Dampak Perubahan Tick Size terhadap Likuiditas Saham (Studi Empiris pada Bursa Efek Indonesia Berdasarkan Tick Size 6 Januari 2014)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pasar modal merupakan bagian dari salah satu pasar keuangan. Pasar
modal mempertemukan pihak yang membutuhkan dana dan pihak yang
memberikan dana. Keberadaan pasar modal dalam era perekonomian modern
memberikan peran besar bagi perekonomian suatu negara. Selain sebagai fungsi
keuangan, pasar modal juga memiliki fungsi ekonomi, yaitu sebagai sarana
pemerataan pendapatan, penciptaan lapangan kerja, sumber pendapatan negara,
serta indikator perekonomian negara.
Bagi perusahaan yang sedang tumbuh, pasar modal mungkin adalah pasar
keuangan yang paling penting, karena kebutuhan mereka terhadap modal
meningkat drastis. Pada suatu titik, perusahaan akan memutuskan go public
dengan menerbitkan saham di bursa terorganisasi seperti New York Stock
Exchange (NYSE), National Association of Securities Dealers Automated
Quotations (Nasdaq), Tokyo Stock Exchange (TSE), Hong Kong Stock Exchange
(HKEX), dan berbagai bursa lain di dunia. Di Indonesia, bursa efeknya bernama
Bursa Efek Indonesia (BEI) atau Indonesia Stock Exchange (IDX).
BEI melakukan perubahan fraksi harga saham (tick size) dan satuan
perdagangan saham (lot size) pada 6 Januari 2014 berdasarkan surat keputusan

direksi PT Bursa Efek Indonesia nomor: Kep-00071/BEI/11-2013. Tick size
diartikan sebagai variasi harga minimum dalam aktivitas tawar menawar atas

1
Universitas Sumatera Utara

2

suatu efek yang ditentukan oleh bursa efek, sementara lot size diartikan sebagai
unit perdagangan minimum yang ditentukan oleh bursa efek. Mulai tanggal 6
Januari 2014, hanya ada tiga kelompok harga saham dengan tick size sebesar Rp
1, Rp 5, dan Rp 25 yang sebelumnya terdapat lima kelompok harga saham dengan
tick size sebesar Rp 1, Rp 5, Rp 10, Rp 25, dan Rp 50.

Tabel 1.1
Perubahan Tick Size Tanggal 6 Januari 2014
Kelompok Harga Saham
Fraksi Harga
Baru
Baru

< Rp 500
Rp 1
Rp 500 s/d < Rp 5.000
Rp 5
≥ Rp 5.000
Rp 25
Sumber: www.idx.co.id

Perubahan tick size kali ini juga diikuti dengan perubahan lot size. Di pasar
reguler sebelumnya, satu lot saham terdiri dari 500 lembar saham. Mulai 6 Januari
2014, satu lot saham terdiri dari 100 lembar saham.

Tabel 1.2
Perubahan Lot Size Tanggal 6 Januari 2014
Lot Size Lama
Lot Size Baru
500 lembar
100 lembar
Sumber: www.idx.co.id


Perubahan tick size ini bukanlah yang pertama kali terjadi di BEI. Pada
tanggal 3 Juli 2000, Bursa Efek Jakarta (BEJ) pernah melakukan perubahan tick
size dari Rp 25,00 menjadi Rp 5,00. Kemudian perubahan kembali dilakukan
tanggal 20 Oktober 2000 dari single tick size Rp 5,00 menjadi multi tick size, yaitu
Rp 5,00, Rp 25,00, dan Rp 50,00. Lima tahun berikutnya, yaitu tanggal 3 Januari
2005, BEJ melakukan perubahan tick size sebesar Rp 10,00 untuk kelompok harga

Universitas Sumatera Utara

3

saham Rp 500,00 – Rp 2.000,00 yang sebelumnya diperdagangkan dengan tick
size sebesar Rp 25,00. Dua tahun setelahnya, yaitu tanggal 2 Januari 2007, BEJ
kembali melakukan perubahan tick size sebesar Rp 1,00 dari yang sebelumnya Rp
5,00 untuk kelompok harga saham kurang dari Rp 200,00. Ringkasan sejarah
perubahan tick size di BEI dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Kelompok
Harga Saham
< Rp 200


