Perubahan Tata Nilai dan Bentuk pada Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh di Pidie

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1

Perubahan
Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan.

Perubahan dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena sosial yang wajar.
Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Latar
belakang sosial budaya sebuah kelompok masyarakat akan membentuk pola hidup
dan pola fikir masyarakat tersebut.
2.1.1

Perubahan tata nilai pada arsitektur tradisional
Ditengah arus globalisasi arsitektur dunia yang semakin meluas serta

gencarnya pembangunan di segala sektor, menyebabkan pergeseran nilai-nilai serta
filosofi dari arsitektur tradisional yang ada, sehingga wujud dari arsitektur tradisional
itu sendiri ikut berubah mengikuti perkembangan yang terjadi, perubahan-perubahan
tersebut tidak diimbangi oleh kemampuan untuk mempertahankan ketradisionalan
yang dimiliki bangsa ini, sehingga banyak rumah yang berkembang di suatu daerah

tidak mengikuti ciri khas dari arsitektur tradisional daerah tersebut.
Perubahan-perubahan tata nilai dan kebudayaan tersebut merupakan
perubahan fungsi sosial dan masyarakat yang menyangkut perilaku manusia dalam
masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lainnya. Perubahan-perubahan dalam

11
Universitas Sumatera Utara

12

pola kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola
perilaku, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan dan stratifikasi sosial.
Mengartikan perubahan tata nilai sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang
diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi
maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Sedangkan perubahan
tata nilai merupakan modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan
manusia itu sendiri (Puteh, 2012).
Globalisasi telah membuat kebudayaan dan tata nilai setiap bangsa berada
dalam proses transformasi terus menerus sehingga masyarakat menjadi semakin

heterogen. Simbol, makna, dan bahasa arsitektur yang dulunya disepakati bersama
dalam suatu komunitas tradisional, saat ini makin tidak tersepakati secara homogen.
Pluralisme budaya memang akan menjadi ciri setiap bangsa industrial modern yang
sedang bergerak maju dan menuntut setiap profesi agar semakin kreatif dengan
penemuan dan ragam alternatif inovasi baru. Perubahan sosial tidak berarti kemajuan,
tetapi dapat pula kemunduran, meskipun dinamika sosial selalu diarahkan kepada
gejala transformasi atau pergeseran yang bersifat linier (Budiharjo, 1997).
Pola hidup sehari-hari suatu masyarakat akan membentuk karakter yang dapat
mempengaruhi cara pandang dari masyarakat tersebut yang pada akhirnya akan
sangat mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam memilih lingkungan sosial
dan membentuk huniannya. Namun dalam perjalanannya, dikarenakan budaya yang

Universitas Sumatera Utara

13

berbeda maka perwujudan sarana fisiknya dapat berbeda. Hal ini menunjukan
perbedaan cara masyarakat dalam memvisualisasikan hunian mereka yang terkait
dengan tingkat peradabannya saat itu (Rapoport, 1969).
Sebuah rumah lebih dari satu ruang fisik di mana orang hidup, juga

merupakan ruang di mana interaksi sosial dan ritual berlangsung. Sebuah rumah
diletakkan dalam hal bagaimana itu akan digunakan. Beberapa penelitian sosiologis
dan historis mengenai hunian tradisional telah mengklaim bahwa tata letak rumah
mengekspresikan nilai-nilai yang mendasari budaya dan norma-norma, dan pilihan
untuk penggunaan ruang. Rumah tradisional merupakan manifestasi sosiokultural
(Rapoport, 1969).
Konsep budaya mencerminkan satu set multi-faceted dari prinsip-prinsip
abstrak tentang bagaimana kita melihat dunia untuk tindakan yang lebih konkrit
(Altman dan Chemers, 1980). Ini mencakup apa yang orang yakini benar dari dunia,
kehidupan masyarakat, lingkungan, dan cara-cara umum untuk melihat dunia dan
berperilaku. Desain layout rumah masyarakat dan bangunan umum sering eksplisit
mencerminkan nilai-nilai keyakinan dan budaya (Agustinadewi, 2014).
Budaya transisi yang telah dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi
adalah fenomena yang signifikan di daerah tradisional. Faktor-faktor ini telah
mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan penghuni, seperti sistem sosial, nilainilai, norma-norma, standar hidup yang lebih baik, harapan hidup, kekayaan,

Universitas Sumatera Utara

14


perubahan budaya, dan mengubah pola hunian. Nilai-nilai pada rumah, fungsi,
makna, dan konfigurasi spasial semua berubah secara paralel dengan proses transisi
sosial budaya (Sueca, 2003). Konfigurasi ruang tradisional tidak lagi sesuai dengan
nilai-nilai baru dan gaya hidup.
Transisi budaya yang terjadi melalui proses budaya juga mempengaruhi
layout rumah dan penggunaan ruang. Dalam beberapa masyarakat, tata letak dan
organisasi ruang di rumah telah berubah karena tingkat kesucian. Sebuah contoh yang
baik dari proses ini dapat dilihat pada rumah tradisional tempat tinggal di Denpasar,
Bali. Pada rumah tradisional Bali terdapat interaksi antara proses budaya dan
perubahan fisik dari waktu ke waktu. Rumah ini sering diatur oleh penghuni secara
paralel dengan kehidupan sosial-budaya mereka dan dampaknya pada proses
transformasi (Sueca, 2003).
Budaya transisi yang telah dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi
adalah fenomena yang signifikan di daerah tradisional Denpasar. Faktor-faktor ini
telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan penghuni, seperti sistem sosial,
nilai-nilai, norma-norma, standar hidup yang lebih baik, harapan hidup, kekayaan,
perubahan budaya, dan mengubah pola hunian. Nilai-nilai pada rumah, fungsi,
makna, dan konfigurasi spasial semua berubah secara paralel dengan proses transisi
sosial budaya. Konfigurasi ruang tradisional tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai baru
dan gaya hidup di perkotaan (Sueca, 2003).


