Makalah M Natsir - Makalah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Penulisan skripsi ini menfokuskan kajian penelitian pada pemikiran politik
Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang agama dalam hal ini
agama Islam sebagai ideologi negara dan beberapa aspek pemikirannya yang
mengundang kontroversi. Pemikiran Politik 1 yang dimaksud disini adalah upaya
pencarian landasan intelektual bagi konsep negara atau pemerintahan sebagai
faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat,
baik lahiriah maupun bathiniah. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan
ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks
sistem bernegara.
Kajian ini juga dilakukan guna menemukan penyebab dan faktor-faktor
yang mengakibatkan timbulnya pemikiran politik Natsir tentang Negara Islam,
konsep negara Islam dan implikasi serta proyeksi ke depan pemikiran tersebut.
Selain itu untuk menjelaskan aspek-aspek yang menjadi kontroversi dalam
pemikiran politik Natsir.

1


Pemikiran Politik dalam Islam adalah pemikiran yang berhubungan dalam urusan umat manusia
dimana nantinya adanya pengaturan dan pemeliharan. Pemikiran politik dalam Islam
menggunakan Aqidah Islam yang mengandung sebuah aqidah politik dan spiritual artinya
hukum-hukum dan pemikiran menekankan pada urusan dunia dan akhirat pada titik pandang
yang sama. Aqidah Islam mengatur pola hubungan manusia dengan tuhannya, berkaitang
dengan pemerintah, ekonomi, hubungan sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri,
hubungan antara rakyat dan penguasa, hubungan antar Negara, dan lainnya. Abdullah Qodim
Zallum, Pemikiran Politik Islam, Bangil : Al-Izzah, 2001, hal., 5-10.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan agama dan negara 2 selalu menjadi wacana menarik sebagai
bahan kajian, sejak dahulunya banyak pertarungan pemikiran antara para pemikir
yang mengemukakan bahwa agama harus digabungkan dalam keselurahan
aktivitas kehidupan dan pemikir-pemikir yang mengemukakan pemisahan antara
agama dan kehidupan politik misalnya. Setiap orang memiliki hak untuk
mengungkapkan idenya dalam rangka membangun masyarakat yang dicitacitakannya. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat
dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam mengartikulasikan ide-idenya.
Ide-idenya itu dipaparkan secara komprehensif dan meyakinkan.
Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosopis sampai

praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat
dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai
intelektual dan negarawan.
Alangkah repotnya memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa
mengenal Natsir. Dan adalah perbuatan yang sia-sia mengabaikan peran Natsir
apalagi menutupi dengan sengaja maupun tersembunyi. Karena seperti kata orang
bijak, kalau ingin mengenal sejarah, maka kenalilah ide dan gagasan pelakunya.

2

Machiavelli mengatakan bahwa agama memiliki nilai politis yang dapat digunakan dalam
kehidupan bernegara, Numa Pompilius seorang pemimpin Romawi berhasil mengkontruksikan
agama menjadi sebuah parameter baik dan buruknya seorang manusia. Sehingga agama
mernurut Machiavelli berguna membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat,
setia, patuh, dan bersatu. J.H. Rapar, Filsafat Politik,,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,.
hal., 467-470.

Universitas Sumatera Utara

Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan gagasan

pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam beberapa
artikel yang jumlahnya tak terhitung. 3 Islam jelas berpengaruh dalam fikiran dan
perjuangannya.
Tujuan perjuangan Natsir adalah berlakunya syariat ilahi untuk pribadi dan
masyarakat yang tak bisa ditawar. Adapun negara hanyalah alat untuk
terwujudnya suasana masyarakat tersebut. Dengan demikian negara hanyalah alat.
Jadi, tak jadi soal apa pun namanya. 4 Bagaimanakah pandangan Natsir tentang
agama? Apakah dengan menjadikan agama sebagai ideologi berarti sama saja
dengan mendirikan negara teokrasi? Apakah dengan menggunakan ideologi
agama,

maka

akan

menghianati

Pancasila?

