawinan adalah rasa saling mempercayai dan kesetiaan
antar suami dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Namun
bukan hal yang langka (bahkan sering ditemui) dalam kehidupan berumah tangga
sering terjadi pertentangan dan beda pendapat antara suami dan istri baik dalam skala
kecil maupun besar.
Permasalah yang acap kali menjadi isu perceraian rumah tangga adalah
poligami. Secara etimologi, Poligami bisa diartikan sebagai:” suatu perkawinan yang
banyak atau lebih dari seorang”. Sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai:
“Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersamaan atau suatu adat seorang laki-laki beristri lebih dari
seorang perempuan” . Istilah poligami sudah sering didengar dan selalu menyedot
banyak perhatian, karena hal ini telah dipraktekkan sejak ribuan tahun silam, tetapi
tetap hangat dan menarik untuk dibahas. Ibarat buah durian yang akan menyakiti orang
yang tertimpa karena durinya yang tajam, namum tetap diburu karena sensasi “rasa”
dan “aroma” yang sangat luar biasa.
Mungkin masih segar dalam ingatan, ketika pada medio tahun 2008, Indonesia
diguncang demam film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bersetting kehidupan anak kost
yang jauh merantau di negeri firaun Mesir untuk menuntut ilmu, sosok tersebut


digambarkan sebagai pribadi yang cerdas, baik hati dan alim. Sosok tersebut bernama
Fahri, yang pada ending film tersebut diceritakan memperistri dua orang wanita cantik
Aisyah dan Maria. Film tersebut sangat menarik dan kontroversial karena sungguh
merepresentasikan kehidupan yang nyata dan mungkin sering terjadi di seluruh
belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia. Kalangan pembela hak-hak wanita (Feminist)
bahwa pernah berkomentar sinis bahwa film tersebut sebaiknya diganti judulnya
menjadi Ayat-Ayat Lelaki. Komentar dari kalangan feminist tersebut bisa menjadi tolak
ukur kegelisahan para kaum wanita dalam menghadapi kemungkinan dirinya “tertimpa”
poligami. Apakah nantinya praktek poligami yang memang secara normatif sah dan
halal dalam Islam, akan bernasib sama seperti dengan “perceraian” yang halal namun
sekaligus dibenci? Apakah kedepannya (dan mungkin sudah terjadi) banyak kalangan
lelaki melakukan poligami semaunya dengan menggunakan apologi menghindari zina
yang jelas dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadist atau dengan alasan ingin meniru
perilaku

(poligami) Nabi

Muhammad? Tulisan

sederhana


ini

akan

mencoba

melacaknya.
Poligami dalam Al-Qur’an
Secara normatif, Al-Qur’an secara ekspisit membolehkan praktek poligami, Allah
Swt menyatakan dalam surat An-Nisa ayat (3):
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berbuat adil , maka (nikahilah) seorang saja , atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim”
Ayat diatas yang sering menjadi bahan perdebatan terutama bagi para
memerhati hak-hak wanita dan gender. Secara sekilas memang terkesan ayat diatas
sangat bias gender, dimana laki-laki diposisikan lebih tinggi dari perempuan, laki-laki

cenderung

mendapatkan

banyak

kelebihan,

keistimewaan

dan

kemudahan

dibandingkan kaum perempuan, yang cenderung dieksploitasi oleh laki-laki, karena
secara nurani tiada perempuan yang mau diduakan,dibagi cinta oleh perempuan lain,
sekiranya begitu pula perasaan laki-laki bila diduakan oleh istrinya. Kritik terhadap

praktek poligami secara ekplisit disampaikan oleh para aktivis hak-hak wanita
(Feminist) di Arabia dan Mesir yang menulis suatu tuduhan yang memberatkan tentang

status wanita dalam masyarakat Islam:
“ Tidak seorang pun dapat mengkaji kisah tragis wanita dibawah Islam tanpa
suatu kerinduan dan doa yang sungguh-sungguh bahwa sesuatu yang memadai
dapat dilaksanakan. Kita merasa kasihan dan sedih terhadap wanita Islam
berkerudung”
Lebih lanjut Samuel M. Zwener mengemukakan kritiknya tentang suatu
gambaran suram dan sama sekali tidak sehat dari kehidupan rumah tangga dimana
wanita diasingkan dan dicap dengan citranya yang rendah sebagai satu penyebab
utama

meratanya

kerusakan

moral

dalam

keluarga


poligami

Islam.