Universitas Sumatera Utara

15

2.1.2

Perubahan bentuk pada arsitektur tradisional
Arsitektur tradisional merupakan arsitektur yang berkembang bersama dengan

kebiasaan, pola hidup, adat istiadat dan norma-norma yang berlaku pada suatu
komunitas tradisional, implementasi bentuk dan coraknya beragam sesuai dengan
tempat dimana ia berada, pengaruhnya dihasilkan dari kearifan lokal yang diwariskan
secara turun temurun oleh para pendahulu komunitas tradisional sesuai ketentuan adat
yang disepakati bersama. Semua bentuk arsitektur tradisional yang dibangun untuk
memenuhi kebutuhan secara spesifik menampung nilai-nilai, ekonomi dan gaya hidup
budaya yang memproduksinya. Kontinuitas Arsitektur dalam konteks arsitektur
tradisional berhubungan dengan ruang dan waktu, melibatkan masalah struktural,
tipologi, fungsional dan sosial dan memiliki beberapa bacaan dan interpretasi
(Philokyprou, 2009).

Arsitektur tradisional selalu abadi dan berkelanjutan dalam pengembangan
arsitektur sesuai dengan ruang dan fungsi karena bangunan tradisional yang diperoleh
merupakan bentuk akhir sebagai akibat dari ekstensi dan penambahan unit yang
mulanya kecil dalam rangka untuk memenuhi persyaratan temporal pemilik masingmasing. Penambahan dan perluasan biasanya dirancang dan dilaksanakan oleh
pengguna sendiri atau oleh beberapa pengrajin. Pengembangan diachronical dan
berbagai transformasi dari bentuk primitif yang lebih sederhana telah menyebabkan
penciptaan bentuk lebih kompleks dan jenis-jenis baru.

Universitas Sumatera Utara

16

Kebudayaan dan arsitektur berubah secara bersamaan. Masing-masing
perubahan dibagi tiga bagian yaitu; (1) Core element element yang lambat berubah
dan ini menjadi identitas pemilik arsitektur tersebut; (2) Peripheral element
merupakan bagian yang tidak terlalu penting dan mudah berubah atau berganti; (3)
New element elemen yang diadaptasi oleh pemilik kebudayaan dan menjadi bagian
baru pada arsitektur (Rapoport, 1990).
Ada 3 aspek yang dapat dijadikan tolak ukur untuk melihat perubahan
lingkungan fisik pemukiman yang membentuk suatu kesatuan sistem yaitu; (1)

Spasial system (Sistem spasial) yaitu berbagai aspek tolak ukur yang berkaitan
dengan organisasi ruang atau keruangan. Sistem ini mencakup ruang, orientasi ruang
dan pola hubungan ruang (pola spasial ruang); (2) Physical system (Sistem fisik)
yaitu berbagai aspek tolak ukur yang berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan
material-material yang digunakan dalam mewujudkan suatu fisik bangunan. Sistem
ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur, konstruksi atap, dinding dan
lantai; (3) Stylistic system (Sistem model) yaitu berbagai aspek tolak ukur yang
berkaitan dengan model atau langam yang mewujudkan bentuk. Sistem ini meliputi
fasade, bentuk pintu dan jendela, serta unsur-unsur lain baik didalam maupun di luar
bangunan (Habraken, 1987).
Elemen-elemen ruang dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu: (1) Fixed feature
element (Elemen fix) adalah elemen yang memiliki sifat statis atau bersifat tetap dan
tidak bisa dihilangkan, kebanyakan elemen-elemen arsitektur standart seperti dinding,

Universitas Sumatera Utara

17

plafon-plafon; (2) Semi-fixed feature (Elemen semi fix) adalah elemen yang memiliki
sifat bebas, merupakan ruang hasil dari perubahan seperti perabot rumah, tirai dan

perlengkapan lainnya; (3) Non-fixed feature (Elemen non fix) adalah elemen yang
memiliki sifat bebas merupakan ruang hasil dari perubahan, hal ini sangat terikat
dengan manusia sebagai penghuni suatu tempat, hubungan perpindahan ruangnya
(proxemics), posisi dan postur tubuh (kinesics) (Rapoport, 1982).
Berbagai jenis transformasi melibatkan perubahan tata letak penggunaan
ruang, perubahan fisik atau modifikasi struktur yang ada serta ekstensi, baik pada
rumah tangga secara individu maupun kelompok dimulai dari perubahan ini (Kellett,
1993). Sementara itu, perubahan fisik termasuk menambah dan reposisi pintu dan
jendela, menciptakan lantai tambahan, dan mengubah penampilan bangunan.
Perubahan tata ruang, seperti tata letak rumah, penggunaan ruang dan proporsinya,
dikategorikan sebagai perubahan morfologi. Perubahan ini secara sistematis
menekankan pentingnya koneksi yang kompatibel antara bentuk rumah dan gaya
hidup penghuni (Agustinadewi, 2014).
Konsep transformasi ini diklasifikasikan menjadi empat kategori: ekstensi,
baik vertikal atau horisontal, di mana hal ini disorot sebagai lantai tambahan,
perubahan

fisik,

seperti


penataan

ulang

tata

ruang,

menambahkan

atau

menghancurkan dinding interior, reposisi jendela dan pintu, mengubah rumah
perimeter, dan berpindah dari satu kamar ke kamar lain. Metode transformasi lainnya
adalah renovasi atau menghancurkan struktur rumah yang ada dan membangun yang

