Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Marlina, Hukum Penitensier, Rafika Aditama, Bandung, 2011

_______, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010

Team Teaching Kriminologi FH USU, Monograf Kriminologi, Medan, 2014 Agus, Yoachim., Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015 Dkk., Elisabeth., Diversi dan Keadilan Restoratif : Kesiapan Aparat Penegak

Hukum dan Masyarakat, Pusaka Indonesia, Medan, 2014

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers,Jakarta, 2002 Ekaputra, Mohammad., Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan,

2013

Lamintang, P.A.F., C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981

Soesilo, R., Pokok-pokok Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1996

Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994.

Wahid, Eriyantouw., Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009

Surbakti, Natangsa., Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiri, Teori, dan Kebijakan, Genta Publishing, Jakarta, 2015


(2)

Alif, Afthonul., Pemaafan, Rekonsiliasi, dan Restorative Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015.

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989.

Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996.

Anwar, Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Tongat, Hukum Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2006.

Projodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Penanganan Tindak Pidana


(3)

C. Jurnal

Kuat Puji Prayitno, Restoratif Justice untuk Peradilan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12 Nomor 3, September 2012.

Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013.

Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013. Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 3

Nomor III September 2004.

D. Website

www.repository.usu.ac.id

http:/pm-bangil.go.id/data/?p=207

LawEducation,http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum,


(4)

BAB III

PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN

OLEH ORANG DEWASA

A. Konsepsi Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Umum 1. Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Diversi dan Keadilan Restoratif

Ketentuan mengenai Diversi pada Sistem Peradilan di Indonesia diatur dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di dalam pasal 6 undang-undang ini disebutkan yang menjadi tujuan dari Diversi itu sendiri adalah mencapai perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan tanggung jawab kepada anak.75

Menurut United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (The Beiing Rules), diversi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:76

a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal;

b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim serta lembaga lain yang menangani kasus anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai

75

Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA

76


(5)

dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam The Beijing Rules;

c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua atau walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut;

d. Pelaksanaan diversi memerlukamn kerja sama dan peran masyarakat, sehubungan dengan adanya program diversi, seperti: pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak (AKH)77 dan orangtua/walinya, korban beserta orangtua/walinya, petugas pembimbing kemasyarakatan (BAPAS), pekerja sosial profesional, dan apabila diperlukan dalam musyawarah tersebut dilibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat.78

Beberapa hal didalam UU SPPA yang wajib diperhatikan oleh Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) dalam melakukan Diversi terhadap kasus-kasus yang melibatkan AKH adalah hal-hal berikut:

a. Adanya persetujuan/kesepakatan perdamaian antara anak pelaku dan orangtua/wali anak dengan anak korban dan orangtua/wali korban dengan atau tanpa ganti kerugian (Pasal 6 huruf a dan Pasal 11 huruf a)

77

Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana

78


(6)

b. Kategori tindak pidana yang dilakukan anak diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun (Pasal 7 ayat 2a dan Pasal 9 ayat 1a)

c. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat 2 b) d. Umur anak, semakin muda umur anak maka semakin tinggi

prioritas melakukan diversi (Pasal 9 ayat 1 huruf b dan Penjelasannya)

e. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS (Pasal 9 ayat 1 huruf c)

f. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 ayat 1 huruf d)

g. Penuntut umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik, dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 42 ayat 1 dan 2)

h. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan (Pasal 13 huruf a dan b)79

Konsep ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan restoratif justice (keadilan restorative) sebagai alternatif untuk menangani anak-anak yang berkonflik hukum. Didalam UU SPPA sudah sangat jelas pula diatur mengenai kewajiban untuk mengutamakan pendekatan keadilan restoratif tersebut, namun prosesnya belum diatur secara rinci.

Dewasa ini, di beberapa Negara maju, keadilan restoratif (restorative justice) bukan sekedar wacana para akademisi dan praktisi hukum pidana dan kriminologi. Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan restoratif sudah diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana yang konvensional, yaitu tahap penyidikan dan penuntutan, tahap adjudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan.80

79

Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.39

80

Eriyantouw wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta:Universitas Trisakti, 2009), hal.1


(7)

Karakteristik dari peradilan restorative adalah Just Peace Principle atau keadilan yang dilandasi perdamaian antara pelaku, korban, dan masyarakat. Prinsip ini berlandaskan pemikiran bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan atau tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace Principles atau Just Peace Ethics karena pendekatan dalam Restoratif Justice menerapkan prinsip dasar pemulihan kerusakan kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan; diberikannya kesempatan pad apelaku untuk terlibat dalam pemulihan keadaan tersebut, diberikannnya peran pada pengadilan dan masyarakat untuk menjaga ketertiban umum dan melestarikan perdamaian yang adil. Tujuan yang ingin dicapai melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak (stakeholders).81

Restoratif justice bukanlah teori baru bagi masyarakat internasional termasuk Indonesia. Konsep ini bahkan diyakini sudah menjadi dominant teory dalam sistem peradilan pidana seluruh dunia. Para pakar hukum pidana meyakini bahwa konsep restorative justice sudah ada sejak manusia pertama kali membentuk komunitas. Konsep ini dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk utama dari keadilan di mayoritas sistem kebudayaan di dunia.82

Prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh Yoachim

dalam bukunya “Keadilan Restoratif”, menyampaikan ada tiga prinsip, yaitu:

81Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”,

Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013, hal.279

82


(8)

a. Keadilan Restoratif mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling dirugikan oleh karena kejahatan. Ia menderita secara fisik dan mental. Pelaku kejahatan menderita kerugian juga, dengan melakukan kejahatan seorang pelaku kejahatan mengalami kemerosotan mental. Ia kehilangan daya kontrol diri dan kemampuannya untuk mengikuti hati nuraninya. Ia menyerah pada godaan-godaan buruk dan kehilangan kemampuan diri untuk memilih yang baik dan yang benar. Tatanan kehidupan juga kehilangan kedamaian, diganti oleh ketakutan, kecemasan, saling curiga, dan perasaan tertekan. Hubungan sosial antar warga menjadi rusak oleh karena saling menyalahkan satu sama lain. Kondisi yang rusak seperti itulah yang ingin dipulihkan melalui keadilan restoratif justice.

b. Berkaitan dengan cita-cita pemulihan (restorasi) diatas, keadilan restoratif fokus pada kebutuhan ketiga pihak, yaitu korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat, yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan. Proses peradilan pidana yang selama ini berjalan sering mengabaikna korban kejahatan, karena korban kejahatan diambil alih oleh Negara, maka Negara akan menghukum sedangkan korban kejahatan tidak mendapatkan hak apa-apa, sehingga dalam hal ini korban diabaikan dan oleh karena itu keadilan restoratif hadir untuk fokus pada kebutuhan korban


(9)

c. Keadilan restoratif memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab yang muncul oleh karena tindak kejahatan. Pelaku kejahatan wajib memulihkan kerusakan yang diderita korban dan masyarakat. Kewajiban terhadap korban dilakukan pertama-tama dengan mengakui bahwa ia bersalah. Pengakuan ini penting, karena ini merupakan bukti pengakuan atas penderitaan yang dialami korban. Pengakuan dan permohonan maaf tersebut merupakan proses yang penting didalam penyembuhan luka-luka batin dan penderitaan mental korban. Pelaku kejahatan juga berkewajiban memberikan kompensasi untuk membayar biaya penyembuhan luka-luka fisik dan mengganti kehilangan materi korban.83

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas Howard Zehr menegaskan keadilan restoratif dalam enam hal, yaitu:

a. Keadilan restoratif bukanlah pertama-tama berarti memaafkan dan rekonsiliasi. Ada banyak pihak, termasuk korban dan para pembela korban curiga bahwa keadilan restoratif adalah bentuk pemaksaan pada korban untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku tindak pidana kejahatan.

b. Keadilan restoratif bukan sekedar mediasi. Keadilan ini mengutamakan adanya perjumpaan, namun bukan pertama-tama untuk

membuat mediasi. Istilah ‘mediasi’ tidak tepat digunbakan untuk

83


(10)

menyebut keadilan restorative. Pendekatan restoratif tetap bisa terjadi apabila pertemuan antar korban dan pelaku tidak terjadi.

c. Keadilan restoratif bukanlah dimaksudkan untuk memberikan efek jera agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi, melainkan yang dipentingkan oleh pendekatan restoratif adalah kebutuhan tiga pihak yang berurusan dengan tindak pidana tersebut yaitu korban, pelaku, dan masyarakat.

d. Keadilan restoratif bukan program siap pakai dengan cetak-biru yang telah terjadi. Program-program restorative terus mencari bentuk, sesuai dengan kondisi masyarakat serta budaya yang ada.

e. Keadilan restorative tidak hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus kecil atau kasus-kasus baru, melainkan pada kasus apa saja yang menerapkan prinsip-prinsip dasar diatas.

