Makalah M Natsir - Makalah

PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR
MENGENAI DASAR NEGARA ISLAM
Irsandy Maulida
083507003 FISIP UNIVERSITAS SILIWANGI
Irsandyodong@gmail.com

Abstrak
Isu tentang Negara Islam di Indonesia tidak pernah surut dan terus berkembang
sampai saat ini. Perkembangan pemikiran mengenai Negara Islam tersebut tentunya
tidak terlepas dari peran pemikir Islam. Pemikiran tentang Negara Islam tersebut
dapat dirunut ke belakang, yakni sejak zaman awal kemerdekaan. Tulisan ini
hendak menjelaskan pemikiran seorang tokoh Islam Indonesia yang dianggap
berpengaruh dalam pemikiran politik Islam di Indonesia, yakni Mohammad Natsir.
Kajian terbatas pada deskripsi mengenai bagaimana pemikirannya tentang Negara
Islam dan relevansi pemikirannya tersebut dalam sistem politik Indonesia. Jenis
penelitian ini adalah studi tokoh, yaitu menjelaskan sang tokoh melalui literatur atau
karya tokoh tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mohammad Natsir adalah seorang tokoh
moderat dan demokratis tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam yang dipegangnya.
Konsep demokrasi theistic yang diusungnya menggambarkan bahwa Natsir berusaha
mengaitkan Islam dan demokrasi tanpa mempertentangkan satu sama lainnya.

Relevansi pemikiran Natsir pada sistem politik Indonesia dapat dilihat dari nilainilai Islam yang dikemukakan Natsir, yakni tolong-menolong, musyawarah,
mencintai tanah air, cinta kemerdekaan, suka membela yang lemah, tidak
mementingkan diri sendiri dan toleransi antar umat beragama.
Kata Kunci

: Mohammad Natsir, dasar negara Islam, Pemikiran Politik
Abstract

The issue of an Islamic state in Indonesia has never subsided and continues to grow
until today. Thinking about the Islamic state is a result of Islamic thinkers in
Indonesia. The thought of an Islamic state in Indonesia can be traced back, which
since the days of early independence. This article is going to explain the thoughts of
a Indonesian Muslim leaders were considered influential in the political thinking of
Islam in Indonesia, namely Mohammad Natsir. The study limited to the a
description of how thinking about the Islamic State and the relevance of his ideas in
the political system of Indonesia. This type of research is the study of character,
which explains the character through literature or works of figures.
Results indicate that Muhammad Natsir was a moderate and democratic character
without eliminating Islamic values he held. Conception of theistic democracy made
by Natsir Natsir describes that seeks to link the Islam and democracy without

contradicting each other. Relevance Natsir thoughts on Indonesia's political system
can be seen from the values of Islam are presented Natsir, namely mutual
assistance, consultation, love my homeland, love of freedom, to defend the weak
love, selflessness and tolerance between religious communities.
Key Words

: Mohammad Natsir, Islamic state, Political Thought

Pengantar
Pemikiran politik Islam di Indonesia sangat beragam.

Sebagai Negara

berpenduduk mayoritas muslim, banyak tokoh-tokoh muslim Indonesia bermunculan.
Corak pemikiran para tokoh tersebut sangat beragam karena dipengaruhi oleh latar
belakang keagamaan dan lingkungan mereka. Islam di Indonesia sendiri memang
sangat beragam, ada yang tradisionalis, moderat bahkan puritan. Semua bercampur
aduk dan melahirkan banyak pemikiran yang beragam. Sadar akan jumlah penganut
Islam yang begitu besar, banyak para tokoh tersebut menginginkan suatu Negara
yang berlandaskan ajaran Islam atau yang kemudian disebut Negara Islam. Bahkan

konsep Negara Islam pernah tercantum dalam piagam Jakarta1 sebelum dihapus
karena mendapat tentangan dari kelompok nasionalis dan Kristen.
Ide tentang negara Islam tidak pernah surut sampai dewasa ini. Beragam
pemikiran mengenai konsep negara Islam terus bertahan sampai era modern. Ide
tentang pendirian negara Islam Indonesia tidak berhenti pada piagam Jakarta. Para
pemikir Islam Indonesia tetap memperjuangkannya dengan menuangkan ide-ide
tentang dasar negara Islam. Dari sekian banyak tokoh Islam Indonesia era awal
kemerdekaan, Mohammad Natsir adalah salah satu perumus ide tentang Islam sebagai
dasar negara. Mohammad Natsir adalah seorang cendekiawan muslim sekaligus
politisi yang disegani di Indonesia pada era awal kemerdekaan. Mohammad Natsir
mengemukakan bahwa Islam merupakan agama yang dalam ajarannya mengandung
hukum-hukum atau peraturan-peraturan kenegaraan, termasuk hukum pidana dan
hukum perdata. Islam tidak diragukan lagi merupakan pedoman hidup dalam
bemasyarakat dan bernegara. Dalam hal sistem pemerintahan, Mohammad Natsir
tidak menyatakan negara Islam harus menganut