Universitas Sumatera Utara

18


baru, dan akhirnya mengubah penggunaan ruang yang berarti bahwa tidak ada
perubahan fisik dalam hal tata letak rumah, hanya perubahan dalam penggunaan
ruang yang ada untuk fungsi lainnya (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Konsep transformasi
NO
1

Kategori
Penambahan

Kegiatan Konstruksi
a. ekstensi vertikal: menambahkan satu atau lebih
lantai
b. ekstensi horisontal: mendapatkan lantai tambahan
horizontal di gedung yang sama, penambahan lantai
yang senyawa

2


Perubahan Fisik

penataan

ulang

tata

ruang,

menambahkan

atau

menghancurkan dinding interior, reposisi jendela dan
pintu, mengubah rumah perimeter, berpindah dari satu
kamar ke kamar lain, partisi interior, tergantung tirai
untuk membagi ruang, pengecatan, mengubah desain
kusen pintu dan jendela, menambahkan eksterior
dinding ke balkon dan beranda
3

4

Remodelling/

Menghancurkan

struktur

rumah

yang

ada

dan

Menghancurkan

membangun kembali

Mengubah

Mengubah penggunaan ruang tanpa konstruksi atau

penggunaan ruang perubahan terhadap tata letak rumah
Sumber: Agustinadewi, 2014

Universitas Sumatera Utara

19

Dari studi literatur di atas dapat dipahami bahwa dalam mengkaji perubahan
tata nilai dan bentuk arsitektur tradisional, diklasifikasikan menjadi beberapa aspek
seperti pada Tabel 2.2.
Tabel. 2.2 Tabel aspek kajian perubahan tata nilai dan bentuk rumoh Aceh
Aspek
Nilai Sosiokultural
(Adat Istiadat)

Sumber
(Rapoport, 1969)
(Altman dan Chemers, 1985)

Tipologi/Layout ruang
(Kellett, 1993)
Konfigurasi spasial
(Sueca, 2003)
Fungsi Ruang
Keempat hal ini menjadi variabel dan digunakan sebagai aspek dalam
penelitian ini untuk mengkaji perubahan tata nilai dan bentuk arsitektur tradisional
pada rumoh Aceh.
2.2

Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh

2.2.1

Sejarah rumoh Aceh
Sebelum agama Islam berkembang di Aceh, dapat diketahui dari sejarah

bahwa daerah ini sudah berabad-abad lamanya dipengaruhi oleh tradisi agama Hindu
dan Budha terutama di daerah lautan yang terletak di antara benua. Sedangkan di
pedalaman pengaruh animisme dan dinamisme masih sangat kuat (Arifin, 2016).
Bentukan rumoh Aceh yang kita kenal saat ini, merupakan hasil proses yang panjang

Universitas Sumatera Utara

20

dalam sejarah. Rumah yang juga merupakan produk karya manusia saat itu, tentu
dalam berproses tersebut terjadi semacam akulturasi, atau perubahan secara perlahan
seingga menyamai bentuknya yang sekarang (Mirsa, 2013).
Setelah Islam datang dan berkembang dengan pesat maka rumah orang Aceh
mengalami perubahan baik dari segi bentuk, letak dan fungsinya. Semua ini
didasarkan kepada ciri-ciri dari ajaran Islam yang dianutnya. Perkembangan Islam
rnencapai puncak keemasannya pada masa pemerintah Sultan Iskandar Muda yang
membawa pengaruh nyata terhadap perkembangan politik, budaya dan lain-lain.
Karena itulah bila diperhatikan dengan seksama, rumoh Aceh banyak mengandung
nilai-nilai Islam yang tercermin dalam hal bentuk, letak bangunan, maupun ukiran
yang terdapat di dalamnya.
Rumoh Aceh yang ada saat ini telah berakulturasi dengan ajaran Islam yang
juga menjadi landasan hidup bagi masyarakatnya sehingga memberi pengaruh
terhadap perubahan filosofi dari rumoh Aceh itu sendiri. Selanjutnya, rumoh Aceh
yang berkembang pada masa pengaruh Islam inilah yang menjadi acuan dalam
penelitan ini (Gambar 2.1).

± 300 SM-1400
SM - 1400
Pengaruh
Animisme

1400-1970
Pengaruh
Islam

1970–Saat ini
Pengaruh
Modernisme

Gambar 2.1 Masa pengaruh Islam pada rumoh Aceh (Arifin, 2016)

Universitas Sumatera Utara

21

2.2.2

Karakteristik rumoh Aceh
Arsitektur rumoh Aceh merupakan hasil karya cipta dari proses perubahan

kebudayaan yang sudah berlangsung sejak lama. Arsitektur rumoh Aceh berbentuk
panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk
adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Struktur rumah tradisi
yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan kepada penghuninya.
Rumoh Aceh yang kita kenal saat ini bukan sekadar tempat hunian, tetapi
merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam (Arif,
2015). Oleh karena itu, melalui rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup,
dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh
terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk
panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan,
dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan hasil kekayaan alam juga dapat dilihat ketika
mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan
paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Pada zaman dahulu,
dinding dan lantainya terbuat dari bilah bambu, sehingga dapat diikat atau di jalin
satu sama lain. Rumoh Aceh dikenal sebagai The earthquake resistant house (Rumah
tahan gempa), dan mampu bertahan hingga 200 tahun (Husin, 2003).
Rumah Aceh dibangun dengan sistem konstruksi bangunan yang dapat
dipindah-pindah dan dapat dibongkar. Sistem konstruksi itu menggunakan tiang-tiang