Tabel 1.3
Sejarah Perubahan Tick Size di BEI
Fraksi Harga
Sebelum
3
20
3
3 Juli
Juli
Oktober Januari
2000
2000
2000
2005
Rp 25
Rp 5
Rp 5
Rp 5


2
Januari
2007
Rp 1

Rp 200 s/d < Rp 500

Rp 25

Rp 5

Rp 5

Rp 5

Rp 5

Rp 500 s/d < Rp
2.000
Rp 2.000 s/d < Rp

5.000
≥ Rp 5.000

Rp 25

Rp 5

Rp 25

Rp 10

Rp 10

Rp 25

Rp 5

Rp 25

Rp 25


Rp 25

Rp 25

Rp 5

Rp 50

Rp 50

Rp 50

Sumber: www.idx.co.id

Perubahan tick size dan lot size ini didasarkan pada review rutin bursa
terhadap parameter mikro perdagangan terkait dengan likuiditas saham termasuk
tick size dan lot size. Likuiditas saham diartikan sebagai kemampuan suatu saham
untuk diperdagangkan dalam jumlah yang besar, dengan cepat, pada harga rendah,
tanpa mempengaruhi harga (Harris, 2003).

Dalam suatu pasar modal, karakteristik kualitas pasar tercermin pada
likuiditas saham, biaya transaksi, harga yang informatif, volatilitas, dan
keuntungan dari perdagangan. Berdasarkan kelima karakteristik tersebut, kondisi

Universitas Sumatera Utara

4

likuiditas saham adalah yang paling banyak menarik perhatian investor, karena
likuiditas saham berhubungan dengan implementasi strategi perdagangan dan
biaya transaksi yang dikeluarkan oleh investor.
Likuiditas saham merupakan fenomena yang tidak dapat diukur secara
langsung. Terdapat parameter-parameter yang digunakan untuk mengukur
likuiditas suatu saham, yaitu spread dan depth, namun kondisi likuiditas saham
dapat dilihat dari aktivitas perdagangan di bursa yang ditunjukkan dengan ratarata volume, nilai, dan frekuensi perdagangan harian.
Volume perdagangan adalah jumlah lembar saham yang diperdagangkan
pada periode tertentu. Volume perdagangan saham merupakan salah satu indikator
yang digunakan dalam analisis teknikal pada penilaian harga saham dan suatu
instrumen yang dapat digunakan untuk melihat reaksi pasar modal terhadap
informasi melalui parameter pergerakan aktivitas volume perdagangan saham di

pasar.
Nilai perdagangan adalah jumlah lembar saham yang beredar dikalikan
dengan harga pasar saham tersebut. Sementara frekuensi perdagangan adalah
jumlah transaksi yang terjadi pada suatu periode tertentu. Frekuensi perdagangan
juga merupakan salah satu indikator likuiditas suatu saham atau suatu bursa.
Saham dengan frekuensi transaksi yang tinggi mengindikasikan bahwa saham
tersebut aktif diperdagangkan. Tabel 1.4 menunjukkan rata-rata volume, nilai, dan
frekuensi perdagangan harian di BEI selama sembilan tahun terakhir.

Universitas Sumatera Utara

5

Tabel 1.4
Rata-rata Volume, Nilai, dan Frekuensi Perdagangan Harian di BEI
Tahun
Volume (Juta) Nilai (Milyar)
Frekuensi
(Ribu)
2007

4.226
4.269
49
2008
3.283
4.436
56
2009
6.090
4.046
87
2010
5.432
4.801
106
2011
4.873
4.953
113
2012

4.284
4.537
122
2013
5.503
6.238
154
2014
5.484
6.006
213
2015
5.928
5.764
222
Sumber: www.idx.co.id

Selanjutnya, penulis juga menyajikan rata-rata volume, nilai, dan frekuensi
perdagangan harian dalam bentuk grafik garis agar mempermudah secara visual
dalam melihat perubahan nilai-nilai tersebut secara year-on-year. Grafik rata-rata
volume, nilai, dan frekuensi perdagangan harian dapat dilihat pada Gambar 1.1,
Gambar 1.2, dan Gambar 1.3.