1

suatu sistem tertentu. Sistem


Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh
Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan
(nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.

pemerintahan apapun boleh dianut selama tidak bertentangan dengan hukum yang
telah ditetapkan oleh Islam.2
Mohammad Natsir adalah tokoh Islam Indonesia yang berpengaruh. Beliau
dikenal sebagai tokoh Islam dan juga pahlawan nasional yang berjasa lewat
pemikiran-pemikirannya. Bisa dikatakan Mohammad Natsir merupakan satu-satunya
tokoh Islam berhaluan modernis yang aktif dalam kancah politik Indonesia.
Pemikiran Mohammad Natsir bisa menjadi patokan bagi generasi sesudahnya yang
berkepentingan dalam pendirian dasar negara yang berlandaskan Islam. Selain itu,
sebagai seorang tokoh bangsa, Mohammad Natsir cenderung dilupakan. Peristiwa
pemberontakan PRRI/PERMESTA yang melibatkan partai tempat Mohammad Natsir
bernaung, yaitu Masyumi menjadi salah satu sebab nama Mohammad Natsir sedikit
tercoreng. Tidak hanya di masa Orde Lama, di masa pemerintahan Orde baru,
Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh yang tergabung petisi 50. Kelompok
petisi 50 merupakan kelompok yang menentang pemerintah Orde baru di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto. Sejak saat itu, nama Mohammad Natsir kian
dilupakan oleh masyarakat luas. Berbagai lika-liku perjalanan karir politik

Mohammad Natsir yang jauh dari “gemerlap” panggung politik Indonesia justru
membuat ketertarikan tersendiri. Mohammad Natsir juga merupakan seorang tokoh
yang mempraktekan politik santun, sehingga ini menjadi nilai tambah yang
menjadikan peneliti tertarik. Dengan demikian, menarik untuk mengkaji pemikiran
Mohammad Natsir tentang dasar negara Islam dan relevansi pemikirannya dalam
sistem politik Indonesia.
Tulisan ini adalah sebuah kajian studi tokoh. Penelitian studi tokoh3 (penelitian
biorafi atau studi tokoh) yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh dalam
hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pemikiran dan ide serta pengaruh

2

Thohir Luth. M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani. Bandung, hal. 85
Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, hal., 16.

3

pemikirannya dan idenya dalam perkembangan sejarah. Dalam hal ini, yang akan
diteliti adalah Pemikiran Mohammad Natsir tentang konsep dasar negara Islam.


Sekilas Tentang Mohammad Natsir
Mohammad Natsir dilahirkan di sebuah desa bagian barat Indonesia, terkenal
dengan kultur agama Islam yang kental dalam kehidupan sosialnya. Desa Alahan
Panjang, Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat, pada hari Jum’at tanggal 17
Jumadil Akhir 1326 H bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908. Ibunya bernama
Khadijah, sedangkan ayahnya bernama Mohammad Idris dengan gelar Sutan
Saripado.
Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan sebagai juru tulis dikantor
kontroler di Maninjau yang kemudian menjadi sipir di Bekeru (Sulawesi Selatan).
Adapun gelar yang diberikan kepada Natsir adalah Datok Sinaro Panjang, gelar
pusaka diberikan kepada Natsir setelah menikah dengan Nurnahar pada tanggal 20
Oktober 1934. Gelar tersebut merupakan gelar adat yang diberikan kepada seseorang
setelah menikah dan berlaku secara turun temurun4.
Mohammad Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan,
Rubiah, dan Yohanusun. Di tempat kelahiran itu, ia melewati masa-masa sosialisasi
keagamaan dan intelektualnya yang pertama, ia menempuh pendidikan dasar di
sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun pada beberapa alim ulama.
Pada umurnya yang kedelapan belas tahun (1926), ia berkeinginan masuk Sekolah
Rendah Belanda (HIS). Keinginan tersebut tidak terlaksana karena ia anak pegawai