f. Keadilan restoratif bukan dimaksudkan untuk menggantikan sistem hukum. Keadilan restoratif bukanlah untuk menggantikan pemenjaraan dan retribusi. Keadilan restoratif menekankan pemulihan kerusakan dan keretakan yang diakibatkan adanya tindak kejahatan. Kejahatan itu memuat dimensi kemasyarakatan, lokal, dan personal. Pendekatan retributif dan legal hanya memandang dari dimensi publik dan kemasyarakatan, dan kurang melihat dimensi lokal dan personal sehingga penanganannya diserahkan pada Negara. Pendekatan


(11)

restoratif membuatnya seimbang dengan memperhatikan dimensi lokal dan personal.84

Penjelasan terhadap definisi restoratif justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restoratif justice yaitu:

a. Restoratif Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; b. Restoratif Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

c. Restoratif Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

d. Restoratif Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindak criminal;

e. Restoratif Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya85

Berbagai prinsip keadilan Restoratif yang telah di kemukakan oleh beberapa ahli dan pemerhati hukum tersebut pada intinya berprinsip yang sama. Sebuah keadilan yang saat ini dibutuhkan masyarakat di dunia adalah keadilan yang mendamaikan dan memperbaiki/memulihkan keadaan yang tidak seimbang dalam masyarakat, yang diakibatkan oleh adanya kejahatan yang mampu mengubah pola pikir retributif.

84

Ibid., hal.38-40

85

Keadilan Restorasi, http://www.negarahukum.com/hukum/keadilan-restorasi.html, diakses pada tanggal 26 Januari 2016 pukul 17.50 WIB


(12)

2. Program Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Pidana di Dunia

Diversi telah diterapkan setidaknya pada sepuluh Negara di Dunia, di mana penerapannya untuk permasalahan anak konflik hukum (AKH). Diversi telah dianggap sebagai bentuk alternatif penyelesaian yang baik untuk mengubah perilaku menyimpang anak, dengan adanya keterlibatan keluarga, komunitas dan polisi, sehingga membuat anak memahami dampak atas tindakan yang dilakukannya.

Program Diversi di Canada salah satu contohnya, merupakan hasil amandemen Criminal Code Canada untuk alternatif hukuman anak dan remaja yang tertuang dalam Bill C-41 1996. Di provinsi Bohol-Philiphina, diversi diatur dalam Child and Youth Relations Unit (CYRU) Bohol. Adapun diversi di Bohol dapat dilihat melalui beberapa bentuk, yaitu:

a. Teguran formal maupun informal/lisan b. Ganti rugi atau konsekwensi kerusakan

c. Penyitaan benda yang digunakan untuk melakukan pelanggaran d. Denda

e. Permintaan maaf secara lisan atau tulisan f. Pemberian nasehat dan pengawasan

g. Pemberian nasehat kepada keluarga dan anak

h. Menyerahkan kepada komunitas berbasis program yang ada i. Menyerahkan kepada institusi sosial86

Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan beberapa contoh program Diversi sebagai berikut:87

86

Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.40

87

Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004;19-28., hal. 27-28


(13)

a. Non-Intervensi

Non intervensi merupakan upaya terbaik, oleh karena itu Diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi tindak pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah atau lembaga pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi dengan cara yang layak dan membangun

b. Peringatan Informal

Peringatan Informal melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk ini.

c. Peringatan Formal

Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan dihadapan orang tua/walinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi.

d. Permohonan maaf

Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf.

e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi

Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta untuk mengembalikan sampah pada tempatnya. Contoh lain, si anak


(14)

diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar kembali.

f. Pelayanan masyarakat

Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang mengotori tembok atau tempat umum, kemudian diminta membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di tempat-tempat umum.

g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup

Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara umum.

h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga

Melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama membahas hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi Korban; mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi masyarakat;


(15)

memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi.

i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional

Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat tradisional.

j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga. Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi.

Penanganan non formal pada anak ini sangat berhubungan dengan konsep pendekatan keadilan restoratif. Sebuah konsep penanganan perkara anak yang mengakomodasi nilai-nilai yang terdapat pada Konvensi hak anak yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU SPPA yang telah mengadopsi nilai-nilai kebaikan yang berkembang di dalam masyarakat dunia.

Menurut PBB, “program keadilan restoratif” adalah program apapun

yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tujuannya adalah memulihkan kedamaian dan hubungan yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggungjawab, maka harus dipahami makna proses restoratif dan makna hasil restoratif.88

88


(16)

Proses restoratif adalah proses apapun di mana korban kejahatan dan pelaku kejahatan, dan bilamana perlu, anggota-anggota komunitasnya yang terkena dampak kejahatan, secara aktif berpartisipasi bersama, guna memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator, sedangkan hasil restoratif adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk misalnya, pemilihan program seperti program pemulihan; program pemberian ganti rugi; dan program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat programnya dapat diganti dengan program-program lain.89

Menurut Centre of Justice & Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, berikut adalah beberapa praktik atau program keadilan restoratif:

a. Pertemuan Mediasi Korban-Pelaku (Victim Offender Mediation) atau Rekonsiliasi Korban-Pelaku

Korban kejahatan diberi kesempatan tatap muka dengan pelaku kejahatan dalam suasana yang aman dan dipersiapkan. Kejahatan yang telah terjadi pun dibicarakan di mana pelaku didorong agar memikirkan dampak kejahatan yang diperbuatnya dan mau bertanggungjawab dengan melakukan pemulihan. Praktik mediasi ini dikembangkan dari Kanada, sesuai dengan namanya maka pertemuan dibantu seorang mediator.90

Istilah lainnya untuk menyebut praktik ini adalah Victim-Offender Reconciliation Programs (VORP). Pada akhir 1970-an

89

Ibid., hal.18

90


(17)

pertemuan antara korban dan pelaku kejahatan lebih memilih mediasi antara korban dan pelaku dari pada rekonsiliasi, pada model ini lebih banyak orang dapat dilibatkan, apalagi jika menyangkut perkara serius. Model ini telah diperkenalkan di Inggris, Skandinavia, dan Negara-negara Eropa Barat.91

Umbreit dan Coates menyatakan bahwa tujuan penyelesaian dengan VOM adalah to “humanize” the justice system. Pendekatan dikatakan lebih humanis karena berusaha mengeliminir beberapa masalah. Pertama, tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang dialaminya tidak diperhatikan. Di sisi lain, masuknya para pihak dalam menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model restoratif. Kedua, secara efektif bertanggung jawab kepada korban atas pemulihan kerugian materil dan moral dan menyediakan berbagai kesempatan untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah. Ketiga, memberi rasa hormat kepada martabat manusia (the respect for human dignity), karena peradilan restorative tidak terpisah dari model perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka berdua mencari kebaikan bersama (they both seek a common good).92

91

Yoachim Agus, Op.Cit., hal. 30

92


(18)

b. Proses Pertemuan Keluarga atau Pertemuan Kelompok Komunitas (PKK) atau Family Group Conference (FGC)

Korban, pelaku, dan keluarga, serta handai taulan dan para pendukung utama dari kedua pihak bertemu dan memutuskan cara penanganan periode sesudah terjadi kejahatan. Para pendukung pelaku kejahatan dimungkinkan berhubungan langsung dengan para pendukung utama dari kedua pihak. PKK diadaptasi dari praktik-praktik tradisi Maori di New Zealand, kemudian di Australia dimodifikasi menjadi Acara Temu Korban dengan prakarsa kepolisian, karena itu dikenal sebagai Pertemuan Polisi.93

Program ini pertama kali diterapkan di Selandia Baru. Model musyawarah disesuaikan dengan kondisi sesaat, namun yang mesti terjadi adalah rapat atau pembicaraan dari keluarga pelaku. Rapat ini kemudian menghasilkan keputusan yang akan dibawa pada rapat dengan keluarga korban. Dibandingkan dengan Mediasi Pelaku-Korban (VOM), praktik restorative justice ini lebih banyak melibatkan anggota keluarga.94

Dalam proses yang panjang itu fasilitator musyawarah kelompok keluarga (FGC) harus terus menerus melakukan pendampingan pada keluarga korban dan pelaku. Kalau kondisi sudah sungguh-sungguh siap, musyawarah dapat dilakukan. Seluruh proses musyawarah harus mengarah pada pemulihan hubungan antara para pihak korban dan pelaku. Pihak pelaku harus mengakui, menyesali, dan bertanggung jawab atas

93

Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.19

94


(19)

tindakannnya, serta puncaknya adalah kesediaan minta maaf, sedangkan pihak korban mau memaafkan. Musyawarah juga membicarakan ganti rugi atau konpensasi yang harus ditanggung oleh pihak pelaku, pastinya tidak lah mudah menetukan besarnya konpensasi itu, karena berapapun besarnya ganti rugi atau konpensasi tidak akan seimbang dengan penderitaan korban. Besarnya ganti rugi atau konpensasi lebih merupakan symbol dari penyesalan dan tanggung jawab pelaku.95

c. Proses Restoratif Acara Lingkar Perdamaian atau Acara Lingkar Penjatuhan Sanksi

