Gambaran Kasus Abses Leher Dalam Departemen THT-KL di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan
fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan
meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia
servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di
bagian inferior mandibula (Gadre AK, Gadre KC, 2006).
Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut modifikasi dari
Hollingshead berdasarkan penampang panjang leher yaitu ruang retrofaring,
danger space, ruang prevertebral dan ruang viseral vaskular. Berdasarkan
lokasinya di atas atau di bawah tulang hyoid. Ruangan yang berada di atas
tulang Hyoid, dibagi menjadi ruang submandibula, ruang parotis, ruang
peritonsil, ruang mastikator, ruang parafaring dan ruang temporal. Sedangkan
yang terdapat di bawah os hyoid terdiri dari ruang pretrakea dan ruang
suprasternal (Quinn FB, Buyten J, 2005).


Universitas Sumatera Utara

6

Gambar 2.1 Potongan aksial leher setinggi orofaring (Gadre AK, Gadre KC,
2006)

Gambar 2.2 Potongan obliq leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006)
Fasia

superfisial

terletak

dibawah

dermis.

Ini


termasuk

sistem

muskuloapenouretik,yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagiandari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan (Gadre AK, Gadre KC,
2006; Abshirini H, 2010), yaitu
1. lapisan superfisial
2. lapisan tengah
3. lapisan dalam
2.1.1 Ruang potensial leher dalam
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan
daerahsepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid .
A. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
1) ruang retrofaring
2) ruang bahaya (danger space)
3) ruang prevertebra.

Universitas Sumatera Utara


7

B. Ruang suprahioid terdiri dari:
1) ruang submandibula
2) ruang parafaring
3) ruang parotis
4) ruang mastikor
5) ruang peritonsil
6) ruang temporalis
C. Ruang infrahioid : ruang pretrekeal (Gadre AK, Gadre KC, 2006;Murray
A.D, Marcincuk M.C, 2010).

Gambar 2.3 Potongan Sagital Leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006).
2.2 Definisi Abses Leher Dalam
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavum jaringan karena terjadinya proses infeksi
,paling sering bakteri dan parasit. Selain itu , dapat juga disebabkan oleh
adanya benda asing seperti : serpihan , jarum dan sebagainya. Proses ini


Universitas Sumatera Utara

8

merupakan mekanisme pertahanan jaringan dalam upaya mencegah
penyebaran atau perluasan daerah infeksi ke bagian lain dari tubuh
(DORLAND).
Abses leher dalam merupakan akumulasi nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorokan,sinus paranasal, telinga dan leher
(Ballenger JJ, 1991; Abshirini H, 2010).
2.3 Epidemiologi
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher
dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses
submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses
retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1
(3%) kasus.
Murray et al (2011) di Inggris memperoleh 117 anak-anak yang mendapat
terapi abses leher dalam pada rentang waktu 6 tahun. Abses peritonsil 49%,

abses retrofaring 22%, abses submandibula 14%, abses bukkal 11%, abses
parafaring 2%, lainnya 2%.
Sakaguchi et al (1997), melaporkan pada 91 kasus infeksi leher dalam dari
tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki
sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak
ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula,
sublingual dan submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.
Huang et al(2004) di departemen otolaringologi di National Taiwan
University Hospital,dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses
submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses
parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan
retrofaring (5,9%).
Yang S.W et al (2008) pada Chang Gung Memorial Hospital di
Keelung,Taiwan, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001

Universitas Sumatera Utara

9


sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses
submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%,
sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis
11%.
Menurut Suebara A.B et al (2008) di Brazil, pada 80 penderita abses leher
dalam yang ditatalaksana di unit gawat darurat dari tahun 1997 sampai 2003,
didapatkan penderita abses leher dalam pria lebih banyak dari pada wanita
dengan rincian 55 pria dan 25 wanita.Selain itu, letak abses leher dalam
terbanyak di submandibula sebanyak 36 orang, parafaring dan submandibula
13 orang, hanya parafaring sebanyak 15 orang, bagian posterior leher
sebanyak 5 orang. Sedangkan pada parafaring, mediastinal dan ruang pleural
sebanyak 5 orang, retrofaring sebanyak 1 orang, retrofaring dan mediastinal
sebanyak 1 orang, parafaring dan mediastinal sebanyak 1 orang, dan daerah
mastoid dan submandibula sebanyak 1 orang .
2.4 Patogenesis
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal
dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari
tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi.
Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka

kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya.
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob (Chuang YC, Wang
HW, 2008; Yang S.W et al., 2008)
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai
10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses
leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri
aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus
aureus. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari

Universitas Sumatera Utara

10

infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan
penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual,

sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga
infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila (Yang S.W, 2008, Rosen EJ,
2002).
Odontogenik merupakan penyebab abses leher dalam tersering (27,5%),
diikuti oleh penyakit tonsilar (22,5%), infeksi kulit (8,75%) dan infeksi
parotid (6,25%). Penyebab yang tidak jelas sebanyak 25 % pada 20 pasien.
Penyebab lainnya (10%) adalah tuberkulosis ganglionar dengan abses
sebanyak 3 orang, trauma lokal sebanyak 2 0rang, otitis media sebanyak 1
orang, infeksi kista thyroglossal sebanyak 1 orang {Suebara A.B et al., 2008).
(Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Penyebab abses leher dalam (Suebara A.B et al., 2008).

Penyebab

Jumlah

%

Odontogenic


22

27,5

Tonsillar

18

22,5

Skin infection

7

8,7

Parotid

5


6,2

Ganglionar TB

3

3,7

Trauma

2

2,5

Otitis media

1

1,2


Infected thyroglossal

1

1,2

Unknown

20

25

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan
kuman flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan

Universitas Sumatera Utara

11

stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman
anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium sppPenyebaran abses leher dalam
dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen, dan celah antar
ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya
tahan tubuh dan lokasi anatomi.Infeksi dari submandibula dapat meluas ke
ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga
dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar
ke daerah potensial lainnya(Brook I, 2002; Parchiscar A, 2001).
2.5 Jenis-jenis Abses Leher Dalam
2.5.1

Abses peritonsil
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan,
dan biasanya merupakan lanjutan dari infeksi tonsil. Pada abses peritonsil
didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan, hipersalivasi,
nyeri telinga dan suara bergumam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah peritonsil, uvula
terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil hiperemis, dan kadang
terdapat detritus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring.Untuk
memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang
paling fluktuatif (Murray A.D, 2010; Gadre A.K, Gadre K.C, 2006;
Ballenger JJ, 1991).
Etiologi
Abses peritonsil ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilits, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob (Fachruddin D, 2007).
Gejala dan Tanda
Selain

gejala

dan

tanda

tonilitis

akut,

terdapat

juga

odinofagia(nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga
terjadi nyeri telinga (otalgia),mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut
berbau(foetor exore), hipersalivasi, suara gumam(hot potato voice) dan

Universitas Sumatera Utara

12

sukar

membuka

mulut(trismus),

serta

pembengkakan

kelenjar

submandibula dengan nyeri tekan (Fachruddin D, 2007)..
Diagnosis
Palatunm mole tampak membengkak dan menonjol ke depan,
dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.
Tonsil bengkak, hiperemia, mungkin banyak detritus dan terdorong ke
arah tengah, depan, dan bawah (Fachruddin D, 2007).
2.5.2

Abses retrofaring
Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi,
terutama terjadi pada anak dan merupakan abses leher dalam yang
terbanyak pada anak (Al Sahab B.MD, 2004). Pada anak biasanya abses
terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar
getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Kelenjar getah bening
ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun.Pada orang dewasa
abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa
faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan (Rao SVSM et al.,
2007; Al Sahab MD, 2004; Fachruddin D, 2007).
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring
ialah
1) Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring
2) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang
ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi
endotrakeal dan endoskopi
3) Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)
(Fachruddin D, 2007)
Gejala dan tanda
Gejala utama abses retrofaring adalah nyeri dan sukar menelan.
Selain itu, juga terdapat demam, leher kaku, dan dapat pula timbul sesak
nafas karena sumbatan jalan nafas terutama di hipofaring. Bila proses

Universitas Sumatera Utara

13

peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan ini dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi
perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya
unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis (Fachruddin D, 2007).

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran
napas bagian atas atau trauma,gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan
penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen
akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada dan dewasa
serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22
mm pada orang dewasa (Fachruddin D, 2007).
2.5.3

Abses Parafaring
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil,
adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses
parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan
seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun
mastikator.

Gejala abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri

tenggorok, odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke
medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang
mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih
jelas (Abshirini H et al., 2010; Mckellop JA, 2010).
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :
1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung
jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan
otot tipis (M.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang
parafaring dari fosa tonsilaris.

Universitas Sumatera Utara

14

2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil,
faring, hidung, sinus paranasal dan mastoid. Vertebra servikal juga
dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses.
3) Penjalaran

infeksi

dari

ruang

peritonsil,

retrofaring

atau

submandibula (Fachruddin D, 2007).