rendahan. Ia masuk sekolah partikelir HIS Adabiah di Padang5.
Setelah lima bulan pertama di Padang, ia melewati kehidupan dengan
perjuangan berat. Ia masak nasi, mencuci pakaian sendiri, dan mencari kayu bakar di
pantai. Kehidupan yang berat tersebut dilalui dengan senang hati. Keadaan ini,
Yusuf, A. Puar, M. Natsir 70 Tahun Kenang – Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta:
Antara, 1978, hal., 4
5
Dr. Thohir Luth, M. Natsir dakwah dan pemikirannya. Hal 20
4

menurut Mohammad Natsir, menimbulkan kesadaran akan dirinya, kesadaran ini,
menurut Mohammad Natsir, menimbulkan kesadaran akan dirinya, kesadaran bahwa
rasa bahagia lebih banyak timbul dari kepuasan hati yang tidak tertekan dan bebas,
berani mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak mengalah terhadap keadaan, tidak
berputus asa, dan percaya kepada kekuatan yang ada pada diri sendiri.6 Kemudian ia
dipindahkan ke HIS Pemerintah di Solok oleh ayahnya setelah beberapa bulan
sekolah di Padang. Ia dapat langsung duduk di OI atas pertimbangan kepintarannya.
Di Solok inilah ia pertama kali belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fikih
kepada Tuanko Mudo Amin yang dilakukan pada sore hari di Madrasah Diniyah dan
mengaji AL-Quran pada malam harinya.7

Menginjak dewasa pada Tahun 1927 Mohammad Natsir berangkat ke
Bandung untuk melanjutkan melanjutkan studinya di AMS, dengan mengandalkan
biaya sekolah hasil beasiswa. Di samping mengeluti pelajaran di sekolah, waktunya ia
habiskan untuk memperdalam pengetahuan agama Islam dan mengaktifkan diri dalam
organisasi. Di kota Paris Van Java ini Mohammad Natsir mulai menentukan langkah
hidupnya. Di kota ini pula Mohammad Natsir pertama kali meniti karier dan
mengumandangkan syiar agamanya. Di Bandung Mohammad Natsir benar-benar
mulai mengembangkan wawasan keagamaan secara penuh, dan

disini pula ia

bertemu dengan A. Hasan, gurunya yang kelak sangat menentukan perkembangan
pemikirannya.8

Sumber : www.wikipedia.com/photos/MohammadNatsir

Kholid O. Santosa “Dasar Negara Islam Indonesia”. (Bandung ; LP2EPI) Hal 90
Deliar Noer, Gerakan Modren 1900-1942 (Jakarta : LP3ES. 1990), hlm 100
8
Kholid O. Santosa Op. Cit hal 90

6

7

Mohammad Natsir menikah dengan Nurnahar pada tanggal 20 Oktober 1934
di Bandung. Dari pernikahan ini, mereka memperoleh enam orang anak, yaitu : Siti
Muchlisah (20 Maret 1936), Abu Hanafiah (29 April 1937), Asma Farida (17 Maret
1939), Dra. Hasnah Fauziah (5 Mei 1941), Dra. Asyatul Asryah (20 Mei 1942), dan
Ir. Ahmad Fauzi (26 April 1944).9 Perjalanan panjang Mohammad Natsir meniti
karier perjuangannya yang penuh risiko ini, tidak pernah melunturkan semangatnya
terhadap perjuangan Islam melalui gerakan dakwahnya. Mohammad Natsir wafat
pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 Syaban 1413 H, di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia 85 tahun.

Pemikiran Politik Mohammad Natsir
Pandangan dan pemikiran Mohammad Natsir tentang keagamaan dipelajari
secara mendalam dan serius dengan menghabiskan waktunya untuk belajar agama di
Madrasah. Demikian juga ketika Mohammad Natsir memasuki pendidikan di Mulo
Padang, di samping menekuni pelajaran umum di sekolah ini, Moahammad Natsir
tetap memanfaatkan waktu-waktunya untuk memperdalam penegtahuan agama,

bahkan pada kesempatan itu pula Mohammad Natsir mulai menyerap pemikiranpemikiran keagaamaan yang diberikan oleh Gurunya di Padang yaitu Haji Abdulah
Ahmad. Dapat dikatakan bahwa Mohammad Natsir telah mengenal ajaran-ajaran
pembaharuan ini semenjak masa kecil.10
Di kota Bandung minat Mohammad Natsir tentang agama berkembang,
setelah Mohammad Natsir penekunan belajarnya pada Ahmad Hasan yang notabene
pendiri organasasi keagamaan Persis. Mohammad Natsir menemukan sistem studi
yang unik dan corak pemikiran keagamaan yang menarik dari tokoh ini. Kelak
metode belajar dan corak pemikiran keagamaan ini menjadi kolaborasi konsep
Mohammad Natsir dalam merealisasikan pembaruan di Indonesia.11
9

