Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asas “ultimum remedium” (obat yang terakhir) adalah salah satu asas
dalam hukum pidana yang menggambarkan sifat pidana yaitu jika tidak perlu
sekali maka suatu pidana tidak juga perlu untuk digunakan sebagai sarana
penghukum melainkan peraturan pidana tersebut sebaiknya dicabut apabila dirasa
tidak ada manfaatnya. Para ahli juga berpendapat beragam mengenai tujuan
pemidanaan itu sendiri, apabila berkaca dari sifatnya sebagai ultimum remedium
maka fokus utama suatu pidana adalah pelaku kejahatan dan tindak pidananya.
Pelaku kejahatan yang disebut sebagai penjahat ini diartikan secara
Yuridis adalah orang-orang yang melanggar peraturan atau Undang-Undang
pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman.1
Merekalah yang akan merasakan pidana yang diberikan oleh penegak hukum
melalui sebuah sistem yang disebut sebagai sistem pemidanaan.
Menurut Jan Remmelink, Pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan
matang suatu azab oleh instansi yang berwenang kepada pelaku yang bersalah
melanggar suatu aturan hukum2, sedangkan Sudarto mengatakan bahwa
pemidanaan merupakan penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Pendapat
ahli lainnya yang menjabarkan gambaran mengenai bagaimana pemidanaan itu

masih banyak, namun pada intinya tetap berfokus pada proses pelaksanaan
1
2

Team Teaching Kriminologi FH USU, Monograf Kriminologi, (Medan:2014), hal. 11
Marlina, Hukum Penitensier , (Bandung:Rafika Aditama,2011), hal. 33

Universitas Sumatera Utara

pidana, yang mana proses ini lah yang kemudian akan dilewati oleh pelaku tindak
pidana (Narapidana) sebagai suatu bentuk nestapa atas perbuatan yang
dilakukannya.
Tujuan dari pemidanaan itu sendiri dapat dilihat berdasarkan penjelasan
Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)3 yang menyebutkan ada
empat teori pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan (Vergeldings-Theorie), Teori
Mempertakutkan (Afchrikkings-Theorie), Teori Memperbaiki (VerbeteringsTheorie), dan Teori yang menggabungkan ketiganya (Teori Gabungan).

Teori tujuan pemidanaan lainnya yang kemudian dikenal adalah Teori
Perlindungan Masyarakat (Social Defence-Theorie) yang berkembang dari Teori
bio-sosiologis, yang dipelopori oleh Ferri. Pandangan ini lah yang diterima oleh

Union-Internationale de Droit Penal atau Internationale Kriminalistische
Vereinigung (IKU) atau Internationale Association For Criminology (berdiri 1

Januari 1889) suatu lembaga kajian hasil studi antropologi dan sosiologis yang
mengakui bahwa pidana adalah salah satu alat paling ampuh untuk memerangi
kejahatan, namun bukan satu-satunya karena yang seharusnya dilakukan adalah
memadukan kebijakan sosial khususnya dengan tindakan-tindakan preventif.4
Kajian tersebut dapat diartikan sebagai proses pencarian salah satu makna atau
tujuan dari Hukum yang sesungguhnya yaitu keadilan.
3

Di dalam Penjelasan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana disebutkan ada
empat filsafat tujuan pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan ( Vergeldings-Theorie) yang menurut
Emmanuel Kant, bahwa “Siapa membunuh harus dibunuh”. “Blood for blood, eyes for eyes ), Teori
Mempertakutkan (Afchrikkings-Theorie) menurut Van Feurbach, hukuman yang dijatuhkan harus
mempertakutkan orang agar tidak berbuat jahat, Teori Memperbaiki ( Verbetering-Theorie)
dikemukakan oleh pujangga lain, bahwa hukum itu bermaksud pula untuk memperbaiki orang
yang telah berbuat kejahatan, dan teori yang menggabungkan ketiganya (Teori Gabungan), bahwa
dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, mempertakutkan, mempertahankan tatatertib kehidupan, dan memperbaiki orang yang telah berbuat tidak bisa diabaikan.
4