Program ini dipersiapkan guna mencari solusi dan konsensus mengenai sanksi yang dapat diterima pihak-pihak berkepentingan. Konsensus diupayakan bersama oleh komunitas, para korban dan pelaku, para pendukung kedua pihak, hakim, jaksa, penasehat hukum, aparat pengadilan, dan aparat kepolisian. Proses ini bertujuan melangsungkan proses penyembuhan pihak-pihak yang terkena dampak perkara, acara semacam itu memberi kesempatan kepada pelaku untuk melakukan perbaikan serta membuka ruang bagi para korban, para pelaku, keluarga, dan komunitas saling mencurahkan isi hati dengan menciptakan rasa berkomunitas dan pelbagai nilainya. Praktik restorative ini diadaptasi dari tradisi penduduk pribumi Amerika Utara.96

Menurut Olga Botcharova (1998) dalam gagasannya tentang lingkaran kekerasan (cycle of violence), ada beberapa tahap yang harus

95

Ibid., hal.78

96


(20)

dilewati untuk sampai pada kesediaan untuk memaafkan dan rekonsiliasi. Tahap-tahap tersebut adalah: (1) mengungkapkan kesedihan; (2) menerima kehilangan/kerugian dan berani menghadapi ketakutan; (3) memikirkan kondisi pelaku, mengapa mereka melakukan itu; (4) bergerak mengatasi toleransi; (5) memilih untuk memaafkan; (6) menegosiasikan penyelesaian masalah; (7) menetapkan keadilan restorative; (8) bergerak menuju rekonsiliasi. Namun, bila tahap-tahap tersebut tidak diproses dan dilalui dengn baik, yang terjadi adalah tindakan pembalasan yang dibenarkan (act of justified aggression), meski demikian Botcharova yakin bahwa di kedalaman jiwa manusia terdapat kebaikan dasar (basic goodness) yang dapat mencegah manusia dari keinginan untuk membalas dengan tindakan kekerasan.97

Bentuk-bentuk program di atas terus-menerus mengalami modifikasi, bahkan bentuk-bentuk tersebut kadang-kadang saling bercampur, namun perlu dicatat bahwa keadilan restoratif tidak selalu mengharuskan terjadinya pertemuan langsung antara korban dan pelaku tindak kejahatan. Kadang-kadang korban tidak mempunyai kebutuhan untuk bertemu langsung dengan pelaku, begitu pula pelaku terkadang tidak butuh bertemu dengan korban.98

Sejauh ini, sudah terlihat bahwa keadilan restoratif merupakan fenomena yang mendunia. Di Eropa, sistem dan budaya kawasan yang berbeda memberi pengaruh pada pendekatan restoratif. Di Irlandia Utara

97

Yoachim Agus, Op.Cit., hal.77

98


(21)

misalnya diterapkan pada alternative penyelesaian tindak kekerasan dan di Eropa Timur untuk reformasi peradilan.99

Keadilan Restoratif di Afrika nampak dari revitalisasi praktik-praktik pribumi asli dan peningkatan sanksi kerja sosial. Di Timur Tengah, eksperimen keadilan restoratif berawal dari proses penyelesaian konflik tradisional. Di kawasan lain Asia, terkait peradilan anak dimana pelakunya dikeluarkan dari Peradilan.100

Konsep keadilan restorative memang telah mendapatkan inspirasinya dari pelbagai praktik keadilan kaum aborigin (indigenous people) di pelbagai tempat, seperti selandia baru, Amerika Utara, Kanada, Australia, dan sebagainya. Praktik-praktik kaum aborigin tersebut dihapus ketika terjadi penjajahan dan pengaruh Negara-negara Eropa, namun kemudian praktik-praktik tersebut digali kembali, dihidupkan, dan dikembangkan menjadi keadilan restorative.101

Beberapa Negara yang sudah mulai mengembangkan konsep keadilan restoratif, yaitu:

a. New Zealand

Negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam pengadilan umum, mewajibkan pelaku remaja dan pelaku dewasa menghadiri family group conference (FGC), sedangkan hakim diwajibkan mempertimbangkan kesepakatan yang dicapai dalam FGC, sehingga dimungkinkan menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Pada

99

Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal. 25

100

Ibid.

101


(22)

akhirnya, proses restorative pun mencakup kejahatan-kejahatan berat.102

b. Mexico

Pasca amandemen pasal 20 UUD Meksiko di tahun 2001, hak-hak para korban dikui dan kebijakan pemidanaan ditinjau ulang. Penjara akan diisi oleh narapidana yang menjalani hukuman berat-berat saja, Karena itu diupayakan alternatif dari pemenjaraan dengan memperkenalkan mediasi korban. Sistem penuntutan legalita diubah menjadi sistem opportunitas, mengikuti Amerika Serikat dan Kanada.103

c. Belgia

Lembaga mediasi yang diperkenalkan di Belgia sejak 1993 merupakan embrio dari proses restoratif. Karena berhasil, mediasi yang diawasi kejaksaan dan pengadilan (mediation penal), dimasukkan kedalam KUHAP (Criminal Procedure Code) dalam tahun 2005, di mana tindak pidana dari yang teringan sampai yang terberat dapat diserahkan pada mediasi. Permohonan mediasi perkara pidana dapat diajukan ke pengadilan pada saat sebelum, selama, dan sesudah pemeriksaan di persidangan, bahkan dapat diajukan setelah menjalani penjara atau alternatifnya.104

d. Spanyol

Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, diperluas cakupannya, di mana korban pun memainkan peran penting. Di

102

Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.26

103

Ibid.,

104


(23)

samping itu, undang-undang kini mengatur pelaku yang belum dewasa bertemu dengan korbannya melalui mediasi, untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk mendapat kepastian besar ganti kerugian korban.105

e. Selandia Baru

Penduduk Maori di Selandia Baru, berpandangan bahwa konflik tidaklah dimiliki oleh orang perorangan, tetapi melibatkan keluarga besar pelaku dan korban. Keluarga yang dimaksud disini bukanlah dalam arti horizontal yaitu mereka yang berasal dari generasi yang sama, tetapi dalam arti vertikal yaitu mereka yang berasal dari generasi yang berbeda. Maka hak atas keadilan milik korban juga diturunkan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya, begitu pula hak atas keadilan dituntut dari pelaku kejahatan satu generasi ke generasi selanjutnya. Penyelesaian konflik diadakan dalam bentuk musyawarah yang diadakan di rumah pertemuan (wharaeuni).106 f. Italia

Sudah sekian lama diperdebatkan di Italia mengenai ketidakefektifan sanksi pidana, terutama tidak tercapainya tujuan pemenjaraan, baik untuk mencegah maupun untuk merehabilitasi. Salah satu solusinya adalah penerapan proses restorative ke dalam proses peradilan pidana

105

Ibid.

106


(24)

melalui legislasi. Bentuknya berupa mediasi hukum pidana dan mediasi pidana anak.107

g. Republik Ceko

Demi keadilan restorative, di Republik Ceko, PMS (Probation Mediation Service) diberi wewenang melakukan mediasi antara pelaku dan korban, karena itu PMS dilibatkan dalam proses pidana, baik sebelum maupun selama persidangan di pengadilan. Petugas pengawas menyusun laporan pra-penjatuhan sanksi untuk dipelajari jaksa dan hakim yang meliputi segi-segi kehidupan pelaku di waktu terakhir sebagai dasar kerja sama di waktu yang akan datang.108

h. Arizona, Amerika Serikat

Bangsa Navajo pada tahun 1982 membuat peradilan sendiri demi menciptakan perdamaian dengan mengubah sistem peradilan warisan Barat yang diterapkan sejak tahun 1892. Sistem peradilan bangsa Navajo ini memandang bahwa peradilan bukanlah untuk menghukum orang, tetapi untuk mendidik orang agar dapat hidup lebih baik. Peradilan adalah proses penyembuhan yang memulihkan relasi antara manusia atau menciptakna lingkungan yang sehat.109

i. Sri Lanka

Keadilan Restoratif di Sri Lanka diterapkan melalui UU Dewan Mediasi 1988 terhadap perkara-perkara ringan, misalnya penghinaan ringan, ucapan-ucapan berupa penodaan ringan terhadap agama,

107

Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.28

108

Ibid.