Thohir Luth Loc. Cit hal 25
.Deliar Noer. Op. Cit Hal 100
11
Khalid O. Santosa Loc . Cit hal 188
10

Untuk merealisasikannya Mohammad Natsir memafaatkan kesempatan emas
dengan menuangkan konstribusi pemikirannya melalui majalah Pembela Islam. Di
dalam majalah ini, Mohammad Natsir mencurahkan pemikirannya dan mendapatkan

tanggapan dari rohaniawan selain Islam. Dengan pemikirannya yang dituangkan
dalam Pembela Islam, ternyata mengundang sikap pro dan kontra, baik yanglam
datang dari dalam tubuh Islam sendiri maupun dari kalangan masyarakat luas. Di
samping Pembela Islam, Mohammad Natsir dengan Ahmad Hassan juga menerbitkan
majalah Al-Fatwa (1933-1935) yang membicarakan masalah-masalah agama sematamata tanpa ada tandensi politik menentang pihak-pihak bukan Islam, Al-Lisan (19351941), Soal-jawab (1931-1940) yang membicarakan masalah agama dan konsep
negara. Perdebatan yang diadakan oleh Mohammad Natsir dengan pihak lain serta
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pembaca. Melalui publikasi inilah,
Mohammad Natsir menjadi dikenal oleh masyarakat Islam Indonesia.12
Agama13, menurut Mohammad Natsir harus dijadikan pondasi dalam
mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan
antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah
sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan
sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap
orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan
perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal
keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya
dalam musyawarah bersama14. seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah
urusan mereka diputuslan dengan musyawarah”15
Mohammad Natsir menerangkan bahwa ajaran agama islam sangat dinamis
untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman, dari peryataan beliau tersebut berbeda
12

Thohir Luth Loc. Cit hal 32
Ibid hal 76
14
Ibid hal 78
15
QS. Asy-syura (26): 38.

13

dengan pemikiran Maududi atupun Ibnu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan
Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif
sistem pemerintahan negara Islam. Mohammad Natsir menyampaikan keseluruhan
pemikirannya tentang fungsi, peran, dan kedudukan para ulama dan pemimpinpemimpin ruhani itu dalam tulisan berjudul “Kedudukan Ulama-ulama Dalam
Masyarakat. Dengan tulisannya itu, sesungguhnya Mohammad Natsir ingin
menekankan bahwa fungsi dan kedudukan ulama-ulama itu merupakan asset bangsa
yang cukup potensial bagi sistem penyelenggaraan pemerintah. Untuk itu, menjalin
hubungan dan kerja-sama semacam itu, disamping merupakan upaya menempatkan
para ulama dan pemimpin ruhani pada tempat yang sewajarnya, juga dalam rangka
menghindari salah paham, kekacauan dan ketegangan-ketegangan di tengah
masyarakat, untuk selanjutnya dapat meciptakan stabilitas politik dan keamanan
dalam penyelenggaraan pemerintahan.16
Pemikiran Mohammad Natsir tentang peranan ulama itu menjadi satu
fenomena yang cukup memberikan sinergi bagi pelaksana pemerintahan. Meskipun
demikian, Mohammad Natsir tidak secara tegas menekankan konsepnya itu dalam
suatu bentuk kepemimpinan ulama seperti dalam konsep Imammah yang
dikembangkan oleh kelompok Syi’ah, tetapi lebih kepada tataran hubungan kerja.
Dan pemikiran Mohammad Natsir ini memiliki kesamaan dengan konsep yang
pernah dikembangkan oleh Al-Fassi, bahkan Khomeini, yaitu bahwa dalam
menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, kepala negara perlu mendapat
bimbingan para ulama.17
Begitu juga pemikir Islam lainnya seperti al maududi yang beranggapan
bahwa sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi oleh karena dalam
sistem demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya semata-semata berdasarkan
pendapat dan keinginan rakyat. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut
16
17

Kholid O. Santosa Loc. Cit hal 203
Ibid hal 204

dengan konsep politik Theo-Demokrasi suatu sistem demokrasi atau kedaulatan
rakyat yang dibatasi kekuasaan Tuhan lewat hukum-hukum-Nya18.
Mohammad Natsir juga mengembangkan pemikirannya melalui dunia
pendidikan, karena bagaimanapun juga masalah pendidikan juga merupakan masalah
dakwah

Islam

secara

keseluruhan.