Universitas Sumatera Utara

22

dan gelagar yang saling dihubungkan dan dikancing dengan pasak dari bambu. Untuk
unsur-unsur bangunan yang kecil dipakai sistem ikatan dengan tali rotan, ijuk dan
lain sebagainya. Merencanakan rumah disini dimulai dengan menentukan titik-titik
bagi tiang-tiangnya. Jadi tiang-tiang merupakan titik-titik yang menentukan
(Samingoen, 1983).
Membangun sebuah rumah biasanya dimulai dengan memilih waktu yang
tepat dan secara hati-hati. Pekerjaan selalu diawali dengan mendirikan dua buah tiang
utama dengan kayu silang penyangga yang menghubungkan kedua tiang itu. Apabila
kegiatan tersebut sedang berlangsung, maka secara berulang-ulang berbagai doa dan
mantera diucapkan. Saat rumah telah selesai dibangun, kedua tiang utama ini akan
tegak di tengah juree dan disebut tiang raja dan tiang putroe (pangeran atau puteri).
Untuk tiang raja dan tiang putroe ini dipilih jenis kayu yang paling kuat dan baik.
Pertama-tama akan didirikan tiang raja baru kemudian tiang putroe didirikan di
sampingnya. Pada suatu upacara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh,
maka mempelai pria akan didudukkan di sebelah tiang pangeran, sementara mempelai
wanita diberi tempat di bawah tiang putri. Jika upacara pada waktu mendirikan tiang
utama menunjukkan tanda-tanda baik untuk meneruskan pembangunan, maka nanti,
segera setelah rumah siap, kembali hari baik harus dipilih untuk memasuki atau
pindah ke rumah tersebut (Hurgronje, 1985).

Universitas Sumatera Utara

23

2.2.2.1 Nilai-nilai sosiokultural pada rumoh Aceh
Nilai-nilai sosiokultural yang terdapat pada rumoh Aceh berkaitan erat dengan
cara pandang atau kebiasaan hidup masyarakat aceh yang di ikat dalam hukum adat–
istiadat. Setelah Agama Islam masuk ke Aceh yang kemudian berkembang dan
diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh, nilai-nilai sosikultural pada rumoh Aceh
menyesuaikan dengan norma-norma islam yang berlaku. Nilai-nilai sosiokultural
yang terdapat pada rumoh Aceh adalah sebagai berikut:
1. Adat membangun dan menempati rumoh Aceh
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun
kehidupan itu sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar dalam melakukan
pembangunan rumah haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan
melalui

beberapa

tahapan.

Persyaratan

yang

dilakukan

sebelum

mendirikan rumah misalnya pemilihan hari baik yang dilakukan oleh
Teungku (Ulama setempat), syukuran kenduri, pengadaan kayu pilihan
dan sebagainya.
Selain itu, musyawarah dengan keluarga dan meminta saran kepada
Teungku

(Ulama

mendirikan

rumah

setempat)

dan

merupakan

bergotongroyong

upaya

untuk

dalam

menumbuhkan

proses
rasa

kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas sesama, dan penghormatan
kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama permasalahan dapat di
atasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah

Universitas Sumatera Utara

24

dari Teungku (Ulama setempat) diharapkan rumah yang dibangun dapat
memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.
Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan Hindu dan Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya
unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang di
anggap keramat. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh
dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat
pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak
mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika
rumah sudah siap untuk dihuni/ditempati (Mirsa, 2013). Adapun kegiatankegiatan yang dilakukan pada setiap tahapan upacara adat mendirikan
rumoh Aceh adalah sebagai berikut:
a. Upacara pengambilan bahan dari hutan
Sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh seperti tiang dan papan
dibuat didalam hutan dimana baha-bahan tersebut diambil, tujuannya
agar mempermudah pada saat diangkut. Dalam rangka pengangkutan
kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan
upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong royong
dengan mengundang sanak famili beserta warga. Setiap upacara
tersebut disertai dengan pemotongan hewan kurban seperti sapi,

Universitas Sumatera Utara

25

kerbau, kambing dan sekurang-kurangnya pemotongan ayam atau itik.
Tujuan dari pemotongan hewan kurban tersebut adalah untuk
menghindari

terjadinya

berbagai

kemungkinan

yang

dapat

menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan untuk
rumah yang ingin dibanun tesebut.
Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan
bumi ini baik yang berada di darat ataupun di laut terdapat semacam
makhluk halus yang menjaga atau menguasai. Untuk memasuki hutan
dan mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan yang
berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia
memberikan keizinannya. Salah satu cara ntuk memperoleh keizinan
penguasa hutan tersebut dengan cara menyembelih hewan kurban.
b. Upacara mendirikan rumah
Pada saat melakukan upacara mendirikan rumoh Aceh ada dua
kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama upacara Tanom Kurah
dan yang kedua upacara Peusijuk. Upacara Tanom Kurah adalah
sejenis upacara perletakan batu pertama, dalam upacara ini dilakukan
penanaman kurah persis ditengah-tengah tempat di mana rumoh Aceh
akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan pada malam hari, tepat
pukul 24.00 wib. Hal ini menurut kepercayaan orang Aceh dapat
membawa ketentraman dan kebahagian bagi penghuni rumah itu,