7,000
6,000
5,000
4,000
Volume (Juta)

3,000
2,000
1,000
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: www.idx.co.id (Data diolah)

Gambar 1.1
Grafik Rata-rata Volume Perdagangan Harian di BEI

Universitas Sumatera Utara

6

Pada Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa rata-rata volume perdagangan harian
di bursa menurun pada tahun 2010, 2011, dan 2012. Terdapat beberapa hal yang
diduga menjadi penyebab penurunan ini. Pertama, investor cenderung menahan
diri untuk melakukan transaksi karena tidak ada sentimen yang cukup kuat di
pasar saham. Kedua, investor yang sudah membeli saham cenderung menahannya
untuk jangka panjang karena berkurangnya kesempatan mengambil keuntungan di
tengah menipisnya fluktuasi harga saham. Ketiga, saat ini semakin banyak
perusahaan sekuritas yang tidak lagi memberikan fasilitas margin, atau pinjaman
dana kepada nasabahnya, sehingga nasabah hanya bisa melakukan pembelian
saham sesuai dengan ketersediaan dananya.

7,000
6,000
5,000
4,000
Nilai (Milyar)

3,000
2,000
1,000
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: www.idx.co.id (Data diolah)

Gambar 1.2
Grafik Rata-rata Nilai Perdagangan Harian di BEI

Pada Gambar 1.2 juga dapat dilihat bahwa rata-rata nilai perdagangan
harian tidak mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2007 hingga 2012.
Nilai perdagangan yang stagnant ini diduga karena investor cenderung menahan
diri untuk melakukan transaksi atau menahan saham yang sudah dibeli untuk
jangka panjang.

Universitas Sumatera Utara

7

250
200
150
Frekuensi (Ribu)

100
50
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: www.idx.co.id (Data diolah)

Gambar 1.3
Grafik Rata-rata Frekuensi Perdagangan Harian di BEI

Selanjutnya pada Gambar 1.3 dapat dilihat bahwa rata-rata frekuensi
perdagangan harian mengalami peningkatan setiap tahun. Berbeda dengan volume
dan nilai perdagangan, secara visual rata-rata frekuensi perdagangan harian justru
meningkat, namun peningkatan ini masih belum mencapai target yang ditetapkan
BEI. Sebagai contoh, pada tahun 2011 dan 2012, peningkatan rata-rata frekuensi
perdagangan harian hanya sebesar 6,6% dan 8%.
Terkait dengan kondisi aktivitas perdagangan harian di bursa selama
sembilan tahun terakhir, terdapat indikasi bahwa likuiditas saham di BEI
menurun. Hal-hal yang diduga menjadi penyebab penurunan likuiditas saham ini
adalah besarnya tick size dan lot size. Tick size yang besar membuat jarak (spread)
antara permintaan dan penawaran menjadi lebar, akibatnya banyak order yang
tidak tereralisasi. Banyaknya order yang tidak terealisasi ini mengakibatkan ratarata volume, nilai, dan frekuensi perdagangan harian menurun yang berdampak
terhadap penurunan likuiditas saham. Sebagai ilustrasi yang berkaitan dengan hal
ini, penulis menggunakan data perdagangan harian di BEI. Sebagai contoh, harga

Universitas Sumatera Utara

8

permintaan saham Bank Rakyat Indonesia (Kode Saham: BBRI) adalah Rp
7.700,00 sementara harga penawaran berada di level Rp 7.850,00, namun sampai
akhir penutupan hari perdagangan harga saham BBRI tidak menyentuh level Rp
7.700,00, maka order tersebut tidak akan match. Dengan kata lain, transaksi pada
harga Rp 7.700,00 tidak terealisasi.
Selain tick size yang besar, ukuran lot yang besar juga diduga menjadi
penyebab penurunan likuiditas saham. Besarnya lot size berhubungan dengan
arus jumlah investor retail dan perbaikan likuiditas (Ahn et al. 2014). Lot size
yang besar akan menghambat investor retail untuk membeli saham tertentu.
Sebagai ilustrasi yang berkaitan dengan hal ini, penulis menggunakan data
transaksi harian di BEI. Sebagai contoh, untuk mendapatkan 1 lot saham Unilever
Indonesia (Kode Saham: UNVR) pada harga Rp 27.050,00, investor harus
membayar sebesar Rp 13.525.000,00, namun dengan lot size yang lebih kecil,
investor bisa mendapatkan 1 lot saham UNVR dengan membayar sebesar Rp
2.705.000,00.
Tujuan dari perubahan ini adalah selain untuk meningkatkan likuiditas
saham, mengurangi biaya transaksi akibat besarnya bid-ask spread, dan membuat
pergerakan harga saham menjadi lebih smooth, terdapat tujuan lain yaitu, menarik
perusahaan-perusahaan domestik maupun asing untuk listing di bursa serta
menambah partisipasi masyarakat karena biaya investasi menjadi lebih terjangkau.
Berdasarkan data yang diperoleh dari BEI, jumlah akun rekening efek
yang tercatat per 7 Juni 2016 baru mencapai 488.655 akun atau setara dengan
0,19% dari jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2015 berdasarkan data yang