“Kehidupan keluarga yang sehat adalah tidak mungkin. Anak-anak tumbuh dalam suatu
suasana intrik beracun, berahi yang subur, bahasa buruk, dan amoral tanpa malu.
Mereka dikotori sejak dari masa muda.”
Kecaman terhadap poligami oleh para feminist terjadi karena poligami sering
sekali disalah tafsirkan oleh beberapa kalangan, terutama bagi kalangan-kalangan yang
memahami dan memaknai ayat-ayat Al-Qur’an hanya dari segi tekstual semata, tanpa
mau memperhatikan aspek konstektualitas dan sejarah (Asbabun Nuzul) dari ayat-ayat
Al-Qur’an. Sebagi contoh ayat diatas (An-Nisa :3) dianggap sebagai harga mati akan
sahnya perkawinan poligami, yang pada akhirnya akan melanggar nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan dalam masyarakat. Jumlah istri yang dihalal kan untuk dinikahi pun
bervariasi sesuai dengan tafsiran masing-masing kalangan, ada yang menafsirkan
jumlah maksimal istri adalah empat orang, sembilan orang bahkan sampai duapuluh
orang.
Sejatinya, poligami yang berdasarkan atas godaan syahwat nakal semata yang
dibungkus oleh “legalitas semu” tersebut tidak bisa dibenarkan dalam Hukum Islam,
karena pernikahan dapat berubah-ubah hukumnya dari halal, haram, sunnah, dan

makhruh, sesuai dengan tujuan menikah itu sendiri. Apabila seseorang menikah hanya
untuk bertujuan untuk “melegalkan” perzinahan, maka itu dapat diklasifikasikan sebagai
“nikah yang haram” (ahkamul khamsah) . Karena dasar dari perkawinan adalah
komitmen dan cinta kasih bukan nafsu semata. Poligami yang dilakukan lewat

penafsiran sempit ini, memang telah menodai komitmen suci dalam berumah tangga,
menafikan nilai-nilai keadilan dan melunturkan kasih dan cinta dalam keluarga yang
sudah lama dibina.
Memahami poligami dalam Islam, tidak cukup hanya dengan mengartikan satu
ayat secara tekstual, ayat-ayat Al-Qur’an harus dipahami secara menyeluruh, holistik
dan filsafati. Bila kita hanya mencermati satu ayat saja (ayat 3) maka, akan timbul bias
gender dalam poligami, tapi apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang relevan dengan
poligami, maka akan terlihat dasar filsafati dari ayat-ayat tersebut, seperti yang
tercantum dalam Surah An-Nisa : 2, yaitu:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka,
janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar” .
Bila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an secara konstektual maka akan
tergambar latar belakang (Asbabun Nuzul) dari poligami dalam Islam. Ayat ini

diturunkan pada masa Perang Uhud (3 Syawal) dimana pada saat itu pasukan Islam
yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw menderita kekalahan dari kaum Quraisy,
sebanyak lebih dari 70 orang tentara (laki-laki) meninggal dunia, meninggalkan
keluarga, anak-anak menjadi yatim piatu dan istri-istri mereka menjadi janda. Kejadian
inilah yang menjadi alasan diturunkannya ayat diatas sebagai anjuran untuk mengawini
para janda-janda perang dan menafkahi anak-anak mereka. Kalau dicermati, maka ayat
poligami di Al-Qur’an bukan merupakan bentuk anjuran, tapi lebih sebagai solusi dari
keadaan darurat.
Apabila kita berkaca pada pengalaman umat manusia, keadaan darurat tersebut
juga sering terjadi dalam keadaan perang, dimana banyak tentara-tentara (laki-laki)
yang gugur dimedan perang, sehingga semakin mempertajam selisih jumlah kuantitatif
laki-laki dan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica (1984), dalam Perang Dunia
ke-I (1914-1918) tercatat hampir 8 juta tentara tewas di medan tempur, Perang Dunia
ke-II (1939-1945) tercatat lebih dari 60 juta, dan dalam Perang Irak-Iran (1979-1988),
hampir 82.000 wanita Iran dan 100.000 wanita Irak menjadi janda . Dalam keadaan
darurat seperti diatas, poligami memainkan peranan penting sebagai solusi untuk

menyeimbangkan jumlah laki-laki dan perempuan, dan menafkahi janda-janda dan
anak-anak yatim piatu.
Apabila kita berkaca pada realitas kehidupan kontemporer, memang poligami

masih diterima “setengah-hati” oleh masyarakat yang masih menjaga adat kesakralan
perkawinan dan komitmen rumah tangga. Namun poligami jelas berbeda dengan
perceraian, walaupun kedua-duanya halal untuk dilakukan, namun perceraian lebih
memberi dampak buruk dari pada poligami, karena dalam perceraian terjadi destruksi
ikatan dan hubungan yang telah terjalin, hal inilah yang membuat Allah Swt sangat
membenci perceraiaan.
Sementara poligami, menambah jalinan hubungan baru, tetapi dalam poligami
juga sering terdapat emosi kebencian namun hadir dalam suasana yang berbeda. Hal
ini karena suami tidak dapat berperan secara adil, tidak mendapatkan ridha dari istri
pertama dan problem-problem psikologi yang dialami istri pertama dan keluarganya.
Tentang pentingnya menjalankan keadilan dalam keluarga poligami, Allah SWT
memberikan

anjuran

dalam

surah

An-Nisa


Ayat

129,

sebagai

berikut:

“Dan kamu tidak akan pernah berlaku adil kepada istri-istrimu, walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang”
Selain mengaitkan poligami dengan aspek emosional dan psikologi istri yang
diduakan, kerancuan dalam menafsirkan esensi dari poligami juga sering terjadi dengan
alasan untuk menghindari prilaku berzina, oleh banyak kalangan (laki-laki) sering
berujar: “lebih baik kawin (poligami) lagi, dari pada berbuat zina “. Alasan ini menurut
penulis sangatlah “cengeng” karena kita selaku umat muslim sudah menyadari dan
mengetahui bahwa zina itu dilarang (haram hukumnya) oleh Islam, seperti yang
diamanahkan

Allah

SWT

dalam

surah

Al-Isra’

ayat

32

yang

menyatakan:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan
suatu jalan yang buruk”
Sedangkan terkait alasan melakukan poligami guna untuk meniru perilaku Nabi,
juga sangat tidak dapat diterima, karena seorang Nabi, seperti Nabi Muhammad SAW,

memang sosok manusia pilihan yang tidak dapat ditiru-tiru oleh umatnya. Meniru
kebiasaan dan perilaku beliau secara wajar mungkin dapat diterima sebagai anjuran
sunah nabi, namun meniru secara an sich dan berlebihan tidaklah wajar. Hal ini dapat
dijelaskan oleh Allah SAW dalam surah Al-Ahzab ayat 50, yang menyatakan:
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah
engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa
yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan
(demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut
hijrah bersamamu, dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang
Mukmin. Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istriistri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan
bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” .
Jadi sebenarnya, sebagian besar tradisi agama di dunia (terutama Islam),
berpendapat bahwa bukan teks agama (secara normatif) yang menjadi sebab masalah
ketidakadilan dan kesetaraan gender antara suami/pria dan istri/wanita, namun lebih
kepada penafsirannya. Julia Cleves Mosse, dalam penelitiannya meneliti hampir semua
teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Berkesimpulan bahwa agama menawarkan
kemungkinan pembebasan dan perbaikan terhadap posisi wanita (istri) baik dalam
ranah privat/keluarga maupun publik/masyarakat . Bahkan dalam ranah publik, seorang
istri/wanita pun dapat berperan dalam menjalankan kekuasaan. Dalam tradisi
masyarakat Islam, wanita memberi sumbangan penting terhadap sufisme dan ilmu
keagamaan seperti yang dipraktekkan oleh Rabbiatul Adawiyah pada jaman
kekhalifahan Islam Timur di Bahdad (Irak).
Poligami dalam Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dibuat dengan tujuan
utama untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai anggota keluarga . UU ini lahir
sebagai jawaban atas berbagai macam kasus poligami dan poliandri yang sewenangwenang dilakukan oleh masyarakat. UU ini pada prinsipnya dimaksudkan untuk

mengubah sistem poligami menjadi monogami dan sekaligus sebagai sarana efektif
untuk melindungi kedudukan wanita dalam keluarga supaya lebih terlindungi dari
eksploitasi laki-laki dalam hubungan sebagai suami istri. Sebagaimana tercantum
dalam Pasal 3 ayat 1, yang menyatakan: (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. Namun pemakaian asas monogami dalam UU tersebut
tidaklah dilakukan dengan tegas, bahkan ada yang beranggapan bahwa asas
monogami tersebut bersifat terbuka , dalam artian poligami masih tetap dilegalkan (sah)
terhadap orang yang menurut hukum dan agama (Islam) yang dianutnya mengizinkan
seorang suami beristri lebih dari seorang. Dengan demikian UU ini tersebut juga pro
terhadap poligami, seperti yang dapat dipahami dalam Pasal 3 Ayat 2, yang
menyatakan: (2) Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk
beristri