Universitas Sumatera Utara

26

terutama sekali menyangkut kenyamanan tidur pada malam hari.
Sedangkan upacara Peusijuk dilaksanakan pada pagi harinya oleh
pemilik rumah itu sendiri atau bisa juga diwakilkan oleh Tengku
(Imam Mesjid/Imam Mushalla). Kegiatan pokok dalam upacara ini
adalah penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu
akan dibangun, sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran
terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah dipersiapkan
sebelumnya di tempat itu. Dalam upacara ini juga diadakan pembacaan
doa yang biasanya dipimpin oleh Tengku. Doa ini merupakan sikap
menyerahkan diri kepada Allah SWT, serta memohon agar
pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baik dan diharapkan
dapat

membawa

berkah,

ketenangan

serta

ketentraman

bagi

penghuninya.
c. Upacara ketika menempati rumah baru
Setelah bangunan rumoh Aceh selesai dibangun, masih ada dua
upacara lagi yang harus dilaksanakan oleh pemilik rumoh Aceh yaitu:
upacara Peusijuk Utoh (Tukang) dan upacara kenduri E’ Rumoh Baro
(upacara menempati rumah baru). Upacara peusijuk utoh (penepung
tawaran tukang) adalah sebagai ucapan terimakasih pemilik rumah
kepada tukang yang telah melaksanakan pengerjaan rumahnya dengan
baik hingga siap untuk ditempati. Sedangkan upacara kenduri E’

Universitas Sumatera Utara

27

rumoh baro adalah upacara syukuran yang diselenggarakan pemilik
rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya
dilaksanakan setelah selesai shalat mahgrib dirumah baru yang hendak
ditempati. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan doa oleh Tengku
Imam setempat.
2. Hukum waris (faraidh) rumah
Rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau
ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di praé (faraidh-hukum waris). Adat ini telah ada di Aceh semenjak Putroe
Phang isteri Sultan Iskandar Muda membuat qanun tersebut di abad ke 17
(Hurgronje, 1985). Qanun ini melindungi kehidupan seorang janda,
sehingga bila seorang isteri diceraikan oleh suaminya, maka janda tersebut
memiliki rumah yang dibuat oleh sang suami. Itu sebabnya isteri di dalam
bahasa Aceh disebut ”peurumoh” (yang punya rumah). Jika seorang
suami meninggal dunia, maka rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak
perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai
anak perempuan. Anak-anak perempuan setelah menikah akan tetap
tinggal di rumah ibunya, di mana sebuah juree dipersiapkan untuk mereka,
atau sebuah rumah lain khusus dibangun untuk mereka di atas tanah dalam
pekarangan rumah asal.

Universitas Sumatera Utara

28

Berdasarkan kajian dari studi literatur di atas mengenai nilai-nilai
sosiokultural pada rumah tradisional Aceh, dapat diuraikan nilai-nilai sosiokultural
yang berlaku pada rumoh Aceh yang menjadi acuan dalam penelitian ini (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Nilai-nilai sosiokultural yang berlaku pada rumoh Aceh
Nilai-nilai

Keterangan

Adat membangun dan

Dalam membangun dan menempati rumoh Aceh

menempati rumoh Aceh

ada beberapa upacara adat yang dilakukan:
1. Upacara pengambilan bahan
2. Upacara membangun rumah
3. Upacara menempati rumah

Hukum kepemilikan rumoh

Rumah dan perkarangan akan menjadi hak istri

Aceh (Waris/Faraidh)

dan anak perempuan.

2.2.2.2 Tipologi ruang rumoh Aceh
Wujud rumoh Aceh merupakan manifestasi dari kearifan lokal dalam
menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Kecerdasan
masyarakat Aceh dalam menyikapi alam dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang
menghadap ke utara dan selatan sehingga rumoh Aceh membujur dari timur ke barat.
Arah rumah yang menghadap ke Utara-Selatan dimaksudkan agar sinar matahari
lebih mudah masuk kekamar-kamar baik yang berada disisi timur ataupun disisi barat
(Gambar 2.2).

Universitas Sumatera Utara

29

Gambar 2.2 Arah orientasi rumoh Aceh (Mirsa, 2013)

Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapat justifikasi
keagamaan. Hal itu dikarenakan dalam perkembangannya orientasi rumoh Aceh
dalam perkampungan seperti sekarang ini dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh
membuat garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (Gambar 2.3). Orientasi rumah
menghadap utara-selatan dan membujur timur-barat juga berkembang menjadi sebuah
aturan yang harus dipatuhi dalam menempatkan posisi rumah yang akan dibangun
dan ditempati oleh masyarakat Aceh nantinya. Aturan tersebut tidak tertulis, namun
masyarakat Aceh meyakini hal ini dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
mereka hingga saat ini.

Universitas Sumatera Utara

30

Gambar 2.3 Orientasi beberapa rumoh Aceh dalam perkampungan (Mirsa, 2013)
d

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang besarnya tergantung pada
banyaknya ruweueng (ruang). Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga
sepuluh ruang. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh
dengan lima ruang memiliki 24 tiang (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Rumoh Aceh dengan jumlah 24 tiang (Hurgronje, 1985)

Universitas Sumatera Utara

31

Modifikasi dari tiga menjadi lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan
dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di
sisi Barat atau Timur rumah. Pengaruh keyakinan terlihat pada penggunaan tiangtiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu
ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Beranda muka disebut seuramoë keue (karena di sini ditempatkan tangga
masuk, disebut juga seuramoë rinyeuen), serambi belakang disebut seuramoë likot.
Bagian utama rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada
lantai serambi. Bagian utama rumah ini disebut tungai. Pada bagian Tungai ini
terletak dua bilik (kamar tidur), yaitu rumoh Inong dan anjông (Gambar 2.5). Rumoh
inong adalah bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjông adalah bilik untuk
anak perempuan (Arif, 2015).