Universitas Sumatera Utara

9

diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Minimnya jumlah investor domestik
diduga karena minimnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat mengenai pasar
modal. Tidak hanya jumlah investor domestik yang masih sedikit, jumlah emiten
yang terdaftar di BEI juga masih sedikit jika dibandingkan dengan bursa-bursa
tetangga seperti Bursa Malaysia (KLSE), Singapore Stock Exchange (SGX), atau
Australia Stock Exhange (ASX), padahal semakin banyak jumlah emiten yang
terdaftar di BEI, maka semakin beragam pilihan saham yang dapat diinvestasikan
oleh investor.
Tabel 1.5
Jumlah Perusahaan Terdaftar di Bursa Efek Asia-Pasifik
(Per April 2016)
Exhange
Domestik
Asing
Total
Australia Securities Exchange
1.953
121
2.074
Bombay Stock Exchange India
5.928
1
5.929
Bursa Malaysia
892
10
902
Hong Kong Stock Exchange
1.801
93
1.894
Indonesia Stock Exchange
524
0
524
Japan Exchange Group
3.515
10
3.524
Korea Exchange
1.963
14
1.977
National Stock Exchange of India
1.805
1
1.806
Shanghai Stock Exchange
1.096
0
1.096
Shenzen Stock Exhange
1.766
0
1.766
Singapore Exchange
484
284
768
Taipei Exchange
689
32
721
Taiwan Stock Exchange
824
74
898
Stock Exchange of Thailand
642
0
642
Sumber: World Federation of Exchanges

Tabel 1.5 menyajikan perbandingan jumlah perusahaan yang terdaftar di
bursa efek-bursa efek di Asia-Pasifik. Jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI
sampai dengan April 2016 baru mencapai 524 emiten, jumlah ini masih tergolong
sedikit dibandingkan negara tetangga seperti malaysia, singapura, dan australia.

Universitas Sumatera Utara

10

Minimnya jumlah emiten di BEI diduga karena kurangnya pemahaman mengenai
pasar modal dan masih dominannya pembiayaan yang bersumber dari perbankan.
Perubahan tick size tidak hanya terjadi di BEI, selama dua dekade ini
beberapa bursa efek di dunia juga telah melakukan perubahan tick size, seperti
Singapore Stock Exchange (SGX), Bursa Malaysia (KLSE), Stock Exchange of
Thailand (SET), Korea Stock Exchange (KRX), Hong Kong Stock Exchange
(HKEX), Taiwan Stock Exchange (TSE), Tunis Stock Exchange (BVMT),
Stockholm Stock Exchange (SSE), New York Stock Exchange (NYSE), dan
berbagai bursa lainnya. Semua bursa yang telah disebutkan memiliki satu
kesamaan, yaitu memperkecil ukuran tick minimum.
Perubahan tick size ini pun menjadi topik yang menarik untuk diteliti baik
di kalangan akademisi maupun praktisi. Studi-studi mengenai tick size telah
banyak dilakukan di berbagai bursa di dunia. Dabbou (2013) menganalisis
dampak perubahan tick size di Stock Echange of Tunis pada tahun 2007 terhadap
karakteristik pengembalian, likuiditas saham, dan strategi order yang diadopsi
oleh investor. Gerace et al. (2012) menganalisis dampak perubahan tick size di
Hong Kong Stock Exchange (HKEX) pada tahun 2005 terhadap spreads, depths,
dan volume perdagangan. Hsieh et al. (2010) menganalisis dampak perubahan tick
size di Taiwan Stock Exchange (TSE) pada tahun 2005 terhadap komponen
volatilitas saham. Pavabutr dan Prangwattananon (2009) menganalisis dampak
perubahan tick size di Stock Exchange of Thailand (SET) pada tahun 2001
terhadap bid-ask spreads, depths, dan volume perdagangan. Bennemark dan Chen