Marlina, Op.Cit, hal. 70

Universitas Sumatera Utara

Mudzakir mengatakan bahwa hukum pidana Indonesia dalam sistem
peradilan pidana saat ini belum bisa memberikan keadilan bagi masyarakat karena
keadilan yang ditegakkan masih bersifat retributive, sedangkan konsep keadilan
dalam penal policy pada masa depan harus menggeser perspektif keadilan
retributif kepada perspektif restoratif.5
Howard Zehr, salah satu pelopor Keadilan Restoratif di tahun 1990-an,
mengusulkan untuk mengubah lensa menjadi ‘lensa restoratif’ (changing Lenses,
2015). Ia mendorong pemulihan rusaknya kehidupan bersama dan harkat martabat
manusia oleh karena pelanggaran atau kejahatan bukan dengan memberikan
hukuman pada pelakunya, tetapi dengan memulihkan (restorasi) hubungan
personal antara korban dan pelaku pelanggaran atau kejahatan, serta memulihkan
keharmonisan kehidupan bersama, itulah keadilan restoratif.6
Konsep seperti itu di Indonesia baru diterapkan secara Nasional dalam
sistem peradilan pidana anak yang dikenal dengan istilah Diversi dan Restoratif
Justice. Diversi dalam sistem peradilan pidana anak ini merupakan upaya yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang

dilakukan oleh anak melalui mekanisme formal kearah mekanisme informal.
Upaya yang dilakukan tersebut yang kemudian menggunakan pendekatan
Restoratif Justice atau lebih dikenal dengan istilah keadilan restoratif.
Konsep Diversi dengan pendekatan keadilan restoratif itu sendiri lahir
didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana konvensional dinilai

5
6

Ibid, hal. 72
Yoachim Agus, Keadilan Restoratif, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hal.6-7

Universitas Sumatera Utara

lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan.7 Fenomena saat ini adalah
dimana masyarakat sudah terlalu sering memandang pelaku kejahatan sebagai
satu-satunya faktor kejahatan, seolah-olah kejahatan tidak bisa disebabkan faktorfaktor lainnya seperti faktor lingkungan (keluarga), kurangnya pendidikan,
kurangnya pemahaman nilai-nilai agama, atau bahkan faktor yang mungkin saja
datang dari korban kejahatan itu sendiri, apabila ditelusuri lebih mendalam
bahkan beberapa alasan tersebut mungkin saja justru bersumber dari kelemahan

Negara.
Kenyataan yang saat ini terjadi adalah pelaku kejahatan wajib diproses di
pengadilan, hal ini berbeda dengan kasus yang dilakukan oleh anak yang memiliki
pengaturan khusus dalam sistem peradilan pidana anak. Kasus pidana yang
dilakukan oleh anak wajib menempuh proses Diversi dan Restoratif Justice,
apabila:
1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; dan
2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana8
Sistem seperti ini sudah ada sejak di undang-undangkannya UndangUndang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA yang memberikan legalitas bagi
penerapan Konsep Diversi pada anak, tentunya dengan mempertimbangkan anak
sebagai aset penting suatu Negara yang patut diberikan suatu kekhususan demi
melindungi generasi muda bangsa.
Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem
peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and
7
8

Marlina, Op.Cit, hal. 73
Lihat Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.11 tahun 2012


Universitas Sumatera Utara

rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan

sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa.
Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk
mengambil wewenang diskresi atau di Amerika Serikat sering disebut juga
dengan istilah deinstitutionalization dari sistem peradilan pidana formal.9
Tujuan lain diterapkannya konsep Diversi dengan pendekatan Restoratif
Justice ini yaitu pemidanaan untuk merestorasi atau mengembalikan kondisi yang
rusak kepada keadaan semula. Konsep seperti ini yang juga perlu dikaji dan
diterapkan dalam sistem Peradilan Pidana Konvensional di Indonesia bukan hanya
sistem

Peradilan

Anak.

Terciptanya


perdamaian

antara

pelaku

dan

korban/kerabatnya menjadi nilai kebaikan yang patut diapresiasi pada penerapan
sistem hukum pidana di Indonesia.
Dalam menyikapi tindak pidana yang dianggap dapat direstorasi kembali
dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice,
dimana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya
kepada korban, keluarganya, dan juga masyarakat. Program utamanya adalah “a
meeting place for people” guna menemukan solusi memperbaiki hubungan dan

mengganti kerusakan akibat kejahatan (peace). 10
Sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia masih cenderung
mengarah pada retributif Justice, hal ini yang menjadi alasan bahwa menggunakan
pendekatan restoratif justice tersebut tentunya tidak mudah. Sistem peradilan


9

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana ,
(Medan:USU Press, 2010), hal. 11
10
Kuat Puji Prayitno, “Restoratif Justice untuk Peradilan di Indonesia”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol.12 No.3 September 2012 hal. 409

