Perbedaan Nilai Faal Hemostasis Dan Tumor Marker Pada Pasien Kanker Paru Bukan Sel Kecil Dengan Kemoterapi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Darah
Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 60-80% dari berat badan,
dangan viskositas darah 4,5 kali lebih besar dari pada air. Darah merupakan jaringan
yang berbentuk cairan, terdiri dari dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah.
Plasma darah mengandung fibrinogen. Oleh karena darah pada saat mengambil
sampel darah, darah dicampur dengan antikoagulan untuk mencegah terjadinya
pembekuan darah. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
2.2. Hemostasis
Untuk dapat memahami thrombosis, pemahaman tentang dasar hemostasis
sangatlah penting. Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis (berhenti),
proses kompleks yang berlangsung terus menerus dan mencegah kehilangan darah
secara spotan, serta menghentikan pendarahan akibat kerusakan sistem pembuluh
darah. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
Pada keadaan normal darah berada dalam sistem peredaran darah, dalam bentuk
cairan. Keadaan ini dimungkinkan oleh faktor hemostasis yang terdiri dari:
a.

Hemostasis primer, faktor yang pertama terlibat dalam proses penghentian


pendarahan bila terjadi luka atau trauma yang terdiri dari trombosit dan pembuluh

21
Universitas Sumatera Utara

darah. Dimulai dengan vasokontriksi pembuluh darah dan pembentukan trombosit
plak menutup luka dan menghentikan perdarahan.
b.

Hemostasis sekunder, terdiri dari faktor pembekuan dan anti pembekuan.

Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan
intrinsik. Migrasi dan proliferasi sel terjadi pada jaringan yang rusak untuk
penyembuhan luka
c.

Hemostasis tersier, yaitu sistem fibrinolisis akan diaktifkan dan menyebabkan

lisis dari fibrin dan endotel menjadi utuh. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
2.2.1. Faktor-Faktor Pembekuan

Pembagian faktor-faktor pembekuan adalah sebagai berikut:


Faktor I

: disebut fibrinogen, adalah suatu glikoprotein dengan berat

molekul 330.000 dalton, tersusun atas 3 pasang rantai polipeptida. Kadar
fibrinogen meningkat pada keadaan yang memerlukan hemostasis dan pada
keadaan nonspesifik, misalnya inflamasi, kehamilan, dan penyakit autoimun.


Faktor II

: Disebut dengan prothrombin, dibentuk di hati dan

memerlukan vitamin K. Faktor ini merupakan prekusor enzim proteolitik
tromion dan mungkin asselerator konversi prothrombin lain.



Faktor III

: Merupakan tromboplastin, jaringan yang berupa lipoprotein

jaringan aktivator protombin. Sifat produk jaringan ini dalam kaitannya
dengan aktivitas pembekuan belum banyak diketahui, sehingga sulit
dinyatakan sebagai faktor spesifik.

22
Universitas Sumatera Utara



Faktor IV

: Merupakan ion kalsium yang diperlukan untuk mengaktifkan

prothrombin dan pembentukan fibrin



Faktor V

: Dikenal sebagai proasselerin atau faktor labil, protein ini

dibentuk oleh hati dan kadarnya menurun pada penyakit hati. Faktor ini
merupakan faktor plasma yang mempercepat perubahan prothrombin menjadi
thrombin.


Faktor VII

: Merupakan asselerator konversi prothrombin serum, dibuat di

hati dan memerlukan vitamin K dalam pembentukannya. Faktor ini
merupakan faktor serum yang mempercepat perubahan prothrombin.


Faktor VIII

: Dikenal sebagai faktor antihemofili, tidak dibentuk di hati.


Merupakan faktor plasma yang berkaitan dengan faktor III trombosit dan
faktor chrismas (IX), mengaktifkan prothrombin.


Faktor IX

: Disebut dengan faktor chrismas, dibuat di hati memerlukan

vitamin K. Merupakan faktor serum yang berkaitan dengan faktor III
trombosit dan VII AHG mengaktifkan prothrombin.


Faktor X

:Disebut dengan faktor stuart-power, dibuat di hati dan

memerlukan vitamin K. Merupakan kunci dari semua jalur aktivasi faktorfaktor pembekuan.



Faktor XI

: Sebagai antisenden tromboplastin plasma, dibentuk di hati

tetapi tidak memerlukan vitamin K.

23
Universitas Sumatera Utara



Faktor XII

: Disebut faktor Hageman. Merupakan faktor plasma

mengaktifkan PTA (faktor XII)


Faktor XIII


: Merupakan faktor untuk menstabilkan fibrin, diproduksi di

hati maupun megakariosit. Faktor ini menumbulkan bekuan fibrin yang lebih
kuat yang tidak larut dalam urea. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
2.2.2 Pembentukan Fibrin
Pembentukan F.IXa, pengaktifan lewat jalur intrinsik. Diawali dengan
pengaktifan F.XII (faktor Hageman) oleh fosfolipid, kolagen subendotel dan
kalikrein.F.XIIa akan mengubah F.XI menjadi F.Xia hal ini semakin cepat dengan
high molecular-weight kininogen. F.Xia bersama dengan kalsium akan mengubah
F.IX menjadi Faktor IXa. F.IXa merupakan enzim yang berfungsi dalam
pembentukan F.Xa. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
Pembentukan faktor Xa, melibatkan faktor intriksik dan ekstrinsik. Jalur
ekstrinsik melibatkan tromboplastin (Tissue Factor, TF) F.VII dan ion kalsium. Bila
terjadi injuri, faktor jaringan dilepas ke jaringan bersama ion kalsium membentuk
F.VII menjadi TF/FVIIa, ini akan mengaktifkan F.IX maupun F.X. Pengaktifan F.Xa
membentuk thrombin, thrombin yang terbentuk ini meningkatkan proses koagulasi
dengan mengaktifkan kofaktor V dan VIII. Jalur amplikasi yang melibatkan faktor
VIII dan faktor IX dapat dianggap sebagai suatu peranan yang dominan dalam
meningkatkan produksi faktor XI, yang dapat meningkatkan produksi faktor IXa.
(Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006; Yuan liu et al,2011)


24
Universitas Sumatera Utara

Pembentukan F.Xa lewat jalur intriksik membutuhkan lima komponen substrat
(F.X), enzim (F.IXa), kofaktor (F.VIII:C), permukaan (faktor trombosit), ion kalsium.
Faktor jaringan dan inhibitor jalur faktor jaringan (Tissue FactorPathway Inhibitor,
TFPI) pembentukan F.Xa lewat jalur ekstrinsik melibatkan faktorjaringan, F.VII, ion
kalsium dan TFPI. Faktor jaringan bisa berasal sel endotel, sistem monosit/makrofag,
maupun sel ganas. Faktor jaringan akan terbentuk bila terjadi injuri atau rangsangan
misalnya induksi sitokin (IL-1α, TNFα), pengaktifan komplemen, terutama C5a,
liposakarida dan kompleks imun dalam sirkulasi. Faktor jaringan diaktifkan atau
dilepas untuk mengaktifkan faktor VII menjadi F.VIIa membentuk kompleks dengan
F.VII bersama ion kalsium. komplek TF/F.VIIa mampu mengaktifkan baik F.X
maupun F.IX menjadi F.Xa dan F.IXa. sebagai tambahan F.Xa dapat mengubah
kompleks TF/F.VII menjadi TF/VIIa, sehingga meningkatkan potensi pembentukan
F.IX dan F.X,tampak pada gmbar 1 dan 2. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006;
Yuan liu et al,2011)
2.2.3 Pembentukan Thrombin
Pada fase ini dibutuhkan substrat (F.II), enzim ( F.Xa), kofaktor (F.V), faktor

trombosit atau fosfolipid lain, ion kalsium. semua faktor ini membentuk kompleks
pada permukaan fosfolipid untuk membentuk thrombin, suatu enzim baru, peran
kofaktor dalam hal ini untuk menjamin bahwa hanya enzim dan substrat yang tepat
yang akan masuk dalam kompleks pembentukan. Sebagai contoh, adanya faktor V
memungkin F.Xa bereaksi dengan F.II. pembentukan F.Xa dan thrombin tergantung

25
Universitas Sumatera Utara

pada beberapa faktor yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX,X) faktor-faktor
ini disintesis dalam parenkim sel hepar, tampak pada gambar 2.1 (Buku ajar Penyakit
Dalam FK UI, 2006)

Gambar 2.1. Kaskade Koagulasi. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
2.2.4. Thrombosis
Thrombosis yaitu proses pembentukan thrombus atau adanya thrombus dalam
pembuluh darah. Thrombosis dapat terjadi pada arteri dan vena. Thrombosis pada
arteri dikatakan thrombus putih karena komposisinya selain fibrin juga didominasi
oleh trombosit. Berbeda dengan thrombus merah karena komposisinya selain fibrin
juga didominasi oleh sel darah merah (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006,

Andrew, D Blann, et al,2011)

26
Universitas Sumatera Utara

Patogenesis Thrombosis
Patogenesis thrombosis arteri dan vena berbeda. Selain dari faktor aliran darah,
faktor resiko, dan pembuluh darah sendiri turut berperan. Oleh karenanya patogenesa
masing-masing akan dibahas tersendiri. Misalnya akibat perbedaan aliran darah, pada
pembentukan thrombus vena tidak dibutuhkan faktor von Willebrand sebaliknya pada
thrombus arteri, gambar 2.2. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006).

Gambar 2.2. Agregasi Trombosit. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)

Thrombosis terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara yang
merangsang thrombosis dan yang mencegah thrombosis.
a. Thrombosis Arteri
Faktor yang merangsang atau faktor resiko thrombosis, yaitu:



Endotel pembuluh darah yang tidak utuh



Trombosit Yang Teraktivasi.

27
Universitas Sumatera Utara



Defisiensi Antipembekuan.



Defisiensi faktor pembekuan akan menyebabkan darah cenderung
mengalami thrombosis yang disebut trombofilia.



Klirens Faktor Pembekuan Aktif Berkurang



Sistem Fibrinolisis Berkurang.\



Stagnasi

Faktor-faktor

lain

yang

berperan

dalam

thrombosis

arteri

yaitu

:

arterothrombosis, dimana faktor resiko arterothrombosis dapat digolongkan sebagai:
 Umum yaitu umur dan obesitas
 Genetik, jenis kelamin dan Penyakit Ibu dan Anak
 Gaya hidup, rokok, diet dan kurang olahraga
 Inflamasi, CRP dan ligan CD 40, IL-6 meningkat, faktor protrombotik dan
fibrinogen meningkat.
 Kondisi sistemik, hipertensi, hiperlipidemia, homosisteinemia, estrogen,
diabetes, trombofilia, sindrom hiperviskositas, sindrom leukositosis, dan
polisitemia.
 Faktor lokal, pola aliran darah, diameter pembuluh darah, struktur dinding arteri
dan persentase stenosis arteri. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)
b. Thrombosis Vena
Thrombus vena biasanya dimulai di vena betis yang kemudian meluas sampai
vena proksimal. Thrombus biasanya dibentuk pada daerah aliran darah yang lambat

28
Universitas Sumatera Utara

atau yang terganggu. Sering dimulai sebagai deposit kecil pada sinus vena besar di
betis pada puncak kantong vena baik di vena dalam betis maupun dipaha atau pada
vena yang langsung terkena trauma. Pembentukan, perluasan dan pelarutan thrombus
vena dan emboli paru mencerminkan suatu ketidakseimbangan antara yang
menstimulasi thrombosis dan yang mencegah thrombosis. Virchow lebih dari satu
abad yang lalu telah mengemukakan faktor yang berperan pada thrombosis vena yang
terkenal dengan Triad Virchow, yaitu, koagulasi darah, stagnasi, dan kerusakan
pembuluh darah (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006, Andrew, D Blann, et
al,2011)


Koagulasi darah.

Aktivitas koagulasi melalui jalur intrinsik dapat terjadi karena kontak F.XII
dengan kolagen pada subendotelium pembuluh darah yang rusak. Aktivitas melalui
jalur intrinsik jaringan yang rusak masuk aliran darah mengaktifkan F.VII baik jalur
intrinsik maupun jalur ekstrinsik akhirnya akan terbentuk fibrin. Pada penyakit
kanker F.X dapat langsung diaktifkan oleh sistein yang dikeluarkan sel kanker(Buku
ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006)


Stagnasi

Stagnasi merupakan predisposisi thrombosis karena :
 Mencegah faktor koagulasi aktif dilarutkan oleh darah yang tidak aktif.
 Mencegah klirens faktor koagulasi aktif
 Mencegah bercampurnya faktor koagulasi aktif dengan penghambatnya

29
Universitas Sumatera Utara

Stagnasi dapat diakibatkan oleh immobilitas, obstruksi vena, dilatasi vena dan
meningkatnya viskositas darah. Immobilitas dapat disebabkan oleh stroke, atau
berbaring yang lama. Obstruksi dapat terjadi karena kompresi dari luar atau sekunder
karena thrombosis vena sebelumnya. Viskositas darah meningkat karena polisitemia,
disproteinemia dan fibrinogen yang meningkat. Vasodilatasi vena terjadi pada orang
tua yang berbaring lama, kehamilan dan estrogen yang tinggi. (Buku ajar Penyakit
Dalam FK UI, 2006)


Pembuluh Darah Rusak

Trauma pada pasien merupakan faktor resiko tromboemboli vena. Trauma pada
pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap trauma dan
inflamasi akan diproduksi sitokin. Sitokin akan menstimulasi sintesis PAI-1 dan
menyebabkan sistem fibrinolisis berkurang. Aktivitas koagulasi dapat terjadi melalui
jalur intrinsik yaitu terjadi kontak F.XII dengan kolagen pada subendotelium, atau
melalui jalur ekstrinsik yaitu tromboplastin masuk dalam darah akibat kerusakan sel.
Aktivasi koagulasi baik melalui jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik keduanya akan
mengaktifkan F.X menjadi F.X aktif dan selanjutnya akan menyebabkan
terbentuknya fibrin. Kerusakan endotel vena juga menyebabkan trombosit menempel
pada subendotelial dan trombosit beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit.
Kolagen akan mengaktifkan FXII, sedang trombosit mengaktifkan F.XII dan F.XI.
(Buku ajar Penyakit Dalam FK UI,2006)

30
Universitas Sumatera Utara

2.3. Kanker Paru
Kejadian kanker paru didunia cukup sering, insidensi kejadian kanker paru
mencapai 1,2 juta kasus baru atau senilai 12,3% dari seluruh kanker didunia,
mortalitasnya juga mencapai 1,1 juta jiwa atau 17,8% dari total seluruh kematian
didunia. meningkatnya insidensi ini berkaitan dengan kebiasaan merokok dan/atau
paparan karsinogen dari faktor lingkungan maupun dari paparan tempat kerja. (PDPI,
Kanker paru, 2011)
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan
penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Kanker paru dalam arti luas adalah
semua penyakit. keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru
sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru). Dalam pedoman
penatalaksanaan ini yang dimaksud dengan kanker paru ialah kanker paru primer,
yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus
(bronchogenic carcinoma). Alur pendiagnosaan kanker paru ditunjukkan pada gambar
2.3. (PDPI, Kanker paru, 2011)
2.3.1. Jenis Histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis
menurut WHO tahun 1999:
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma). (PDPI, Kanker paru,2011)
31
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Alur Pendiagnosaan Kanker Paru. (PDPI, Kanker paru, 2011)
Dalam 1554 data-data yang dikombinasikan dari penelitian-penelitian di
Cancer Incidence in Five Continents, dinyatakan bahwa karsinoma sel kecil berkisar
20% dari seluruh kasus dan karsinoma sel besar/undifferentiated sekitar 9%. Namun
tipe histologi lainnya berbeda berdasarkan jenis kelamin, yaitu: karsinoma sel
skuamosa sekitar 44% dari seluruh kasus kanker paru pada laki-laki dan 25% pada
perempuan, sedangkan adenokarsinoma sekitar 28% pada laki-laki dan 42% pada
perempuan. (PDPI, Kanker paru, 2011)

32
Universitas Sumatera Utara

Karsinoma sel skuamosa merupakan tipe histologi kanker paru yang paling
sering pada laki-laki. Insidensinya pada laki-laki menurun sejak awal tahun 1980-an,
berbeda dengan adenokarsinoma, insidensinya semakin meningkat sampai tahun
1990-an. Pada pertengahan tahun 1990-an adenokarsinoma menjadi tipe histologi
kanker paru yang paling banyak pada laki-laki di Amerika Serikat. Di negara-negara
barat lainnya, karsinoma sel skuamosa masih menjadi tipe yang paling banyak pada
laki-laki. Pada perempuan, adenokarsinoma menjadi tipe yang paling sering (± 1/3
kasus), demikian juga insidensinya semakin meningkat.Adenokarsinoma terutama
banyak ditemukan pada perempuan-perempuan Asia (72% dari kasus kanker di
Jepang, 65% di Korea, 61% di Cina Singapura). (PDPI, Kanker paru, 2011)
Perbedaan tipe histologi tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebiasaan
merokok secara epidemi.


Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa adalah suatu tumor epitel ganas yang menunjukkan
keratinisasi skuamosa dan keratinisasi intraselular dengan/tanpa intercellular bridges,
yang berasal dari epitel bronkus. Sinonimnya adalah karsinoma epidermoid. Pada
umumnya karsinoma sel skuamosa ini berada sentral di bronkus utama, bronkus lobar
atau segmental. Tidak jarang karsinoma sel skuamosa memiliki kavitas. (PDPI,
Kanker paru, 2011)

33
Universitas Sumatera Utara



Adenokarsinoma

Adenokarsinoma adalah suatu tumor epitel ganas dengan diferensiasi glandular
atau

produksi

mukus,

menunjukkan

bentuk

pertumbuhan

asinar,

papiler,

bronkioloalveolar, atau solid dengan mukus, atau campuran dari bentuk-bentuk
tersebut. Adenokarsinoma biasanya berada di perifer. (PDPI, Kanker paru, 2011)


Karsinoma sel besar

Karsinoma sel besar adalah kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil yang
tidak berdiferensiasi, yang tidak menunjukkan gambaran karsinoma sel kecil dan
glandular atau diferensiasi skuamosa.Jenis tumor ini berkisar 15% dari kanker paru,
heterogen Karsinoma sel besar sebelumnya disebut karsinoma anaplastik sel besar
dan karsinoma sel besar tidak berdiferensiasi. (PDPI, Kanker paru, 2011)


Karsinoma sel kecil

Karsinoma sel kecil adalah suatu tumor epitel ganas yang terdiri dari sel-sel
kecil dengan sitoplasma yang jarang, batas sel yang tidak tegas, kromatin inti
bergranular halus, dan nukleolus tidak ada. Sel-sel berbentuk bulat, oval dan spindel.
Nuclear molding prominen. Secara tipikal nekrosis bersifat luas dan jumlah mitotik
banyak.Karsinoma sel kecil berkisar 20-25% dari kasus kanker paru, biasanya berasal
dari bronkus sentral. (PDPI, Kanker paru,2011)

34
Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Stadium Kanker Paru
Penderajatan Internasional Kanker Paru Berdasarkan Sistem TNM
Tabel 2.1. Kategori TNM Untuk Kanker Paru. (PDPI, Kanker paru, 2011)

Occult carcinoma
0
IA
IB
IIA
IIIA
IIIB
IVA
IVB

Tx
Tis
T1
T2
T1
T2
T3
T3
Sembarang T
T4
Sembarang T
Sembarang T

Stage TNM
N0
N0
N0
N0
N1
N1
N0
N2
N3
Sembarang N
Sembarang N
Sembarang N

M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1a
M1b

T Tumor Primer
To

:Tidak ada bukti ada tumor primer.Tumor primer sulit dinilai, atau tumor
primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner
tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.

Tx

:Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel
tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis
atau bronkoskopik.

Tis

:Karsinoma in situ

T1

:Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh
jaringan paru atau pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih
proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkus lobus (belum sampai

35
Universitas Sumatera Utara

ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang ukuran dengan komponen
invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus
utama. Dimana

T2



T1a, ≤ 2 cm



T1b, > 2 cm tetapi ≤ 3 cm

:Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut :


Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm



Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina
mengenai pleura visceral



Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas
ke daerahhilus, tetapi belum mengenai seluruh paru.

Bila berdasarkan ukuran tumor,

T3



T2a, >3cm tetapi ≤ 5 cm, dan



T2b, >5 cm tetapi ≤ 7cm.

:Tumor sembarang ukuran (>7cm), dengan perluasan langsung pada dinding
dada (termasuk tumor sulkussuperior), diafragma, pleura mediastinum atau
tumor dalam bronkus utama yang jaraknya kurangdari 2 cm sebelah distal
karina atau tumor yang berhubungan dengan atelektasis ataupneumonitis
obstruktif seluruh paru.

36
Universitas Sumatera Utara

T4

:Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh
besar, trakea,esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai
satelittumor nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.

N Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx

:Kelenjar getah bening tak dapat dinilai

No

:Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening

N1

:Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus ipsilateral,
termasuk perluasantumor secara langsung

N2

:Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB
subkarina

N3

:Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB skalenus /
supraklavila ipsilateral /kontralateral

M Metastasis (anak sebar) jauh.
Mx

:Metastasis tak dapat dinilai

Mo

:Tak ditemukan metastasis jauh

M1a

:Nodul kontralateral, tumor dengan nodul pleura atau efusi Pleura maligna,
dan efusi pericard.

M1b

: Ditemukan metastasis jauh. “Metastastic tumor nodule”(s).

37
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Pembagian Nodul Station Berdasarkan Nodul Zone. (PDPI, Kanker paru,
2011; IASLC/ATS/ERS, 2011
Proposed Nodal Zone
Upper zone

Aortapulmonal zone

Subcarinal zone
Lower zone

Hilar zone
Peripheral zone

Nodal Stasion
N2 Nodul
High Mediastinal (N1)
Upper Parastracheal (N2)
Prevascular dan rectotracheal (N3)
Upper Parastracheal (N4)
Subaortic (aortapulmonal window)(N5)
Para-aortic (ascending aorta atau phrenic
(N6)
Subcarinal (N7)
Paraesophageal (N8)
Pulmonary Ligamen (N9)
N1 nodul
Hilar (N10)
Inter Lobar (N11)
Lobar (N12)
Segmental (N13)
Subsegmental (N14)

Tabel 2.3. Penderajatan Performa Status Kanker Paru. ( PDPI, Kanker paru, 2011)
Nilai Skala
Karnofsky
90-100
70-80

Nilai Skala
WHO
0
1

50-60
30-40
10-20

2
3
4

0-10

-

Keterangan
Aktivitas Normal
Ada keluhan tetapi masih aktif dan dapat mengurus diri
sendiri
Cukup aktif, namun kadang membutuhkan bantuan
Kurang aktif, membutuhkan perawatan
Tidak dapat meninggalkan tempat tidur, perlu rawatan di
rumah sakit
Tidak sadar

38
Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Tatalaksana Kanker Paru
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada
jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi nonmedisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan
faktor yang amat menentukan. ( PDPI, Kanker paru, 2011)
1. Pembedahan
2. Radioterapi
3. Kemoterapi
4. Imunoterapi
5. Hormonoterapi
6. Terapi Gen

2.3.3.1. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan jenishistologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dan
60 menurut skala Karnosfky atau 2menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan
dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalamkombinasi regimen kemoterapi.
Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapatdilakukan. (PDPI,
Kanker paru, 2011; IASLC/ATS/ERS, 2011)

39
Universitas Sumatera Utara

Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah:
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
2. Respons obyektif satu obat antikanker s 15%
3. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
4. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada penilaian
terjadi tumor progresif( PDPI, Kanker paru, 2011)
Regimen untuk KPKBSK adalah :
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin).
2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid).
3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin.
4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin.
5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin. ( PDPI, Kanker paru, 2011)
Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi
1. Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia lanjut, dapat
diberikan obat antikankerdengan regimen tertentu dan/atau jadual tertentu.
2. Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb <
10 g% tidak pertu, tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan
penyebab anemia.
3. Granulosit > 1500/mm3
4. Trombosit > 100.000/mm3.
5. Fungsi hati baik

40
Universitas Sumatera Utara

6. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit). ( PDPI,
Kanker paru, 2011)

Dosis obat anti-kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan farmakologik
masing masing. Ada yangmenggunakan rumus antara lain, mg/kg BB, mg/luas
permukaan tubuh (BSA), atau obat yangmenggunakan rumusan AUC (area under the
curve) yang menggunakan CCT untuk rumusnya.Luas permukaan tubuh (BSA)
diukur dengan menggunakan parameter tinggi badan dan berat badan, laludihitung
dengan menggunakan rumus atau alat pengukur khusus (nomogram yang berbentuk
mistar). ( PDPI, Kanker paru, 2011)

Untuk obat anti-kanker yang mengunakan AUC (misal AUC 5), maka dosis
dihitung denganmenggunakan rumus atau nnenggunakan nomogram.Dosis (mg) =
(target AUC) x (GFR + 25) Nilai GFR atau gromenular filtration rate dihitung dari
kadarkreatinin dan ureum darah penderita. ( PDPI, Kanker paru, 2011)
Evaluasi dilakukan terhadap:
 Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal
 Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat badan
 Respons obyektif
 Efek samping obat. ( PDPI, Kanker paru, 2011)

41
Universitas Sumatera Utara

Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan:
1. Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi tumor hilang
100% dan keadan inimenetap lebih dari 4 minggu.
2. Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran tumor >
50% tetapi < 100%.
3. Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau mengecil
> 25% tetapi < 50%.
4. Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan ukuran
tumor > 25% atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di tempat lain. (PDPI,
Kanker paru, 2011)
2.4. Thrombosis Pada Kanker
Dilaporkan dalam perkembangan penyakitnya 15% pasien kanker

akan

mengalami trombo-emboli vena (VTE), angka ini menjadi 30-50% pada otopsi
postmortem. Sebaliknya 20% pasien dengan DVT atau emboli paru kemudian hari
didiagnosa menjadi kanker. Diawali oleh laporan Armand Trousseau (1865), yang
menegakkan hubungan kanker dengan VTE yang dikenal dengan sindrom
“Trousseau” sekarang lebih diketahui bahwa kanker sendiri dapat meningkatkan
resiko kejadian thrombosis sampai empat kali dan kemoterapi sebanyak 6 kali. (Buku
ajar Penyakit Dalam FK UI, 2006; Annie Young et al, 2012)
Walau pasien kanker paru dapat mengalami thrombosis vena maupun arteri
tetapi thrombosis pada venalah yang paling banyak di teliti. Resiko terjadinya venous
thromboembolism (VTE) meningkat sebanyak 4 kali bila dibandingkan dengan
42
Universitas Sumatera Utara

populasi umum. Banyak faktor dapat meningkatkan faktor trombotik , termasuk
faktor resiko umum pasien seperti, immobilitas pasien, umur tua dan operasi, juga
faktor spesifik pasien seperti stadium tumor yang berat dan obat kemoterapi. (Annie
Young et al, 2012)
Kelainan/keabnormalan dari satu atau beberapa test koagulasi sering terjadi
pada pasien kanker, walaupun tanpa adanya manifestasi thrombosis maupun
pendarahan. Hasil dari test laboratorium menunjukkan adanya proses pembentukan
fibrin, fibrinolisis secara parallel berhubungan dengan perkembangan keganasan, dan
peningkatan metastase. Terutama, dapat mendeteksi perubahan yang sedikit pada
faktor faktor koagulasi. Sebagai hasil dari aktifitas koagulasi, nilai produk fibrin
degradasi (D-dimer) meningkat secara signifikan pada pasien dengan keganasan
dibandingkan dengan pasien sehat, nilai ini akan semakin tinggi pada keadaan dimana
ukuran tumor yang besar dan adanya penetrasi ke dinding dada. (A. FALANGA et al,
2013; Slavica Kvolik, 2010)
Marker hemostatik dasar termasuk PLT, PT, aPTT, F, D-dimer, ATIII
meningkat pada pasien kanker paru. Pada kanker paru bukan sel kecil dankanker paru
sel kecil mekanisme aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis berbeda. Pada SCLC
(Small cell lung ca) sel tumor mengeluarkan TF (tissue factor/faktor jaringan) uang
secara langsung mengaktivasi sistem koagulasi. Sedangkan pada NSCLC (nonSmall
cell lung ca) makrofag pasien akan mengeluarkan faktor prokoagulan yang mana
akan mengaktifkan sistem fibrinolisis (Ebru Unsal et al, 2003; Shaker A. Mousaet al,
2004)
43
Universitas Sumatera Utara

Gerald dkk, melaporkan banyak terjadi keabnormalan pembekuan darah pada
pasien dengan adenokarsinoma dan squamus sel karsinoma. (Gerald A. Soff, 2013)
Pada studi Ebru Unsal dkk menemukan D-dimer meningkat pada pasien dengan
tanda-tanda metastase jauh, dimana hal ini tidak berhubungan dengan jenis
histopatologi dari kanker. (Ebru Unsal et al, 2003)
2.4.1. Patogenesis Dan Patofisiologi
Terjadinya thrombosis pada keganasan mencakup proses kompleks yang
terutama disebabkan aktivitas prokoagulan sel kanker (prokoagulanactivity/PCA)
yang kemudian akan merupakan interaksi antara:
 Aktivitas prokoagulan dengan diproduksinya jaringan (tissue factor/TF) dan
“cancer procoagulan” (CP)/” tumor associated mucin oleh sel tumor.
 Sitokin yang dikeluarkan oleh sel kanker ( INF-α, TNFβ dan VEGF)
 Dampak pada proses fibrinolisis
 Perubahan pembuluh darah/disfungsi endotel
 Interaksi antara sel pasien/ host (teraktivasinya: monosit, makrofag, trombosit,
dan sel endotel) dengan sel tumor. Monosit dan makrofag akan mengeluarkan
interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) yang menyebabkan kerusakan
endotel dan pengelupasan sel endotel pembuluh darah (PD), sehingga menjadi
bersifat

trombogenik.

Khususnya

interaksi

dengan

makrofag

akan

mengaktifkan trombosit, faktor.XII dn faktor.X, yang akan meningkatkan
pembentukkan thrombin dan selanjutnya menimbulkan thrombosis.

44
Universitas Sumatera Utara

 Sel kanker yang utuh mampu melepaskan vesikel plasma membran kedalam
sirkulasi darah dan meningkatkan pembentukkan bekuan darah. (A. FALANGA
et al, 2013; Slavica Kvolik, 2010)
Phatogenesis ketidakseimbangan sistem koagulasi pada kanker cukup kompleks dan
meliputi banyak faktor baik klinikal dan biologi.
Faktor Klinikal
Faktor klinikal dapat dimasukkan dalam tiga grup kategori, i) karakteristik yang
berhubungan dengan pasien, seperti immobilitas, umur tua, riwayat thrombosis
sebelumnya, nilai leukosit dan platelet yang tinggi, obesitas, dan adanya komorbid
seperti penyakit jantung, infeksi akut, dan penyalkit sistem pernafasan. ii) fitur-fitur
yang berhubungan dengan kanker, berhubungan dengan jenis tumor dan stadium
tumor. Dimana kanker otak, keganasan sel darah, adenocarcinoma pada pankreas,
paru, uterus meningkatkan resiko VTE. Lebih lanjut kanker yang bermetastase dapat
meningkatkan resiko VTE dibandingkan tumor yang terlokalisasi iii) terapi anti
kanker. Termasuk

kemoterapi, hormonal terapi, agen antiangiogenik, kombinasi

regimen kemoteropi dengan operasi dapat menyebabkan efek pro-trombotik.
perusakan sel endothelial oleh agen kemoterapi atau produk derivate tumor,
menyebabkan hilangnya property antitrombotik yang memegang peranan pada
peningkatan resiko VTE. (A. FALANGA et al, 2013)

45
Universitas Sumatera Utara

Temuan penting lainnya yaitu peningkatan pada munculnya procoagulant tissue
faktor (TF) dan/atau phosphatydilserine (PS) dan pelepasan MP setelah terapi yang
disebabkan oleh kemoterapi yang berbeda. (A. FALANGA et al, 2013)
Tabel 2.4. Mekanisme Klinis Dan Unsur-Unsurnya. (A. FALANGA et al, 2013)
Faktor Pasien
Umur Tua
Tirah baring
Obesitas
Riwayat thrombosis
sebelumnya
mutasi Protrombotik dan
jumlah platelet
Komorbiditas

Faktor Kanker
Lokasi tumor : otak,
pancreas, paru, ginjal,
empedu, keganasan
darah
Staging kanker

Faktor Terapi
Rawatan rumah sakit
Pembedahan
Kemoterapi maupun
hormonal terapi
Terapi anti-angiogenesis
Transfusi darah
Central Venous Catheter
(CVC)

Mekanisme Biologis
Diluar faktor klinikal, mekanisme biologis juga memegang peranan penting
dalam patogenesa dari perubahan hemostasis pada kanker. Sel kanker dapat
mengaktifkan sistem hemostasis melalui pengekspresian dari protein prokoagulan,
pengeluaran lipid prokoagulan, pelepasan sitokin inflamasi dan MP dan perlengketan
ke vaskular. Tumor prokoagulan yang paling dikenal adalah TF (tumor faktor),
tampak pada gambar 2.4. (A. FALANGA et al, 2013)
Munculnya TF ke permukaan sel tumor dipotensiasi anionic phospolidips
(misalnya PS) dibagian terluar dari membran sel dan keluarnya heparanase. Fungsi
utama dari heparanase adalah untuk degradasi heparin sulfates dari matrix

46
Universitas Sumatera Utara

ektraselular sehingga mempromosikan invasi tumor dan metastasis. Heparanase juga
dapat berinteraksi dengan TF pathway inhibitor (TFPI) dari sel permukaan,
menyebabkan disosiasi dari TFPI dari sel membran endothelial dan sel tumor yang
meningkatkan aktivasi

sel TF permukaan. (A. FALANGA et al, 2013; Paolo

Prandoni et al, 2005)
Prokoagulan tumor lain adalah prokoagulan kanker (CP), tidak seperti TF,
aktivasi F.X secara bebas dari F.VII. CP terdeteksi dari beberapa sel tumor, dan
dalam jaringan amnion chorion tetapi tidak pada sel normal. TF secara aktif di
lepaskan oleh sel tumor oleh kerja TF yang disangga MP (membrane plasma). PS
diekspresikan pada MP permukaan, anionic phospolipid ini akan memfasilitasi
pertemuan tenase dan kompleks prothrombinase, yang mempromosikan terjadinya
koagulasi. Hal ini akan lebih lanjut di tingkatkan seiring dengan pengekspresian dari
TF (tampak pada gambar 8). Normlanya MP terdapat pada level yang rendah,
biasanya berasal dari platelet (>80%). Peningkatan MP terjadi pada stadium IV
dibandingkan dengan stadium I, II dan III pada kanker lambung, menunjukkan
akurasi diagnostk yang tinggi pada metastase. (A. FALANGA et al, 2013, Paolo
Prandoni et al, 2005)
Lebih jauh, sel tumor mengeluarkan berbagai larutan proinflamasi (misal tumor
nekrosis faktor α (TNF-α) dan interleukin-1β (IL-1β) dan proangiogenik (vascular
endothelial growth factor(VEGF) dan basic fibroblast growth factor(bFGF)), dimana
dapat menstimulasi prothrombin dari pembuluh darah. Pada sel endothelial, molekul

47
Universitas Sumatera Utara

ini menginduksikan pengekspresian TF, menstimulasi produksi PAI-1, menurunkan
regulasi dari trombomodulin dan mempromosikan perlengketan sel-sel. Kapasitas sel
tumor dalam mengikuti endotel pembuluh darah berhubungan dengan lokalisasi dari
aktivasi pembekuan darah dan pembentukan thrombin, tampak pada gambar 2.5. (A.
FALANGA et al, 2013)

Gambar 2.4. Interaksi Tumor Dengan Sistem Hemostasis. (A. FALANGA et al,
2013)
Patofisiologi terjadinya thrombosis pada kanker yang masih tetap relevan
diterangkan dengan „Triad Virchow‟ yang sejak 1826 menyatakan kejadian
thrombosis dikarenakan adanya:

48
Universitas Sumatera Utara

1. Gangguan aliran darah, yang dalam hal ini karena imobilisasi bed rest atau
adanya kompresi pembuluh darah oleh massa tumor: kondisi ini akan
memperlambat atau bahkan menghambat aliran darah, yang selanjutnya akan
menurunkan

clearance

faktor

faktor

pembekuan

yang

teraktivasi,

menimbulkan hipoksia sel endotel, trauma pembuluh darah.
2. Trauma dan gangguan fungsi pembuluh darah, akibatnya adanya invasi sel
tumor atau kemoterapi. Hal ini dikaitkan dengan menurunya trombomodulin,
prostasiklin dan aneksin II, yang ketiganya bersifat sebagai antikoagulan dan
antiagregasi baik langsubg maupun tidak langsung.
3. Terjadinya perubahan pada komponen pembekuan darah yang menyebabkan
kondisi hiperkoagulasi, terjadi melalui langsung faktorXa oleh CP yang hanya
diekspresikan oleh sel tumor dan foetal (suatu sistein protease dengan BM 68
kDa) atau melalui TF (suatu glikoprotein transmembran dengan BM 47 kDa)
selain diekskresikan sel kanker juga oleh sebagian besar sel normal seperti sel
monosit, endotel, sel jaringan ikan dan lainnya. Ekskresi TF di “up
regulated” oleh sitokin yang kemudian mengaktivasi faktorVII dan
membentuk kompleks TF + VIIa. Salah satu produksi sel tumor berupa musin
asam sialat, dapat mengaktifkan faktorX secara non enzymatic. Selain
mekanisme diatas juga diketahui terjadi penurunan antikoagulan alamiah,
seperti : AT III, protein C dan S atau melalui aktifasi trombosit. (Buku ajar
Penyakit Dalam FK UI, 2006: Isabel Dos Santos Silva,2010)

49
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Pertumbuhan Sel Tumor, Neoangiogenesis (A. FALANGA et al, 2013)
Obat Kemoterapi adalah terapi pertama pada kanker stadium lanjut. Agen
kemoterapi memiliki target poin yang berbeda beda seperti meningkatkan apoptosis
sel tumor, maupun menekan neoangiogenesis tumor. Pada keadaan penekanan
neoangiogenesis aktivitas koagulasi pada pasien ini juga akan menurun. Intensitas
dan tipe koagulasi tergantung pada tipe dari agen kemoterapi, dosis dan terapi lain
yang

menyertai.

Kebanyakan

agen

kemoterapi

akan

menyebabkan

ketidakseimbangan aktifitas koagulasi oleh karena agen kemoterapi yang
menginduksikan kerusakan endotelial sel kanker dan menurunkan sitesis faktor-faktor
koagulasi pada hati dan juga adanya disfungsi dari platelet. (Slavica Kvolik, 2010)

50
Universitas Sumatera Utara

Peningkatan apoptosis pada endotel sel kanker selama kemoterapi adalah faktor
prokoagulasi

yang

kuat,

mempercepat

aktifasi

platelet,dan

perlengketan

mikrotrombosis pada jaringan tumor. Aktifasi koagulasi intertumoral dan oklusi
mikrovaskular terjadi pada agen kemoterapi dengan cisplatin based kemoterapi.
(Slavica Kvolik, 2010).
Kemoterapi. Meningkatkan resiko TE melalui tiga mekanisme :
a.

Kerusakan akut dinding pembuluh darah ( misal: bleomisin, carmusin, vinka
alkaloid).

b.

Non akut pada endotel ( misal doksorubisin).

c.

Menurunkan kadar antikoagulan alamiah seperti CMF menurunkan protein C
dan S, L-asparaginase menurunkan AT III. (Buku ajar Penyakit Dalam FK UI,
2006)

2.5. Tumor Marker
Tumur marker adalah substansi biologi, yang biasanya peptide yang
disekresikan oleh sel tumor. Substansi ini normalnya tidak ada pada serum (atau ada
dalam konsentrasi yang rendah) karena mereka tidak disekresikan atau disekresikan
sedikit oleh sel normal. Coombes dan pekerjanya memastikan potensi kegunaan dari
tumor marker pada aplikasi klinis. Dimana potensi ini meliputi a) membantu dalam
mendiagnosis sebuah tumor, b) dasar dalam evaluasi dari prognosis tumor, c)
membantu dalam memilih pasien yang akan diterapi dengan kemoterapi adjuvant, d)
membantu dalam menilai respon terapi dan mendeteksi rekurensi penyakit. (A. A.
Ponomaryova et al, 2011)
51
Universitas Sumatera Utara

Lebih lanjut level serum dari marker yang ideal sebaiknya: a) meningkat secara
patologis pada munculnya sel keganasan, b) tidak meningkat juga tidak terdapat tanda
tanda keganasan, c) berhubungan dengan sisa tumor dan penyebaran/metastase tumor,
d) berubah dengan hubungannya dengan evolusi klinis, yang merefleksikan status
penyakit, e) mengatisipasi perubahan klinis, contoh dapat mengindikasikan
munculnya tumor relaps sebelum munculnya efek klinis. (A. A. Ponomaryova et al,
2011)
Tumor marker tidak hanya signifikan dalam mengenal biologi tumor tetapi juga
berguna bagi klinisi dalam menatalaksana pasien dengan tumor paru. Pada
lingkungan onkologi, pengunaan tumor marker berguna dalam menentukan diagnosa
dan klasifikasi patologi dari tumor, penilaian berkala dari tumor marker juga berguna
dalam menilai respos dari terapi kanker paru, dalam menilai perjalanan spontan dari
penyakit dan dalam pengawasan akan rekurensi dari tumor itu sendiri.
Masalah dalam mendiagnosis kanker dengan tumor marker adalah, apakah
penyakit lain yang berhubungan dengan peningkatan nilai tumor marker. Sebagai
contoh tumor marker dengan nilai prediksi positif 95%, artinya dari 100 % pasien
dengan peningkatan tumor marker 5% dari pasien ini tidak memiliki kanker.

52
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.5. Kegunaan Dan Potensi Kegunaan Tumor Marker Pada Kanker Paru. (Petra
Stieber et al, 2006)

Cancer
Marker
NSE

Proposed Use/Uses
Differential diagnosis of lung masses when
biopsy is not available: in high levels high
specificity for small cell carcinoma; in
SCLC, additive information to ProGRP
Assessing prognosis. High levels predict
adverse outcome in SCLC
Assessing prognosis. High levels predict
adverse outcome in NSCLC
Monitoring therapy in SCLC
Monitoring therapy in advanced disease
(NSCLC)
Detection of recurrent disease. Increasing
kinetics indicate progressive disease in
SCLC

CEA

Differential diagnosis of lung masses when
biopsy is not available; in high levels high
specificity for adenocarcinoma; in NSCLC,
additive information to CYFRA 21-1
Assessing prognosis. High levels predict
adverse outcome in early and advanced
stage NSCLC
Monitoring therapy in advanced disease
(NSCLC and SCLC)
Detection of recurrent disease. Increasing
kinetics indicate progressive disease in
NSCLC, part. in adeno cancer.

Phase of Development
In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study

In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study
In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study
In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study
Not in clinical use
In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study
In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study.

Not in clinical use

Not in clinical use
Not in clinical use

53
Universitas Sumatera Utara

Cyfra 21-1

Differential diagnosis of lung masses when
biopsy is not available: in high levels high
specificity for squamous cell carcinoma;
best marker for NSCLC
Assessing prognosis. High levels predict
adverse outcome in early and advanced
NSCLC
Assessing prognosis. High levels predict
adverse outcome in SCLC

In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study. Recommended
for clinical use
Not in clinical use
In clinical use, but value not
validated in a high-level
evidence study.
Not in clinical use yet,
undergoing further validation

Monitoring therapy in advanced disease
(NSCLC)
Early prediction of therapy response in
advanced disease (NSCLC)
Detection of recurrent disease. Increasing
In clinical use, but value not
kinetics indicate progressive disease in
validated in a high-level
NSCLC, part in squamous cell cancer.
evidence study.
Tabel 2.6. Rekomendasi Pengunaan Tumor Marker Pada Kanker Paru. (Petra Stieber
et al, 2006)
Marker

NSE

CEA

Application

EGTM 1999

NACB 2005

For differential diagnosis
For prognosis
For post-operative
surveillance
For monitoring therapy in
advanced disease
For detection of recurrent
disease

Yes, for SCLC
None published
Yes, in SCLC
Yes, in SCLC

Yes, for SCLC
None published
Yes, in SCLC
Yes, in SCLC

Yes, in SCLC

Yes, in SCLC

For differential diagnosis
For prognosis
For post-operative
surveillance

Yes, for NSCLC
None published
Yes, in
adenocarcinoma
Yes, in
adenocarcinoma
Yes, in
adenocarcinoma

Yes, for NSCLC
None published
Yes, in NSCLC

For monitoring therapy in
advanced disease
For detection of recurrent
disease

Yes, in NSCLC
Yes, in NSCLC

54
Universitas Sumatera Utara

CYFRA
21-1

For differential diagnosis
For prognosis
For post-operative
surveillance
For monitoring therapy in
advanced disease
For detection of recurrent
disease

Yes, for NSCLC
None published
Yes, in all NSCLC
and SCLC
Yes, in all NSCLC
and SCLC
Yes, in all NSCLC
and SCLC

Yes, for NSCLC
Yes, in NSCLC
Yes, in NSCLC
Yes, in NSCLC
Yes, in NSCLC

Tabel 2.7. Rekomendasi Penggunaan Tumor Marker Berdasarkan Histology Dari
Tumor Dan Aplikasinya. (Petra Stieber et al, 2006)
Histology
Unknown

Adenocarcinoma
Squamous cell
carcinoma
Large cell carcinoma
Small cell carcinoma

Before therapy
CYFRA 21-1, CEA, NSE,

CYFRA 21-1 and CEA
CYFRA 21-1 and CEA
CYFRA 21-1 and CEA
NSE

Post-therapy follow-up
After surgery: following histology
In advanced disease: using the
leading marker
CYFRA 21-1 and/or CEA
CYFRA 21-1 and/or CEA
CYFRA 21-1 and/or CEA
NSE

2.6. Peran Tumor Marker Dalam Deteksi Awal Kanker Paru
Dalam hal skrining, tidak ada laporan yang menunjukkan kegunaan satu jenis
atau kombinasi dari tumor marker dalam mendiagnosis kanker paru pada popolasi
yang tanpa gejala ataupun pada populasi resiko tinggi seperti pada perokok. P.P.
Mumbarkar dkk, melaporkan terjadi peningkatan dari NSE pada KPKSK. CEA
meningkat pada adenocarcinoma dan skuamus sel karsinoma, dan Cyfra 21-1

55
Universitas Sumatera Utara

meningkat pada adenocarcinoma, skuamus sel karsinoma dan KPKBSK. (P.P.
Mumbarkar et al, 2006)
Dalam hal diagnostik, tumor marker dipertimbangkan dalam hal diagosa
banding dan jenis sel kanker, terutama pada kanker paru yang tidak diketahui asalnya.
Terutama pada populasi tanpa kanker atau overlap dengan patologi jenis sel jinak,
tingginya CEA, Cyfra 21-1, NSE meningkatkan kecurigaan kita terhadap keganasan.
Dari profil tumor marker, tumor marker yang paling meningkat memberikan
kemungkinan jenis histologi yang berbeda, seperti CEA pada adenocarcinoma, Cyfra
21-1 dan SCC meningkat pada kanker paru jenis sel skuamus, Cyfra 21- dan NSE
pada kanker paru jenis sel bukan sel kecil, NSE dan ProGRP pada kanker paru sel
kecil. Tetapi walau nilai yang normal atau meningkat sedikit dari tumor marker tidak
mengeksklusikan penyakit tumor dan progresivitasnya. Berdasarkan keterbatasan ini.
Penilaian tumor marker pada diagnosa awal mungkin berguna dengan beberapa
alasan berikut:


Pola pelepasan tumor marker berdasarkan histologi tumor dan dapat
mengungkap kombinasi dari beberapa komponen histologi.



Tumor marker diekspresikan dan dilepaskan pada diagnosis awal menjadi
marker yang sesuai untuk follow-up monitoring



Cyfra 21-1, CEA, NSE, adalah faktor prognostik bebas dari KPKBSK, sama
seperti Cyfra 21-1, NSE pada KPKSK.

56
Universitas Sumatera Utara



Tingkat dan penurunan yang luas dari marker postoperative (post
pembedahan) memberikan informasi yang berguna dalam menilai tumor yang
tersisa dan keefektifan dari terapi.

Pada semua tipe KPKBSK termasuk kanker paru jenis sel skuamus, sensitivitas
diagnostik paling tinggi dilaporkan oleh Cyfra 21-1. Jika CEA >10 μg/L dan CA125
>100 U/mL, menunjukkan adenocarcinoma dan kanker paru jenis sel bukan sel kecil.
Berdasarkan sensitivitas diagnostik tambahan dari CEA dan Cyfra 21-1, kombinasi
keduanya berguna dalam diagnostik KPKBSK. (Petra Stieber et al, 2006: P.P.
Mumbarkar et al, 2006)
2.6.1. Peran Tumor Marker Dalam Diagnostik
Beberapa penelitian melaporkan nilai prognosis dari satu atau beberapa tumor
marker dalam hubungannya terhadap keadaan klinis dan parameter laboratorium.
Walaupun demikian, membandingkan penelitian ini cukup sulit karena: a)
beragamnya jenis populasi yang dipakai ( stadium awal dan akhir bercampur, begitu
juga dengan jenis histologi), b) mengunakan analisa univariat atau multivariate, c)
gagal membandingkan parameter tunggal dalam menentukan parameter diagnostik,
terutama status klinis, d) gagal dalam menentukan bagaimana memaksimalkan level
cut off yang dipilih dan kadang mengunakan metode yang berbeda dalam memilih
nilai cut off

investigasi. Hal ini menjadi keinginan yang tinggi dalam

mengindentifikasi tumor marker yang paling baik dalam hal membandingkan faktor

57
Universitas Sumatera Utara

diagnostik yang potensial pada pasien. (Petra Stieber et al, 2006: D. Ferrigno et
al,1994)
Dari semua tumor marker yang mengevaluasi KPKBSK, Cyfra 21-1 menjadi
marker yang memiliki nilai prognostik pada pasien ini, baik pasien dengan stadium
awal yang operatif maupun pasien dengan stadium lanjut. (D. Ferrigno et al,1994;
Kostas D.Hatzakis et al,2002)
Perawatan post operatif, efekasi kontrol terapi dan pendeteksian rekurensi
penyakit adalah indikasi pemeriksaan tumor marker dalam menentukan kanker
paru.Perawatan post bedah, kecepatan dan kelengkapan penurunan nilai dari tumor
marker yang menunjukkan outcome lebih lanjut dari pasien. Setelah peningkatan
jangka pendek yang segera setelah terapi intervensi, berdasarkan pelepasan marker
yang berasal dari kerusakan post operatif dan dari jaringan tumor, penurunan marker
ini tergantung waktu paruh marker biologi

(half life) dan sel tumor sisa. Pada

disfungsi ginjal dan renal dapat memperpanjang waktu paruh dari tumor marker,
lamanya klirens marker dan/atau stabilnya nilai tumor marker mengindikasikan
adanya sisa tumor sel dan memprediksikan rekurensi tumor. (Petra Stieber et al,
2006; Bo jin et al, 2010)
Kontrol dari terapi sistemik. Ketika mengamati efekasi kemoterapi dan
radioterapi dengan tumor marker, penurunan sebagian sering berkorelasi dengan
respon terapi dimana peningkatan atau penurunan berhubungan dengan progresivitas
penyakit. Pada KPKBSK, Cyfra 21-1 memiliki nilai korelasi yang paling baik
terhadap tumor. Untuk mendeteksi progresivitas penyakit marker ini memiliki
58
Universitas Sumatera Utara

sensitivitas 52% dan spesifisitas 100%, tetapi korelasi terhadap remisi cukup rendah.
Perubahan awal Cyfra 21-1 setelah kemoterapi siklus pertama telah dilaporkan
memiliki nilai prediktif yang baik. (Petra Stieber et al, 2006; Bo jin et al, 2010)
Tumor marker sebelum dan sesudah kemoterapi dapat menolong klinisi dalam
mengevaluasi respon klinis, pemilihan terapi lanjutan dan prognosis penyakit,
terutama pada pasien yang sulit dinilai melalui radiologi. Meningkatnya nilai tumor
marker mengindikasikan progresifnya penyakit dan sebagai terapi lanjutan ,regimen
kemoterapi harus diganti. (Petra Stieber et al, 2006; Bo jin et al, 2010)
2.6.2. Deteksi dari rekurensi penyakit
Pada pengawasan post terapi keadaan tumor marker adalah indikator yang
sensitif pada rekurensi penyakit, dimana nilai marker ini di bandingkan dengan
gambaran x-ray. Pada KPKBSK, Cyfra 21-1 memberikan sensitivitas 79% yang lebih
lanjut meningkat menjadi 100% pada pasien post operasi level Cyfra 21-1 >3.3 μg/L
waktu paruh antara 2 sampai 5 bulan. (Petra Stieber et al, 2006, Ljiljana Vasic,2007))
2.6.3. Pertimbangan atas kegunaan tumor marker:
 Tumor marker tunggal, seperti Cyfra 21-1, CEA, NSE sebaiknya tidak
digunakan dalam keperluan skrining baik pada populasi yang tanpa gejala atau
pada populasi resiko tinggi ( misalnya pada perokok)
 Berdasarkan pada jenis histology, penentuan Cyfra 21-1, CEA, NSE berguna
pada kanker paru terutama pada terapi awal, dimana tidak ada jenis histologi

59
Universitas Sumatera Utara

yang diperoleh sebelum operasi, pada penilaian dari tumor marker ini cukup
penting menentukan jenis mana yang paling meningkat
 Mem follow-up asimptomatik pasien setelah terapi awal dari kanker paru cukup
kontroversial. Serial tumor marker dapat membantu dalam menilai keberhasilan
pengangkatan tumor dan menunjukkan tanda-tanda rekurensi.
 CEA dan Cyfra 21-1 dapat dihitung selama terapi sistemik pada KPKBSK dan
NSE pada KPKSK dalam menilai respon terapi dan menilai progresivitas
penyakit. Walau penelitian yang lebih lanjut masih diperlukan
 Perhatian yang hati-hati terhadap sampel yang diperiksa sangat diperlukan.
Karena setiap tumor marker memiliki perlakuan y