Gagalkah


Natsir

dalam

perjuangannya?
Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang melatarbelakangi penulis sehingga
menjadikan tokoh Natsir sebagai hal yang sangat pantas dan menarik untuk
diteliti. Alasan ini pula yang mendorong penulis, untuk menjawab pertanyaan
seputar pemikiran Natsir terhadap persoalan agama, ideologi, dan negara
sekaligus juga berusaha untuk memperluas pemikiran-pemikiran positif dari tokoh
yang piawai dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

3
4

Kumpulan artikel Mohammad Natsir dalam Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Pemikiran dan
Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.


Universitas Sumatera Utara

1.1.1. Biografi Singkat Mohammad Natsir
Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak
pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda,
bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang
keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang. 5
Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang
Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sangat
bertentangan dengan pemikir lain salah satunya adalah Presiden Soekarno. 6
Natsir lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908,
dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993. 7 Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang
pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang
bijaksana 8 dan kakeknya seorang ulama.
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta
di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun
1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol
(AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi
dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara,

Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. 9

5

Ibid, hal. 1.
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,, 1981. hal., 7.
7
Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan
Idayu, 1976. hal., 51.
8
Mohammad Natsir, (d) Op.cit., hal., 8.
9
Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com), diakses 19 February 2007.
6

Universitas Sumatera Utara

Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan
Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam
bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah

mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula
aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir
sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk
pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi
direktur selama 10 tahun, sejak 1932. 10
Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara,
akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah
terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak
pemikir. 11
Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin
negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai
menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir
hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh
sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi
teman bicaranya.
Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum
itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang
yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang
lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh


10
11

Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Op.cit.
G. H. Jansen, Islam Militan. Terjemahan oleh Armahedi Mahzar, Bandung: Pustaka, 1983, hal.,
231, 272.

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan

kompromi-kompromi

itu

memang

dapat

dicapai


tanpa

mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya. 12
1.1.2. Selintas Pemikiran Politik Mohammad Natsir
Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan
suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara
makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem
peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap
orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah
dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal
keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya
dalam musyawarah bersama 13, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah
urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”. 14
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi
masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis
untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui
pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi
Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem

pemerintahan negara Islam.

12

Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal.,. 1.
Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 139.
14
QS. Asy-syura (26): 38.
13

Universitas Sumatera Utara

Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa
periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama
pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan
periode konstituante.15
Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu
‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution
adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi
oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.

Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat.
Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan seharihari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang
terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan
maupun kolektif.
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai
hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni
UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang
seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD
negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam
akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat
dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu,
tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas
sendi-sendi yang pokok.16

15
16

Mohammad Natsir (d), Op.cit.., hal., 13-14.
Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah,
2001(c), hal., 198, 200.

Universitas Sumatera Utara

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

diatas

maka

rumusan

masalahnya

”Bagaimanakah Pandangan Mohammad Natsir mengenai, wacana tentang Islam
sebagai ideologi negara?”

1.3. Pembatasan Masalah
Masalah penelitian ini akan dibatasi pada salah satu bidang pemikiran
Natsir yaitu:
”Pandangan Mohammad Natsir mengenai Islam sebagai ideologi negara”

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Di sini dijelaskan tujuan penelitian yang merupakan sasaran progmatisnya
(bukan kegunaan menurut isi),taraf kemajuan dan kebaruan yang ingin dicapai
dengan penelitian tersebut.
1.4.1. Tujuan penelitian
a. Ingin mempelajari karya pemikiran Natsir lebih mendalam tentang
hubungan Islam sebagai agama dalam bernegara dan menjelaskan
pandangan yang dikemukakan oleh Natsir tentang masalah-masalah yang
diusungnya secara terperinci dan

alternatif pilihan jalan yang

dituangkannya dalam aksi-aksi politiknya
b. Mengkritisi secara objektif terhadap pemikiran tokoh,

ketepatan dan

kesalahannya dengan kondisi realitas masyarakat saat ini dan menggali
sejarah perkembangan pemikiran politik di Indonesia pada awal
kemerdekaan.