Gambar 2.5 Denah Rumoh Aceh (Arif, 2015)

Universitas Sumatera Utara

32

2.2.2.3 Konfigurasi spasial pada rumoh Aceh
Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar
semua orang taat pada aturan (nilai-nilai). Dari segi Agama, konsep rumoh Aceh
adalah suci. Dampak dari konsep suci ini adalah adalah berkembangnya aturan tak
tertulis yang mengatur bahwa toilet tidak boleh berada didalam rumoh Aceh dan
harus dipisahkan dari rumah (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Rumoh Aceh dengan posisi toilet berada diluar dari rumah Aceh
(Hurgronje, 1985)
Dalam kehidupan masyarakat tradisional rumah dianggap sebagai bentuk
mikro kosmos sebagai penjelmaan dari bentuk makro kosmos (alam raya) yang
terbagi atas tiga bagian yaitu: a. Dunia atas, adalah daerah suci sebagai tempat para
leluhur; b. Dunia tengah, adalah daerah yang dihuni oleh manusia; c. Dunia bawah,
adalah daerah kotor yang biasanya dihuni oleh binatang (Moerdjoko, 2006).

Universitas Sumatera Utara

33

Oleh karena hal tersebut, ada kaitannya peletekan toilet yeng merupakan bagian yang
dianggap kotor oleh masyarakat tradisional diletakkan dibagian bawah rumah dan
terpisah dari rumah.
Peletakan toilet pada rumoh Aceh diletakan terpisah dari rumah dengan tujuan
menjaga kesucian rumah karena rumah juga berfungsi sebagai tempat ibadah pemilik
rumah dan juga bagi tamu yang datang. Ibadah seperti shalat berjamaah dan
pengajian sering dilakukan pada seuramoe keu (serambi depan). Oleh karenanya,
untuk menjaga kesucian rumoh Aceh sebelum menaiki rumah pemilik atau tamu
diharuskan membasuh kaki dengan air yang tersedia dalam gentong air disamping
tangga naik.
Konfigurasi penggunaan ruang pada rumoh Aceh dibedakan terhadap
pengguanaan ruang berdasarkan pembatasan kegiatan baik untuk kaum laki-laki
maupun perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya bagian ruang yang
berfungsi sebagai ruang kegiatan kaum perempuan, seperti rumoh inong (kamar
khusus perempuan), ruang kegiatan laki-laki seperti seuramoe keu (serambi depan),
serambi belakang merupakan tempat yang didominasi wanita (Gambar 2.7). biasanya
pada bagian belakang rumah juga disediakan tangga khusus bagi kaum perempuan
atau bagi tetangga yang ingin sekedar bersosialisasi dengan pemilik rumah.

Universitas Sumatera Utara

34

Zona perempuan

Zona laki-laki

Gambar 2.7 Zona kegiatan perempuan dan zona laki-laki pada rumoh Aceh
(Arif, 2015)
Sementara bagi kaum laki-laki yang bukan anggota keluarga dekat hanya
diperbolehkan berkegiatan di seuramoe keu. Apabila di rumah tidak ada anggota
keluarga yang laki-laki, maka bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) dilarang
untuk naik ke rumah. Nilai-nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang
selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil dan keberadaan gentong air untuk
membasuh kaki setiap kali ingin masuk ke rumoh Aceh (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Posisi gentong air dan tangga pada rumoh Aceh (Mirsa, 2013)

Universitas Sumatera Utara

35

Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi
sebagai alat untuk naik kedalam rumah, tetapi tangga juga berfungsi sebagai titik
batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan keluarga atau saudara dekat.
Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga laki-laki, maka pantang (tabu) bagi tamu
yang bukan keluarga dekat untuk naik kerumah (Mirsa, 2013). Dengan demikian
reunyeun (tangga) juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan
interaksi sehari-hari antar masyarakat.
Untuk memuliakan posisi peurumoh dalam Adat Aceh, posisi kamar tidur
utama ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di lantai tertinggi.
Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen
dengan seuramoë likôt, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada rumoh dapu
(dapur) yang elevasi lantainya sejajar dan ada juga yang lebih rendah dari seuramoë
likôt. Dapat kita pahami bahwa, masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan
suatu hirarki. Secara fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di
tiap lantai ruangan. Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam Adat
Aceh sehingga menjadi demikian adanya.
Bagian ruang yang paling suci dari yang suci di dalam rumah adalah bagian
yang dapat disebut kamar yang sesungguhnya jureë, yaitu bagian yang dapat dicapai
melalui sebuah pintu yang tembus ke serambi belakang (Gambar 2.9). Di sinilah
pasangan suami isteri tidur, di tempat ini pula pertemuan pertama antara mempelai
laki-laki dan perempuan pada waktu mampleue, dan di sini juga keluarga yang

Universitas Sumatera Utara

36

meninggal dunia dimandikan. Kamar-kamar ini jarang dimasuki orang kecuali para
orang tua, anak-anak dan pembantu mereka (Hurgronje, 1985).

Gambar 2.9 Posisi juree pada rumoh Aceh
Selain orientasi rumoh Aceh dan letak toilet yang terpisah untuk menjaga
konsep suci, ruang-ruang dalam rumoh Aceh juga mendapat pengaruh dari
berkembangnya ajaran agama Islam. Hal ini terlihat dengan tidak tersedianya ruang
tidur untuk anak laki-laki dewasa pada rumoh Aceh. Anak laki-laki yang sudah
dewasa menghabiskan waktunya untuk belajar mengaji dan agama di meunasah
(tempat ibadah). Dengan demikian mereka lebih sering tinggal dan berkegiatan di
meunasah daripada dirumah.

2.2.2.4 Fungsi ruang pada rumoh Aceh

Adapun fungsi ruang dalam masing-masing memiliki fungsi sesuai dengan
susunannya masing-masing. Adapun fungsi ruang berdasarkan susunannya adalah
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

37

1. Bahagian bawah
Bahagian ini berbentuk kolong yang berada di bawah lantai (Gambar
2.10). Pada kolong didapati beberapa deretan tiang-tiang rumah yang
sejajar dari timur ke barat, yang terdini dari empat buah deretan, yaitu
banja keu (deretan depan), banja teungoh (deretan tengah depan) dan
banja likoet (deretan belakang). Di antara deretan tengah depan dan
deretan tengah belakang terdapat tiang raja dan tiang putri.