109


(25)

penganiayaan ringan, penipuan ringan, dan beberapa tindak pidana dalam KUHPidana (Penal code), harus didamaikan dahulu oleh Dewan Mediasi.110

j. Thailand

Penerapan keadilan Restoratif di Negara Gajah putih ini, berawal dari perintah undang-undang, yaitu perkara anak-anak dengan ancaman pidana penjara dibawah 5 tahun harus diserahkan kepada pertemuan keluarga atau FGCG (Family Community Group Conferencing). Dalam praktik restorative semacam itu, dilibatkan korbannya, keluarganya, polisi penyidiknya, dan jaksa. Setelah mencapai kesepakatan, Direktur kepemudaan Departemen kehakiman mengusulkan kepada jaksa untuk tidak menuntutnya. Menurut data, dari 1500 perkara dewasa, 86 % diantaranya mencapai kesepakatan.111 Thailand mengadaptasi model FGC New Zealand, untuk orang dewasa yang disangkakan melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana tertentu akan diserahkan kepada PS Departemen Kehakiman. Keadilan

restorative dikenal di Thailand sebagai “keadilan demi kesejahteraan

mayarakat” atau “justice for social harmony”. Konsep tersebut

mendapat sambutan berbagai kalangan termasuk penguasa dimasing-masing komponen sistem peradilan. Dorongannya adalah kekecewaan terhadap sistem pemidanaan yang bersifat retributive, sedangkan nasib korban kurang diperhatikan. Dorongan lainnya karena semua penjara

110

Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.29

111


(26)

melebihi kapasitas akibat pemenjaraan terlalu mudah dan sering diterapkan.112

B. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa

Sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini membutuhkan pembaharuan. Perubahan orientasi sistem peradilan pidana dari yang selama ini berfokus pada perbuatan yang dilarang dan pelaku tindak pidana (crime and offender oriented), beralih pada orientasi perbuatan, tersangka, dan korban (crime, offender, and victim oriented) bukan merupakan suatu keniscayaan. Terkait dengan hal ini, praktik pemaafan dalam penyelesaian perkara-perkara pidana pada dasarnya telah terdapat di dalam berbagai khasanah budaya berbagai masyarakat tradisional. Penggunaan permaafan yang merupakan inti dari peradilan restoratif, kendatipun telah lebih banyak berlangsung dalam mekanisme diluar pengadilan Negara, namun sedikit banyak memberi pengaruh pada proses peradilan pidana tertentu.113

Muladi mengungkapkan, dalam keadilan restoratif korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggungjawab dan diintegrasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan karena itu harus dirukunkan. Ketua Mahkamah Agung RI dalam bulan Mei 2008, setahun lalu, menegaskan, dilihat dari keadilan restoratif, posisi perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan segi materil dan psikisnya. Intinya,

112

Ibid., hal.30

113

Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiri, Teori, dan Kebijakan, (Jakarta:Genta Publishing, 2015), hal.6


(27)

bagaimana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tapi tetap bertanggung jawab.114

Konsep keadilan restoratif seperti ini begitu diharapkan dapat diterapkan pada sistem peradilan pidana konvensional, namun, perjalanan sistem peradilan pidana konvensional yang berorientasi pada tujuan retributif bukan lah perkara mudah untuk mengubahnya kearah restoratif. Berkaca pada Negara-negara lain di Dunia yang mulai mengembangkan konsep keadilan seperti ini, maka bisa jadi sistem peradilan pidana Indonesia juga suatu saat akan mengubah perspektif pemidanaannya, mengingat adanya perkembangan kebutuhan masyarakat akan hukum beserta keadilannya yang semakin meningkat.

Berbicara mengenai sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia yang sudah cukup lama menganut perspektif retributif, maka perlu diadakan suatu pengkajian secara bertahap terhadap perkara tertentu yang dapat memulai penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan pidana tersebut. Pembahasan mengenai penanganan tindak pidana pencurian pada polresta Medan dan pemahaman tentang konsep diversi dan restoratif justice sebelumnya, dapat dijadikan bahan pengembangan konsep diversi dan restoratif justice di Indonesia.

1. Pandangan Kepolisian Resor Kota Medan terhadap Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice

Penerapan konsep Diversi dan Restoratif Justice ini sendiri telah dilaksanakan pada Polresta Medan sejak di undang-undangkannya peraturan mengenai sistem peradilan khusus yang mengakomodir perlindungan terhadap pelaku anak yaitu undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

114


(28)

Peradilan Pidana Anak (SPPA). Penanganan perkara tertentu sesuai dengan syarat-syarat yang terdapat dalam undang-undang tersebut mewajibkan aparat penegak hukum termasuk kepolisian resor kota Medan untuk membawa AKH (anak yang berkonflik dengan hukum) keranah non penal-policy atau melalui mekanisme diversi.

Penanganan terhadap perkara AKH yang merupakan kategori Tindak Pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan merupakan residivis, semuanya melalui proses Diversi. Setiap anak yang melakukan tindak pidana pencurian berusia dibawah 12 tahun wajib dikembalikan kepada orangtua atau wali, namun apabila berusia diatasnya maka pelaku anak tersebut akan tetap ditahan kepolisian. Orangtua yang bisa menjamin si anak, tidak perlu dilakukan penahanan namun tetap wajib mengikuti proses diversi.115

Sisi positif dari pelaksanaan diversi dan restoratif justice selama ini adalah penanganan tindak pidana tidak langsung membawa anak keranah penghukuman secara pidana, yang dimaksud dalam hal ini pemenjaraan, sehingga banyak anak yang memiliki kesempatan menyelesaikan perkaranya tanpa harus melalui proses penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sehingga melalui proses yang menyita banyak waktu sampai pada penjatuhan hukumannya dari pengadilan, melainkan justru mendapat pelajaran bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung kepada korban.116

Penanganan tindak pidana pencurian melalui proses diversi dan restoratif justice sampai saat ini tidak pernah dilakukan bagi pelaku orang

115

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB

116


(29)

dewasa pada Polresta Medan, dikarenakan asas legalitas yang dijunjung tinggi oleh sistem hukum di Indonesia, oleh karena itu, kepolisian dalam menjalankan tugas-tugasnya wajib memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Negara Indonesia. Para pakar atau ahli hukum di Indonesia memang sudah banyak yang menyampaikan wacana ataupun pendapat begitu baiknya jika konsep pemidanaan seperti pada Peradilan Anak di terapkan, namun selama belum ada peraturan baku maka hal itu tidak dapat dilaksanakan.117

Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini sangat mungkin dilaksanakan di masa depan terkhusus bagi pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa, melihat bahwa keadilan retributive sudah kurang relevan bagi sistem pemidanaan zaman sekarang. Konsep keadilan restorative ini pun tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja, namun ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dengan baik, diantaranya adalah:

a. Kriteria/syarat tindak pidana yang dapat melalui proses diversi

Menurut H. Manurung, apabila suatu waktu konsep diversi dan restoratif justice ini akan dikembangkan pada tindak pidana pencurian dan dibuat peraturan tertulisnya, sebaiknya dilaksanakan dengan adanya suatu kriteria bagi pelaku tindak pidana, diantaranya adalah:118

117

Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB

118


(30)

1) Tindak pidana yang dilakukan yaitu pencurian yang tergolong ringan dan sedang119, dimana dalam hal pengungkapannya juga tidak memakan banyak waktu, dan diversi pun dapat dengan segera dilakukan.

2) Pelaku yang menyerahkan diri, apabila memang konsep ini diterapkan karena dinilai bahwa ada itikad baik pelaku yang harus dinilai sebagai bentuk penginsafan dan langkah awal untuk bertanggung jawab, sehingga pemaafan dengan mekanisme restorative justice dapat menjadi pilihan.

3) Alasan utama pencurian dilakukan karena faktor perekonomian yang dapat dibuktikan dengan adanya surat keterangan tidak mampu. Hal ini dikarenakan yang menjadi alasan pencurian adalah hal yang sangat menyentuh dan menjadi tanggung jawab moral bersama. Berbeda jika alasan yang didapati adalah kebutuhan akan barang/hasil pencurian ingin digunakan bagi hal-hal yang kurang berguna seperti yang selama ini sering terjadi, hasil pencurian digunakan untuk membeli obat-obat terlarang, bermain judi, dan lain-lain.

b. Mekanisme pelaksanaan diversi

Mekanisme yang dapat diterapkan pun dapat mengikuti konsep diversi pada sistem peradilan anak, yang mana telah diatur dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak, namun khusus untuk mekanisme bagi orang

119

Pencurian biasa dan pencurian ringan seperti diatur pada pasal 362 dan 364 KUHP memiliki sanksi penjara dibawah lima tahun.


