Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

BAB II
URAIAN TEORITIS

2.1

Kerangka Teori
Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan

tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah
yang ada dalam penelitiannya (Arikunto, 1998:93).
Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut:

2.1.1

Komunikasi Massa
Sejalan dengan perkembangan media komunikasi, maka berkembang pula ilmu

komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan studi ilmiah tentang media massa beserta
pesan yang dihasilkan, pembaca/ pendengar/ penonton yang akan coba diraihnya dan efeknya
terhadap mereka. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa

(media cetak dan elektronik).Sebab pada awal perkembangannya, komunikasi massa berasal
dari pengembagan kata media mass communication (media komunikasi massa).
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner. Ia
mendefenisikan komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasika nmelalui media massa
pada sejumlah besar orang(mass communication is messages communicated through amass
medium to a large number of people). Definisi komunikasi massa yang lebih rinci
dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut Gerbner (1967)“Mass
communication is the tehnologically and institutionally based production and distribution of
the most broadly shared continous flow of messages in industrial societes”. Komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan
yang kontinyu serta paling luas dimiliki masyarakat.
Komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan
media masa. Pengertian ini juga ditegaskan oleh ahli komunikasi lainnya, JosephA. Devito. Ia
mengemukakan defenisinya dalam dua item. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi
yang ditujukan kepada massa/ khalayak. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh

Universitas Sumatera Utara

penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti khalayak yang besar itu
pada umumnya agak sukar untuk didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi

yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa
barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut bentuknya: televisi,
radio, surat kabar,majalah, film, buku dan pita. (Effendy,1990:21).
Komunikasi massa merupakan jenis komunikasi yang menggunakan saluran (media)
dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak,
bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu.
(Rakhmat, 2005 : 189).
Adapun ciri-ciri komunikasi massa menurut Nurrudin dalam buku “Komunikasi
Massa” (Nurrudin, 2004 :16-28) antara lain:
1. Komunikasi massa berlangsung satu arah, ini berarti bahwa tidak terdapat arus balik
dari komunikan kepada komunikator.
2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga, artinya media massa sebagai
saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi.
3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum, pesan yang disebarkan melalui media
massa bersifat umum (public) karena ditujukan kepada umum dan mengenai
kepentingan umum.
4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan, kemampuan media massa
untuk menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan
yang disebarkan.
5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen, komunikasi atau khalayak yang

merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi
massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen.
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni
komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah
besar orang. Sedangkan menurut Meletzke, komunikasi massa didefenisikan sebagai setiap
bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media
penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar. Istilah
tersebar disini menunjukkan bahwa komunikan sebagai pihak penerima pesan tidak berada di
satu tempat, tetapi tersebar di berbagai tempat. Ditambahkan menurut Joseph A. Devito
merumuskan defenisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang
pengertian massa, serta tentang media yang digunakannya. Yakni, “pertama, komunikasi

Universitas Sumatera Utara

massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa
banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancarpemancar yang audio atau visual (Ardianto, 2004:3-6).
Teori komunikasi yang dianggap paling awal (1948).Lasswell menyatakan bahwa
cara yang terbaik untukmenerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan :Who
says in which channel to whom with what effect (Siapa mengatakan apa melalui saluran apa
kepada siapa dengan efekapa). Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik : Lasswell

itumerupakan unsur-unsur proses komunikasi yaitu Communicator (komunikator), Message
(pesan), Media (media), Receiver (komunikan/penerima), dan Effeck (efek). Adapun fungsi
komunikasi menurut Lasswell adalah sebagai berikut :
 The surveillance of the environment (pengamatan lingkungan)
 The correlation of the parts of society in responding to the environment (korelasi
kelompok-kelompok dalammasyarakat ketika menanggapi

lingkungan).

 The transmission of the social heritage from onegeneration to the next

(transmisi

warisan sosial darigenerasi yang satu ke generasi yang lain).
Berdasarkan definisi mengenai komunikasi massa diatas dapat disimpulkan bahwa
inti dari komunikasi massa adalah proses penyampaian ide atau pesan dari komunikator
kepada komunikan melalui media massa sehingga pesan dapat diterima secara serempak.
Media massa baik media cetak maupun elektronik efektif menjangkau dan menyebarkan
informasi, ide, nilai-nilai kepada komunikan yang beraneka ragam serta terpisah secara
geografis. Setiap proses komunikasi mempunyai hasil akhir yang disebut dengan efek. Efek

muncul dari seseorang yang menerima pesan komunikasi baik secara disengaja maupun tidak
disengaja. Dalam penelitian efek komunikasi massa, media massa dipandang sangat
berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika dianggap sedikit bahkan hampir tidak berpengaruh
sama sekali. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan pandangan dalam memandang efek dari
media massa tersebut.
Secara umum terdapat tiga efek dari komunikasi massa, (Nurrudin, 2004:192-199)
yaitu:
1. Efek kognitif
Pesan komunikasi massa akan menimbulkan perubahan dalam hal pengetahuan,
pandangan dan pendapat terhadap sesuatu yang diperoleh khalayak. Efek ini berkaitan
dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi.
2. Efek afektif

Universitas Sumatera Utara

Pesan komunikasi massa mengakibatkan berubahnya perasaan tertentu dari khalayak.
Orang dapat menjadi lebih marah atau berkurang rasa tidak senangnya terhadap
sesuatu akibat membaca surat kabar, mendengarkan radio, atau menonton televisi.
Efek ini berhubungan dengan emosi, sikap, atau nilai.
3. Efek behavioral

Pesan komunikasi massa yang merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak
dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau
film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Siaran kesejahteraan keluarga yang
banyak disiarkan dalam televisi menyebabkan para ibu rumah tangga memiliki
keterampilan baru. Pernyataan – pernyataan ini mencoba mengungkapkan tentang
efek komunikasi massa pada perilaku, tindakan dan gerakan khalayak yang tampak
dalam kehidupan mereka sehari-hari.