Universitas Sumatera Utara

pidana konvensional yang saat ini diterapkan adalah sebagai satu proses melihat
ke masa lalu bagaimana kesalahannya dan memberikan pembalasan kepada si
pelaku, namun bukan berarti suatu keniscayaan peradilan pidana konvensional
Indonesia suatu saat juga menerapkan sistem pemidanaan berdasarkan pendekatan
Restoratif Justice.
Perkembangan masyarakat menuntut adanya keadilan restoratif yang tidak
hanya diterapkan bagi pelaku anak, namun juga pelaku kejahatan yang dilakukan
orang dewasa. Kebijakan hukum seperti ini dapat dikembangkan untuk tindak
pidana tertentu bagi orang dewasa dengan beberapa kondisi, diantaranya:

1. Tindak Pidana yang dilakukan dengan ancaman dibawah 5 tahun,
2. Dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang minim, dan
3. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residivis)
Kriteria lainnya masih sangat mungkin dapat dikembangkan oleh
pemerintah dan aparat penegak hukum, dimana hal ini memang menjadi sebuah
tantangan penegakan hukum mencapai tujuan hukum yang semaksimal mungkin.
Kenyataan lainnya yang menjadi faktor diperlukannya kebijakan hukum seperti
ini adalah pelaku yang dibina dalam Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat
menjadi masyarakat normal lainnya, padahal fungsi LP seperti itu saat ini dirasa
masih jauh dari yang diharapkan.
Pembinaan pun seolah-olah tidak berarti ketika masih saja ada yang
disebut ‘residivis’11 atau bahkan tidak mengurangi tingkat kejahatan karna justru

11

Menurut penjelasan pasal 486 KUHP, syarat-syarat disebut residivis umum adalah
mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama macamnya (‘sama
macamnya’ yang dimaksud misalnya kali ini mencuri maka lain kali juga mencuri), antara
melakukan kejahatan yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim, harus merupakan


Universitas Sumatera Utara

semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan ironisnya, tidak jarang terjadi
kejahatan lainnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan karena kontrol yang masih
minim sedangkan jumlah pelaku kejahatan semakin banyak.
Penanganan tindak pidana tidak pernah terlepas dari sebuah proses
panjang dengan berbagai tahapan dan aparat yang berwenang disetiap tahapnya.
Sebelum masuk pada proses peradilan, maka setiap tindak pidana yang berawal
dari dugaan akan diproses pada tahap penyelidikan dan penyidikan di kepolisian,
selanjutnya dilimpahkan berkasnya ke kejaksaan yang kemudian akan dilakukan
penuntutan di Peradilan. Kepolisian merupakan pemangku kewenangan pada
tahap awal untuk memroses tindak pidana tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan12, bahkan didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA) kesempatan untuk melakukan proses diversi pertama kali diberikan
pada tahap di Kepolisian.
Prinsip-prinsip keadilan restoratif didasari oleh pandangan bahwa
kehidupan manusia dalam masyarakat bersifat relasional. Setiap tindakan
berkaitan dengan tindakan-tindakan lain sebelumnya, maka tindak kejahatan yang
dilakukan oleh seorang pelaku bukanlah semata-mata tanggungjawab pelaku
sendiri. Tindak kejahatan itu berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat dan

kondisi korban. Misalnya seseorang mencuri uang, tindakan tersebut tidak
semata-mata tanggungjawab si pelaku. Tindakan tersebut bisa jadi didorong oleh
ketidakadilan sosial dalam masyarakat, sehingga si pencuri terjepit dalam
hukuman penjara, jangka waktu melakukan pengulangannya tidak lebih dari 5 tahun, terhitung
sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
12
Lihat UU no. 2 tahun 2002 tentang kepolisian, pasal 4-9 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, dan Peraturan Kepala Kepolisian nomor 14 tahun 2012 tentang manajemen
penyidikan tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