(31)

dewasa, orangtua/wali yang dimaksud pada SPPA dapat diganti menjadi anggota keluarga dari pelaku dan korban apabila sudah memiliki keluarga inti. Proses Diversi dapat dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan dengan melibatkan pelaku dan keluarganya, korban dan/atau keluarganya, masyarakat dari tempat tinggal kedua pihak, dan Kepolisian.120 Para pihak yang hadir dalam mekanisme tersebut, yaitu:

1) Korban dan keluarganya 2) Pelaku dan keluarganya

3) Masyarakat dari komunitas masing-masing 4) Kepolisian

Adapun hasil kesepakatan yang diharapkan dari penerapan konsep ini, yaitu:121

1) Perdamaian/Pemaafan

Bentuk kesepakatan ini adalah yang sangat sederhana namun juga jarang bisa terjadi di dalam masyarakat

2) Ganti Rugi

Pada tindak pidana pencurian, ganti rugi dipandang sebagai solusi yang paling tepat dan cukup mampu memulihkan kerugian yang dialami korban

3) Kerja Sosial

Masyarakat yang juga menjadi korban kejahatan secara tidak langsung dapat melihat dan menilai pula keseriusan dari pemulihan yang ingin

120

Ibid.

121


(32)

dilakukan pelaku. Sebuah badan yang khusus mengawasi pekerjaan pelaku juga wajib dibentuk.

Mekanisme seperti yang diungkapkan oleh H. Manurung tersebut hampir sama dengan program/proses penerapan konsep keadilan restoratif yang disampaikan oleh Centre of Justice & Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, diantaranya berupa:

a. Program Mediasi yang dihadiri oleh pelaku kejahatan dan korban yang ditengahi oleh seorang mediator

b. Acara Lingkar Perdamaian yang diikuti oleh komunitas korban dan pelaku, serta aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi)

c. Pertemuan Keluarga yang hadir lebih banyak dari kelompok masyarakat yang dapat dibantu pula oleh kepolisian. Proses ini lebih menekankan pada pemaafan karena ganti rugi pun dianggap tidak begitu mengobati.

Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini juga sangat mungkin memberi kemudahan tidak hanya perihal mempersingkat proses penanganan di pihak kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya, melainkan juga berdampak baik bagi Lembaga Pemasyarakatan karena jumlah tahanan kemungkinan tidak akan bertambah dengan pesat seperti yang saat ini terjadi

dimana LP menjadi ‘sarat’ tahanan.

Konsep yang tidak perlu menempuh jalur pada peradilan pidana secara konvensional ini juga beberapa kali ingin dicoba oleh masyarakat yang menjadi korban tindak pidana pencurian pada Polresta Medan. Beberapa


(33)

korban sempat meminta untuk tidak dilanjutkan perkaranya diproses pada kepolisian, sebagian mengungkapkan karena terlalu sibuk untuk dipanggil ke kantor polisi sebagai saksi, tidak suka waktunya dipakai untuk memenuhi kebutuhan proses peradilan pidana, dan bahkan karena mereka (antara pelaku dan korban) sudah berdamai diluar kepolisian.122

2. Tantangan yang dihadapi dalam Pengembangan Konsep diversi dan Restorative Justice

Trend pemidanaan dewasa ini, terutama di Negara-negara maju yang demokratis, mengupayakan semakin berkurangnya nestapa pidana (less harm punishment). Negara-negara maju, kecuali Amerika Serikat, sudah

menghapuskan atau melakukan “pembekuan” (moratorium) pidana mati.

Langkah berikutnya adalah menghapus atau mempersingkat pidana pemenjaraan. Berbagai alternatif pidana dan pelbagai tindakan (measures) diciptakan, seperti misalnya putusan terbukti bersalah akan tetapi tanpa sanksi (declaration of non-punishment), penjatuhan pidana bersyarat dengan pelbagai variasinya, penangguhan penuntutan dengan atau tanpa bersyarat, penghentian penuntutan perkara-perkara yang kurang berarti (trivial cases), denda bersyarat (suspended fine), denda harian (day fine) dan variasinya, serta perintah kerja sosial/CSO (community service order).123

Kepolisian juga sering menerima keluhan dari pelaku tindak pidana nya sendiri, bahwa sebenarnya mereka (pelaku, korban, dan keluarga korban) sudah berdamai karena si pelaku siap untuk mengganti kerugiannya, namun

122

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB

123


(34)

pelaku heran mengapa perkaranya masih harus tetap di proses oleh kepolisian. Kepolisian pun menyampaikan bahwa selama pelaku adalah orang dewasa, upaya perdamaian yang mereka lakukan sebelumnya hanya akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan hukumannya menjadi lebih ringan.124

Menurut Ridwan, ada beberapa tantangan yang mungkin akan dihadapi untuk mengembangkan konsep diversi dan Restoratif justice ini bagi pelaku yang merupakan orang dewasa, diantaranya:125

a. Hilangnya efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Pengembangan konsep ini sangat mungkin terjadi, apabila memang DPR dan/atau Presiden membentuk suatu norma baru bagi penerapannya pada tindak pidana pencurian atau pun perkara lain yang dilakukan oleh orang dewasa, namun, ada kekhawatiran bahwa ketika konsep tersebut nanti diterapkan maka tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera akan sangat sulit didapatkan.

b. Asumsi bahwa akan besar kemungkinan pengulangan tindak pidana yang terjadi atau bahkan pelaku pidana akan bertambah karena keringanan yang didapat melalui prosedur restorative seperti ini.

c. Proses diversi dan restoratif justice yang dilakukan tidak serta-merta menjadi satu-satunya cara penanganan tindak pidana, dalam hal ini sebaiknya dijadikan alternatif yang apabila tidak dapat menghasilkan

124

Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB

125

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB


(35)

kesepakatan diversi, maka kepolisian akan tetap memroses secara konvensional sampai pada tahap ke persidangan.126

d. Individu-individu dalam masyarakat modern ternyata semakin menunjukkan kecenderungan untuk saling mengisolasi, dan sering kali individu tidak membayangkan bahwa mereka terikat dalam hubungan-hubungan atau merasa menjadi bagian dari komunitas atau masyarakat tertentu. Dalam konteks demikian kita harus realistis bahwa dukungan yang terarah dari pemerintah atau lembaga-lembaga mapan akan sangat menentukan berhasil tidaknya praktik restorative justice bagi masyarakat modern, karena akan naïf apabila kita mengharapkan mereka sanggup menyelenggarakannya dengan sukarela dan mandiri.127

e. Masyarakat masih condong mengarah pada tujuan pidana retributif. Teori pembalasan yang sudah biasa diterapkan dalam masyarakat rasanya tidak dapat disingkirkan dengan cepat dari konsep penerapan hukum pidana di Indonesia.

Menurut masyarakat, pengembangan konsep diversi dan restorative justice untuk tindak pidana pencurian baik adanya namun hanya bagi tindak pidana pencurian kategori biasa dan juga ringan. Konsep ini untuk pencurian berat dan juga pencurian dengan kekerasan sulit diterapkan karena jika pertanggungjawaban yang diberikan oleh pelaku tidak hanya ganti rugi, hal ini dirasa tidak adil. Sebuah tindakan

126

Ibid.

127

Afthonul Alif, Pemaafan, Rekonsiliasi, dan Restorative Justice,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015), hal.338


(36)

yang disertai kekerasan dinilai masyarakat sebagai tindakan yang sangat berbahaya, apapun faktor yang menyebabkan dia harus mencuri, rasanya jika diikuti dengan kekerasan, perbuatan ini sangat in-tolerir. Terlebih lagi pencurian saat kondisi nya dalam keadaan tertentu yang tergolong pada pencurian berat.128 Pendapat masyarakat tersebut mengindikasikan adanya keinginan restoratif yang tidak sepenuhnya bisa diterapkan bagi tindak pidana pencurian.

Masa depan ditentukan oleh kegiatan masa kini. Usaha penerapan konsep diversi dan restorative justice sebaiknya dirintis berawal dari hal yang lebih kecil dahulu. Misalnya mengalihkan perkara-perkara ringan (trivial case) keluar dari proses pidana konvensional masuk ke jalur restoratiF, opsi lain difokuskan dulu pada satu atau beberapa tahap peradilan pidana. Proses dan praktik demikian diharapkan dapat secara bertahap bergandengan tangan dengan sistem peradilan pidana seluruhnya.129

128

Hasil wawancara dengan Sudarman, korban pencurian di daerah Medan Tembung pada tanggal 29 Februari 2016 pukul 18.40 WIB

129


(37)

BAB IV PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan dalam skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan orang dewasa pada Polresta Medan dilakukan melalui jalur konvensional. Tindak pidana pencurian yang memiliki kategori mulai dari pencurian biasa, ringan, berat, dan pencurian dengan kekerasan, tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan konsep diversi dan restoratif justice karena landasan hukum penerapan nya di Indonesia belum ada, kecuali pada Sistem Peradilan Pidana Anak. Jalur konvensional atau jalur pada umumnya yang dimaksud disini adalah melalui Sistem Peradilan Pidana Umum (General Criminal Justice System) yang diatur sesuai Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang mana tahap awal perkara akan ditangani oleh pihak kepolisian yang dalam hal ini kemudian akan menuntun perkara untuk diselesaikan dan diputus sanksinya oleh Pengadilan melalui proses penyelidikan dan penyidikan, sebelum akhirnya dilanjutkan ketahap penuntutan oleh Lembaga Kejaksaan.