Universitas Sumatera Utara

1.4.2. Manfaat Penelitan
a. Menjadikan salah satu acuan dalam menjalankan kehidupan bernegara
bagi masyarakat khususnya umat Islam.
b. Memperkaya wawasan tentang pemikir-pemikir Islam yang jarang dibahas
secara teoritis baik dikampus atau di forum-forum resmi.
c. Menjadi bahan rujukan bagi almamater, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Jurusan Ilmu Politik.
d. Memahami bagaimana Natsir medudukkan Islam sebagai ideologi dalam
kehidupan bernegara dan mengetahui pertarungan pemikiran antara
golongan pada awal kemerdekaan dalam penentuan ideologi negara.

1.5. Tinjauan Pustaka
Menurut Yusril Ihza Mahendra agama yang diterjemahkan Natsir
cenderung penafsiran doktrin sosial politik Islam secara elastis dan fleksibel,
karena doktirn memberikan pemahaman yang bersifat umum dan tidak secara
terperinci maka ijtihad harus digalakkan. Setiap zaman berbeda maka ijtihad
ulama dahulu dapat diperbaharui sesuai tuntutan zaman, Natsir menyimpulkan
bahwa Islam merupakan aliran pemikiran Theistic Democracy yaitu demokrasi
yang berlandaskan ketuhanan dimana keputusan mayoritas rakyat harus
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. 17

17

Yusril Ihza Mahendra “Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’ala Maududi, Telaah Tentang
Dinamik Islam dan Transformasinya ke Dalam Ideologi Sosial Politik”. Anwar Harjono, et. al.,
Op.cit., hal., 63-74.

Universitas Sumatera Utara

Taufik Abdullah berpendapat bahwa sosok Natsir seorang idealis dalam
arti bukan pemimpi, akan tetapi idealis dalam pengertian filosofis, yakin dalam
kesadaran iman dan tauhid. Karena itu dia mengatakan peneguhan iman, aqidah
dan lainnya, penguatan inilah yang menjadi dasar masyarakat dalam kehidupan
bernegara. 18
Menurut penggiat Masyumi Zainal Abidin Ahmad, Natsir memandang
keterlibatannya secara langsung dalam kekuasaan negara sebagai salah satu jalan
untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Melalui cara demikian hukum-hukum Allah
tidak hanya keluar dari mulut para alim ulama di mimbar mesjid, akan tetapi juga
keluar dari pegawai pemerintahan dalam bentuk undang-undang. 19
Tarmizi Taher juga menyatakan bahwa Natsir merupakan sedikit diantara
manusia Indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Natsir muslim
yang mampu secara intelektual memiliki warisan pemikir Islam, dia mampu
mengamalkan nilai-nilai ke-Islamannya dan memadukan dengan wacana
pemikiran timur dan barat. Meskipun secara politis Natsir kalah dalam
memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara secara konstitusional, dia
menerimanya dengan lapang dada dan sebaliknya dengan ikhlas menerima
Pancasila sebagai ideologi. Disini Natsir nampaknya sampai kesimpulan, tidak
ada pertentangan antara Islam dengan Pancasila, sila-sila yang ada didalamnya
selaras. Karena itu tidak perlu dipertentangkan lagi, kegigihan Natsir membela
dan menjelaskan Pancasila kepada masyarakat Internasional disetiap kunjungan
mancanegaranya merupakan bukti nyatanya. 20

18

Taufik Abdullah. “Diskusi Tentang Agama dan Kebangsaan”, ibid, hal., 45.
Ahmad Zainal Abidin, Masjoemi: Partji Politiek Islam Indonesia, Pematang Siantar, 1946,
hal 15-16.
20
Tarmizi Taher. “Pemikiran dan Perjuangan Natsir”, Op. cit., hal., 14.
19