Gejala dan tanda
Gejala klinis utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitsr angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding
lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial (Fachruddin D, 2007).
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinis. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan (Fachruddin D,
2007).
2.5.4 Abses Submandibula
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur
banyak, Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke
belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.
Ludwig’s angina merupakan sellulitis di daerah sub mandibula dengan
tidak ada fokal abses. Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula,
air liur yang banyak, trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula,
sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas
dan terdorong ke belakang (Murray A.D, 2011; Mckellop JA, 2010).
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur
atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan
infeksi ruang leher dalam lain.Kuman penyebab biasanya campuran
kuman aerob dan anaerob (Fachruddin D, 2007).

Universitas Sumatera Utara

15

Gejala dan tanda
Pada Abses submandibula terdapat demam dan nyeri leher disertai
pembengkakan di bawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin
berfluktuasi. Trismus sering ditemukan (Fachruddin D, 2007)
2.5.4

Angina ludovici
Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula,
tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula.
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut yang
disebabkan oleh kuman aerob dan anaerob.Terdapat nyeri tenggorokan
dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula yang tampak
hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat
mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak nafas
karena sumbatan jalan nafas.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek
atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici” ,
dapat terjadi fluktuasi (Fachruddin D, 2007).

2.6 Pola kuman
Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran
beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif
anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus,
Streptococcus

sp,

Haemofilus

influenza,

Streptococcus

Peneumonia,

Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang
sering adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp.
Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang jarang ditemukan (Rosen
EJ, 2002; Kirse JD, Roberson DW, 2011)
Genus

stafilokokus

Staphylococcus

aureus,

yang

memiliki

Staphylococcus

kepentingan
epidermidis,

klinis

adalah

Staphylococcus

saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat patogen utama pada manusia
dan bersifat koagulase-positif. Dengan sifat koagulase ini memiliki potensi
menjadi patogen invasif. Beberapa strain dari S. aureus mempunyai kapsul

Universitas Sumatera Utara

16

sehingga menyulitkan tubuh untuk melakukan fagositosis. Infeksi S.
aureus dapat bersifat hebat, terlokalisir, nyeri membentuk supurasi dan cepat
sembuh dengan drainase pus (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007).
Staphylococcus epidermidis bersifat koagulase-negatif dan bersifat flora
normal pada tubuh manusia seperti di saluran nafas atas. Infeksi dapat terjadi
akibat adanya trauma atau inflantasi alat-alat, pada daya tahan tubuh yang
rendah. Supurasi lokal merupakan ciri khas infeksi stafilokokus baik
koagulase-positif maupun koagulase negatif. Dari fokus manapun, organisme
dapat menyebar melalui vena maupun limfatik ke bagian tubuh lain. Supurasi
dalam vena yang menimbulkan trombosis merupakan gambaran umum
penyebaran tersebut (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..
Streptokokus mempunyai berbagai group sesuai dengan sifat dari kuman
tersebut dan tidak ada satu sistem yang bisa mengklasifikasikannya secara
sempurna. Yang banyak berperan pada abses leher dalam adalah
Streptococcus viridan, Streptococcus α-haemolyticus, Streptococcus βhaemolyticus, dan Streptococcus pneumonia. Temuan klinis akibat infeksi
streptokokus ini sangat bervariasi tergantung sifat biologi organisme
penyebab, respon imun penjamu, dan tempat infeksi. Salah satu yang
ditakutkan

akibat

infeksi

streptokokus

group

A

adalah

terjadinya

glomerulonefritis dan demam reumatik akibat reaksi hipersensitivitas
terhadap kuman tersebut (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..
Entrobacteriaceae merupakan batang gram negatif yang besar dan
heterogen. Pembiakan pada agar MacConkey, dapat tumbuh secara aerob
maupun anaerob (fakultatif anaerob). Yang termasuk dalam famili ini antara
lain Klebsiella sp, Proteus sp, E. coli. Klebsiella pneumonia terdapat dalam
saluran nafas pada sekitar 5% individu normal. Proteus sp menimbulkan
infeksi pada manusia hanya bila kuman keluar dari saluran cerna (Jawetz,
Melnick, Adelberg, 2007)..
Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen oportunistik dalam tubuh
manusia,

bersifat

invasif

dan

patogen

nasokomial

yang

penting.