2. Pengembangan konsep diversi dan restoratif justice pada tindak pidana pencurian bagi orang dewasa tidak diterapkan pada Polresta Medan. Penerapannya dapat dilakukan dengan alasan-alasan kebaikan dari konsep diversi dan restorative justice tersebut, termasuk pula ada keinginan dari korban dan pelaku pencurian dikarenakan perkara ini dapat diselesaikan


(38)

dengan ganti rugi yang ditawarkan oleh pelaku kejahatan, namun hal itu tidak dilakukan pihak kepolisian karena tidak adanya dasar hukum yang memayungi pelaksananaannya. Sekalipun begitu, pihak kepolisian polresta medan tetap optimis apabila memang suatu saat ada rekonseptualisasi dan legislasi tentang penerapan konsep diversi dan restoratif justice bagi tindak pidana tertentu terkhusus tindak pidana pencurian sebagai tindak pidana yang penyebabnya paling sering adalah faktor kemiskinan.

D. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Perlu diadakan pengkajian terhadap tindak pidana tertentu dalam hal ini terkhusus tindak pidana pencurian baik itu oleh Badan Legislatif maupun Eksekutif di Indonesia, bilamana diterapkan konsep diversi melalui pendekatan restoratif justice dengan mengacu pada perkembangan kebutuhan masyarakat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia, maka dapat ditransfer pada peradilan pidana umum dengan dilakukannya pembaharuan peraturan hukum acara pidana di Indonesia.

2. Perlu pemahaman bagi seluruh elemen masyarakat terhadap konsep keadilan restoratif yang tepat sesuai dengan hasil pengkajian tersebut, agar tidak dipandang sebagai upaya yang salah dan sia-sia karena memudahkan penyelesaian perkara pidana. Cara yang diterapkan dapat pula dipelajari dari Negara-negara di Dunia yang telah berhasil membuat peraturan tentang peradilan restorative dan telah melaksanakannya.


(39)

3. Perlu peningkatan peran aparat penegak hukum untuk melihat faktor-faktor penyebab kejahatan pencurian agar dapat menjadi bahan pertimbangan mendukung program pengembangan konsep diversi dan restoratif justice di Indonesia yang suatu saat mungkin akan dilakukan.


(40)

BAB II

PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN

A. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencurian pada Polresta Medan 1. Jenis-Jenis Pencurian menurut KUHP di Indonesia

Secara umum jenis-jenis tindak pidana pencurian diatur pada Kitab undang-undang hukum pidana di dalam bab XXII tentang Pencurian yang dimulai dari pasal 362-372. Setiap pasalnya mengatur jenis pencurian yang berbeda-beda berdasarkan berat ringannya tindak pidana tersebut dilihat dari unsur objektif dan subjektif serta sanksi yang dikenakan terhadap pelakunya. Pencurian Pasal 362 KUHP merumuskan:

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan pidana penjara, selama-lamanya lima tahun atau denda paling banyak Rp.900,-,”

Unsur-unsur pencurian dalam Pasal 362 KUHP, yaitu: a. Unsur-unsur obyektif, terdiri dari:

1) Mengambil

Menurut Van Bemmelen dan van Hattum, unsur mengambil merupakan unsur terpenting atau unsur yang pertama dalam tindak pencurian.33 Unsur mengambil ini mengalami berbagai penafsiran, mengambil yang diartikan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang nyata dan multak. Perbuatan mengambil

33

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hal. 11.


(41)

berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang diluar kekuasan pemiliknya.34

Dalam pencurian, mengambil yang dimaksud adalah mengambil untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, maksudnya adalah waktu pencuri mengambil barang, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya, apabila waktu memiliki barang itu sudah ada ditangannya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk pencurian tetapi penggelapan, pencurian dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat. 2) Suatu barang atau benda

Pengertian “barang” dalam Pasal 362 KUHP juga mengalami perkembangan makna. Pengertian “barang” dalam Pasal 362 KUHP ini pada awalnya menunjuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan berwujud, termasuk binatang.35

Dalam perkembangannya pengertian “barang” atau “benda” tidak hanya terbatas pada benda atau barang berwujud dan bergerak, tetapi termasuk dalam pengertian barang atau benda adalah “barang atau benda tidak terwujud dan tidak bergerak”.36

Benda yang dikategorikan sebagai benda tidak terwujud dan tidak bergerak tersebut antara lain halaman dengan segala sesuatu yang dibangun diatasnya, pohon-pohon dan tanaman yang tertanam dengan akarnya di dalam tanah, buah-buahan yang belum dipetik, dan sebagainya.

34

Ibid., hal.12

35

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor:Politeia, 1996), hal.250

36


(42)

Barang yang tidak ada pemiliknya, tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu barang dalam keadaan res nullus (barang yang pemiliknya telah melepaskan haknya) dan res derelictae.37

3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” Unsur ini mengandung suatu pengertian, bahwa benda yang diambil itu haruslah barang atau bendan yang ada pemiliknya, barang atau benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian. Terhadap unsur “yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain” ini dapat diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut:38 “Dua orang A dan B secara bersama-sama (patungan) membeli sepeda. Sepeda tersebut kemudian disimpan di rumah A. ketika A sedang keluar rumah sepeda tersebut di curi oleh B dan kemudian dijualnya. Dalam hal ini perbuatan B tersebut tetap merupakan tindak pidana pencurian, sekalipun sebagian dari sepeda tersebut adalah miliknya sendiri”.

b. Unsur –unsur subyektif, terdiri dari: 1) Dengan maksud

Istilah ini terwujud dalam kehendak, atau tujuan pelaku untuk memilki barang secara melawan hukum. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana dirumuskan dengan berbagai istilah, termasuk didalamnya adalah istilah“dengan maksud”. Dengan demikian, unsur “dengan maksud” dalam Pasal 362

37

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 19

38

Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), hal 41


(43)

KUHP menunjuk adanya unsur kesengajaan dalam tindak pidana pencurian.

2) Yang ditujukan untuk memiliki

Unsur “memiliki” untuk dirinya sendiri dalam rumusan Pasal 362 KUHP merupakan terjemahan dari kata zich toeeigenen. Istilah zich toeeigenen sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar “memiliki”. Oleh beberapa sarjana, istilah tersebut diterjemahkan distilah “menguasai”. Berkaitan dengan istilah zich toeeigenen ini, Prodjodikoro berpendapat, bahwa istilah tersebut harus diterjemahkan sebagai berbuat sesuatu terhadap suatu barang/benda seolah-olah pemilik barang itu, dan dengan perbuatan tertentu si pelaku melangar hukum. Bentuk dari perbuatan dari zich toeeigenen tersebut dapat bermacam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan dan sering bahkan bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa- apa dengan barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa persetujuannya.39

3) Secara melawan hukum

Secara melawan hukum yakni perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari si pelaku. Pelaku harus sadar bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain.40

39

Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, (Bandung : Eresco, 1986), hal.78

40Tongat, op. cit., hal 19‐23


(44)

Adapun jenis-jenis tindak pidana pencurian yang dimaksud, yaitu: a. Pencurian biasa

Pencurian yang dimaksud disini adalah pencurian yang memenuhi elemen-elemen seperti yang dimaksud pada penjelasan pasal 362 KUHP sebagai berikut:

1) Perbuatan ‘mengambil’

2) Yang diambil harus ‘sesuatu barang’

3) Barang itu harus ‘seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain’

4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk ‘memiliki’ barang itu dengan ‘melawan hukum’ (melawan hak)41

Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP)42.

b. Pencurian dengan pemberatan

Pencurian yang dimaksud dengan pemberatan adalah pencurian biasa (pasal 362) disertai dengan salah satu keadaan seperti disebutkan pada pasal 363 ayat (1), yaitu:

41

Lihat penjelasan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana R.Soesilo

42

Berdasarkan Pasal 3 Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (l) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu kali).


(45)

1) Jika barang yang dicuri adalah hewan yang diterangkan dalam pasal 101. Pencurian hewan dianggap berat karena hewan tersebut milik petani yang terpenting.

2) Jika pencurian dilakukan pada waktu ada kejadian macam-macam malapetaka seperti gempa bumi, banjir, dsb. Pencurian ini dikategorikan sebagai pencurian berat karena pada kondisi tersebut orang-orang tidak bisa terfokus pada barang-barangnya lagi dikarenakan mereka sedang mendapat celaka.

3) Jika pencurian dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan yang tertutup (‘waktu malam’ lihat pasal 98 KUHP). 4) Jika pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Pelaku

haruslah semuanya sebagai pembuat atau yang turut melakukan (lihat pasal 55 KUHP).

