Kesantunan Imperatif Penutur Bahasa Indonesia Di Pasar Halat Medan

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar
bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, 2003:588).
Adapun istilah yang perlu di beri konsepnya adalah :
1. Kesantunan
2. Pikiran
3. Imperatif.

2.1.1 Kesantunan
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh
masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati
dalam perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini disebut “tatakrama” (Sibarani,
2004:170).

2.1.2 Pikiran
Pikiran adalah kebudayaan mental mengarahkan bahasa menjadi bahasa yang berisi,
bermakna, dan bermanfaat. Pikiran, perilaku dan daya emosi seseorang tergantung dalam
bahasanya. (Sibarani, 2004:166).


2.1.3 Imperatif
Imperatif adalah bentuk perintah untuk kalimat atau verba yang menyatakan larangan
atau keharusan melaksanakan perbuatan (Alwi, 2003:427) Perintah tidak hanya diartikan
sebagai perintah untuk melakukan sesuatu, tetapi juga sebagai perintah untuk tidak
melakukan sesuatu yang disebut larangan.

5
Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Levinson (dalam Rahardi, 2010:48) mendefinisikan, pragmatik sebagai studi bahasa
yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi
dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Leech (1993:8)
mengemukakan, pragmatik adalah bidang lingustik yang mengkaji makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi tutur. Yule (2006:3) berpendapat bahwa pragmatik
adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) ditafsirkan oleh
pendengar (pembaca). Pragmatik berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksud
orang dengan tuturan-tuturannya pada makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan

dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur yang perlu
melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus
dan bagaimana konteks itu berpenaruh terhadap apa yang dikatakan.

2.2.2 Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomuikasi lewat tanda verbal
atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak
hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai
dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya
suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai
dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh
sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak
berbudaya (Sibarani, 2004:170).
Fraser (dalam Sitohang 2010:9) mendefinisikan, kesantunan merupakan properti atau
bagian yang ditujukan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat sipendengar, si
penutur tidak melampaui hak-haknya atu mengingkari memenuhi kewajibannya, maksudnya

6
Universitas Sumatera Utara


adalah bahwa si penutur memerintah mitra tutur sesuai dengan kemampuan mitra tutur
tersebut, apabila tidak sesuai dengan kemampuan mitra tutur maka tuturan tersebut tidak
santun.
Ulasan Fraser (dalam Sitohang 2010:9) terhadap kesantunan berbahasa yaitu
pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran, jadi tidak hanya ujaran itu
sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantuna itu merupakan
ujaran. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi.
Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak diukur bedasarkan (1) apakah si
penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicarnya; maksudnya adalah bahwa penutur
jika memerintah atau menyuruh mitra tutur harus sesuai dengan kemampuan mitra tutur dan
(2) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya; maksudnya adalah
si penuur memenuhi kewajibanya kepada mitra tutur.
Suatu ujaran dikatakan santun atau tidak berdasarkan batasan-batasan yang dilakukan
oleh peserta tutur (komunikasi) mengenai apa yang boleh dikatakan dan bagaiman cara
mengujarkannya. Oleh karena itu, konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur
sangat menentukan kesantunan sebuah bentuk bahasa. Kesantunan merupakan sebuah
fenomena dalam kajian pragmatik. Di dalam model kesantunan Leech (1983:123), setiap
maksim interpesrsonal dapat dimanfaatkan untuk menentukan pringkat kesantunan sebuah
tuturan. Skala kesantunan yang disampaikan Leech, antara lain:
1. Skala kerugian dan keuntungan skala ini ditujukan kepada besar kecilnya kerugian

dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah
pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin
dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari
kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra
tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tutran itu. Demikian sebaliknya,

7
Universitas Sumatera Utara

semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur, akan dianggap semakin
santunlah tuturan itu.
Contoh :
“Hidupkan kipas anginnya, jika AC-nya rusak!”.
Tuturan di atas merupakan tuturan yang tidak santun karena maksud perintah yang
disampaikan oleh penutur tersebut memberikan kerugian kepada mitra tutur untuk
melakukan apa yang diinginkan oleh penutur dalan tuturannya.
2. Skala pilihan, skala ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang
disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin
pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan luasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya,

apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi
si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
Contoh:
“Baik, hari ini kita akan belajar tentang pragmatik, saya minta kalian baca buku
hal 30-35 selama 10 menit. Kemudian kita akan diskusi. Silahkan!”
Tuturan di atas merupakan tuturan yang santun karena maksud persilaan yang
disampaikan oleh seorang dosen kepada mahasiswanya memberikan banyak
alternatif atau pilihan tindakan kepada mahasiswanya ketika belajar suatu mata
kuliah, yakni membaca mendiskusikan tentang pragmatik.
3. Skala ketidaklangsungan skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan
dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak
langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tutran itu.
Contoh:
“Dimohon sabar, semua akan dilayani”.
8
Universitas Sumatera Utara

Penanda kesantunan mohon pada tuturan tersebut sudah dapat menyatakan bahwa
tuturan di atas merupakan tuturan yang santun, dimana maksud permohonan dari

tuturan tersebut dinyatakan secara tidak langsung kepada orang yang sebenarnya
tidak sabar untuk segera dilayani.
4. Skala keotoritasan, skala ini menunjukkan kepada hubungan status sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak
peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan
cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat dengan jarak peringkat
status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat
kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
Contoh:
“Maaf pak, kemarin saya tidak dapat mengikuti ujian. Mohon Bapak dapat
memberikan ujian susulan kepada saya!”.
Tuturan di atas merupakan tuturan permohonan yang santun. Mahasiswa sebagai
penutur dalam tuturan di atas memiliki status yang lebih rendah daripada
dosennya sebagai mitra tuturnya, sehingga mahasiswa secara otomatis akan
menyampaikan maksud dari tuturannya secara santun.
5. Skala jarak sosial, skala ini menunjukan kepada peringkat hubungan sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan
bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduannya, akan menjadi
semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak
peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan

yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara
penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur.
Contoh:
9
Universitas Sumatera Utara

”Tenang..tenanglah dulu, pong!”.
Tuturan di atas dituturkan oleh Pong, yang saat itu melihat Pong tergesa-gesa akan
meluapkan emosi kepadanya. Hubungan keakraban di antara keduanya membuat
tuturan di atas tidaklah santun.

2.2.3 Kalimat Imperatif
Istilah imperatif lazim digunakan untuk menunjuk salah satu tipe kalimat bahasa
Indonesia, yakni imperatif. Alisjahbana (dalam Rahardi, 2010:19), mengartikan sosok
kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh,
mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksud di
dalam perintah itu. Berdasarkan maknanya, yang dimaksud dengan aktifitas memerintah
itu adalah praktik memberitahukan kepada mitra tutur bahwa penutur menghendaki
orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang sedang diberitahukanya.

Wujud imperatif adalah realitas maksud imperatif, wujud imperatif dalam bahasa
Indonesia mencakup dua macam, yakni (1) wujud imperatif formal atau struktural dan
(2) wujud imperatif pragmatik atau nonstruktural. Wujud formal imperatif adalah
realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia menurut ciri struktural atau ciri
formalnya, sedangkan, wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif
menurut makna pragmatiknya. Maka yang demikian itu sangat ditentukan oleh konteks
situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya imperatif itu, Rahardi (2010:93).
Menurut Rahardi ada 17 macam makna pragmatik imperatif di dalam bahasa
Indonesia, antara lain:
1. Makna pragmatik imperatif perintah; secara struktural, makna imperatif
perintah ditandai oleh pemarkah kesantunan sudi kiranya dan sudilah
kiranya.

10
Universitas Sumatera Utara

2. Makna pragmatik imperatif suruhan; secara struktural, makna imperatif
suruhan ditandai oleh pemarkah kesantunan coba.
3. Makna pragmatik imperatif permintaan; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan tolong dan minta.

4. Makna pragmatik imperatif permohonan; struktural ditandai oleh pemarkah
kesantunan mohon, dimohon dan partikel-lah.
5. Makna pragmatik imperatif desakan; secara struktural ditandai oleh pemarkah
kesantunan harus dan harap.
6. Makna pragmatik imperatif bujukan; secara struktural ditandai oleh pemarkah
kesantunan ayo dan tolong.
7. Makna pragmatik imperatif imbauan; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan harap, mohon, dan partikel -lah.
8. Makna pragmatik imperatif persilaan; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan silahkan dan dipersilahkan.
9. Makna pragmatik imperatif ajakan; secara struktural ditandai oleh pemarkah
kesantunan mari dan ayo.
10.Makna pragmatik imperatif permintaan izin; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan boleh dan biar.
11.Makna pragmatik imperatif mengizinkan; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan silahkan.
12.Makna pragmatik imperatif larangan; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan jangan, dilarang, tidak diperkenankan, dan tidak
diperbolehkan.
13.Makna pragmatik imperatif harapan; secara struktural ditandai oleh pemarkah

kesantunan semoga dan harap

11
Universitas Sumatera Utara

14.Makna pragmatik imperatif umpatan; secara struktural ditandai oleh
pemarkah kesantunan mampus.
15.Makna pragmatik imperatif pemerian ucapan selamat; secara struktural
ditandai oleh pemarkah kesantunan selamat.
16.Makna pragmatik imperatif anjuran; secara struktural ditandai oleh pemarkah
kesantunan hendaknya, hendaklah, dan sebaliknya.
17.Makna pragmatik imperatif ngelulu (larangan melakukan sesuatu); secara
struktural ditandai oleh pemarkah kesantunan jangan.

2.3 Tinjauan Pustaka
Rahardi (2005) berusaha menyingkap seluk-beluk kesantunan pada pemakaian
tuturan imperatif dalam kegiatan bertutur. Kesantunan adalah bagaimana bahasa
menujukkan jarak sosial di antara penutur dan hubungan peran mereka di dalam suatu
masyarakat. Adapun aspek kesantunan yang dikaji dalam buku ini meliputi wujud,
peringkat, dan faktor penetunya. Studi kesantunan berbahasa diharapkan dapat dapat

menopang lancarnya komunikasi dan interaksi lintas budaya. Kontribusi penelitian ini
dengan penelitian saya adalah pada bagian teori kesantunan berbahasa yaitu dengan
mengentahui ketentuan-ketentuan dan batasan-batasan dari kesantunan dalam praktik
berbahasa Indonesia, anggota masyarakat bahasa akan dapat lebih mudah membina relasi
dan menjalin kerjsama di dalam membangun komunikasi dan interaksi dengan sesamanya.
Luthfiyatin (2007) dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperative Dalam
Interaksi Antara Santri Putri Pompes Sunan Drajat Banjarnyar Paciran Lamongan Jawa
Timur membicarakan tentang bagaimanakah wujud pemakaian kesantunan imperatif dan
makna dasar imperatif yang digunakan dalam interaksi antarsantri putri pondok pesantren
sunan drajat banjarnyar paciran Lamongan. Terdapat dua wujud kesantunan imperatif pada
pesantren tersebut menjadi wujud imperatif dan kesantunan imperatif. Bujukan imperatif

12
Universitas Sumatera Utara

santri ustadzah dan pengurus dipastikan tidak ada. Salah satu faktornya adalah norma-norma
di santri untuk selalu hormat kepada ustadzah dan pengurus mengingat status mereka yang
lebih tinggi.
Yenni (2010) dalam tesisnya yang berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam Acara
Debat Kontroversi Surat Keputusan bersama Ahmadiyah di TV ONE menjelaskan bahwa
strategi kesantunan berbahasa pelaku debat direpresentasikan melalui strategi kesantunan
positif, yaitu : (1) mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa
atau fakta; (2) pengguna penanda identas kelompok; (3) mencari persetujuan; (4)
menghindari ketidaksetujuan dengan berpura-pura setuju; (5) menunjukan kesamaan; (6)
paham akan keinginan pendengar; (7) memberikan tawaran dan berjanji; (8) melibatkan
penutur dan pendengar dalam aktifitas, sedangkan wujud strategi kesantunan negatif
direpresentasikan melalui: (1) penggunaan ujaran tidak langsung; (2) penggunaan kata
berpagar; (3) peminimalan tekanan; (4) pemberian penghormatan; (5) pemakaian bentuk
interpersonal; (6) menyatakan tindak pengancaman muka sebgai aturan umum; (7)
nominalisasi. Apabila dibandingkan antara strategi kesantunan positif dan negatif, tampak
strategi meminimalkan jarak (kesantunan positif) lebih dominan dibandingkan strategi
menciptakan jarak (kesantunan negatif).
Sitohang (2010), dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam
Bahasa Batak Toba, minyimpulkan bahasa Batak Toba memiliki dua wujud kesantunan
imperatif, antara lain: wujud formal kesantunan imperatif dan wujud pragmatik kesantunan
imperatif. Wujud formal kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba meliputi dua
macam yaitu: imperatif aktif dan imperatif pasif dan wujud pragmatik kesantunan bahasa
Batak Toba terdiri dari tujuh belas macam berupa wujud kontruksi tuturan imperatif dan
berupa wujud konstruksi nonimperatif. Dalam penelitiannya, metode yang digunakan adalah
metode cakap dan metode simak. Teknik yang digunakan adalah teknik sadap. Metode
pengkajian data adalah metode padan menggunakan metode pragmatis sedangkan teori yang
13
Universitas Sumatera Utara

digunakan dalam penelitian ini yaitu teori kalimat imperatif, kesantunan berbahasa, tindak
tutur, dan konteks situasi.
Simarmata (2009), dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam
Bahasa Simalungun, menggunakan pendekatan kualitatif. Ia membicarakan tentang
kesantunan nilai imperatif dan wujud imperatif bahasa Simalungun. Dalam bahasa
Simalungun terdapat lima bagian nilai komunikatif yaitu: kalimat imperatif permintaan,
kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif pemberian izin, kalimat imperatif ajakan, kalimat
imperatif suruhan. Terdapat dua wujud imperatif dalam bahasa Simalungun yaitu wujud
formal imperatif dan wujud pragmatik.

14
Universitas Sumatera Utara