Menimbulkan penyakit jika daya tahan tubuh penjamu lemah. Abses yang

Universitas Sumatera Utara

17

dibentuk akibat pseudomas merupakan pus yang hijau kebiruan (Jawetz,
Melnick, Adelberg, 2007).
Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob
adalah: 1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek
dari metabolisme anaerob. 2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa. 3.
Adanya gas dalam jaringan. 4. Hasil biakan aerob negatif (Jawetz, Melnick,
Adelberg, 2007).
Bacteroides termasuk kelompok besar basilus gram negatif dan tampak
seperti batang yang tipis atau kokobasilus. Spesies bacteroides merupakan
flora normal di dalam usus dan bagian tubuh lainnya. Pada infeksi
bactroides sering

dihubungkan

dengan

kuman-kuman

lainnya.

Spesies Prevotella juga termasuk kelompok basilus gram negatif dan tampak
seperti batang yang tipis atau kokobasilus. Pada infeksi kuman ini sering
bersamaan dengan anaerob lainnya terutam peptostreptococcus.
Fusobacterium merupakan bakteri batang pleomorfik gram negatif.
Sebagian besar spesies menghasilkan asam butirat dan merubah treonin
menjadi asam propionat. Kuman ini sering diisolasi dari mukasa yang
terinfeksi. Kadang kuman ini menjadi satu-satunya kuman yang diisolasi dari
infeksi atau abses yang ada Spesies peptostreptococcus merupakan spesies
kokus gram positif dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi. Ditemukan di
kulit dan merupakan flora normal di mukosa (Jawetz, Melnick, Adelberg,
2007).
Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah
banyak dilakukan. Botin et al (2003) mendapatkan Peptostreptococus,
Streptococus viridan, Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi
sebagai sumber infeksi abses leher dalam dan mendapatkan kuman aerob
terbanyak adalah stafilokokus dan streptokokus.

Universitas Sumatera Utara

18

Tabel. 2.2 Kuman Penyebab Abses leher dalam (Abshirini H, 2010),

Jumlah

% kultur

pasien

+

Streptococcus viridans

63

39

Staphylococcus epidermidis

46

28

Staphylococcus aureus

35

22

Bactroides Sp

22

14

Streptococcus β-haemolyticus

34

21

Klebsiella pneumonia

11

6,8

Streptococcus pneumonia

10

6,2

Mycobacterium tb

10

6,2

Anaerob gram negatif

9

5,5

Neisseria sp

8

4,9

Peptostreptococcus

8

4,9

Jamur

8

4,9

Enterobacter

7

4,3

Bacillus sp

6

3,7

Propionibacterium

6

3,7

Acinetobacter

5

3,1

Actinimicosis israelii

3

1,9

Proteus sp

3

1,9

Klepsiella sp

3

1,9

Bifidobacterium

3

1,9

Microaerophilic

3

1,9

Enterococcus sp

3

1,9

Moraxtella catarrhalis

2

1,2

Jenis Kuman

streptococcus

Dan lain-lain

6,8

Universitas Sumatera Utara

19

Menurut Abshirini H (2010), pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam
mendapatkan;

stafilokokus

77%,

Streptococcus

β-haemolitycus 12,5%,

Entrobacter 12,5%, Streptococcus α-haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%,
Streptococcus

non

haemolyticus 5%,

Pseudomonas aeruginosa

2,5%.

Parhiscar dkk,12 dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan
kultur terhadap 186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan
pertumbuhan kuman, 24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman.
Kuman

terbanyak

Streptococcus

viridan 39%,

Staphylococcus

epidermidis 28%. Kuman anaerob terbanyak adalah bacteroides sp 14%.
( tabel 2.2)
Tabel 2.3 Pola kelompok kuman pada abses leher dalam (Brook I, 2002)

Hasil

jumlah kasus

Positif kuman
Kuman tunggal

89
38(42,7%)

Gram positif aerob

14

Gram negatif aerob

21

Anaerob

3

Kuman campuran

51 (57,3%)

Aerob saja

13

Gram positif saja

5

Gram negatif saja

1

Kedua gram

7

Anaerob saja

2

Campuran aerob-anaerob

36

Brook I (2002) menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari
abses kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya
kuman anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang et
al(2008)dari 100 pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman
didapatkan 89%, ada pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah

Universitas Sumatera Utara

20

Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia, Stapylococcus aureus. Kuman
anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel
2.3)
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April
2010 sampai dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher
dalam dan dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen
tumbuh kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh
jamur yaitu Candida sp(Rusli Muhammad, 2012). (Tabel 2.4)
infeksi leher dalam ditemukan 88 (74,6%) spesimen mengandung kuman
anaerob. Kuman anaerob saja 19,5%, kuman aerob dan fakultatif saja 16,9%,
campuran kuman aerob dan anaerob 55,1%, dan 8,5% tidak tumbuh kuman.
Dari kuman anaerob tumbuh didapatkan gram negatif anaerob 50,8%, yaitu;
Bacteroides fragillis 3,9%, Fusobacterium sp 9,4%, Prevotella spp 30,5%,
lain-lain 7%, gram positif anaerob 49,2%, yaitu: Actinomycess spp 11,7%,
Eubacterium

spp 11,7%,

lactobacillus

spp 6,2%,

propionibacterium

spp 4,7%, kokus gram positif 10,9%

Tabel 2.4 Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil
Padang periode April 2010-Oktober 2010 (kuman aerob) (Rusli Muhammad,
2012)
Jenis Kuman

Jumlah

%

Streptocccus α haemoliticus

6

37

Klepsiella sp

4

25

Enterobacter sp

3

19

Staphylococcus aureus

2

12,5

Staphilococcus epidermidis

1

6

E. Coli

1

6

Proteus vulgaris

1

6

Boyanova Let al pada tahun 2002 sampai 2005, dari 118 pasien.

Universitas Sumatera Utara

21

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik (Fachruddin D, 2007; Chuang YC;
2006; Kirse JD, 2001)
Menurut Poe et al (1996) penatalaksanaan abses leher dalam meliputi
operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan
pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat
perbaikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika
adalah efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi
kuman minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang
lebih lama (Brook I, 2001). Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai
dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Jenis kuman yang
bervariasi menyulitkan dalam pemberian antibiotik tanpa adanya uji kepekaan
tersebut.
Pemberian antibiotik

berdasarkan hasil biakan kuman dan tes

kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan
pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji
sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara
empiris. Yang SWet al (2008)melaporkan pemberian antibiotik kombinasi
pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi penecillin, clindamycin dan
gentamicin, kombinasi ceftriaxone dan clindamycin, kombinasi ceftriaxone
dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan clindamycin, kombinasi
penecillin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka perlindungan
(keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%.
Penecillin merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus
dan stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamicin
menunjukkan efek sinergis dengan penecillin. clindamycin efektif terhadap

Universitas Sumatera Utara

22

streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian clindamycin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum
didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab.Pada kultur didapatkan
kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, clindamycin, carbapenem,
sefoxitine, atau kombinasi penecillin dan β-lactam inhibitor merupakan obat
terpilih (Brook I, 2002).
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone
atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman
enterik gram negatif.Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang
lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin
generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi
sangat

efektif

Haemofillus

terhadap

influenza,

Neisseria

sp

dan

Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap
streptokokus.
dan Haemofillus

Ceftriaxone
sp,

sangat

kebanyakan

efektif

terhadap

Streptococcus

gram

negatif

pneumonia dan

Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin (Yang SW et al., 2008).
2.8 Komplikasi
Kejadian komplikasi abses leher dalam menurun sejak pemakaian
antibiotik yang lebih luas. Walau demikian tetap harus waspada terhadap
tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin sangat berbahaya.
Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi yang potensial
terjadi pada abses leher dalam terutama Ludwig’s angina. Ruptur abses, baik
spontan atau akibat manipulasi, dapat mengakibatkan terjadinya pneumonia,
abses paru maupun empiema (Fachruddin D, 2007; Rosen EJ, 2002).
Komplikasi vaskuler seperti trombosis vena jugularis dan ruptur arteri
karotis. Trombosis vena jugularis ditandai dengan adanya demam, menggigil,
nyeri dan bengkak sepanjang otot sternokleidomastoideus pada saat badan
membungkuk atau rukuk. Dapat terjadi bakteremia maupun sepsis. Kejadian
emboli paru mencapai 5% pada kasus pasien dengan trombosis vena

Universitas Sumatera Utara

23

jugularis. Penyebab terbanyak adalah bakteri Fusobacterium necroforum, dan
pada penyalahgunaan obat suntik penyebab terbanyak adalah stafilokokus
(Rosen EJ, 2002)
Ruptur arteri karotis merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Ini
biasanya terjadi pada abses parafaring bagian poststiloid, infeksi meluas ke
bungkus karotis. Mediastinitis dapat terjadi akibat perluasan infeksi melalui
viseral anterior, vaskuler viseral, maupun daerah retrofaring dan danger
space. Pasien akan mengeluhkan nyeri dada dan sukar bernafas (Rosen EJ,
2002).

Universitas Sumatera Utara