5) Jika dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar, memecah, dsb.43

Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara selama-lamanya tujuh tahun, apabila pencurian yang dilakukan dengan kondisi seperti disebutkan pada huruf c disertai dengan salah satu dari kondisi pada huruf d dan e, dihukum selama-lamanya sembilan tahun (lihat pasal 363 ayat (2) KUHP).

43


(46)

c. Pencurian Ringan44

Pencurian ini adalah Pencurian biasa (pasal 362) seperti disebutkan dalam pasal 364 KUHP dengan kondisi sebagai berikut:

1) Pencurian biasa (pasal 362), asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,-

2) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih (pasal 363 sub 4), asal harga barang tidak lebih dari Rp 250,-

3) Pencurian dengan masuk ketempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah, dsb. (pasal 363 sub 5), jika harga tidak lebih dari Rp 250,- dan tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.

Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP) d. Pencurian dengan kekerasan

1) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (1)

Pencurian ini didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut

44

Berdasarkan Pasal 1 Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 364 KUHP dibaca menjadi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).


(47)

melakukan untuk melarikan diri supaya barang yang dicuri tetap ada ditangannya.

Berdasarkan penjelasan pasal 365 yang mengatur tentang pencurian dengan kekerasan ini (pengertian kekerasan lihat pasal 89), yang dimaksud dengan ‘kekerasan’ dapat pula berupa mengikat orang yang punya rumah, menutup di dalam kamar, dsb. Sanksi yang diberikan adalah hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. 2) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (2)

Pencurian yang dimaksud disini apabila perbuatan yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada waktu malam hari di dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau dijalan umum atau didalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

Berdasarkan penjelasan pasal 365, sanksi yang diberikan diperberat menjadi hukuman penjara 12 tahun apabila disertai dengan salah satu kondisi yang diatur dalam pasal 363 ayat (1) atau menjadikan ada orang mendapat luka berat.

3) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (3)

Pencurian ini berakibat matinya orang, ancaman hukumannya diperberat dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. 4) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (4)

Pencurian yang dimaksudkan disini dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula salah satu hal yang diterangkan dalam pasal 365 ayat (2) no. 1 dan 3 sehingga berakibat


(48)

orang luka berat atau mati. Sanksi bagi pelaku adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

e. Pencurian dalam kalangan keluarga

Pencurian yang diatur pada pasal 367 KUHP ini adalah pencurian yang apabila dilakukan suami atau isterinya yang secara hukum tunduk pada Kitab undang-undang hukum sipil (perdata), maupun hukum adat, hukum islam, selama masih ada dalam tali perkawinan maka pencurian ini hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan (isteri/suami) karena termasuk dalam delik aduan.

2. Klasifikasi Pencurian pada Polresta Medan

Berdasarkan data kriminalitas pencurian dari Polresta Medan pada tiga tahun terakhir, terdapat jumlah kejahatan total atau crime total (CT) dan kejahatan yang penanganannya sudah selesai atau crime clearance (CC) dengan pembagian jenis kasus pencurian menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Pencurian dengan Kekerasan b. Pencurian dengan Pemberatan c. Pencurian Kendaraan Bermotor

d. Pencurian Biasa ( digabungkan dengan pencurian ringan)

Menurut H. Manurung, Kepala URBIN OPS SAT Reskrim Polresta Medan, secara khusus pembagian atau jenis tindak pidana pencurian yang terdapat pada Kepolisian Resor Kota Medan ada tiga. Klasifikasi Pencurian di


(49)

Kepolisian ini, apabila didalam KUHP telah diatur jenis-jenis pencurian berdasarkan pada unsur subjektif, objektif, dan berat ringannya sanksi maka di kepolisian juga terdapat klasifikasi didasari oleh tingkat kesulitan pengungkapan atau penyidikannya. Adapun ketiga klasifikasi tersebut, yaitu:45

a. Perkara Pencurian Ringan/Mudah

Kondisi dimana pada perkara ini pelaku tertangkap tangan, yang berarti alat bukti yang dibutuhkan sebagian besar telah dimiliki oleh kepolisian, termasuk di dalamnya adalah saksi. Pencurian bisa saja tergolong dalam jenis tindak pidana pencurian berat (sesuai KUHP) namun si pelaku tertangkap tangan sehingga tergolong mudah untuk diungkap.

b. Perkara Pencurian Sedang

Salah satu keadaan pada proses lidik dan sidik dimana tersangka diketahui dan telah cukup saksi, telah juga terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka, tetapi dalam hal ini tersangka melarikan diri atau belum tertangkap sehingga perlu dilakukan pengejaran. Kondisi tersangka yang sudah tertangkap dalam kondisi sehat dan dia bukan orang yang memiliki kelompok kejahatan tertentu.

c. Perkara Pencurian Berat/Sulit

Proses pengungkapan pencurian berat memerlukan proses lidik yang panjang karena tersangka tidak diketahui dan bukti-bukti yang dapat dijadikan petunjuk sangat minim. Kondisi nya saksi tidak mengetahui

45

Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB


(50)

secara langsung bagaimana tindak pidana ini terjadi, tersangka adalah bagian dari kelompok kejahatan tertentu yang mungkin dilindungi ataupun memiliki jabatan tertentu yang mempersulit penangkapan, dan dalam perkara ini biasanya sangat dibutuhkan keterangan ahli untuk membantu pengungkapannya.

3. Data Penanganan Kasus Pencurian pada Polresta Medan Sejajaran tahun 2013, 2014, dan 2015

Adapun data jumlah tindak pidana pencurian sesuai klasifikasi pada Polresta Medan yang dicatat sepanjang tiga tahun terakhir adalah, sebagai berikut:

Tabel 1. Pencurian dengan Kekerasan

No. Uraian

Tahun

Jumlah 2013 2014 2015

1. Kejahatan yang dilaporkan 606 734 570 1910 2. Kejahatan yang

diselesaikan

266 461 375 1102

3. Persentasi 43,8% 62,8% 65,7% 57,6%

Keterangan:

1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan

2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

Sesuai dengan data pada Tabel 1. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian dengan kekerasan persentasinya hanya 57,6% dari total jumlah


(51)

kejahatan yang dilaporkan, ini berarti penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya masih tergolong rendah karena hanya lebih 7,6% dari setengahnya kejahatan yang dilapor.

Tabel 2. Pencurian dengan Pemberatan

No. Uraian

Tahun

Jumlah 2013 2014 2015

1. Kejahatan yang dilaporkan 2,238 2,255 1,495 5988 2. Kejahatan yang diselesaikan 1,023 1,135 957 3115

3. Persentasi 45,7% 50,3% 64,01% 52,02%

Keterangan:

1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan

2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

Sesuai dengan data pada Tabel 2. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian dengan pemberatan persentasinya bahkan lebih rendah dari pencurian dengan kekerasan. Total jumlah kejahatan yang dilaporkan hampir dua kali lipat dari jumlah kejahatan yang diselesaikan tiga tahun tersebut, ini berarti penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya masih tergolong rendah karena hanya lebih 2,02% dari setengahnya kejahatan yang dilapor.


(52)

Tabel 3. Pencurian Kendaraan Bermotor

No. Uraian

Tahun

Jumlah 2013 2014 2015

1. Kejahatan yang dilaporkan 3,469 2,798 1909 8176 2. Kejahatan yang diselesaikan 361 521 580 1462

3. Persentasi 10,4% 18,6% 30,3% 17,88%

Keterangan:

1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan

2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

Sesuai dengan data pada Tabel 3. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian kendaraan bermotor berjalan sangat lambat, persentasinya bahkan berada pada angka 10-30% yang berarti tidak mencapai setengahnya dari total jumlah kejahatan yang dilaporkan. Penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya tergolong sangat rendah, hal ini dikemukakan oleh penyidik di Polresta Medan dikarenakan sulitnya menemukan tersangka dan barang bukti pada saat kejahatan telah terjadi.

Tabel 4. Pencurian Biasa (digabungkan dengan pencurian ringan)

No. Uraian

Tahun

Jumlah 2013 2014 2015

1. Kejahatan yang dilaporkan 526 611 405 1542 2. Kejahatan yang diselesaikan 675 374 351 1400


(53)

Keterangan:

1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan

2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

Sesuai dengan data pada Tabel 4. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian biasa persentasinya adalah yang paling tinggi di bandingkan tiga jenis pencurian lainnya. Total jumlah kejahatan yang dilaporkan hampir sama jumlahnya dengan jumlah kejahatan yang diselesaikan tiga tahun tersebut, ini berarti penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya tergolong baik, hal ini juga dikarenakan penyelesaian perkara lebih banyak menggunakan konsep diversi karena pelakunya kebanyakan adalah anak jadi tidak memakan waktu yang panjang.46

Adapun persentasi jumlah kejahatan pencurian yang dapat diselesaikan proses hukumnya tiga tahun terakhir secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut:47

46

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan, Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB

47

Diolah dari Data Kriminalitas Pencurian SAT Reskrim Polresta Medan Sejajaran tahun 2013, 2014, dan 2015 yang memberikan informasi jumlah kriminal total dan kriminal yang diselesaikan prosesnya setiap tahun.