Gambar 2.10 Bagian bawah (Yup Moh) rumoh Aceh
Di kaki tangga rumah selalu ditaruh sebuah tempat air dari tanah atau
semacam guci, di sebelahnya sebuah tonggak dari kayu dipancangkan di
tanah di mana digantungkan sebuah gayung atau ember kecil (teuneulat
tima), sejumlah batu diletakkan agak teratur di dekatnya. Siapa pun yang
bermaksud masuk rumah, sejenak berdiri di atas batu-batuan tersebut,
menyiram air dengan gayung serta membasuh kakinya yang kotor atau
berlumpur hingga bersih (Hurgronje, 1985).

Universitas Sumatera Utara

38

2. Bahagian atas
Bahagian ini merupakan ruangan yang keseluruhannya berbentuk persegi
panjang, yaitu terbagi atas tiga ruangan antara lain:
a. Ruangan depan (seuramoe keu/seuramoe reunyeun)
Ruangan ini berbentuk polos, artinya pada ruangan ini tidak dibuat
lagi dinding penyekat atau pemisah menjadi bilik-bilik yang lebih
kecil (Gambar 2.11). Pintu juga dibangun pada bahagian ini yang
ukuran luasnya sekitar 0,8 meter dan tingginya 1.8 meter. Pada sisi
dinding depan sebelah kiri dan kanan pintu dibuat jendela (tingkap).
Biasanya hanya rumah yang berdinding papan yang mempunyai
jendela. Dengan demikan berarti serambi depan bersifat terbuka
sampai pula dengan fungsinya yang antara lain tempat menerima tamu
laki-laki, tempat mengaji dan belajar anak laki-laki, yang sekaligus
menjadi tempat tidur mereka dan kepentingan yang umum.
(Samingoen, 1984).

Gambar 2.11 Ruangan serambi depan (Keu) rumoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

39

b. Ruangan tengah (tungai)
Ruangan tengah (tungai) terletak antara serambi depan dan serambi
belakang. Ruangan ini (juree) terletak antara serambi muka dan
serambi belakang, yang tingginya 0,5 meter dari level posisi lantai
serambi depan dan serambi belakang. Pada ruangan ini biasanya
terdapat dua buah bilik sebagai tempat tidur (Gambar 2.12). Kedua
kamar ini masing-masing terletak di sebelah kanan atau kiri (timur
atau barat). Ruangan tengah (juree) antar bilik kamar ini dipisahkan
oleh gang (rambat) yang berfungsi sebagai jalan antara serambi depan
dan serambi belakang. Kamar sebelah barat (rumoeh inoeng) ditempati
oleh orang tua/kepala keluarga, dan di sebelah timur (rumoeh anjoeng)
ditempati oleh anak perempuan, jika anak perempuan lebih satu orang,
maka kepala keluarga terpaksa pindah ke belakang pada bahagian
barat, bila tidak mampu membuat rumah yang terpisah.

Gambar 2.12 Ruangan tengah (Tungai) rumoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

40

c. Ruangan belakang (seramoe likoet)
Sebagaimana halnya dengan ruangan depan maka ruangan belakang
ini tidak dibagi lagi menjadi ruangan yang lebih kecil. Ada juga yang
membangun ruangan ini sedikit lebih besar dari pada serambi depan
dengan cara menambahkan dua buah tiang pada bahagian timurnya.
Ruang tamhahan ini sering disebut anjoeng atau ulee keude yang
sekaligus berfungsi sebagai dapur, yang terletak di sebelah timur dari
seramoe likoet (Gambar 2.13). Di atas dinding depan di bawah bara
bahagian luar biasanya atau perkakas dapur, yang disebut sandeng
(sanding). Terkadang masih ada penambahan terhadap ruang belakang
ini yaitu dengan cara memasang balok toi yang ujung bahagian
belakangnya lebih panjang 1.5 cm dari pada ukuran biasa. balok ini
menghubungkan tiang deretan tengah belakang dengan tiang deretan
belakang, bahagian yang ditambah ini biasa disebut tiphiek.
Kegunaannya sebagai tempat menyimpan kayu bakar.

Gambar 2.13 Ruangan serambi belakang (Likoet) rumoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

41

3. Bahagian atap/kap
Kebanyakan atap rumah adalah atap yang berabung (tampong) satu.
Bahagian kap terletak dibagian atas ruangan tengah yang memanjang dari
samping kiri ke kanan, sedangkan cucuran atasnya berada di bahagian
depan dan belakang rumah. Rabung rumah atau tampong berada
dibahagian atas serambi tengah, terdapat juga loteng yang berfungsi
sebagai tempat untuk menyimpan barang-barang yang diperlukan
(Gambar 2.14). Atap rumoh Aceh biasanya dibuat dari oen meuria (daun
rumbia) yang dianyam dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

Gambar 2.14 Bahagian atap (Kap) Rumoh Aceh

Berdasarkan studi literatur yang telah dijelaskan di atas mengenai rumah
tradisional Aceh, dapat diuraikan beberapa hal yang menjadi karakteristik dari rumoh
Aceh. Adapun karakteristik dari rumoh Aceh yang menjadi acuan dalam penelitian
ini dijelaskan seperti pada Tabel 2.4.