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo tentang pola hubungan agama dan
negara juga sangat penting sebab apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama
mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam, apakah dalam Islam
diajarkan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak, pada kenyataannya
uamat Islam membutuhkan sebuah sistem ketatanegaraan yang Islami. Untuk
mengamankan suatu kebijaksanaan dipertukan suatu kekuatan (institusi politik),
dalam menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian misalnya, diperlukan
suatu kekuasaan apakah itu organisasi politik atau negara. Jika kebijaksanaan itu
mengacu pada penegakan ajaran Islam maka perangakat pengaturannya
keamanannya seharusnya yang Islami pula, alangkah kurang tepatnya jika dalam
menegakkan prinsip-prinsip Islam tetapi menggunakan sistem non-islami. 21
Berbeda dengan Ahmad Wahid yang mengatakan aturan itu bukan mutlak
adanya, yang pokoknya dalam Islam adalah bagaimana seorang muslim bisa
menjadikan Islam sebagai nafas pribadinya. Kumpulan pribadi ini nantinya akan
menjadi suatu kelompok yang membawa ideologi dan meluaskannya sampai batas
agama. 22
Penerjemahan dalam melakukan tujuan perjuangan tidaklah sesempit
terciptanya negara Islam, terciptanya negara Islam tanpa adanya internalisasi
nilai-nilai Islam itu sendiri menjadikan suatu kontradiksi dalam menjalankan
kehidupan sosial. Internalisasi nilai inilah yang terpenting daripada terbentuknya
suatu negara, internalisasi nilai sering dimaknai dengan iman yaitu diucapkan
dengan kata-kata, dipahami secara jelas adalam diri, dan dilakukan dengan
perbuatan.
21

Miriam Budiardjo, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1983.
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES,
1981, hal., 79.
22

Universitas Sumatera Utara

Apakah dan bagaimanakah ide seorang muslim itu? Amat luas dan lebar
keterangannya kalau ingin dijabarkan. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu
kalimah dalam Al-Quran yang artinya: ”tidaklah aku jadikan jin dan manusia,
hanyalah untuk mengabdi kepadaku”. 23 Jadi, seorang hidup di dunia ini adalah
dengan menjadi hamba Allah dengan yang arti yang sepenuhnya, mencapai
kejayaan di dunia dan di akherat. Dunia dan akhirat ini sekali-kali tidak mungkin
di pisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.
Perbedaan antara konsep negara Islam dan konsep tatanan masyarakat
Islam adalah jika dalam konsep negara Islam, politik dan agama adalah bagianbagian dari suatu totalitas Islam. Sedangkan dalam konsep tatanan masyarakat
Islam, politik hanyalah pengungkapan sampingan daripada semangat Islam. Jadi
konsep negara Islam lebih Islami dibanding konsep tatanan masyarakat Islam.
Natsir lebih menyukai negara Islam, karena menurutnya untuk menyusun
suatu tatanan masyarakat dibutuhkan suatu negara. Disebut apa kepala negara
Islam itu tidaklah menjadi persoalan, yang lebih penting adalah adanya hak rakyat
untuk mendaulatnya, bahkan dengan kekerasan bila memang diperlukan. Kepala
Negara harus bermusyawarah dengan ’mereka yang patut diajak bermusyawarah’.
Bagaimana bentuk sistem permusyawaratannya, itu urusan rakyat yang
bersangkutan. Bisa saja permusyawaratan itu dengan segala orang atau dengan
suatu parlemen yang terdiri dari wakil-wakil partai. Walaupun begitu, Natsir
merasa bahwa sistem parlemen barat tidaklah cocok untuk negara-negara yang
bukan barat.

23

QS. Addazarijat (51): 56

Universitas Sumatera Utara

Dia bertanya ’Apakah Islam itu demokrasi?’, dijawabnya sendiri, ’Islam
bukan seratus persen demokrasi, dan Islam bukan pula seratus persen otokrasi.
Islam adalah Islam. Sebuah negara Islam akan melarang semua yang dilarang oleh
Al-Quran: minuman keras, perjudian, pencurian, pelacuran, tahyul dan syirik. 24
Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk
mewujudkan ajaran Islam. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan
eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum
dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan
yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan
hukum- hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya
ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap
pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan
pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan
pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batasbatas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang
telah ditetapkan. 25
Islam menanamkan nilai-nilai kebaikan sampai membentuk suatu akar
yang kuat dari keseluruhan ajarannya bersumber kepada tauhid. Tauhid yang
memiliki makna keyakinan terhadap Tuhanlah yang memiliki otoritas kedaulatan
yang dominan diatas kedaulatan-kedaulatan lainnya.
Masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari banyak menggunakan
otoritas ketuhanan yang diturunkan dalam agama melalui al-qur’an dan hadis.
Orang melakukan pencurian misalnya bukan takut kepada hukum-hukum pidana,
24
25

G. H. Jansen, Op.cit., hal., 250-252.
Mardias Gufron, Op.cit., www.al-islam.com.

Universitas Sumatera Utara

karena jelas masyarakat banyak yang tidak paham akan hukum pidana tersebut.
Ketakutan mereka untuk tidak melakukan itu dikarenakan ketauhidan yang
mereka miliki dimana ketika itu dilakukan maka akan melanggar hukum-hukum
Allah. Inilah mengapa Natsir bersikeras mengemukakan Islam sebagai Ideologi,
jika tidak ada yang membatasi secara jelas mana haram dan halal mungkin suatu
negara akan hancur secara perlahan-lahan.
Batasan wilayah yang besar, jumlah penduduk yang beragam akan
memperumit aparat pemerintah dalam menegakkan hukum-hukum yang ada.
Sedangkan dengan ketauhidan masyarakat akan tersadarkan sendiri dalam pola
tingkah laku kesehariannya, berdampak pada keharmonisan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga pada titik ketauhidan yang tinggi tidak perlu adanya
negara, sementara dalam mengawali perjuangan mencapainya peran negara
sebagai lembaga formal masih diperlukan. Atas landasan inilah Natsir melakukan
perjuangan politik secara kelembagaan dengan memakai nilai-nilai ketauhidan. 26

1.6. Metodologi Penelitian
Salah satu jenis penelitian pemikiran Islam adalah (penelitian biorafi atau
studi tokoh) yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh dalam
hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pemikiran dan ide serta
pengaruh pemikirannya dan idenya dalam perkembangan sejarah.

26

Mohammad, Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Pidato di Depan Sidang Majelis
Konstituante Untuk Menentukan Dasar Negara RI, 1957-1959), Bandung: Sega Arsy, 2004 (d),
hal., 72-78.

Universitas Sumatera Utara

1.7. Jenis Penelitian
Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan Arief Furchan dan Agus
Maimun, dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif, 27 yaitu suatu
penelitian yang membahas tentang konsep-konsep, ide dan pemikiran dari suatu
masalah yang akan di bahas.
Pada umumnya, penelitian kualitaif ini tidak mempergunakan angka atau
nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipankutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan
menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data
sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang
analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri. 28

1.8. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian studi tokoh dimulai dengan
mengumpulkan kepustakaan:
1.8.1. Inventarisasi (data primer)
Mengumpulkan karya-karya seorang tokoh yang akan diteliti, baik secara
pribadi maupun karya bersama (antologi) mengenai topik yang sedang dititi
(sebagai data primer). Kemudian dibaca dan ditelusuri karya-karya lain yang
dihasilkan tokoh tersebut, mengenai bidang lain. Sebab biasanya seorang tokoh
pemikir mempunyai pemikiran yang memiliki hubungan organik antara satu
dengan yang lainnya.

27

Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, hal., 16.
28
Bruce A. Chodwick, Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk), Metode Penelitian
Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press, 1991, hal., 234-243.

Universitas Sumatera Utara

1.8.2. Data sekunder
Menelusuri karya-karya pemikir yang lain mengenai Natsir atau mengenai
topik bahasan yang diteliti. Data sekunder ini dicari dalam ensiklopedi, buku
sistematis dan tematis. Sebab dalam buku itu biasanya ditunjukkan pustaka yang
lebih luas.

1.9. Metode Analisis Data
Beberapa metode yang digunakan dalam analisis data penelitian tokoh.
1.9.1. Interpretasi
Interpretasi dimaksudkan sebagai upaya tercapainya pemahaman yang
benar terhadap fakta, data dan gejala. Interpretasi merupakan landasan bagi
hermeneutika. 29 Zygmunt Bauman menjelaskan bahwa hermeneutik adalah upaya
menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan dan
tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiksi, sehingga
menimbulkan keraguan dan kebingungan pendengar atau pembaca. 30
Hermeneutika yang dimaksud penulis di sini adalah understanding process
of

understanding

(Proses

pemahaman

terhadap

sebuah

pemahaman).