(54)

Tabel 5. Persentasi kejahatan yang diselesaikan pada tindak pidana Pencurian

No. Jenis Kasus

Kejahatan yang diselesaikan (%)

2013 2014 2015

1. Pencurian dengan Kekerasan 43,8 62,8 65,7

2. Pencurian dengan Pemberatan 45,7 50,3 64,01

3. Pencurian Kendaraan Bermotor 10 18,6 30,3

4. Pencurian Biasa 128,3 61 86,6

Rata-rata kejahatan yang

diselesaikan

56,95 48,17 61,65

Dari penyajian data diatas, terdapat beberapa keterangan mengenai penanganan tindak pidana pencurian pada Polresta Medan, yaitu:

1. Persentasi total kejahatan adalah 100% setiap tahunnya, jika diperbandingkan dengan angka penyelesaian kejahatannya, persentasi penyelesaian kejahatan tersebut rata-rata tidak bisa mencapai 100%.

2. Kejahatan pencurian yang telah selesai ditangani setiap tahunnya dapat terdiri dari kejahatan pada tahun-tahun sebelumnya yang belum bisa diselesaikan tahun itu juga dan kejahatan pada tahun penyelesaian penanganan perkara. 3. Pencurian dengan kekerasan, pemberatan, dan kendaraan bermotor proses


(55)

4. Proses pengungkapan kasus pencurian kendaraan bermotor tergolong berat, hal ini dapat dilihat dari persentasi dari tahun ke tahun sangat kecil.

5. Pada tahun 2013, persentasi penyelesaian kejahatan pencurian biasa lebih besar 28,3% melebihi 100% total kejahatan tahun tersebut, hal ini dapat dikarenakan pengungkapan kasus tersebut tergolong ringan.

6. Kepala Sub Unit Idik 7 bidang Ranmor, Ridwan mengatakan bahwa pelaku pencurian kendaraan bermotor dan pencurian biasa didominasi pelaku anak, oleh karena itu upaya diversi/perdamaian yang dilakukan cukup membantu penyelesaian penanganan kejahatan dengan lebih cepat.48

7. Jika dilihat dari persentasi rata-rata kejahatan yang diselesaikan setiap tahunnya, jumlah kasus yang masih dalam proses penyelesaian tergolong besar karena masih tersisa hampir setengahnya.

B. Sistem Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa pada Polresta Medan

Berbicara mengenai penanganan tindak pidana berarti berbicara mengenai penegakan hukum pidana materil yakni kajian tentang ilmu hukum acara pidana. Ilmu hukum pidana yang sangat luas pembahasannya dalam konteks pembahasan ini khusus membahas suatu proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana umum di Indonesia pada tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian resor kota Medan untuk menangani Kejahatan Pencurian.

48

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan, Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB


(56)

1. Tahap Penyelidikan

Penyelidikan dan Penyidikan dalam hal penanganan tindak pidana dilakukan oleh penyelidik dan penyidik. Berdasarkan Ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.49 Sejalan dengan pengertian tersebut, berdasarkan peraturan kepolisian, Penyelidik diartikan pula pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.50

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.51

Sebelum melakukan penyelidikan, dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana dapat diketahui oleh kepolisian melalui:

a. Laporan

Pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP)

b. Pengaduan

Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP)

c. Tertangkap tangan

Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan

49

Lihat Pasal 1 butir 4 KUHAP

50

Pasal 1 butir 8 Perkap no.14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana

51

Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB


(1)

serta memberikan semangat dan bantuannya sepanjang pengerjaan skripsi ini;

22. Kepada Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum USU yang memberikan banyak pelajaran untuk menjadi mooters sejati; 23. Kepada tetangga ku bang John Purba, yang selalu bisa menjadi

pendengar dan penyemangat yang luar biasa;

24. Kepada Mipa, Yunita, dan Elisabeth, adik-adik yang selalu memberikan motivasi;

25. Kepada teman-teman seperjuangan Grup G stambuk 2012 terutama Ricky Purba alias Pepi, Morando, Redi, Tommy, Arif, Dimas, Impal Jo, dan Riski R. alias Madon yang sering direpotkan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

26. Kepada teman-teman seperjuangan Grup E stambuk 2012 Fakultas Hukum USU

27. Kepada Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana terutama Badan Pengurus Harian yang saling membantu dan mendukung dalam pengerjaan skripsi ini;

28. Kepada kak Febriyani yang sering mengingatkan jaga kesehatan;


(2)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kekurangan dan kelemahan untuk itu kritik dan saran membangun akan selalu diterima. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi pengembangan konsep Diversi dan Restoratif justice pada tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa.

Medan, Maret 2016 Penulis,


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAKSI ... iii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan ... 11

2. Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Konsep Diversi` ... 13

2. Jenis-Jenis Diversi ... 14

3. Pengertian Restoratif Justice ... 15

4. Pengertian Tindak Pidana Pencurian ... 17

5. Pengertian Orang Dewasa Menurut Hukum Pidana ... 21

6. Pengertian Pengembangan ... 21

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 22


(4)

3. Jenis dan Sumber Data ... 24

4. Teknik Pengumpulan data ... 26

5. Analisis Data ... 26

G.Sistematika Penulisan ... 27

BAB II: PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN A. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencurian pada Polresta Medan 1. Jenis-Jenis Pencurian menurut KUHP di Indonesia ... 29

2. Klasifikasi Pencurian pada Polresta Medan ... 37

3. Data Penanganan Kasus Pencurian pada Polresta Medan Sejajaran tahun 2013, 2014, dan 2015 ... 39

B. Sistem Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa pada Polresta Medan 1. Tahap Penyelidikan ... 44

2. Tahap Penyidikan ... 50

3. Tahap Pelimpahan Berkas ... 57

BAB III: PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA A. Konsepsi Diversi dan Restoratif Justice Pada Sistem Peradilan Umum 1. Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Diversi dan Keadilan Restoratif ... 60


(5)

2. Program Diversi dan Restoratif Justice pada

Sistem Peradilan Pidana di Dunia ... 68 B. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi

Pelaku Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa

1. Pandangan Kepolisian Resor Kota Medan

terhadap Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif

Justice ... 83 2. Tantangan yang dihadapi dalam Pengembangan

Konsep diversi dan Restorative Justice ... 89 BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 93 B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

LAMPIRAN

Data Kriminalitas Pencurian Sat Reskrim Polresta Medan Sejajaran tahun 2013, 2014, dan 2015


(6)

ABSTRAKSI Dora Virgolin Tambunan*

Mahmud Mulyadi** Marlina***

Dewasa ini, Konsep Diversi dan Keadilan restoratif telah banyak dikembangkan oleh sistem pemidanaan Negara-negara di dunia. Konsep Diversi dan restorative justice yang mengutamakan penyelesaian perkara pidana melalui jalur damai yang mengutamakan pemafaan tanpa membawa perkara ke jalur peradilan konvensional dinilai memiliki banyak manfaat. Konsep ini sendiri telah diwujudnyatakan dalam sistem peradilan anak di Indonesia. Belakangan ini, kasus-kasus ringan seperti pencurian ringan atau biasa mencuri perhatian masyarakat ketika penyelesaiannya dilakukan dengan dasar pembalasan, padahal faktor penyebabnya adalah faktor perekonomian yang seharusnya pun menjadi tanggung jawab Negara, belum lagi pelaku dan korban sebenarnya bisa bermusyawarah terlebih dahulu sebelum harus diberatkan untuk menempuh jalur penyelesaian di persidangan. Konsep yang baik seperti diversi dan restorative justice ini yang kemudian perlu dikaji bagi tindak pidana pencurian dengan batasan tertentu dikarenakan penanganan tindak pencurian saat ini dirasa kurang memenuhi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sistem pemidanaan yang diterapkan di Indonesia selama ini condong mengarah pada keadilan retributif, yang mengharapkan pembalasan bagi pelaku tindak pidana, sedangkan perkembangan pemidanaan di Dunia saat ini sudah beranjak menuju keadilan restoratif.

Skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan empiris dengan menggunakan data primer yaitu wawancara dan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier sebagai sumber datanya, yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

Alasan tersebut yang kemudian melatarbelakangi penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan bagaimana penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa pada polresta medan dan bagaimana pula jika konsep diversi dan restorative justice dikembangkan bagi perkara pencurian yang dilakukan orang dewasa.

Kata Kunci: Diversi, Restoratif Justice, dan Penanganan Tindak Pidana Pencurian

*

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**

Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

***