2.1.2

Media Massa
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber

kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat
kabar, film, radio, televisi, dan internet (Cangara, 2006:122). Media massa merupakan istilah
yang digunakan untuk mempertegas kehadiran suatu kelas, seksei media yang dirancang
sedemikian rupa agar dapat mencapai audiens yang sangat besar dan luas (yang dimaksudkan
dengan besar dan luas adalah seluruh penduduk dari suatu bangsa/negara). Secara tak sengaja
memang media massa yang menerpa audiens sekaligus membuat masyarakat membentuk
masyarakat massa (mass society) dengan karakteristik budaya tertentu yakni budaya massa

(mass culture, popular culture).
Media massa merupakan media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan
berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara profesional dan
bertujuan mencari keuntungan. Dengan demikian, tidak semua media informasi atau
komunikasi dapat disebut media massa. Telepon, meskipun dengannya kita bisa
berhubungan, bukanlah merupakan media massa karena hubungannya individu. Buletin
intern suatu lembaga juga bukan media massa karena informasinya terkait dengan
kepentingan lembaga yang kadang tidak dikelola secara profesional, bahkan tidak bertujuan
demi keuntungan (Monry, 2008:12).
Penelitian efek media massa terhadap khalayak bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana kehadiran suatu media atau peroses penyampaian pesan mempengaruhi khalayak dalam

Universitas Sumatera Utara

berfikir, bersikap dan berprilaku, (Ardianto dan Adinaya 2005:164) tujuan dari terjalinnya
komunikasi ini antara lain adalah :
1.

Agar terjadi perubahan sikap (attitude chage) , khalayak diharapkan


dapat merubah sikap dalam mematuhi peraturan karena kehadiran aparat penegak hukum
nyata ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari seperti yang digambarkan dalam tayangan
86 di Net Tv.
2.

Perubahan pendapat (opinion chage) melalui program 86,

diharapkan khalayak dapat membentuk opini terhadap POLRI sehingga dapat
merubah opini buruk atau citra negatif terhadap institusi POLRI.
3.

Perubahan prilaku ( behaviour change) merupakan perubahan

prilaku secara nyata, diharapkan masyarakat dapat berprilaku sesuai dengan
norma dan peraturan- peraturan yang berlaku. Seperti dalam berkendara
kendaraan bermotor selalu mengenakanhelm, tidak menerobos lampu merah
persis seperti yang di gambarkan dalam tayangan 86.
4.

Perubahan sosial (sosial chage), diharapkan khalayak atau


masyarakat dalam kehidupan bersosial antara polisi dan masyarakat dapat
hidup berdampingan agar tidak terjadi konflik.
Secara umum, fungsi dari media massa adalah sebagai berikut (Sudarman,2008:7):
a. Menginformasikan (to inform). Maksudnya media massa merupakan tempa tuntuk
menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang perlu diketahui oleh
khalayak.
b. Mendidik (to educate). Tulisan di media massa dapat mengalihkan ilmu pengetahuan
sehingga mendorong perkembangan intelektual, membentuk watak dan dapat
meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan para pembacanya.
c. Menghibur (to intertaint). Media massa merupakan tempat yang dapat memberikan
hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau khalayaknya.
d. Mempengaruhi (to influence). Maksudnya bahwa media massa dapat mempengaruhi
pembacanya. Baik pengaruh yang bersifat pengetahuan (cognitive), perasaan
(afektive), maupun tingkah laku (conative).
e. Memberikan respons sosial (to social responsibility), maksudnya bahwa dengan
adanya media massa kita dapat menanggapi tentang fenomena dansituasi sosial atau
keadaan sosial yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara


f. Penghubung (to linkage), maksudnya bahwa media massa dapat menghubungkan
unsur-unsur yang ada dalam masyarakat yang tidak bias dilakukan secara
perseorangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Media massa berperan sebagai agent of change yaitu sebagai pelopor perubahan
(Bungin, 2006:85). Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan
paradigmanya media massa berperan:
1. Media edukasi yaitu media massa menjadi media yang setiap saat mendidik
masyarakat menjadi cerdas, pikiran terbuka dan menjadi masyarakat yang maju.
2. Media informasi yaitu media yang selalu menyampaikan informasi yang terbuka dan
jujur kepada masyarakat, menjadikan masyarakat kaya akan informasi dan terbuka
dengan informasi.
3. Media hiburan juga menjadi media massa yang institusi terhadap budaya, dimana
mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi masyarakat yang
bermoral dan juga mencegah agar perkembangan budaya itu tidak merusak peradaban
masyarakat.
Media massa pada masyarakat luas saat ini dapat dibedakan atas tiga kelompok,
meliputi media cetak, media elektronik, dan media online (Monry, 2008:12).
1. Media cetak merupakan media tertua yang ada di muka bumi. Media cetak berawal
dari media yang disebut dengan Acta Diurna dan Acta Senatus di kerajaan Romawi,