Hermeneutika dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama,
menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Kedua, mengukur seberapa jauh
dicampur subjektifitas terhadapi interpretasi objektif yang diharapkan, dan Ketiga,
menjernihkan pengertian.

29

Hasan Sutanto, Hermeneutik, Prinsip, dan Metode Penafsiran al-Kitab, (Malang: Seminari alKitab Asia Tenggara, Malang, 1989), kata ini merujuk pada dewa Hermes yang bertugas
menyampaikan berita (pesan) dari sang Maha Dewa kepada manusia.
30
Zygmunt Bauman, Hermeneutics and Social Science, New York: Calubia University Press, 1978,
hal., 7.

Universitas Sumatera Utara

Dalam suatu interpretasi, penulis menggunakan Emik dan Etik. Emik
adalah data-data, kalimat-kalimat dan teks, sebagaimana dipahami pemikir yang
merupakan

perumusan

kalimat

seorang

tokoh

terhadap

masalah

yang

dipahaminya. Sedangkan Etik adalah pemahaman penulis sendiri terhadap
pemikiran (data, kalimat, teks dan rumusan) 31 tokoh yang diteliti.
1.9.2. Induksi dan deduksi
Pada setiap penelitian terdapat penggunaan induksi dan deduksi. Induksi
secara umum dapat diartikan sebagai generalisasi kasus-kasus dan unsur-unsur
pemikiran tokoh dianalisis, kemudian pemahaman yang ditemukan di dalamnya
dirumuskan dalam statemen umum (generalisasi). Sedangkan deduksi dipahami
sebagai upaya eksplisitasi dan penerapan pikiran-pikiran seorang tokoh yang
bersifat umum.
1.9.3. Koherensi intern
Agar pemikiran tokoh dapat dipahami secara tepat, maka seluruh konsep
dan aspek-aspek pemikirannya dilihat menurut keselarasannya satu dengan yang
lain. Selain itu ditetapkan pula inti pikirannya yang paling mendasar dan topiktopik yang paling sentral. Demikian juga diteliti susunan logis sistematis dalam
pemikiranya agar ditemukan muatan pemikirannya yang paling substansial.

31

Dalam kaitan ini penulis mencoba menginterpretasikan teks yang terdapat di dalam sumber data
utama (buku/tulisan/catatan) yang ditulis secara langsung oleh Mohammad Natsir dan juga
sumber data sekunder berupa catatan orang lain mengenai pemikiran Mohammad Natsir.
Melalui metode ini penulis berupaya menjelaskan apa makna dari tafsir teks-teks dalam sumber
data utama maupun sumber data sekunder tersebut, sehingga penulis dapat mengungkapkan
makna yang tersembunyi dalam teks. Dari referensi yang penulis kumpulkan tentang Natsir, ada
beberapa referensi yang berisi pidato-pidato Natsir. Jadi, penulis berusaha menginterpretasikan
pidato Natsir tanpa menghilangkan keasliannya.

Universitas Sumatera Utara

1.9.4. Kesinambungan historis
Dalam melakukan analisis dilihat benang merah yang menghubungkan
pemikiran-pemikirannya, baik lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang
dialaminya maupun perjalanan hidupnya sendiri, karena seorang tokoh adalah
anak zamannya. Untuk melihat latar belakang internal, diperiksa riwayat hidup
tokoh, penddikannya, pengaruh yang diterimanya, relasi dengan pemikir-pemikir
sezamannya, dan segala macam yang membentuk pengalamannya. Demikian juga
diperhatikan perkembangan intern dalam tahap-tahap pemikirannya. Untuk
melihat latar belakang eksternal, diselidiki keadaan khusus zaman yang dialami
tokoh, dari segi ekonomi politik budaya dan intelektual. 32

32

Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta: Istiqomah Mulya Press,
2006, hal., 59-64.

Universitas Sumatera Utara