Karenanya,

Mohammad

Natsir

dalam

mengembangkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, juga menyumbangkan
pemikiran dan bantuan materi terhadap penyelenggaran lembaga-lembaga pendidikan
pesantren dan lembaga-lembaga sosial seperti rumah sakit dan lainnya. Ini semuanya
meruapakan konsekuensi logis sebagai pemimpin umat.19

Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir dalam Sistem Politik Indonesia
Gagasan negara berdasarkan ajaran Islam berangkat dari keyakinan bahwa
Islam adalah agama yang “lengkap dan sempurna”.

Pengertian “lengkap dan

sempurna” disini adalah ajaran Islam berisi peraturan yang mencakup berbagai segi
kehidupan manusia, dari yang bersifat privat sampai yang bersifat publik. Ajaran
Islam dianggap fleksibel, artinya ia tidak lekang ditelan perkembangan zaman dan
selalu relevan dalam situasi sosial apapun, setidaknya itu menurut kalangan
pendukung fanatik Negara Islam. Dengan demikian, ajaran Islam yang “lengkap dan
sempurna” tersebut menuntut umat muslim dimanapun berada untuk menerapkan
ajaran Islam sebagai pedoman dalam kehidupan.
Mohammad Natsir sebagai tokoh muslim Indonesia yang menggagas negara
berlandaskan Islam berpendapat bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam sudah sepatutnya menerima Islam sebagai dasar hukum bagi
18

Dikutip dari Syukron Kamil. Jurnal Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kotemporer.
Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, Hal 66
19
Thohir Luth Op. Cit hal 14

kehidupan bernegara. Natsir memahami bahwa seorang yang mengaku beragama
Islam, maka ia harus memiliki kepercayaan kuat kepada hal-hal berikut20 :
1) Percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai
hidup.
2) Percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya
3) Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia atau
perseorangan.
4) Percaya hubungan tersebut dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
5) Percaya bahwa dengan matinya seseorang, kehidupan roh-nya tidak berakhir.
6) Percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
7) Percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup manusia.
Ketujuh poin yang telah disebutkan di atas harus dimiliki oleh setiap muslim
untuk dapat meraih kehidupan dunia yang berkualitas untuk kemaslahatan kehidupan
di akhirat.

Kehidupan dunia yang berkualitas hanya dapat dicapai dengan

menegakkan hukum Islam dalam berbagai segi kehidupan terutama kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.

Dengan demikian, aktifitas bermasyarakat dan

bernegara seorang muslim harus benar-benar ditujukan untuk pengabdian kepada
Allah SWT. Lebih lanjut, Mohammad Natsir mengungkapkan bahwa tujuan hidup
kaum muslimin minimal ada tiga hal, yaitu (1) mencari kemerdekaan untuk
kemerdekaan Islam agar berlaku susunan dan peraturan Islam (2) untuk kemaslahatan
dan keutamaan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Sesuai
dengan makna dari kata Islam menurut Al-Qur’an yang berarti kerelaan dari
seseorang untuk menjalankan perintah Tuhan dan mengikuti-Nya21, dimaknai oleh
Natsir sebagai ketundukan secara penuh pada ketentuan hukum Tuhan. Keridhaan
Tuhan hanya dapat diraih jika kita menerapkan dan menta’ati aturan yang telah
digariskan oleh Tuhan. Oleh karena itu, penerapan ajaran Islam sebagai dasar negara
merupakan hal mutlak yang harus diterima dan dilaksanakan oleh setiap muslim.
20
21

M. Dzulfikriddin Loc. Cit Hal 117
Thohir Luth Loc.Cit Hal 45

Konsep negara Islam menurut Mohammad Natsir berbeda dengan negara
Islam yang diterapkan oleh negara-negara Islam yang berada di Timur-Tengah.
Mohammad Natsir adalah seorang penganut demokrasi, ia meyakini bahwa
demokrasi merupakan jalan legal untuk menentukan arah kebijakan negara.
Sebagaimana tokoh lainnya

yang memberikan istilah pada konsep yang

dirumuskannya,

Natsir

Mohammad

menamakan

konsep

demokrasi

yang

dicetuskannya dengan nama “teistik demokrasi”. Istilah ini mengacu kepada bentuk
pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dengan demikian, Islam
sebagai dasar hukum menjadi urat nadi bagi masyarakat muslim Indonesia untuk
membawa kehidupan yang baik bagi negeri.
Demokrasi pada tataran praktis memiliki makna yang subjektif.