lebih

dari satu seorang apabila dikehendaki

oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.
Dari kedua ayat-ayat diatas, dapat dianalisa perihal politik hukum pembentukan
UU Perkawinan tersebut yang dapat dikategorikan sebagai UU yang responsif, dalam
artian UU tersebut merupakan suatu produk hukum yang dihasilkan dari aspirasiaspirasi yang hidup dimasyarakat (terutama umat muslim) pada umumnya. Namun
bukan berarti UU tersebut tidak memiliki cela, konsewensi dari dianutnya asas
monogami terbuka adalah hilangnya konsistensi dari pemerintah untuk melaksanakan
asas monogami, pemerintah terlihat ragu dalam memilih antara asas poligami ataukah
asas monogami. Sehingga UU tersebut cenderung terlihat “abu-abu”, selain itu UU
tersebut juga membawa dampak psikologis bagi para wanita yang merasa kurang
terlindungi hak-haknya dari ancaman praktek poligami, walaupun izin untuk melakukan
poligami dilandasi oleh perjanjian, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 1, namun
perjanjian tersebut dirasa masih belum cukup dapat memberikan rasa adil dalam
berpoligami.
Praktek poligami, secara historis dan kultural tidak dapat dipisahkan oleh budaya
patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat Arab pra-Islam dan suku-suku
nomadent di Afrika bagian Timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara
historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana suami sebagai kepala rumah

tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak (untouchable) atas semua
anggota keluarganya. Patriakhi tersebut pada perkembangannya menjadi suatu
gerakan dominasi (dominance movement) pris/suami atas wanita/istri dan anak-anak
didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi pria/suami terhadap semua lingkup
kemasyarakatan lainnya. Relasi yang mengikuti budaya patriarki, adalah relasi patronclan; atau ketertundukan, kesakralan perintah suami/pria terhadap istri/wanita dan
anak-anaknya. Relasi inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidak adil dan
kesewenangan didalam rumah tangga.
Seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang istri, hendaknya
dipandang sebagai sebuah bagian terpenting dalam suatu keluarga. Karena mereka
memainkan peran yang sangat signifikan terhadap tumbuh kembangnya keluarga dan
anak-anak mereka. Suami dan istri dalam suatu keluarga hendaknya tunduk kepada
suatu prinsip kesetaraan, persamaan, keadilan dan kemitraan dalam berkeluarga, yang
nantinya akan menciptakan suasana harmoni dan tidak menimbulkan perasaan
ekstrimitas diantara keduannya. Kesetaraan dalam hubungan suami istri meliputi
kesetaraan dalam hal kedudukan dalam tata hukum dan undang-undang nasional,
begitu pula dalam pola relasi hidup sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat dimana
tidak ada diskriminasi antara suami terhadap istrinya. Prinsip kedua, menurut penulis
sangat urgent untuk diperhatikan adalah prinsip keadilan dalam berumah tangga.
Seorang suami sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk dapat berlaku adil terhadap
istrinya dan terhadap anak-anak mereka, barometer keadilan inilah yang sangat sulit
dipenuhi oleh keluarga poligami, walaupun ada beberapa pihak (suami) yang mengklaim sudah berlaku adil terhadap istri-istrinya. Anjuran untuk berlaku adil juga
diamanahkan

dalam

Al-Qur’an,

surah

Al-A’raf

Ayat

29,

yang

menyatakan:

“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah)
pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata
hanya kepada-Nya. Dan kamu akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu
diciptakan semula”
Sedangkan prinsip persamaan dan kemitraan dalam berkeluarga dipandang
sebagai sebuah kondisi dimana suami dan istri memiliki kesamaan hak dan kewajiban
yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan , peranan yang dilandasi oleh sikap dan

perilaku saling bantu membantu, dan saling mengisi disemua bidang kehidupan .
Prinsip-prinsip diatas bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis,
berkeadilan dan mewujudan kemitrasejajaran yang merupakan tanggung jawab
bersama suami dan istri.
Kesimpulan
Fenomena poligami, yang marak diperbincangkan saat ini hendaknya dimaknai
secara lebih dewasa dan komprehensif, dan janganlah terjebak pada suatu penafsiran
terhadap teks-teks Al-Qur’an dengan cara yang sempit dan tekstual semata. Namun
haruslah ditafsirkan dengan menggunakan akal, logika, dan secara kontektual sehingga
dapat dimaknai sesuai dengan Asbabul Nuzul yang diinginkan oleh Allah Swt.
Wanita, sebagai salah satu ciptaan Allah Swt, pastinya diciptakan dengan tujuan
tertentu, yang pasti mulia dan penting bagi kehidupan dan keseimbangan kosmos dan
kosmik di alam semesta ini. Hendaknya juga mereka dihormati sesuai dengan kodrat
dan perannya baik dalam lingkup privat/keluarga maupun lingkup publik/masyarakat.