Universitas Sumatera Utara

11

(2007) menganalisis dampak perubahan tick size terhadap kualitas pasar di
Stockholm Stock Exchange pada tahun 2006.
Peristiwa perubahan tick size di New York Stock Exchange (NYSE)
merupakan fenomena yang paling banyak menarik perhatian para peneliti, seperti
Wu et al. (2011), Vuorenmaa (2010), Bacidore et al. (2003) dan Bessembinder et
al. (2002) yang menganalisis perubahan tick size di NYSE pada tahun 2001.
Sebelumnya Chung dan Chuwonganant (2002), Jones dan Lipson (2001), dan
Goldstein dan Kavajecz (2000) juga menganalisis perubahan tick size di NYSE
pada tahun 1997.
Studi-studi mengenai tick size di BEI juga pernah dilakukan. Rikumahu
dan Isynuwardhana (2014) menganalisis dampak perubahan tick size terhadap
likuiditas saham. Mereka membandingkan likuiditas saham-saham yang
mengalami perubahan tick size bukan karena kebijakan BEI melainkan karena
aktivitas perdagangan harian. Setyawasih (2011) menganalisis dampak perubahan
tick size pada tahun 2007 terhadap kualitas pasar dan determinan likuiditas saham.
Ekaputra dan Ahmad (2007) menganalisis dampak perubahan tick size pada tahun
2005 terhadap likuiditas saham dan order strategy. Arfinto (2005) menganalisis
perubahan tick size pada Oktober 2000 dari yang sebelumnya menganut single tick
size menjadi multi tick size. Sebelumnya Purwoto dan Tandelilin (2004)
merupakan peneliti yang pertama kali menganalisis dampak perubahan tick size di
BEI pada Juli 2000 terhadap likuiditas saham dan aktivitas perdagangan.
Secara spesifik, perubahan tick size dalam hal ini menjadi lebih kecil
memiliki dampak terhadap biaya transaksi yang dikeluarkan investor dan order

Universitas Sumatera Utara

12

strategy yang diimplementasikan investor. Karena tick size menetapkan batas
bawah dari bid-ask spread yang dapat di-quote, perubahan tick size dalam hal ini
menjadi lebih kecil akan menurunkan spread (Purwoto dan Tandelilin, 2004).
Tick size yang lebih kecil membuat spread antara permintaan dan penawaran
menjadi sempit. Spread memiliki keterkaitan dengan biaya yang dikeluarkan
investor untuk mengajukan market order, dengan kata lain tick size yang lebih
kecil menjadikan biaya eksekusi untuk memilih market order menjadi lebih
murah.
Variasi harga minimum juga mempengaruhi kedalaman pasar yang
ditampilkan (displayed market depth). Variasi harga minimum menentukan biaya
minimum untuk mengakuisisi order yang memiliki hak lebih tinggi (order
precedence) melalui prioritas harga (price priority) ketika time precedence
ditegakkan (Harris, 1994). Apabila tick size terlalu kecil aturan time priority
menjadi tidak berarti dan masalah quote-macthers akan muncul (Purwoto dan
Tandelilin, 2004). Quote-matchers atau front-runner traders selalu mengambil
keuntungan dari informasi yang terkandung pada suatu order. Ketika suatu limit
order yang besar muncul di bursa, quote-matchers memiliki dorongan untuk selalu
berusaha melangkah di depan order yang sudah ada. Oleh sebab itu, informed
traders akan mempertahankan diri mereka dari quote-matchers dengan
menyembunyikan order mereka dengan cara memisah-misahkan order mereka
dan beralih dari strategi limit order ke strategi market order. Hal tersebut
mengakibatkan depth yang lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara

13

Para peneliti telah menunjukkan bahwa tick size yang lebih kecil akan
menurunkan bid-ask spread, namun studi-studi yang meneliti dampak tick size
terhadap dimensi likuiditas kunci lainnya seperti realized market depth dan speed
of quote revision terbatas. Spread hanyalah salah satu dimensi likuiditas.
Likuiditas memiliki aspek harga (spread) dan aspek kuantitas (depth) (Ahn dan
Cheung, 1999). Ketika tick size menurun demikian pula manfaat time priority
rules dan dorongan yang diberikan dengan adanya front-runner traders, investor
lebih enggan untuk menunjukkan order mereka dan lebih agresif untuk
mengkonsumsi market order yang mengarah pada order book yang lebih tipis
(Allen dan Sudiman, 2009).
Literatur mengenai market microstructure telah mencatat bahwa spread
adalah fungsi dari harga saham, volatilitas pengembalian saham, dan aktivitas
perdagangan saham. Beberapa studi juga menggunakan faktor-faktor ini untuk
menjelaskan dan mengontrol perubahan pada depth. Penelitian ini juga
menggunakan ketiga variabel tersebut sebagai faktor-faktor yang menentukan
spread dan depth.
Aitken dan Frino (1996) mengemukakan dua alasan mengenai hubungan
antara spread dan tingkat harga saham. Pertama, bid-ask spread absolute
berbanding lurus dengan harga saham. Hal tersebut pertama kali dinyatakan oleh
Demsetz (1968) yang berpendapat bahwa peluang arbitrase akan ada jika spread
per dollar dari saham yang ditransaksikan adalah tidak sama untuk saham dengan
harga rendah dan tinggi, ceteris paribus. Lebih lanjut, hal ini menyiratkan
hubungan proporsional langsung antara bid-ask spread dan harga saham. Pada

Universitas Sumatera Utara

14

gilirannya hal tersebut menunjukkan kelayakan menggunakan percentage spreads
(yang secara sederhana absolute spreads ditingkatkan oleh tingkat harga saham)
sebagai variabel dependen. Percentage spreads juga disukai karena percentage
spreads memudahkan perbandingan cross-sectional dari bid-ask spreads.
Penjelasan kedua, bahwa tingkat harga saham berbanding terbalik dengan
percentage bid-ask spreads. Aturan variasi harga minimum menetapkan langkah
harga minimum di mana suatu order dapat ditempatkan di samping order lain dari
harga yang berbeda, dan karenanya menentukan minimum bid-ask spreads.
Alasan lain untuk menggunakan variabel harga sebagai variabel penjelas
untuk percentage spreads adalah terkait dengan biaya pemrosesan order tetap
(fixed order processing costs). Pada saham dengan harga lebih tinggi, biaya
pemrosesan order tetap investor akan tersebar di nilai perdagangan yang lebih
besar. Diasumsikan bahwa spreads mencerminkan bagian dari biaya pemrosesan
order, biaya pemrosesan per dollar yang diinvestasikan yang lebih rendah
seharusnya mengarah pada spreads yang lebih rendah. Kedua penjelasan tersebut
menunjukkan hubungan negatif antara percentage spreads dan harga saham dalam
setiap segmen tick minimum.
Volatilitas pengembalian saham sebagai faktor yang menentukan bid-ask
spread dapat ditelusuri dari penelitian Setyawasih (2011), Pavabutr dan
Prangwattananon (2009), Ekaputra dan Ahmad (2007), Purwoto dan Tandelilin
(2004) dan Aitken dan Frino (1996). Pada periode volatilitas harga tinggi,
informed traders disajikan dengan kesempatan akan keuntungan dengan
mengorbankan less informed atau liquidity traders. Sebagai hasilnya, liquidity

Universitas Sumatera Utara

15

traders akan menuntut pengembalian yang lebih tinggi untuk mengkompensasi
mereka dari risiko kerugian yang terkait dengan perdagangan dengan informed
traders. Pengembalian yang lebih tinggi ini diperoleh traders melalui pengaturan
spread yang lebih lebar, maka bisa dikatakan bahwa spread dan volatilitas
pengembalian saham memiliki hubungan positif.
Aitken dan Frino (1996) menyatakan bahwa limit order yang lebih tipis
akan memiliki kemungkinan eksekusi yang rendah. Sebagai hasilnya, kecil
kemungkinan pelaku pasar untuk mengajukan limit order, sehingga mengurangi
tekanan pada spread, maka dapat dikatakan terdapat hubungan terbalik antara
spread dan aktivitas perdagangan dalam hal ini frekuensi perdagangan, ceteris
paribus.
Harris (1994) mengemukakan argumen mengenai hubungan harga saham,
volatilitas pengembalian, dan frekuensi perdagangan dengan depth. Apabila
liquidity supplier khawatir terhadap quote matcher atau apabila tick yang besar
membuat penawaran likuiditas menjadi menguntungkan, diperkirakan harga
saham memiliki hubungan negatif dengan depth. Volatilitas pengembalian saham
mengukur ketidakpasatian harga saham, sehingga volatilitas pengembalian saham
seharusnya memiliki hubungan negatif dengan depth karena dealers adalah risk
averse. Frekuensi perdagangan saham merupakan salah satu ukuran aktivitas
perdagangan, oleh karena itu frekuensi perdagangan seharusnya memiliki
pengaruh positif terhadap depth.
Berdasarkan telaah terhadap penelitian-penelitian terdahulu, maka
penelitian ini menjadi penting dalam dua hal. Pertama, penelitian ini bertujuan

Universitas Sumatera Utara

16

untuk mengembangkan penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan di bursa
US dan Canada untuk diaplikasikan di BEI yang didesain tanpa market maker
atau liquidity supplier. Bagaimanapun, sistem dan mekanisme perdagangan di BEI
berbeda dengan bursa-bursa di US dan Canada. BEI adalah bursa dengan sistem
order driven market yang didesain tanpa market maker atau liquidity supplier.
Kedua, penelitian ini bermaksud untuk melengkapi penelitian-penelitian terdahulu
yang pernah dilakukan di BEI. Bagaimanapun, perubahan tick size kali ini juga
diikuti dengan perubahan lot size.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi yang telah diuraikan pada
bagian latar belakang, yaitu adanya indikasi penurunan likuiditas saham di BEI,
besarnya rasio antara order dan trade, serta perbedaan hasil penelitian-penelitian
sebelumnya mengenai dampak perubahan tick size terhadap likuiditas saham, oleh
karena itu penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada spread sebelum dan setelah
perubahan tick size?
2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada depth sebelum dan setelah
perubahan tick size?
3. Apakah harga saham, volatilitas pengembalian saham, dan frekuensi
perdagangan saham secara simultan berpengaruh signifikan terhadap spread?
4. Apakah harga saham secara parsial berpengaruh signifikan terhadap spread?
5. Apakah volatilitas pengembalian saham secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap spread?

Universitas Sumatera Utara

17

6. Apakah frekuensi perdagangan saham secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap spread?
7. Apakah harga saham, volatilitas pengembalian saham, dan frekuensi
perdagangan saham secara simultan berpengaruh signifikan terhadap depth?
8. Apakah harga saham secara parsial berpengaruh signifikan terhadap depth?
9. Apakah volatilitas pengembalian saham secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap depth?
10. Apakah frekuensi perdagangan saham secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap depth?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menjawab latar belakang serta rumusan
masalah. Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Menganalisis perbedaan pada spread sebelum dan setelah perubahan tick size
2. Menganalisis perbedaan pada depth sebelum dan setelah perubahan tick size
3. Menganalisis pengaruh harga saham, volatilitas pengembalian saham, dan
frekuensi perdagangan saham secara simultan terhadap spread
4. Menganalisis pengaruh harga saham secara parsial terhadap spread
5. Menganalisis pengaruh volatilitas pengembalian saham secara parsial terhadap
spread
6. Menganalisis pengaruh frekuensi perdagangan saham secara parsial terhadap
spread
7. Menganalisis pengaruh harga saham, volatilitas pengembalian saham, dan
frekuensi perdagangan saham secara simultan terhadap depth

Universitas Sumatera Utara

18

8. Menganalisis pengaruh harga saham secara parsial terhadap depth
9. Menganalisis pengaruh volatilitas pengembalian saham secara parsial terhadap
depth
10. Menganalisis pengaruh frekuensi perdagangan saham secara parsial terhadap
depth

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil

penelitian

diharapkan

berguna

bagi

pihak-pihak

yang

berkepentingan, khususnya mengenai perubahan tick size di BEI. Pihak-pihak
tersebut antara lain:
1. Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan bagi
penulis mengenai pasar modal, khususnya yang berkaitan dengan perubahan
tick size dan lot size serta pengaruhnya terhadap likuiditas saham.
2. Investor
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan dan bahan
pertimbangan dalam menyusun strategi dan mengambil keputusan berinvestasi
di BEI. Bagi calon investor, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemilihan saham.
3. Bursa Efek Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih untuk mengevaluasi
kebijakan mengenai perubahan tick size dan lot size apakah telah sesuai
dengan harapan dan tujuan juga sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan kebijakan selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

19

4. Peneliti Lain
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk mendukung
penelitian lebih lanjut khususnya yang berkaitan dengan perubahan tick size
dan lot size.

Universitas Sumatera Utara