kemiskinan lalu mencuri. Bisa juga tindakan mencuri itu didorong oleh kekayaan
si korban yang melimpah-limpah sehingga merangsang keinginan si pencuri untuk
mencuri uang, dengan kata lain si pencuri bisa jadi merupakan korban dari situasi
sosial dalam masyarakat.13
Ada beberapa kasus pencurian selama ini yang menjadi sorotan bagi
masyarakat luas, salah satu contohnya saja kasus Pencurian yang dilakukan oleh
Nenek Asyani, yang mana telah diputus pada Pengadilan tingkat pertama dengan
vonis 1 tahun penjara (masih dilanjutkan ke tingkat Banding) atas perbuatan yang
dibuktikan di pengadilan yaitu pencurian beberapa batang kayu dari hutan yang
disebut milik PERHUTANI. Sebuah proses pengadilan yang diterapkan pada
nenek ini dinilai sebagai kelemahan hukum pada sistem peradilan umum
dikarenakan pemidanaan seperti ini tidak mencerminkan keadilan dan
kemanfaatan apabila langsung diterapkan.
Kisah lainnya yang mengusik rasa keadilan adalah kisah ‘Mbok Minah’,
Nenek dari Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas
yang berusia 55 tahun ini harus menjalani masa tahanan rumah selama tiga bulan
karena ia dituduh mencuri buah kakao tiga biji ditempatnya bekerja di PT
Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darma Kradenan tak jauh dari rumahnya.14
Sungguh ironi ketika ada perkara-perkara pencurian yang notabene adalah
ringan harus diselesaikan hingga pada proses penuntutan. Melihat kondisi tersebut
penulis kemudian mengumpulkan data tindak pidana pencurian dari salah satu
wilayah hukum kepolisian di Indonesia yaitu Kepolisian Resor Kota Medan guna
13
14

Yoachim, Op.Cit., hal.45
Ibid, hal.2

Universitas Sumatera Utara

menganalisa jumlah kejahatan pencurian yang terjadi dan melihat persentasi
jumlah penyelesaiannya yang dilakukan secara konvensional untuk kemudian
melihat bagaimana penanganan Tindak Pidana tersebut.
Data kriminalitas pencurian Satuan Resor Kriminal Polresta Medan
Sejajaran, pada tiga tahun terakhir ini yaitu tahun 2013, 2014, dan 2015 cukup
besar. Jumlah kejahatan total (criminal total) setiap tahunnya mencapai angka
4000-6000 khusus tindak pidana pencurian saja. Adapun jenis tindak pidana
pencurian yang memperoleh angka tertinggi adalah pencurian kendaraan
bermotor. Jumlah kejahatan yang selesai diproses (criminal cleareance) setiap
tahunnya tidak sebanding dengan jumlah kejahatan total, yang mampu
diselesaikan pertahunnya hanya 50%-60% dari jumlah kejahatan total tersebut.15
Hasil wawancara dengan beberapa orang penyidik di Kepolisian ini juga
menyampaikan bahwa hal ini dikarenakan sebuah proses yang panjang harus
ditempuh yakni tahap penyelidikan dan penyidikan pelaku kejahatan pencurian
tersebut.
Pelaku Kejahatan bukan saja objek melainkan subjek yang tidak berbeda
dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau
kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas, oleh
karena itu sebisanya pidana dijadikan ‘obat terakhir’ oleh aparat penegak hukum.
Konsep diversi dan restorative justice yang baru beberapa tahun digunakan pada
sistem peradilan pidana anak, tidak menjadi penghambat dipelajarinya

15

Hasil analisa dari data kriminalitas pencurian SAT Reskrim Polresta Medan Sejajaran
yang diperoleh pada saat riset tanggal 02 februari 2016

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan konsep ini diterapkan dalam scope yang lainnya salah satunya pada
pelaku Tindak Pidana Pencurian.
Penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak bisa dilakukan tanpa
adanya pengaturan tertulis yang mendasarinya. Penerapan konsep Diversi dan
restoratif justice pada kondisi yang dijelaskan tersebut tentunya hanya dapat
diterapkan apabila nilai-nilai kebaikan yang dialaskan bagi terciptanya kebijakan
hukum tersebut tidak melanggar asas legalitas yang dijunjung tinggi oleh prinsip
Hukum Pidana di Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas, Penulis pada akhirnya tertarik untuk membuat
skripsi dengan judul “Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice
pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi
pada: Polresta Medan)” yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya
dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih
beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun
permasalahan yang akan dibahas, antara lain :
1. Bagaimana Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh orang
dewasa pada Kepolisian Resor Kota Medan (POLRESTA MEDAN)?
2. Bagaimanakah Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi
Pelaku Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa?

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penulisan skripsi ini, antara lain :
1.

Mengetahui jenis-jenis tindak pidana pencurian dan penanganan
tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa pada
Polresta Medan

2.

Mengetahui bagaimana penerapan dan tantangan yang akan
dihadapi apabila dilaksanakan pengembangan konsep Diversi dan
Restoratif Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
terkhusus pada tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang
dewasa.

2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis, kiranya melalui penulisan skripsi ini mampu
mengisi ruang-ruang kosong dalam ilmu pengetahuan yang
berkenaan dengan substansi penulisan skripsi ini, hingga pada
akhirnya skripsi ini memberikan sumbangsih yang bermanfaat dan
berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum
Indonesia, khususnya terhadap sistem peradilan pidana di
Indonesia.
2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini adalah supaya pemerintah
dan aparat penegak hukum dapat melakukan evaluasi terkait tujuan

Universitas Sumatera Utara

pemidanaan yang selama ini ditetapkan dan diterapkan dalam
sistem hukum Indonesia dan melihat adanya peluang dapat
diterapkannya konsep restoratif justice dalam sistem peradilan
pidana konvensional.

D. Keaslian Penulisan
Cara yang digunakan untuk mengetahui keaslian penelitian adalah penulis
melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi, tesis, dan disertasi yang
tercatat pada Fakultas Hukum USU. Dalam penelusuran yang di lakukan tidak
ditemukan

adanya

judul

skripsi

yang

sama,

namun

ada

beberapa

skripsi/tesis/disertasi yang dilihat dari judulnya memiliki beberapa kesamaan
namun dengan rumusan masalah yang berbeda, diantaranya:
1. Penerapan konsep keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana
penipuan dan penggelapan pada satuan reserse kriminal Polres pelabuhan
Belawan.
Penulis: Haman Wahyudi, Tesis
2. Penerapan konsep Diversi dan Restoratif Justice sebagai upaya
perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan,
penuntutan, dan persidangan (Studi kasus di Kota Kabanjahe)
Penulis: Dian Antasari Ginting, Skripsi
3. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)
Penulis: Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Disertasi

Universitas Sumatera Utara

Pusat Dokumen dan Informasi Hukum Universitas cabang Fakultas
Hukum USU melalui surat tertanggal 14 Oktober 2015 menyatakan bahwa tidak
ada judul yang sama dengan judul skripsi penulis “Pengembangan Konsep Diversi
dan Restoratif Justice pada pelaku tindak pidana Pencurian yang dilakukan oleh
Orang Dewasa”.
Surat tersebut dijadikan dasar bagi Departemen Hukum Pidana, Bapak
M.Hamdan sebagai Kepala Departemen untuk menerima judul yang diajukan oleh
penulis karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini berbeda dengan yang lain
yang terdapat dilingkungan Fakultas Hukum USU, jika dikemudian hari terdapat
judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam tingkat kesarjanaan yang
berbeda, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Konsep Diversi
Pengertian Konsep Diversi menurut Undang-undang Sistem
Peradilan Anak adalah Pengalihan perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana.16 Dalam pengertian lainnya,
Diversi dalam peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan
oleh anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.17
Pengertian Diversi juga dikemukakan oleh beberapa ahli
diantaranya, Jack E. Bynum dalam bukunya “Juvenile delinquency a
16
17

Pasal 1 angka ke-7 Undang-Undang nomor 11 tahun 2012
Marlina, Op.Cit. hal. 73

Universitas Sumatera Utara

sociological approach” Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan

untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar
dari sistem peradilan pidana (Jack E Bynum, William E. Thompson,
2002;430).18 Menurut Romli Atmasasmita, Diversi yaitu kemungkinan
hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan
terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.19
Dilihat dari beberapa pengertian Konsep diversi tersebut dapat di
simpulkan bahwa konsep ini lebih dikenal dalam proses peradilan pidana
anak. Adapun tujuan diterapkannya konsep seperti ini dalam pasal 6 UU
No. 11 tahun 2012 disebutkan, bahwa Diversi adalah mencapai
perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan perkara anak
diluar

proses

kemerdekaan,

peradilan,
mendorong

menghindarkan
masyarakat

anak

untuk

dari

perampasan

berpartisipasi

dan

menanamkan tanggung jawab kepada anak.20
2. Jenis-Jenis Diversi
Pertimbangan dilakukannya Diversi didasarkan pada alasan untuk
memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak
pidana serta memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki
dirinya. Terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi yaitu:21

18

Diambil dari www.repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 17 Januari 2016 pukul

23.12 Wib
19

Diambil dari http:/pm-bangil.go.id/data/?p=207. Diakses pada tanggal 17 Januari 2016
pukul 23.24 Wib
20
Lihat Pasal 6 Undang-Undang No.11 tahun 2012
21
Marlina, Op.Cit., hal.73-74

Universitas Sumatera Utara

a. Berorientasi control social (social control orientation). Dalam hal ini
aparat

penegak

hukum

menyerahkan

anak

pelaku

pada

pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;
b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh
masyarakat dan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan, dan
menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;
c. Berorientasi pada restoratif justice, yaitu memberi kesempatan kepada
pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban
dan masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk
bersama-sama mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak
pelaku ini.
3. Pengertian Restoratif Justice (Keadilan Restoratif)
Restoratif Justice atau sering juga disebut Keadilan Restoratif
merupakan sebuah konsep yang mengakomodasi nilai-nilai kebaikan
untuk mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan sebuah perkara.
Keadilan Restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan
korban,

pelaku

kejahatan,

dan

masyarakat.

Keadilan

restoratif

mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat.22
Keadilan Restoratif adalah

proses dimana semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan
masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang

22

Yoachim Agus, Op.Cit., hal.27

Universitas Sumatera Utara

(Kelompok Kerja PBB mengenai Keadilan Restoratif, diambil dari Tony
Marshall).23
Albert Eglash dalam Encyclopedia of Crime and Punishment,
2002, 1388, 1389, telah mengemukakan istilah restorative justice pada
tahun 1977 dengan artikelnya berjudul Beyond Restutiton: Creative
Restution. Dalam artikel tersebut yang perlu diperhatikan adalah pertama,
primary victims, atau korban langsung dari tindak pidana yang mengalami

penganiayaan fisik, kehilangan harta benda, dan penderitaan secara
emosional perlu mendapat penanganan yang tepat dan pertolongan dalam
menjalani kehidupannya dan mendapatkan hak-haknya dalam rangka
pemulihan sebagai korban kejahatan. Kedua, secondary victim atau korban
tidak langsung yang secara tidak langsung juga mendapatkan pengalaman
buruk. Secondary victim tersebut adalah keluarga korban, keluarga dari
pelaku tindak pidana, dan masyarakat secara keseluruhan yang sangat
memerlukan“restorative

response”

berupa

langkah-langkah

untuk

memulihkan, memperbaiki, dan menyembuhkan akibat suatu kejahatan.24
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengartikan
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

23

Elisabeth,dkk., Diversi dan Keadilan Restoratif : Kesiapan Aparat Penegak Hukum
dan Masyarakat, (Medan: Pusaka Indonesia, 2014), hal.41
24
Ibid, hal.42

Universitas Sumatera Utara

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.25
Berdasarkan pengertian restorative justice di atas, dapat diketahui
bahwa, restorative justice merupakan teori keadilan yang menekankan
pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan pidana.
Penyelesaiannya dianggap paling baik dengan mempertemukan para pihak
secara kooperatif untuk memutuskan bagaimana menyelesaikan masalah
tersebut. Hal ini diharapkan dapat menuntun transformasi masyarakat,
hubungan, dan komunitas.26
4. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Pengertian mengenai tindak pidana pencurian secara utuh, dimulai
terlebih dahulu dengan mengerti apa yang dimaksud tindak pidana.
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam
WvZ Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar
feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti

dan isi dari istilah itu. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam

25

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 11 tahun 2012
Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding , Volume 2 nomor 2, Agustus 2013,
hal.233
26

Universitas Sumatera Utara

perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum
sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:27
a. Tindak Pidana, dapat digunakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan pidana kita. Hampir semua peraturan
perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana,
seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta,
(diganti dengan UU No. 19 tahun 2002),UU No.11/PNPS/1963
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No. 3
Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan
UU No. 31 tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya.
Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono
Prodjodikoro
b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum,
misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum, H.
J. van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum
Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum
Pidana. Pembentuk UU juga juga pernah menggunakan istilah
peristiwa

pidana,

yaitu

dalam

Undang-Undang

Dasar

sementara tahun 1950 (baca Pasal 14 ayat 1)
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai
27

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 , (Jakarta: Rajawali Pers,2002),

hal.67-68

Universitas Sumatera Utara

literatur, misalnya

E. Utrecht walaupun juga beliau

menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku
Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum
Pidana I.

Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini,

seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan dan
Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat
dengan istilah perbuatan pidana.
d. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok
Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaadmidjaja.
e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr.
Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang hukum pidana,
begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran
Tentang Hukum Pidana Indonesia.
f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk
Undang-Undang dalam UU No.12/Drt/1951 tentang Senjata
Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3)
g. Perbuatan pidana, digunakan oleh

Mr. Moeljatno dalam

berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum
Pidana
Ada begitu banyak rumusan pengertian mengenai strafbaar feit
yang termasuk salah satu istilahnya adalah tindak pidana, saat ini
Indonesia dalam sistem hukum nya lebih banyak menggunakan istilah
tindak pidana. Menurut Konsep KUHP Baru tindak pidana pada

Universitas Sumatera Utara

hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal
maupun secara materiil. Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyebutkan:28
a. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana.
b. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan
tersebut

dilarang

dan

diancam

pidana

oleh

peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
c. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum
kecuali ada alasan pembenar.
Demikian pengertian tindak pidana, maka selanjutnya akan
diuraikan makna dari suku kata ketiga yaitu ‘Pencurian’.
Terminologi Pencurian dalam tata bahasa Indonesia, memiliki kata
dasar ‘curi’ yang diberikan imbuhan ‘an’ di belakang kata dasar dan ‘pen’
di depannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘curi’ berarti ambil
milik orang lain dengan diam-diam, setelah diberikan imbuhan tersebut,
maka maknanya menjadi “proses, cara, perbuatan mencuri”.
Pencurian adalah pelanggaran terhadap hak milik dan merupakan
delik formil (formeel delict) yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya
terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang, dan
28

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2 , (Medan:USU Press,
2013), hal.88

Universitas Sumatera Utara

merupakan suatu norma yang dibentuk larangan atau verbod, seperti pada
pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mencantumkan
larangan untuk mencuri.29
Pencurian adalah perbuatan yang telah memenuhi perumusan pasal
362 KUHP yaitu mengambil sesuatu barang berwujud maupun tidak
berwujud yang sama sekali atau sebahagian termasuk kepunyaan orang
lain, yang dilakukan

dengan sengaja dengan maksud akan memiliki

barang itu dengan melawan hak yang sanksinya telah ditetapkan yaitu
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyakbanyakya atau Rp 900,-.30
5. Pengertian Orang Dewasa Menurut Hukum Pidana
Jika dicari pengertian orang dewasa tidak akan ditemukan secara
eksplisit di dalam KUHP, namun dalam Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat penjelasan
dewasa secara implisit yaitu sudah berusia 15 tahun atau sudah kawin,
telah berusia 21 tahun

ataupun belum berusia 21 tahun tetapi sudah

kawin.
6. Pengertian Pengembangan
Pengembangan dalam tata bahasa Indonesia berasal dari kata dasar
‘kembang’ dan penambahan imbuhan ‘peng-an’ dimana dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ‘kembang’ berarti buka lebar; bentang;,
sedangkan ‘peng-an’ adalah proses, cara, perbuatan; sehingga secara
29

P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, (Bandung:Tarsito,1981),

30

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana , (Bogor:Politea, 1996), hal.52

hal.78

Universitas Sumatera Utara

sempit dapat diartikan ‘pengembangan’ adalah proses/cara/perbuatan
membuka lebar. Namun pengertian secara lengkap juga di jelaskan dalam
KBBI adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan secara bertahap dan
teratur yang menjurus kepada sasaran yang dikehendaki.

F. Metode Penelitian
Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran secara
sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang
pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian NormatifEmpiris. Penelitian Normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan
perundang-undangan dan penelitian empiris yaitu penelitian terhadap kenyataan
atau fakta yang terjadi dalam penerapan hukum di masyarakat. 31 Penelitian
Normatif dalam hal ini, digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum,
asas-asas hukum, dan peraturan berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda dalam KUHP, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
31

Law Education, http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitianhukum. Diakses pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 00.24 WIB

Universitas Sumatera Utara

Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana,
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2009 tentang
Pengawasan dan Penanganan Tindak Pidana, yang memang berkaitan dengan
topik bahasan dalam skripsi ini.
Penelitian empiris yang dimaksudkan pada skripsi ini yaitu studi lapangan
yang dilakukan pada Polresta Medan bidang Kriminal untuk memperoleh data
tindak pidana pencurian pada SAT Reskrim Polresta Medan dan untuk melihat
bagaimana penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan pada Polresta
Medan sehingga dapat dijadikan bahan mengembangkan konsep diversi dan
restorative justice.
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu
penelitian yang menekankan pada kajian mendalam terhadap konsep-konsep,
teori-teori, pandangan para ahli, dan kaitannya dengan tujuan dari sistem
peradilan yang digunakan di Indonesia serta mempelajari juga data-data yang
didapatkan dan diolah dari Kepolisian sehingga dapat menambah wawasan dan
pandangan yang kemudian dimaksudkan untuk memberikan data yang berdasar
secara teoritis dan empiris.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap
asas-asas hukum, yang mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan, sejarah dan filsafat peradilan dan pemidanaan di
Indonesia maupun di dunia, kemudian meneliti data tindak pidana pencurian dan

Universitas Sumatera Utara

fakta mengenai penangannya pada Kepolisian Resor Kota Medan guna
mengetahui bagaimana kemungkinan pengembangan konsep diversi dan
restorative justice bagi pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan orang
dewasa.
3. Jenis dan Sumber Data
Penelitian Normatif-Empiris menggunakan jenis data primer dan data
sekunder. Data primer didapat melalui studi lapangan (field research) dan data
sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian
melainkan melalui studi pustaka (library research). Peneliti mendapat data yang
sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode,
baik secara komersial maupun nonkomersial.
Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang
terkait, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana
(KUHP)
4) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Universitas Sumatera Utara

5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP
6) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
7) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2009 tentang Pengawasan dan Penanganan Tindak Pidana
b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan
judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan
sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media
elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yang mencakup bahan yang memberi petunjukpetunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, dan bahanbahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi
data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
Data Primer yang didapatkan melalui studi lapangan bersumber dari
responden yang secara langsung terlibat dalam perkara pencurian dan proses
penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Studi lapangan ini
dilakukan dengan mengumpulkan data tindak pidana pencurian tiga tahun terakhir
dan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) serta melalui pedoman
wawancara (interview guide)

Universitas Sumatera Utara

4.

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi

pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu
internet dan televisi serta studi lapangan (field research) yaitu mengumpulkan
data dan hasil wawancara. Penulis mengumpulkan, mengkomparasikan hasil
wawancara dengan peraturan perundang-undangan dan mensinkronkan data,
menafsirkan, dan menemukan data dari buku-buku, jurnal dinamika hukum,
artikel, dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi untuk memperoleh
data dari sumber ini.
5. Analisis Data
Pada penelitian hukum ini analisis data dilakukan dengan menyusun data
agar data-data tersebut dapat ditafsirkan, maka biasanya penyajian data dilakukan
sekaligus dengan analisanya.32 Metode analisis data yang dilakukan penulis
adalah kualitatif, yaitu dengan:
a. Menginterpretasikan data primer yang didapatkan melalui wawancara
para penyidik yang ada di Polresta Medan agar dapat dituangkan
dalam bentuk kalimat pada pembahasan permasalahan di skripsi ini
b. Mencari sumber-sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tertier
yang dapat digunakan sebagai referensi pengerjaan skripsi ini
c. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang akurat
dan relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Depok:Universitas Indonesia Press,
1994), hal. 69

Universitas Sumatera Utara

d. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut
di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

G. Sistematika Penulisan
BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,
metodologi

penelitian,

dan

sistematika

penulisan

tentang

pengembangan konsep diversi dan restoratif justice pada tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
BAB II

:PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG
DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA
MEDAN
Bab ini akan membahas mengenai jenis-jenis tindak pidana
pencurian, kemudian menganalisa data yang diperoleh dari Polresta
Medan mengenai Tindak Pidana tersebut yang dilakukan oleh
orang dewasa. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem
penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang
dewasa pada Polresta Medan sesuai dengan tahapan-tahapan yang
diatur oleh undang-undang dan data serta hasil wawancara dengan
penyidik yang akan dimanfaatkan untuk memperoleh bahan untuk
mendukung

pembahasan

mengenai

pengembangan

Konsep

Universitas Sumatera Utara

Restoratif Justice bagi pelaku tindak pidana pencurian yang
dilakukan oleh orang dewasa.
BAB III

:PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF
JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN
YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA
Bab ini membahas mengenai Penerapan Konsep Diversi dan
Restoratif Justice pada sistem peradilan umum dan bagaimana
Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi Pelaku
Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa

BAB IV

:PENUTUP
Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari pembahasan tentang
“Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice pada
Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa” dan
memberikan saran yang berkaitan dengan judul tersebut.

Universitas Sumatera Utara