Paparan

mengenai makna konsep demokrasi biasanya mengikuti “konseptor” demokrasi itu
sendiri, sebagai contoh demokrasi sosial, demokrasi liberal sampai demokrasi
terpimpin, semuanya memiliki arti yang berbeda tergantung kepentingan sang
“konseptor”. Mengenai demokrasi teistik yang dicetuskan oleh Mohammad Natsir,
tidak ubahnya seperti konsep demokrasi yang lain. Demokrasi teistik sebagai dasar
negara Islam yang dicetuskan Mohammad Natsir merupakan suatu hal yang unik
mengingat selama ini negara Islam identik dengan bentuk pemerintahan monarkhi
absolut yang tidak memberikan tempat bagi kebebasan pasrtisipasi masyarakat dalam
berpolitik. Harus diakui bahwa Mohammad Natsir adalah seorang demokrat sejati
yang tidak melepaskan nilai-nilai Islam di dalamnya. Mohammad Natsir menjelaskan
teistik demokrasi dalam sidang konstituante sebagai berikut :
“Apakah sekarang negara yang berdasarkan Islam seperti itu satu negara theocratie?
Theocratie adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu
priesthoad (Sistem Kependetaan), yang mempunyai hierarchie (tingkat bertingkat) dan
menjalankan yang demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak
dikenal priesthoad semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu
negara theocratie, ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekular seperti yang telah saya
uraikan lebih dulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah, sdr. Ketua, orang
hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan
Islam itu dapat disebut theistie democraty.”22
22

Kholid O. Santosa Loc. Cit Hal 323

Dari penjelasan Mohammad Natsir di atas, terlihat perbedaan demokrasi
gagasan Mohammad Natsir dengan demokrasi Barat.

Demokrasi yang digagas

Mohammad Natsir berlandaskan ajaran Islam berbeda dengan demokrasi barat yang
cenderung sekular. Mohammad Natsir memandang bahwa lembaga legislatif
bukanlah segala-galanya dalam pemerintahan.

Ia bukanlah satu-satunya yang

memiliki supremasi tertinggi seperti yang dianut oleh demokrasi barat.

Dalam

lembaga legislatif, dibahas cara-cara untuk menjalankan semua hukum, atau teknis
pelaksanaan yang mana hukum itu sendiri telah tetap sebagaimana yang digariskan
oleh Allah. Mengenai sumber kekuasaan, kekuasaan diperoleh atas pemilihan dan
kerelaan rakyat. Kekuasaan digunakan untuk menegakkan yang benar dan
mengakkan keadilan bagi seluruh rakyat.23 Hukum Allah ditegakkan di muka bumi
maka kedamaian akan datang bagi seluruh umat manusia. Konsep ideal negara Islam
ini tidak dapat ditawar lagi oleh umat Islam Indonesia khususnya. Untuk meraih
ridha Allah, satu-satu nya jalan adalah dengan melaksanakan Syari’at yang telah
digariskannya.
Pandangan Mohammad Natsir tentang negara Islam memang sangat ideal,
namun dapat juga diambil hal-hal yang dianggap baik dan relevan bagi situasi politik
dewasa ini.

Sebagai negara yang disebut-sebut menerapkan demokrasi dalam

kehidupan sosial-politik, Indonesia cenderung mengalami disintegrasi nilai-nilai
demokrasi itu sendiri. Kebebasan yang menjadi ciri utama demokrasi sekarang ini
hanya dinikmati oleh kaum mayoritas, sedangkan kaum minoritas harus minggir
sebagai penonton. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya nilai-nilai bangsa dan telah
digantikan oleh nilai-nilai demokrasi barat yang cenderung “dipaksakan”. Salah satu
nilai yang paling penting yang mulai hilang adalah musyawarah.

Dalam

perkembangannya, musyawarah telah digantikan oleh voting dalam menyelesaikan
suatu permasalahan.

Dalam voting, suara mayoritas otomatis akan menang dan

minoritas akan tersingkir akan mengelami “marjinalisasi”. Suara mayoritas dianggap
23

D.P Siti Alimin Loc. Cit Hal 93

sebagai pembenaran yang harus diamini oleh kaum minoritas. Inilah salah satu
kebobrokan demokrasi barat yang tidak relevan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.
Begitu juga mengenai Konsep Negara Mohammad Natsir menjelaskan
mengenai Konsep Negara yang menurutnya merupakan suatu “institution” yang
mempunyai hak, tugas dan tujuan yang Khusus dalam pidatonya dihadapan sidang
umum majelis Konstituante24:
Apa institutions ? institutions dalam arti umum, adalah suatu badan,
organisasi, yang mempunyai tujuan yang khusus serta dilengkapi oleh alatalat material dan peraturan-peraturan tersendiri dan diakui oleh umum.dapat
kita mengambil contoh umpamanya, institutions prekawinan kita, kita
mempunyai kadli-kadli dan pegawai-pegawai lainnya untuk melaksanakan
perkawinan. Selain itu kita mempunyai alat-alat material seperti gedung,
mesjid, alat-alat administrasi.
Dengan kata lain Mohamamad Natsir mengungkapkan bahwa institutions
adalah suatu badan bertjuan mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani
maupun rohani, diakui oleh masyarakat, mempunyai alat-alat untuk melaksanakan
tujuan, mempunyai peraturan norma nilai tertentu, berdasarkan atas paham hidup,
mempunyai keanggotaan, mempunyai daerah berlakunya, mempunyai kedaulatan atas
anggotannya dan memberikan hukuman sanksi terhadap pelanggaran atas peraturan
dan norma-normanya25
Maka negara sebagai satu institutions menurut Mohammad Natsir harus
mempunyai wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan dan undang-undang dasar, atau
sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Negara harus berdasarkan
kalbu masyarakat atau tertanam kuat dalam benak setiap warga Negara. Menurut
Mohammad Natsir, dasar Negara harus berupa sesuatu yang hidup dan dapat
dimengerti oleh masyarakat dalam menjalankan dan menyusun kehidupannya.

24
25

Pidato Islam sebagai dasar negara Fraksi Masyumi hal 23
Ibid hal 24

Berbicara mengenai relevansi antara konsep Negara Islam Mohammad Natsir
dengan situasi sosial politik Indonesia dewasa ini bisa dijadikan sebuah solusi untuk
keluar dari permasalahan yang membelit bangsa. Gagasan Mohammad Natsir tentang
negara Islam sebagai dasar negara pada intinya mengetengahkan nilai atau sikap
bangsa Indonesia yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, Mohammad
Natsir mengemukakan nilai-nilai yang harus dimiliki bangsa untuk dapat
menciptakan kehidupan politik yang harmoni :
1) Nilai tolong-menolong. Sikap bangsa ini yang dirasa mulai tergerus hilang
harus ditekankan kembali. Dalam Al Qur’an sikap tolong menolong sesama
manusia diperintahkan. Mohammad Natsir menegaskan bahwa karena pada
awal datangnya Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia,
maka untuk menentukan dasar negara mestilah umat harus memiliki akhlak
baik dan sempurna.
2) Nilai demokrasi atau musyawarah. Sikap orisinil bangsa Indonesia adalah
selalu bermusyawarah. Bagi Mohammad Natsir, musyawarah merupakan
ketentuan dan perintah Tuhan yang dituliskan dalam Al-Qur’an yakni dalam
ayat yang berbunyi “bermusyawarahlah kamu dengan mereka di dalam
urusan yang mengenai diri mereka”. Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, Islam memerintahlkan untuk selalu bermusyawarah dalam
menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut urusan publik, intinya
prinsip-prinsip musyawarah harus dikedepankan dalam menyelesaikan
berbagai persoalan.
3) Nilai mencintai tanah air. Bagi Mohammad Natsir, cinta pada tanah air
merupakan fitrah manusia. Bangsa Indonesia telah menunjukannya dengan
bahu-membahu bersama berjihad megusir penjajah. Menurut Mohammad
Natsir, Allah menciptakan manusia berbangsa dan bersuku berbeda supaya

manuusia bisa bersatu.

Hal ini menurut Mohammad Natsir dengan

sendirinya akan membentuk rasa cinta terhadap tanah air melalui persatuan
perasaan senasib dan sepenanggungan.
4) Nilai cinta kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak semua orang. Menurut
Natsir, ajaran Islam menentang perlakuan sewenang-wenang suatu kaum
kepada kaum lainnya. Bahkan Islam memperbolehkan perang melawan
penindasa dan ketidakadilan.

Dengan demikian, nilai kemerdekaan ini

adalah fitrah manusia dalam kehidupannya di dunia.
5) Nilai kesukaan membela yang lemah.

Nilai ini berkaitan dengan nilai

tolong menolong. Sudah menjadi fitrahnya seseorang akan tergerak hatinya
untuk membantu sesamanya yang sedang dalam kesulitan atau sedang
dalam penindasan. Nilai ini sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Keserasian hidup akan tercapai bila semua orang saling
peduli dengan sesamanya dalam berbegai hal.
6) Nilai tidak mementingkan diri sendiri. Disini Mohammad Natsir mengutip
surat At Taubah ayat 43 yang menjelaskan bahwa hak milik perseorangan
diakui sepenuhnya oleh Islam sekaligus sebagai fitrah manusia. Tetapi,
kewajiban manusi adalah membagikan apa yang dimilikinya kepada
sesamanya yang tidak beruntung. Dalam hal ini Natsir berpendapat bahwa
kepentingan kolektif harus di atas kepentingan pribadi demi terciptanya
masyarakat yang makmur.
7) Nilai toleransi antar umat beragama, di dalam Islam tidak mengenal
paksaan dalam beragama, pemikiran Mohammad Natsir tersebut melalui
Al-Quran surat Al- Baqarah ayat : 256, yang isinya tiap-tiap orang mencari
kesungguhan hati. Dalam hal ini Islam mengajarkan Toleransi dan
kebebasan beragama kepada pemeluknya untuk berjuang mempertaruhkan
jiwa dan raga.
Konsep negara Islam Mohammad Natsir mengandung nilai yang relevan untuk
diterapkan dalam situasi politik dewasa ini.

Beberapa ide yang dicetuskan

Mohammad Natsir bisa menjadi solusi dari permasalahan pelik yang dialami bangsa
ini. Krisis identitas bangsa bisa diatasi dengan menerapkan nilai-nilai yang tercantum
dalam ide Mohammad Natsir tentang teistik demokrasi yang universal. Oleh karena
itu, ide Mohammad Natsir relevan untuk diaplikasikan di masyarakat Indonesia yang
plural.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Konsep Islam sebagai dasar negara yang disusun Mohammad Natsir berawal
dari anggapan ajaran Islam mencakup semua segi kehidupan. Dalam Islam
tidak ada sekat antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam konsepnya
ini, Mohammad Natsir mengedepankan kebebasan masyarakat dalam
berpolitik, sehingga sistem ini disebut demokrasi theistik. Konsep demokrasi
theistik yang dicetuskan Mohammad Natsir merupakan suatu jalan tengah
yang berarti sebuah negara yang tidak terlalu sekuler dan bukan negara
agama.

Dengan demikian, theistik demokrasi adalah suatu bentuk

pemerintahan demokratis yang tetap berpijak pada nilai-nilai Islam.
2. Ide Mohammad Natsir tentang Islam sebagi dasar negara dapat ditarik
beberapa nilai yang terkandung di dalamnya yang relevan untuk masa
sekarang. Ada tujuh nilai yang relevan dalam kondisi sosial-politik Indonesia
dewasa ini, yaitu sikap tolong menolong, nilai demokrasi atau musyawarah,
mencintai tanah air, cinta kemerdekaan, suka membela yang lemah, sikap
tidak mementingkan diri sendiri dan toleran terhadap perbedaan keyakinan.

Daftar Pustaka
Ahmad Mumtaz. 2003 Masalah-Masalah Teori Politik Islam . Bandung : Mizan
Alimin Siti. 1957. Capita Selecta jilid II. Jakarta : Pustaka Pendis
Afendi El Abdelwahab. 2003. Masyarakat Tak Bernegara, Kritik Teori Politik Islam .
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Anshary 1986 Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta : Rajawali
Budiardjo Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama..
Boland B. J 1985. Pengumpulan Islam di Indonesia. Jakarta : Grafitipers
Buyung Adnan Nasution. 1995. Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia :
Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta : Pustaka Grafiti Utama
Dzulfikriddin M. 2010. Mohammad Natsir dalam sejarah Indonesia. Bandung :
Mizan
Gaffar Afan. 2006. Politik Indoenesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Hatta Mohammad.1959. Sekitar Proklamasi . Jakarta : Yayasan Prapanaca
Jurdi Syarifudin . 2007. Pemikiran Politik Islam Indonesia. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Ma’arif Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Negara. Jakarta : LP3ES
--------------------. 1987. Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES
Nurdin M. Amin. 2010. Sejarah Pemikiran Islam. Bandung : Amazah
--------------------, 2008. Sejarah Pemikiran Islam Teologi Ilmu Kalam. Bandung :
Amazah
Noer Deliar.1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES

Romli Lili 2006 Islam Yes Partai Islam Yes Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Santosa. O. Khalid. 2002. Dasar Negara Islam Indonesia. Bandung : LP2EPI
Satori Akhmad dan Sulaiman Kurdi, 2010. Sketsa Pemikiran Politik Islam, cet 2,
Yogyakarta: Politeia Press,
Suhelmi Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Sjadzali Munawir,. 1990. Islam dan Tata Negara. Jakarta : UI Press,
Syukron Kamil. Jurnal Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kotemporer.
Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1