kemudian berkembang pesat setelah Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak,
hingga kini sudah beragam bentuknya, seperti surat kabar (koran), tabloid, dan
majalah.
2. Media elektronik muncul karena perkembangan teknologi modern yang berhasil
memadukan konsep media cetak, berupa penulisan naskah dengan suara (radio),
bahkan kemudian dengan gambar, melalui layar televisi. Maka kemudian, yang
disebut dengan media massa elektronik adalah radio dan televisi.
3. Media online merupakan media yang menggunakan internet. Sepintas lalu orang akan
menilai media online merupakan media elektronik, tetapi pakar memisahkannya
dalam kelompok tersendiri. Alasannya, media online menggabungkan gabungan
proses media cetak dengan menulis informasi yang disalurkan melalui sarana
elektronik, tetapi juga berhubungan dengan komunikasi personal yang terkesan
perorangan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Televisi
Menurut Effendy (1994:21) yang dimaksud dengan televisi adalah siaran yang

merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa,
yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum,
sasarannya menmbulkan keserampakan, dan komunikasinya bersifat heterogen. Televisi
adalah sistem telekomunikasi untuk penyiaran dan penerimaan gambar dan suara dari jauh
atau media komunikasi yang mentransmisikan gambar (visual) dan suara (audio).
Televisi adalah media massa yang memancarkan suara dan gambar atau secara mudah
dapat disebut dengan radio“with picture”atau “movie at home”. (Widjaya;1987). Televisi
merupakan media yang paling efektif dan efisien dalam penyampaian pesan –pesan atau ide –
ide dari penyampai pesan, karena media televisi tidak hanya mengeluarkan suara saja
tetapijuga disertai dengan gambar dan warna.
Menurut Defleur and Dennis :
“Television 's sound is basically FM Radio. Sounds are picked up from amicrophone,
turntable, or tape recorder. They are them mixed in an audioboard and sent to the
transmitter, where the waves we described earlier in the chapter are generated, modulated,
and sent out the antenna to hereceived in the home. Off course, since not all television is live,
the sounds(ard the pictures) may be stored on video tape and broadcast orrebroadcast”.
Artinya ialah suara televisi pada dasarnya adalah radio FM. Suara yang diambil dan
mikrophone, atau tape perekam. Semua ini kemudian dikombinasikan di papan audio dan
dikirim ke transmitter, dimana gelombang diterjemahkan pada awal bagian dan
digeneralisasikan, dimodulasi dan dikirim keluar ke antena dan diterima di rumah. Tentu saja,
karena tidak sama siaran televisi disiarkan langsung, suara (dan gambar) bisa dikirim di tape
video dan disiarkan atau disiarkan ulang kemudian. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi
televisi adalah gabungan dan bentuk gambar dan suara atau visual dan audio visual meliputi
segala sesuatu yang dapat kita lihat seperti gambar hidup, tulisan, logo televisi, jam
penayangan,dan lain-lain.
Perkembangan teknologi pertelevisian sampai saat ini sudah berkembang sedemikian
pesat sehingga dampak siarannya menyebabkan seolah-olah tidak adalagi batasan antara satu
negara dengan negara yang lainnya” (Muda, 2003:4). Televisi, disamping sebagai media yang
amat menghibur, juga menjadi saluran komunikasi dua arah yang efektif. Penggunaan televisi
sekarang tidak hanya dimiliki oleh masyarakat diperkotaan saja namun juga bisa dinikmati
oleh masyarakat di pedesaan. Kelebihan yang dimiliki oleh televisi adalah mampu

Universitas Sumatera Utara

mentransformasikan gambar, suara, dan warna-warna yang sesuai dengan aslinya sehingga
apabila ada acara yang ditayangkan di televisi dengan mengambil setting tempat tertentu
maka pemirsa sudah dapat mengetahui tempat itu tanpa harus pergi ke sana. “Nilai-nilai lebih
dari televisi tersebut membuat daya rangsang seseorang terhadap media televisi cukup tinggi”
(Kuswandi, 1996:20).
Menurut Effendy (2005:27-30) dalam kaitannya dengan komunikasi massa, televisi
menjadi media massa yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat dibanding dengan media
massa lainnya. Siaran televisi menjadi lebih komunikatif dalam menyampaikan pesan,
dengan audio visual yang dimilikinya. Maka dari itu televisi sangat berguna dalam upaya
pembentukan sikap, perilaku, dan perubahan pola pikir. Seperti halnya media massa lain,
televisi pada pokoknya mempunyai tiga fungsi pokok yakni sebagai berikut:
1. Fungsi Penerangan (The Information Function)
Televisi mendapat perhatian yang besar dikalangan masyarakat karena dianggap
sebagai media yang mampu menyiarkan informasi yang sangat memuakan. Hali ini
didukung oleh 2 (dua) faktor, yaitu:
a. Immediacy (Kesegaran). Pengertian ini mencakup langsung dan peristiwa yang
disiarkan oleh stasiun televisi dapat dilihat dan didengar oleh pemirsa pada saat
peristiwa itu berlangsung.
b. Realism (Kenyataan). Ini berarti televisi menyiarkan informasinya secara audio
dan visual dengan perantara mikrofon dan kamera sesuai dengan kenyataan.
2. Fungsi Pendidikan (The Educational Function)
Sebagai media massa, televisi merupakan sarana yang ampuh untuk menyiarkan acara
pendidikan kepada khalayak yang jumlahnya begitu banyak secara simultan dengan
makna pendidikan, yaitu meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat.
Siaran televisi menyiarkan acara-acara tersebut secara teratur, misalnya pelajaran
bahasa, matematika, ekonomi , politik, dan sebagainya.

3. Fungsi Hiburan (The Entertainment Function)
Sebagai media yang melayani kepentingan masyarakat luas, fungsi hiburan yang
melekat pada televisi tampaknya lebih dominan dari fungsi lainnnya. Sebagian besar
dari alikasi waktu siaran televisi diisi oleh acara-acara hiburan, seperti lagu-lagu, film
cerita, olahraga, dan sebagainya. Fungsi hiburan ini amat penting, karena ia menjadi

Universitas Sumatera Utara

salah satu kebutuhan manusia untuk mengisi waktu mereka dari aktivitas di luar
rumah.
Bersamaan dengan jalannya proses penyampaian isi pesan media televisi kepada
pemirsa, maka isi pesan itu juga akan diinterpretasikan secara berbeda-beda menurut visi
pemirsa serta efek yang ditimbulkan juga beraneka ragam. Hal ini terjadi karena tingkat
pemahaman dan kebutuhan pemirsa terhadap isi pesan acara televisi berkaitan erat dengan
status sosial ekonomi dan kondisi pemirsa saat menonton televisi (Kuswandi, 1996:99).
Tayangan televisi dapat diartikan sebagai adanya suatu pertunjukan acara yang
ditampilkan atau disiarkan melalui media massa televisi. Tayangan tersebut bisa bermanfaat
hiburan, informasi, ataupun edukasi seperti tayangan mengenai pendidikan. Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering memperoleh berbagai pengalaman. Hal ini dikarenakan terintegrasinya
kelima indera yang kita miliki, tetapi dengan menonton audiovisual, akan mendapatkan 100%
dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Ini sebagai akibat timbulnya pengalaman tiruan
(stimulated experience) dari media audiovisual tadi (Darwanto, 2007:119).
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan pesan melalui
televisi, diantaranya adalah (Darwanto, 2007:119) :
1. Pemirsa
Dalam setiap bentuk komunikasi dengan menggunakan media apapun, seorang
komunikator akan menyesuaikan pesan dengan latar belakang komunikannya. Tetapi
dalam komunikasi melalui televisi, faktor pemirsa menjadi perhatian lebih,
disebabkan komunikator harus memahami kebiasaan dan minat pemirsa baik dalam
kategori anak-anak, remaja, dewasa.

2. Waktu
Faktor waktu menjadi bahan pertimbangan agar setiap acara yang ditayangkan dapat
secara proporsional dan dapat diterima oleh sasaran khalayak.
3. Durasi
Durasi berkaitan dengan waktu, yakni jumlah menit dalam setiap penayangan acara.
4. Metode penyajian
Fungsi utama televisi pada umumnya menurut khalayak adalah untuk menghibur dan
mendapatkan informasi. Bukan berarti fungsi mendidik dan membujuk diabaikan,

Universitas Sumatera Utara

fungsi non hiburan dan non informasi harus tetap ada karena sama pentingnya bagi
komunikator dan komunikan.
Menurut Frank Jefkins, televisi memiliki sejumah karakteristik khusus dari program
acara televisi yaitu ;
1. Selain menghasilkan suara, televisi juga menghasilkan gerakan, visi, dan warna
2. Pembuatan program televisi lebih lama dan lebih mahal
3. Karena mengandalkan tayangan secara visual, maka segala sesuatu yang nampak
harus dibuat semenarik mungkin.
Sedangkan program acara televisi terdiri dari :
a. Buletin Berita Nasional, misalnya siaran berita atau buletin berita regional yang
dihasilkan oleh stasiun- stasiun TV loka l
b. Liputan- liputan khusus yang mengupas tentang berbagai masalah terbaru secara
mendalam.
c. Program- program Olahraga, baik olahraga diluar dan di dalam ruangan yang
disiarkan secara langsung atau tidak langsung dari dalam atau luar negeri
d. Acara mengenai topik-topik khusus yang bersifat informatif seperti acara-acara
mengenai cara memasak, berkebun, atau kuis.
e. Drama, terdiri dari sinetron sandiwara dan film.
f. Acara musik, yang berisi musik pop, konser musik klasik dan sebagainya.
g. Acara untuk anak-anak dan film kartun
h. Acara keagamaan.
i. Program-program ilmu pengetahuan dan pendidikan.
j. Acara bincang-bincang ( Jefkins 2003 : 105-108 ).
Pengaruh televisi pada sistem komunikasi tidak pernah lepas dari pengaruh terhadap
aspek- aspek kehidupan masyarakat indonesia. Menurut Prof. Dr. R. Mar’at, acara televisi
pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton sebab
salah satu pengaruh psikologis dari televisi seakan- akan menghipnotis penonton sehingga
mereka seolah- olah hanyut dalam keterlibatan pada kisah atau peristiwa yang dihidangkan
televisi (Efendy 2004 : 122).

2.1.4 Teori Kultivasi (Cultivation Theory)
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George
Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas

Universitas Sumatera Utara

Pensylvania. Riset pertamanya pada awal tahun 1960‐an tentang Proyek Indikator Budaya
(Cultural Indicators Project) untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dimana
Gerbner dan koleganya di Annenberg School for Communication ingin mengetahui dunia
nyata seperti apa yang dibayangkan penonton televisi. Tradisi pengaruh media dalam jangka
waktu panjang dan efek yang tidak langsung menjadi kajiannya. Argumentasi awalnya
adalah, “televisi telah menjadi anggota keluarga yang penting, anggota yang bercerita paling
banyak dan paling sering” (Hadi, 2007:8)
Hadirnya media televisi memberi dampak komersial bagi pasar dan khalayak.
Dampak medium televisi melalui program acara berita kriminal, jenis film action, shooting
dan pembunuhan mampu memengaruhi agresivitas khalayak terhadap dunia atas kumulatif
efek melalui tayangan televisi. Dampak ‘kekerasan media’ ini oleh George Gerbner
kemudian disebutnya sebagai “mean world syndrome”, dalam teori Cultivation Analysis
(1970-1980) (Hadi, 2007:8).
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para
pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain
untuk mengetahui dunia nyata macam apa yang dibayangkan oleh pemirsa televisi dan
bagaimana media televisi mempengaruhi pemirsa atas dunia nyata. Asumsi mendasar dalam
teori ini adalah terpaan media yang terus menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh
pada pemirsanya. Artinya, selama pemirsa kontak dengan televisi, mereka akan belajar
tentang dunia, belajar bersikap dan nilai‐nilai orang (Hadi, 2007:9)
Gerbner meyakini bahwa kekuatan televisi berasal dari isi simbolik dari drama
kenyataan hidup sehari-hari yang ditayangkan jam lepas jam dan minggu lepas minggu
(Griffin, 1991). “Rata-rata pemirsa menonton televisi empat jam sehari” (Severin dan
Tankard, 2001). “George Gerbner menggolongkan audience televisi menjadi 2 golongan,
yaitu heavy viewer dan light viewer. Heavy viewer atau pecandu berat televisi adalah orang
yang menonton televisi lebih dari 4 jam per hari. Sebaliknya, light viewer atau pecandu
ringan adalah orang yang menonton kurang dari 4 jam per hari” (Hadi, 2007:3).
Berdasarkan golongan audience inilah Gerbner melakukan penelitian terhadap heavy
viewer dan light viewer. Dua golongan ini memiliki jawaban yang berbeda ketika menjawab
pertanyaan. Misalnya, ketika ditanya seputar populasi yang berada di Amerika, heavy viewer
akan menjawab kurang lebih 20 persen populasi di dunia berada di Amerika. Sedangkan light
viewer akan memberikan jawaban yang mendekati angka aslinya yaitu 6 persen. Contoh
lainnya, heavy viewer menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban kejahatan

Universitas Sumatera Utara

adalah 1 berbanding 10. Dalam kenyataannya angkanya adalah 1 berbanding 50. Heavy
viewer cenderung memberikan jawaban yang mendekati dunia yang digambarkan oleh
televisi (Ardiyanto, 2004:64).
Fokus utama riset kultivasi pada tayangan kriminal dan kekerasan dengan
membandingkan kepada prevalensi (frekuensi) kriminal dalam masyarakat. Bagi pemirsa
pecandu berat televisi (heavy viewers) dalam jangka waktu lama ternyata hal ini memberi
keyakinan bahwa tak seorang pun bisa dipercaya atas apa yang muncul dalam dunia
kekerasan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pecandu berat televisi cenderung melihat
dunia ini sebagai kegelapan/ mengerikan serta tidak mempercayai orang. Apa yang terjadi di
televisi itulah dunia nyata. Televisi menjadi potret sesungguhnya dunia nyata (Hadi, 2007:9).
Gerbner mengklaim bahwa pecandu berat televisi (heavy viewer) mengembangkan
kepercayaan yang berlebihan tentang dunia yang kotor dan mengerikan. Misalnya karena
seringnya menonton televisi membuat orang beranggapan bahwa dunia ini tempat yang tidak
aman. Kekerasan yang mereka lihat di televisi dapat menanamkan ketakutan sosial yang
menjawab dugaan tentang orang yang dapat dipercaya atau keamanan keadaan sekitarnya
(Hadi, 2007:10).
Gerbner dan koleganya berpendapat bahwa televisi menanamkan sikap dan nilai
tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota
masyarakat yang kemudian mengikatnya bersama‐sama pula. Media mempengaruhi
penonton dan masing‐masing penonton itu meyakininya. Sehingga para pecandu berat
televisi itu akan mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu sama lain (Nurudin, 2003
:159).
Tim Gerbner juga menyatakan bahwa salah satu dampak kultivasi yang utama, dan
terjadi secara meluas, yang diakibatkan televisi adalah munculnya persepsi “dunia yang
kejam” yang berasal dari para pecandu berat televisi. Peneliti kultivasi juga menemukan
beberapa variabel penting yang juga turut mempengaruhi perbedaan yang terjadi antara
pecandu berat dan ringan televisi. Variabel-variabel tersebut antara lain, usia, pendidikan,
jenis kelamin, status ekonomi, dan berita yang dikonsumsi (Ardiyanto, 2004:68).
Para peneliti kultivasi berusaha untuk mengontrol variabel-variabel yang turut
mempengaruhi dampak, selain televisi. Kritik ini juga diutarakan oleh Paul Hirsch pada tahun
1980-an. Dari kritikan yang diajukan oleh Hirsch ini kemudian Gerbner beserta rekanrekannya menambahkan 2 konsep tambahan sebagai revisi dari teori kultivasi. Dua konsep
tersebut adalah mainstreaming (pelaziman) dan resonance (resonansi). Mainstreaming

Universitas Sumatera Utara

dikatakan apabila sering menyaksikan televisi menyebabkan pemusatan pandangan seluruh
kelompok. Misalnya, baik pemirsa “berat” dalam kategori penghasilan rendah maupun dalam
penghasilan tinggi mempunyai pendapat yang sama bahwa ketakutan akan kejahatan adalah
masalah pribadi yang sangat serius. Tetapi, pemirsa “ringan” televisi yang berpenghasilan
rendah cenderung untuk mempunyai pendapat yang sama dengan pemirsa “berat” dalam dua
kategori tadi bahwa ketakutan akan kejahatan adalah sebuah masalah, sedangkan pemirsa
ringan yang berpenghasilan tinggi cenderung untuk tidak mempunyai pendapat yang sama
bahwa ketakutan akan kejahatan adalah sebuah masalah (Sianturi, 2010:45)
Resonance (resonansi) terjadi ketika dampak kultivasi ditingkatkan untuk sekelompok
tertentu dalam populasi. Misalnya, pemirsa ‘berat’ diantara laki-laki dan perempuan
mempunyai kemungkinan lebih besar daripada pemirsa “ringan” untuk setuju bahwa
ketakutan akan kejahatan adalah sebuah masalah serius. Tetapi kelompok yang setuju paling
kuat adalah perempuan yang menjadi penonton “berat”, karena kerentanan khusus mereka
pada kejahatan konon “mirip” dengan potret dunia kejahatan yang tinggi yang dilukiskan
dalam televisi. Dengan adanya tambahan yang substansial pada teori kultivasi, maka teori
kultivasi ini tidak lagi menyatakan keseragaman, dampak televisi untuk semua anggota
pemirsa “berat”. Kemudian yang terjadi adalah apabila orang mengontrol variabel –variabel
lain sekaligus, sisa dampak yang diakibatkan oleh televisi menjadi agak kecil. Namun karena
adanya dampak kumulatif dari televisi yang dialami sebagian besar orang (paling tidak di
Amerika), maka dampak tersebut tidak dapat diabaikan (Sianturi, 2010:45).
Pada tahun 1988, Rubin, Perse, dan Taylor meragukan bahwa kultivasi adalah sebagai
efek umum dari terlalu sering menonton televisi. Mereka menemui adanya dampak dari
menonton televisi pada persepsi realitas sosial, namun dampak tersebut hanya pada program
tertentu saja. Dalam penelitian mereka, dapat dibuktikan bahwa pemirsa secara aktif dan
secara berbeda mengevaluasi isi televisi, atau dengan kata lain, bahwa audience televisi
adalah pemirsa yang aktif. Beberapa perbaikkan pada teori kultivasi akhir – akhir ini,
membagi dampak dampak menjadi dua variabel. Variabel – variabel tersebut adalah
kepercayaan tingkat pertama (first-order belief) dan kepercayaan tingkat kedua (second-order
belief). Kepercayaan tingkat pertama mangacu pada keyakinan yang berkenaan dengan
beragam kenyataan dunia nyata, seperti persentase orang yang menjadi korban kejahatan
brutal selama satu tahun. Dan kepercayaan tingkat kedua mengacu pada ekstrapolasi dari
kenyataan-kenyataan pada harapan umum atau orientasi, seperti kepercayaan bahwa dunia
adalah tempat aman atau bahaya (Sianturi, 2010:46).

Universitas Sumatera Utara

Beberapa teori mutakhir menekankan bahwa penonton sebenarnya aktif di dalam
usaha menekankan kekuatan pengaruh televisi tidak seperti yang diasumsikan teori kultivasi.
Teori kultivasi menganggap bahwa penonton itu pasif. Teori kultivasi lebih memfokuskan
pada kuantitas menonton televisi atau “terpaan” dan tidak menyediakan perbedaan yang
muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran televisi. Penonton tidak perlu
secara pasif menerima apa yang mereka lihat di televisi sebagai kenyataan (Nurudin,
2007:173-174).
Efek kultivasi melalui tayangan kekerasan memberi penjelasan bahwa televisi
mempunyai pengaruh yang kuat pada diri individu. Bahkan dalam hal yang ekstrim pemirsa
menganggap bahwa lingkungan sekitar sama persis seperti yang tergambar dalam televisi.
Disisi lain, tayangan kejahatan dalam dunia tontonan menjadi formula yang bisa menarik
secara komersil. Film atau televisi sebenarnya hanyalah tontonan. Sebagai tontonan ia
hanyalah realitas media, yang tentu saja bahkan sebagai “realitas” buatan yaitu fiksi, yang
perlu dibedakan dari realitas media berupa informasi faktual. Tetapi karena dipanggungkan
dalam kaidah dramatisasi, “realitas” ini menjadi lebih menonjol. Menurut Perse “efek
dominan kultivasi kekerasan televisi pada individu adalah pada kognitif (meyakini tentang
realitas sosial) dan afektif (takut akan kejahatan)” (Hadi, 2007 : 10).
Penelitian ini menggunakan Cultivation Theory sebagai landasan teori. Seperti yang
diungkapkan oleh Perse, mengenai efek afektif yang ditimbulkan oleh berita kasus pemalsuan
produk makanan yang ditayangkan di televisi, peneliti ingin mengetahui seberapa besar
tingkat kecemasan, yang merupakan salah satu efek afektif pada pemirsa televisi.

2.1.5

Citra
Secara harfiah pengertian citra menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah

gambar, rupa, gambaran-gambaran yang dimiliki oleh orang banyak mengenai pribadi,
perusahan, organisasi atau produk, kesan mental atau bayangan visual, yang ditimbulkan oleh
kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi.
Frank Jefkins (dalam Ruslan, 2006:56) memberikan pengertian citra secara umum
sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul tentang sebagai hasil dari
pengetahuan dan pengalamannya. Jefkins (dalam Ruslan, 1999:57) juga menyebutkan bahwa
―citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang
tentang fakta-fakta atau kenyataan‖. Rachmat (2007:42) bahwa citra adalah penggambaran

Universitas Sumatera Utara

tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah penggambaran dunia
menurut persepsi seseorang.
Citra (image) merupakan gambaran yang menpunyai makna, yang menurut
Robert(1997) dalam Rachmat(2007:223) - representing the totaly of all information about the
world any individual has procesed organized and stored -(menunjukkan keseluruhan
informasi tentang dunia ini ynag diolah, diorganisasikan dan disimpan individu) lebih lanjut
diungkapkan bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi
cenderung mempengaruhi citra kita tentang lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi
cara kita berperilaku.
Penelitian citra menurut H. Frazier Moore dalam S. Soemirat dan E. Ardianto,
menemukan sosok institusional dan citra perusahaan dalam pikiran dengan mengetahui secara
pasti sikap masyarakat terhadap sebuah organisasi, bagaimana mereka memahami dengan
baik, dan apa yang mereka sukai dan tidak sukai dengan organisasi tersebut. Penelitian citra
memberikan informasi untuk mengevaluasi kebijaksanaan memperbaiki kesalahpahaman,
menentukan daya tarik pesan hubungan masyarakat, meningkatkan citra hubungan
masyarakat dalam pikiran publik. Citra bahwa pemerintah tidak pernah transparan dengan
kebijakan yang mereka buat merupakan citra buruk yang umum dimiliki oleh banyak
pemerintah dunia.
Pada masyarakat modern informasi diperoleh secara langsung atau melalui media
massa sebagai alat perpanjangan alat indera manusia. Dengan media massa kita dapat
memperoleh informasi tentang berbagai hal sehingga informasi tersebut dapat membentuk,
mempertahankan atau mendefinisikan citra, (Mc Luhan dalam Rachmat, 2007:224).
Membangun citra yang baik dengan media. Melalui pemberitaan di media diharapkan mampu
membentuk citra (image) yang diharapkan. Akan tetapi citra bisa hancur seketika oleh
pemberitaan di media. Media, dianggap sebagai kekuatan yang mampu merintis perubahan,
namun ternyata belum sepenuhnya terlepas dari berbagai kepentingan. Padahal terbentuknya
citra kepolisian berada di tangan media.
Berbagai realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah di seleksi yaitu
tangan kedua (second hand reality) sehingga dalam bentuk citra tentang lingkungan sosial
berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Surat kabar misalnya, jika yang
dibaca kebanyakan tentang perkosaan, penganiayaan, dan pencurian maka pembaca
cenderung melihat lebih banyak orang yang jahat dan lebih merasa bahwa berjalan sendirian
berbahaya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut peneliti citra yang diharapkan terbentuk melalui komunikasi antara Institusi
POLRI dengan masyarakat luas melalui media massa adalah citra positif. Sesuai dengan
tujuan asal dari dibentuknya program 86 di Net Tv yang

menepis images negatif

di

masyarakat, karena sudah bukan rahasia umum lagi bahwasanya ada segelintir oknum
kepolisian di masyarakat yang membuat citra institusi kepolisian menjadi tercoreng atau
buruk.
Sehubungan dengan maraknya pemberitaan mengenai kepolisian yang ada di media
secara tidak langsung dapat mempengaruhi citra kepolisian yang di munculkan melalui
pemberitaan yang ada. Dari konsep pemikiran di atas dapat di ambil garis merahnya, yakni
bahwa media mempunyai peran yang esensial di dalam masyarakat. Media bertanggung
jawab untuk menyampaikan semua informasi yang dibutuhkan publiknya melalui berita dan
pemberitaan muncul sebagai akibat adanya suatu peristiwa. Segala peristiwa yang
menyangkut kehidupan khalayak dianggap penting oleh media sehingga media sebagai
pengontrol sosial menyampaikan fakta dengan lugas dan jelas. Dari pemberitaan yang ada,
publik sebagai khalayak sasaran mampu mengambil sikap yang diwujudkan melalui citra
yang dibentuk, baik positif maupun negatif.

2.2

Kerangka Konsep
Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis

dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan
penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 1995 : 40).
Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti yakni istilah
dan Definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan,
kelompok, atau individu, yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995 : 57)
Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan
rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji
kebenarannya.

Agar

konsep-konsep

dapat

diteliti

secara

empiris,

maka

harus

dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel

Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Variabel X

Variabel Y

Tayangan 86 di Net
Tv

Citra Polisi





Frekuensi
Durasi
Atensi





Kesan
Kepercayaan
Sikap
Universitas Sumatera Utara

1. Variabel bebas (X)
Variabel bebas adalah segala gejala, faktor, atau unsur yang menentukan atau
mempengaruhi munculnya variabel kedua disebut variabel terikat. Tanpa variabel
ini maka variabel berubah sehingga akan muncul variabel terikat yang berbeda
atau yang lain atau bahkan sama sekali tidak ada atau tidak muncul (Nawawi 1995
:57). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengaruh tayangan 86 di Net Tv.
2. Variabel Terikat (Y)
Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang ada
ataupun muncul dipengaruhi atau ditentukannya adanya variabel bebas dan bukan
karena adanya variabel lain. (Nawawi,1995:57). Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah citra polisi di kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU
angkatan 2013-2014..

2.3

Variabel Penelitian
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka untuk memudahkan

penelitian perlu dibuat variabel penelitian sebagai berikut:

Variabel Teoritis
1. Variabel Bebas (X)
Tayangan 86 di Net Tv

Variabel Operasional
a. Frekuensi Menonton
b. Durasi
c. Atensi

Karakteristik Responden

d. Tercatat sebagai Mahasiswa
Ilmu

Komunikasi

yang

masih aktif dari angkatan
2013-2014.
2. Variabel Terikat (Y)

a. Kesan
b. Kepercayaan

Citra Polisi

c. Sikap

Universitas Sumatera Utara

2.4

Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah

dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi operasional adalah suatu petunjuk
pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi
operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin
menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 2008:46).
Defenisi operasional dari variabel-variabel penelitian ini adalah :
1. Variabel Bebas (Tayangan 86 di Net Tv), terdiri dari:
a. Frekuensi Menonton
Frekuensi merupakan tingkatan keseringan responden menonton tayangan 86
di et Tv dalam rentang waktu tertentu.
b. Durasi
Durasi merupakan tingkatan waktu atau seberapa lama responden menonton
program tayangan 86 di Net Tv dalam sekali tayangan.

c. Atensi
Atensi merupakan perhatian yang diberikan oleh responden ketika menonton
atau menyimak isi, pesan serta informasi dari program Tayangan 86 di Net Tv.

2. Variabel Terikat (Citra Polisi), terdiri dari:
a. Kesan yang didapat masyarakat terhadap Kepolisian merupakan salah satu
indikator yang dapat digunakan sebagai alat pengukur citra.
b. Kepercayaan timbul karena adanya suatu rasa percaya kepada pihak tertentu
yangg memang memiliki kualitas yang dapat mengikat dirinya, seperti
tindakannya yang konsisten, kompeten, jujur, adil, bertanggung jawab, suka
membantu dan rendah hati.
c. Sikap meruakan indikator lain dari pengukuran citra, dimana sikap masyarakat
dapat menunjukkan bagaimana sebenrnya masyarakat meilai. Jika masyarakat
bersikap baik, maka citra Kepolisisan tersebut juga baik. Sebaliknya, jika
sikap yang ditunjukkan negatif , berarti citra Kepolisian tersebut jga kurangg
baik di mata masyarakat. Proses pembentukan sikap berlangsung secara
bertahap ,yakni kognitif,afektif dan konatif. Dalam teori sibernetika

Universitas Sumatera Utara

menekankan hubungan timbal balik di antara semua bagian dari sebuah sistem
yang saling mempengaruhi utuk bersikap positif dan negatif.

3. Karakeristik Responden
Responden terdiri dari Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2013-2014 yang
masih terdaftar aktif.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tayangan Debat Capres Dan Citra Capres (Studi Korelasional Pengaruh Tayangan Debat Capres di TV terhadap Peningkatan Citra Capres RI pada Masa Pemilihan Umum Presiden 2009 di Kalangan Mahasiswa FISIP USU)

1 53 153

Opini Anggota Brimob Terhadap Tayangan 86 Net Tv (Studi Deskriptif Kuantitatif Opini Anggota Brimob Leting Arya Bratha Yudha Medan Terhadap Tayangan 86 Net Tv)

8 82 97

Konstruksi Realitas Sosial Citra Polisi Pada Reality Show Net 86 Di Net. TV

11 40 77

Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

1 8 93

Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

0 1 14

Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

0 0 1

Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

0 1 8

Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

0 3 3

Tayangan 86 di Net Tv dan Citra Polisi (Studi Korelasional Pengaruh Hubungan Tayangan 86 di Net Tv Terhadap Citra Polisi di Kalangan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU)

0 1 9

OPINI ANGGOTA POLISI DI MAPOLRESTABES SURABAYA MENGENAI TAYANGAN 86 DI NET TV SKRIPSI

1 1 22