Universitas Sumatera Utara

42

Tabel 2.4 Karakteristik Kunci Rumoh Aceh
Karakteristik

Gambar

Orientasi rumoh Aceh selalu menghadap utara
selatan. Sehingga membujur dari timur dan barat

Terbagai dalam 3 bagian
Kolong, dinding, atap

Ruangan terbagi dalam 3 ruangan besar: seuramoe
keu, seuramoe teungoh, seuramoe likoet

Lantai bagian teungah (juree) lebih tinggikan
(dianggap sebagai bagian paling suci dalam rumoh
Aceh)

Hanya terdapat kamar tidur orang tua (rumoh
Inong) dan anak perempuan (Anjong)

Universitas Sumatera Utara

43

Tabel 2.4 (Lanjutan)
Karakteristik

Gambar

Tidak terdapat kamar tidur anak laki-laki

Biasanya kamar mandi/wc terpisah dari rumoh
Aceh (diluar).

Terdapat kolong yang tersusun dari tiang-tiang
(biasa berjumlah 16, 20, 24 tiang)

Berdiri sendiri (tidak sambung menyambung)

Menggunankan material alam (dinding, lantai
dan tiang dari kayu, atap rumbia dan tali rotan
sebagai pengikat sambungan)

Universitas Sumatera Utara

44

2.3

Perkembangan Arsitektur Rumoh Aceh
Perkembangan rumoh Aceh hingga saat ini memperlihatkan terjadinya

perubahan baik itu pada nilai-nilai yang berlaku maupun dari segi bentuk dan fungsi
dari rumoh Aceh Itu sendiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh pergeseran sistem nilai
dan kebutuhan akan ruang baru untuk memenuhi aktivitas penghuninya. Berdasarkan
literatur-literatur ditemukan bahwa perkembangan dari rumoh Aceh berdasarkan
tahapan waktu dari tahun 1900-2016 ada tiga tipe rumoh Aceh yang sudah
bermodifikasi.
2.3.1

Tipe 1

Tipe ini adalah rumoh Aceh dengan bentuk asli namun sudah mengalami perubahan
pada layout ruang bagian dalam rumah. Perubahan yang terjadi tidak begitu
signifikan, hanya bersifat penambahan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan
(Gambar 2.15). Tipe ini mulai berkembang di awal tahun 1900-1940an. Pada masa
ini, material alami seperti kayu masih sangat mudah dijumpai. Oleh karenanya,
rumoh Aceh yang bekembng masih didominasi oleh material-materilam alami.

Gambar 2.15 Rumoh Aceh Tipe I

Universitas Sumatera Utara

45

2.3.2

Tipe 2
Tipe ini adalah rumoh Aceh yang sudah mengalami modifikasi dengan

perubahan yang bersifat penambahan ruang pada bagian belakang atau samping
rumah. Penambahan ruang dibangun langsung diatas permukaan tanah dan menyatu
dengan bangunan lama. Bangunan baru biasanya didominasi oleh material fabrikasi
(Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Rumoh Aceh Modifikasi Tipe 2
Pada tipe ini karakteristik dari rumoh Aceh asli masih dapat terlihat. Hal itu
terlihat jelas pada konsep kolong yang masih dipertahankan. Tipe rumoh Aceh
dengan model pengembangan seperti ini mulai berkembang pada tahun 1970-an. Pada
perkembangannya, rumoh Aceh tipe-2 ini mulai memadukan material alam dan
material fabrikasi.

Universitas Sumatera Utara

46

2.3.3. Tipe 3
Tipe ini adalah rumoh Aceh yang sudah mengalami modifikasi dengan
perubahan yang bersifat penambahan ruang baik itu pada bagian belakang, samping
dan bagian bawah rumah (Gambar 2.17). Penambahan ruang yang terjadi bersifat
permanen. Bangunan baru pada tipe ini merubah karakteristik dari rumoh Aceh. Tipe
ini mulai berkembang pada tahun 2000-an.

Gambar 2.17 Rumoh Aceh Modifikasi Tipe 3
Rumoh Aceh dengan pengembangan tipe 3 ini mulai terjadi saat bahan
material pabrikasi mulai masuk ke daerah Aceh. Hal itu juga dikarenakan pada tahun
2000-an, mendapatkan material kayu yang bagus untuk membangun rumoh Aceh
sangat sulit.

Universitas Sumatera Utara

47

2.4

Kerangka Teori
Setelah mengkaji beberapa teori dari studi literatur yang digunakan dalam

penelitian ini, maka kerangka teorinya dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.18.
Nilai-nilai dan Arsitektur
(Rapoport, 1969)

-

Arsitektur adalah refleksi dari perilaku atau pemanfaatan ruang; dengan kata lain,
itu adalah cerminan dari budaya.
Setiap elemen bangunan tradisional terbentuk sebagai manifestasi dari nilai-nilai
sosiokultural

(Altman dan Chemers, 1985)
lingkungan binaan merupakan hasil dari
perubahan manusia dan lingkungannya.
Dalam hal skala lingkungan, rumah
merupakan bagian yang sangat kecil.

Bentuk dan Arsitektur

(Rapoport, 1990)
perubahan arsitektur tradisional dibagi
tiga bagian yaitu (1) core element
element (2) peripheral element (3) new
element elemen

(Altman dan Chemers, 1985)
desain layout rumah masyarakat
dan bangunan umum sering
eksplisit mencerminkan nilai-nilai
keyakinan dan budaya.

(Sueca, 2003)
konfigurasi ruang tradisional tidak
lagi sesuai dengan nilai-nilai baru
dan gaya hidup. proses transisi
sosial budaya secara paralel
merubah nilai-nilai sosiokultural
pada rumah
fungsi, makna, dan konfigurasi
(Kellett et al, 1993)
transformasi bentuk melibatkan
perubahan tata letak penggunaan
ruang, perubahan fisik atau
modifikasi struktur yang ada serta
ekstensi (penambahan ruang)

Budaya dan Arsitektur

Gambar 2.18 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara