Gambaran Kasus Abses Leher Dalam Departemen THT-KL di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2014

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Vera Angraini

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Aceh/3 Februari 1995

Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Komplek Bumi Seroja Permai Blok D No.27

Medan

No,Handphone : 081218610342

Email : Vera.phea@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 1 Kota Langsa, Aceh (2000-2006) 2. MTsN Model 1 Banda Aceh, Aceh (2006-2009) 3. SMA Negeri Modal Bangsa, Aceh (2009-2012)

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012-sekarang)

Riwayat Pelatihan :

1. Peserta PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) FK USU 2012 2. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2012 3. Peserta PIM (Pekan Ilmiah Mahasiswa) SCORE FK USU 2012 4. Peserta Pelatihan Balut Bidai TBM FK USU 2012


(2)

5. Peserta Pelatihan Basic Life Support TBM FK USU 2012 6. Peserta Symposium SRF (Scripta Research Festival) 2013

7. Peserta Global Student Conference of United Nation di Australia 2013 8. Peserta Symposium Go Green Japan di Jepang 2014

Riwayat Organisasi :

1. Sekretaris Manager divisi program SCORE PEMA FK USU 2014-2015 2. Anggota Seksie Acara SRF FK USU 2014

3. Sekretaris Jendral Bina AntarBudaya Chapter Medan 2013-2014 4. Anggota Seksie Acara MMB FK USU 2013


(3)

(4)

syarifah perempuan 21-40 tahun trismus pembengkakan dileher parafaring infeksi gigi mulyadi laki-laki 21-40 tahun nyeri menelan trismus peritonsilar tonsilitis,faringitis wagimin laki-laki >40 tahun pembengkakan dileher potatoes voice submandibula penyakit sistemik

sutomo laki-laki >40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan submandibula infeksi gigi nasarudd laki-laki 21-40 tahun potatoes voice nyeri menelan peritonsilar tonsilitis,faringitis soripada laki-laki 21-40 tahun trismus pembengkakan dileher peritonsilar infeksi gigi

sufri laki-laki 21-40 tahun nyeri leher potatoes voice submandibula tonsilitis,faringitis asni perempuan >40 tahun pembengkakan dileher nyeri leher angina ludwig infeksi gigi maslan perempuan 21-40 tahun trismus pembengkakan dileher parafaring infeksi gigi

ade k laki-laki 0-20 tahun nyeri menelan trismus peritonsilar tonsilitis,faringitis dewi perempuan 21-40 tahun pembengkakan dileher nyeri leher angina ludwig infeksi gigi jhonni laki-laki >40 tahun trismus nyeri tenggorokan peritonsilar infeksi telinga,hidung mawarni perempuan 21-40 tahun pembengkakan dileher nyeri menelan peritonsilar infeksi telinga,hidung

tiorisma perempuan 21-40 tahun trismus nyeri leher submandibula infeksi gigi muchtar laki-laki >40 tahun potatoes voice pembengkakan dileher submandibula penyakit sistemik

sabdan laki-laki 21-40 tahun nyeri menelan demam parafaring tonsilitis,faringitis simon laki-laki >40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan submandibula infeksi gigi andika laki-laki 0-20 tahun pembengkakan dileher sulit menelan submandibula infeksi gigi ali laki-laki >40 tahun nyeri menelan nyeri tenggorokan submandibula infeksi gigi marhenis perempuan >40 tahun nyeri menelan trismus peritonsilar infeksi gigi perangin laki-laki >40 tahun trismus potatoes voice peritonsilar infeksi gigi hafsah perempuan 21-40 tahun pembengkakan dileher trismus submandibula infeksi gigi alfan laki-laki >40 tahun nyeri leher nyeri leher submandibula infeksi gigi


(5)

amran laki-laki >40 tahun trismus potatoes voice angina ludwig infeksi gigi lesna perempuan 21-40 tahun sulit menelan potatoes voice submandibula tonsilitis,faringitis fasehan perempuan >40 tahun nyeri leher pembengkakan dileher submandibula infeksi gigi

siti perempuan 0-20 tahun pembengkakan dileher nyeri leher retrofaring tonsilitis,faringitis putra laki-laki 21-40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan retrofaring tonsilitis,faringitis reza laki-laki 21-40 tahun trismus nyeri leher submandibula tonsilitis,faringitis netti perempuan >40 tahun nyeri menelan demam peritonsilar tonsilitis,faringitis komaha laki-laki 21-40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan submandibula tonsilitis,faringitis

yusnan perempuan >40 tahun pembengkakan dileher demam submandibula infeksi gigi siswoto laki-laki >40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan submandibula infeksi gigi natsir laki-laki >40 tahun nyeri menelan demam peritonsilar infeksi gigi yusuf laki-laki >40 tahun trismus pembengkakan dileher peritonsilar penyakit sistemik kamal laki-laki >40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan angina ludwig infeksi gigi prayuni perempuan 21-40 tahun nyeri tenggorokan sulit menelan peritonsilar infeksi gigi anggoro laki-laki 21-40 tahun trismus nyeri leher retrofaring infeksi gigi

riska perempuan >40 tahun pembengkakan dileher nyeri menelan parafaring penyakit sistemik tama laki-laki 21-40 tahun pembengkakan dileher demam submandibula infeksi gigi susmini perempuan >40 tahun nyeri leher nyeri menelan submandibula infeksi gigi

jaka laki-laki 21-40 tahun trismus pembengkakan dileher submandibula infeksi telinga,hidung ranggoro laki-laki >40 tahun trismus nyeri menelan submandibula infeksi telinga,hidung

rahmani perempuan 21-40 tahun trismus demam peritonsilar infeksi gigi

rahmat laki-laki >40 tahun trismus potatoes voice angina ludwig penyakit sistemik aisyah perempuan >40 tahun pembengkakan dileher sulit menelan peritonsilar infeksi gigi dina gin perempuan 0-20 tahun nyeri leher nyeri leher parafaring tonsilitis,faringitis


(6)

(7)

Frequency Table

jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

laki-laki 30 58,8 58,8 58,8

perempuan 21 41,2 41,2 100,0

Total 51 100,0 100,0

umur responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0-20 tahun 4 7,8 7,8 7,8

21-40 tahun 22 43,1 43,1 51,0

>40 tahun 25 49,0 49,0 100,0

Total 51 100,0 100,0

keluhan utama responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

trismus 16 31,4 31,4 31,4

pembengkakan dileher 17 33,3 33,3 64,7

nyeri leher 6 11,8 11,8 76,5

sulit menelan 1 2,0 2,0 78,4

nyeri menelan 8 15,7 15,7 94,1

nyeri tenggorokan 1 2,0 2,0 96,1

potatoes voice 2 3,9 3,9 100,0


(8)

Keluhan Tambahan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

trismus 4 7,8 7,8 7,8

pembengkakan dileher 8 15,7 15,7 23,5

sulit menelan 9 17,6 17,6 41,2

nyeri menelan 5 9,8 9,8 51,0

nyeri leher 9 17,6 17,6 68,6

demam 8 15,7 15,7 84,3

nyeri tenggorokan 2 3,9 3,9 88,2

potatoes voice 6 11,8 11,8 100,0

Total 51 100,0 100,0

ruang yang terlibat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

retrofaring 3 5,9 5,9 5,9

parafaring 5 9,8 9,8 15,7

submandibula 24 47,1 47,1 62,7

peritonsilar 14 27,5 27,5 90,2

angina ludwig 5 9,8 9,8 100,0

Total 51 100,0 100,0

Etiologi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

infeksi gigi 29 56,9 56,9 56,9

penyakit sistemik 5 9,8 9,8 66,7

tonsilitis,faringitis 13 25,5 25,5 92,2 infeksi

telinga,hidung

4 7,8 7,8 100,0


(9)

etiologi * ruang yang terlibat Crosstabulation Count

ruang yang terlibat Total

retrofarin g parafarin g submandibu la peritonsila r angina ludwig etiologi

infeksi gigi 1 2 15 7 4 29

penyakit sistemik 0 1 2 1 1 5

tonsilitis,faringiti s

2 2 5 4 0 13

infeksi telinga,hidung

0 0 2 2 0 4

Total 3 5 24 14 5 51

ruang yang terlibat * umur responden Crosstabulation Count

umur responden Total 0-20 tahun 21-40 tahun >40 tahun

ruang yang terlibat

retrofaring 1 2 0 3

parafaring 1 3 1 5

submandibula 1 10 13 24

peritonsilar 1 6 7 14

angina ludwig 0 1 4 5

Total 4 22 25 51

ruang yang terlibat * jenis kelamin Crosstabulation Count

jenis kelamin Total laki-laki perempuan

ruang yang terlibat

retrofaring 2 1 3

parafaring 1 4 5

submandibula 16 8 24


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H. 2010.Predisposing Factors for the

complications of Deep neck Infection. The Iranian Journal of Otorhinolaryngology, 22(60), p.139-184.

Agricio Nubiato Crespo. et al. Clinical versus computed tomography evaluation in the diagnosis and management of deep neck infection. Sao Paulo Med J. 2004, h: 122(6):259-63.

Al sahab, B.MD, Salleen ,H.MD, Hagr, A.MD, Rosen, J.N. MD, Manoukian , J.J. MD, Tewfik, T.L. MD.2004. Retropharyngeal abscess in children: 10-year study. Journal otolaryngol,33, p.352-357.

Avest ,E.T., Uyttenboogaart ,M., Dorgelo, J., Maaten , E. J.C.2009. A patient with neck pain and fever. The Netherland Journal of medical, 67(10), p.356-363.

Baba,Y.,Kato,Y.,Saito,H.,Ogawa,K.2009.Management of deep neck infection by a transnasal approach:a case report.Journal of Medical Case Report.3, p.7317.

Ballenger ,J.J.1991. Infection of the facial space of neck and floor of the mouth. In: Ballenger JJ editors. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck.15th ed. Philadelphia, London: Lea and Febiger, p.234-241.

Botin, R., Marioni, G., Rinaldi, R.2003. Deep neck infection: A present-day complication. A retrospective review of 83 cases (1998-2001). Eur arch otorhinolaryngol , 260, p.576-585.

Boyanova L, et al.2006. Anaerobic bacteria in 118 patient with deep space head and neck infections from the University of Hospital of Maxillofacial surgery, Sofia, Bulgaria. Journal medical micribol,55, p.1285-1374. Brook ,I.2002. Microbiology of polymicrobial abscess and implication for

therapy. Journal antimicroba chemother,50, p.805-815.

Chuang ,Y.C., Wang, H.W.2006. A deep neck abscess presenting as a hypopharyngeal carcinoma. Journal Med Sci,26(5), p.183-189.


(11)

Fachruddin,Damila.2007.Abses Leher Dalam.Buku Ajar Ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6.Jakarta:Balai Penerbit FKUI, p.226-230.

Gadre A.K., Gadre K.C.2006. Infection of the deep Space of the neck. In: Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. 4th ed. Philadelphia: JB.Lippincott Compan, p.665-746.

Huang ,T., chen ,T., Rong ,P., Tseng, F., Yeah, T., Shyang, C.2004 Deep neck infection: analysis of 185 cases. Head and neck journal. p.854-860. Jawetz, Melnick & Adelberg.2007. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Alih

bahasa: Hartarto H dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, p.225-273.

Kirse, J.D., Roberson, D.W.2001. Surgical management of retropharyngeal space infection in children. Laryngoscope,111, p.1413-1435.

Lee Joon-Kyoo, Kim Hee-Dae, Lim Sang-Chul. “Predisposing Factors of

Complicated Deep Neck Infection: An Analysis of 158 Cases.” Yonsei Medical Journal. (48) (1) (2007), h: 55-62.

Matzelle SJ, et al. A retrospective analysis of deep neck infections at Royal Perth Hospital.Anaesth Intensive Care. (37) (4) (2009), h: 604-7.

McKellop ,J.A., Mukherji ,S.K.2010. Emergency head and neck radiology: Neck infection. Applied radiologi, p.23-32.

Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD.2011. Deep neck infections.Update Nov 18 2009: cited March 12,2011] Available from: http://www.eMedicine

Specialties//Otolaringology and facial plastic

surgery.comhttp://emedicine.medscape.com/article/837048-overview(accessed 17 April 2015)

Parhiscar A, Har-El G.2001. Deep neck abscess: A retrospective review of 210 cases. Ann otol rhinol laryngol,110, p.1051-1055.

Poe ,L.B., Petro, G.R., Matta ,I. Percutaneous CT-guided aspiration of deep neck abscesses.1996. ANJR Am Journal Neurodiol,17, p.1359-1422.


(12)

Raharjo SP. Infeksi leher dalam Edisi pertama, Yogyakata; Graha Ilmu. (2013), h: 1-57.

Rahardjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig & Abses Leher Dalam sebagai Komplikasi Infeksi Odontogenic.Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi. (1) (21) (2008), h: 32-9.

Rao ,S.V.S.M., Adwani, M., Bharati, C. Retropharyngeal candidal abscess in a neonate: Case report and review of literature. Kuwait medical journal,39(2), p.177-257.

Regiero Villarín S et al. Deep Neck Infections: Etiology,Bacteriology, and Treatment. Acta Otorrinolaringol Esp. 2006;57(7), h :324-8.

Rosen, E.J.2002.Deep neck spaces and infections. Grand rounds presentation, UTMB, Dept. Of Otolaryngology.Available from :http://www.utmb.edu/otoref/grnds/deep-neck-spaces-2002-04/deep-neck-spaces-2002-04.pdf(accessed 23 April 2015)

Rusli, Muhammad. 2012. Pola kuman abses leher dalam. Available at

http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM.(accessed 27 April 2015).

R.Sheiles Khode, et al. Retrospective Analysis of 298 Cases of Deep Neck

Infections: Its Diagnosis and Management. Science Journal of Medicine and Clinical Trials, Volume 2013, Article ID sjmct-103, 3 Pages, (2013), h :1-4.

Sakaguchi ,M., Sato ,S., Ishiyama, T., Katsuno ,T., Taguchi ,K.1997.

characterization and management of deep neck infection. J. Oral Maxillofacial Surgery, p.131-134.

Schreiner ,C.,Quinn,F.B.1998.Deep Neck Abscesses and Life Threating Infections of the Head and Neck.Dept of Otolaryngology UTMB.

Shumrick ,K.A., Sheft, S.A.1991. Deep Neck Infections. Dalam Paparella,

Shumrick, Gluckman, Meyerhoff, editors. Otolaryngology, 3rd ed. W.B. Saunders Company, p.2545-2608.


(13)

Suebara A.B, Goncalves A.J, Alcadipant F.A.M.C, Kavabata N.K, Menezes M.B.2008. Deep neck infection-analysis of 80 cases. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology 74 (2), p.253-259.

Yang S.W., Lee M.H., See L.C., Huang S.H., Chen T.M., Chen T.A.2008. Deep neck abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistance,1, p.1-8.


(14)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka konsep

3.2. Variabel dan Definisi Operasional Variabel pada penelitian ini antara lain :  Penderita abses leher dalam

a. Definisi operasional : pasien yang didiagnosis menderita abses leher dalam departemen THT-KL di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014 dan tercatat di rekam medis

b. Cara ukur : observasi c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil pengukuran : Abses leher dalam dan bukan abses leher dalam e. Skala pengukuran : nominal

 Usia

a. Definisi operasional : umur penderita abses leher dalamyang tercatat di rekam medis

 Usia

 Jenis kelamin  Keluhan utama  Keluhan tambahan  Jenis abses leher dalam  Riwayat penyakit Abses Leher Dalam


(15)

c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil pengukuran dikelompokkan sebagai berikut :  0-20 Tahun : anak-anak

 21-40Tahun : dewasa muda  > 40Tahun : tua

a. Skala pengukuran : Nominal  Jenis kelamin

a. Definisi operasional : jenis kelamin penderita abses leher dalam yang tercatat di rekam medis

b. Cara ukur : observasi c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil pengukuran : laki-laki dan perempuan e. Skala pengukuran : nominal

 Keluhan utama

a. Definisi operasional : keluhan yang dirasakan pasien sehingga menyebabkan pasien datang ke rumah sakit yang tercatat pada rekam medis dengan diagnosa abses leher dalam.

b. Cara ukur : observasi c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil pengukuran dikelompokkan sebagai berikut : 1) Nyeri

2) Bengkak 3) Trismus

4) Disfagia (sulit menelan) 5) Demam

6) Mulut berbau

7) Odinofagia (nyeri menelan) 8) Hipersalivasi

9) Suara gumam (hot potato voice) 10)Sesak nafas


(16)

 Keluhan tambahan

a. Definisi operasional : keluhan yang menyertai keluhan utama pasien abses leher dalam yang tercatat pada rekam medis dengan diagnosa abses leher dalam

b. Cara ukur : observasi c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil pengukuran dikelompokkan sebagai berikut: 1) Nyeri

2) Bengkak 3) Trismus

4) Disfagia (sulit menelan) 5) Demam

6) Mulut berbau

7) Odinofagia (nyeri menelan) 8) Hipersalivasi

9) Suara gumam (hot potato voice) 10)Sesak nafas

e. Skala pengukuran : nominal  Jenis jenis abses leher dalam

a. Definisi operasional : jenis atau tipe dari abses leher dalam berdasarkan letak abses dan tercatat pada rekam medis

b. Cara ukur : observasi c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil pengukuran dikelompokkan sebagai berikut: 1) Abses retrofaring

2) Abses parafaring 3) Abses submandibula 4) Abses angina ludwig 5) Abses peritonsilar e. Skala pengukuran : nominal


(17)

 Riwayat penyakit

a. Definisi operasional : penyakit terdahulu yang pernah dialami oleh pasien sebelum terjadinya abses leher dalam dan tercatat pada rekam medis

b. Cara ukur : observasi c. Alat ukur : rekam medis d. Hasil pengukuran: persentase e. Skala pengukuran : nominal


(18)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk mengetahui gambarankasus abses leher dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014. Desain penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medik RSUP Haji Adam Malik. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pusat rujukan di Sumatera Utara.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu mulai bulan April 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita abses leher dalam yang diklasifikasikan berdasarkan jenisnya di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014.

4.3.2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling yaitu metode penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden/sampel. Dalam penelitian ini, sampel adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita abses leher dalam yang diklasifikasikan berdasarkan jenisnyadi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014 dan tercatat dalam rekam medis.


(19)

2. Kriteria eklusi :Data rekam medik yang tidak lengkap.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu rekam medis pasien abses leher dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu: 1.Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. 2. Coding

Data yang telah terkumpul dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

3.Entry

Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program komputer Statistic Package for Social Science (SPSS).

4.Cleaning

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam computer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

5.Saving

Penyimpanan data untuk siap dianalisis (Wahyuni, 2008). 4.5.2. Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistika deskriptif, yaitu analisis univariat. Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, kemudian dibahas dengan menggunakan teori dan kepustakaan yang ada.


(20)

4.6. Ethical Clearance

Ethical clearance adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Komisi Etik Penelitian untuk penelitian yang melibatkan makhluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(21)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi lokasi penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medanyang berlokasi di Jalan Bunga Lau Nomor 17 Medan, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII/1990. RSUP Haji Adam Malik Medan menjadi sentra rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

5.2 Hasil penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan cross sectionaldari data sekunder di RSUP. H. Adam Malik Medan. Data penelitian merupakan data sekunder dari 51 penderita infeksi leher dalam yang datang dan mendapatkan pengobatan di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2012-2014 , yang terdiri dari: 9 penderita (2012), 20 penderita (2013), 22 penderita (2014) dengan usia termuda 7 tahun dan usia tertua 70 tahun.

5.2.1. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan jenis abses leher dalam

Tabel 5.2.1. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan jenis abses leher dalam


(22)

Ruang yang terlibat N % Abses retrofaring

Abses parafaring Absessubmandibula

Abses peritonsilar Angina ludwig

3 5 24 14 5

5,9 9,8 47,1 27,5 9,8

Total 51 100

Berdasarkan tabel 5.2.1 didapatkan jenis abses leher dalam yang paling banyak adalah abses submandibula yaitu 24 penderita (47,1%). abses leher dalam yang terlibat paling sedikit adalah abses retrofaring yaitu 5 penderita (8,8%).

5.2.2. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan umur

Tabel 5.2.2. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan umur

Kelompok umur N %

0-20 21-40

>40

4 22 25

7,8 43.1 49,0

Total 51 100

Berdasarkan tabel 5.2.2 didapatkan penderita abses leher dalam terbanyak pada umur >40 tahun yaitu 25 (49,0%) penderita. Persentase terendah terdapat pada kelompok umur 0-20 tahun yaitu 4 (7,8%) penderita.

5.2.3. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan jenis kelamin


(23)

Jenis kelamin N % Laki-laki Perempuan 30 21 58,8 41,2

Total 51 100

Berdasarkan tabel 5.2.3 leher dalam terdiri dari 30 (58,8%) penderita laki-laki dan 21 (41,2%) penderita perempuan. Perbandingan penderita antara laki-laki-laki-laki dan perempuan yaitu 1,42 : 1

5.2.4. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan keluhan utama Tabel 5.2.4. Distribusi frekuensi abses leher dalamsecara umum berdasarkan keluhan utama

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 16 17 6 1 8 0 1 2 31,4 33,3 11,8 2,0 15,7 0 2,0 3,9

Total 51 100

Berdasarkan tabel 5.2.4 didapatkan 17 (33,3%) penderita abses leher dalam dengan keluhan utama pembengkakan di leher. Keluhan sulit menelan nyeri tenggorokan masing-masing dikeluhkan 1 (2,0%) penderita. Tidak ada yang mengeluhkan demam .


(24)

Keluhan utama N % Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 1 2 0 0 0 0 0 0 33,3 66,7 0 0 0 0 0 0

Total 3 100

Berdasarkan tabel 5.2.5 didapatkan 2 (66,7%) penderita abses retrofaring dengan keluhan utama pembengkakan di leher. Keluhan trismus dikeluhkan 1 (33,3%) penderita.

Tabel 5.2.6. Distribusi frekuensi abses parafaring berdasarkan keluhan utama

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 2 1 1 0 1 0 0 0 40 20 20 0 20 0 0 0

Total 5 100

Berdasarkan tabel 5.2.6 didapatkan 2 (40%) penderita abses parafaring dengan keluhan trismus. Keluhan pembengkakan di leher, nyeri leher dan nyeri menelan masing-maisng dikeluhkan 1 (20%) penderita.


(25)

Tabel 5.2.7. Distribusi frekuensi abses submandibula berdasarkan keluhan utama

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 6 9 5 1 1 0 0 1 25 37,5 20,8 4,2 4,2 0 0 4,2

Total 24 100

Berdasarkan tabel 5.2.7 didapatkan 9 (37,5%) penderita abses submandibula mengeluhkan pembengkakan di leher. Keluhan sulit menelan, nyeri menelan dan potatoes voice masing-masing paling sedikit dikeluhkan 1 (4,2%) penderita.

Tabel 5.2.8. Distribusi frekuensi abses peritonsilar berdasarkan keluhan utama

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 5 2 0 0 0 5 1 1 35,7 14,3 0 0 0 35,7 7,1 7,1


(26)

Berdasarkan tabel 5.2.8 didapatkan keluhan terbanyak adalah trismus dan demam masing-masing 5 (35,7%) penderita yang mengeluhkan. Keluhan yang paling sedikit dikeluhkah adalah nyeri tenggorokan dan potatoes voice maisng-maisng 1 (7,1%) penderita).

Tabel 5.2.9. Distribusi frekuensi angina ludwig berdasarkan keluhan utama

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan

Demam Nyeri tenggorokan

Potatoes voice

2 3 0 0 0 0 0 0

40 60 0 0 0 0 0 0

Total 5 100

Berdasarkan tabel 5.2.9 didapatkan keluhan pembengkakan di leher dikeluhkan 3 (60%) penderita. Keluhan trismus 2 (40%) penderita.

5.2.5. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan keluhan tambahan

Tabel 5.2.10. Distribusi frekuensi abses leher dalam secara umum berdasarkan keluhan tambahan


(27)

Keluhan utama N % Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 4 8 9 5 9 8 2 6 7,8 15,7 17,6 9,8 17,6 15,7 3,9 11,8

Total 51 100

Berdasarkan tabel 5.2.10 didapatkan nyeri leher dan nyeri menelan masing-masing 9 (17,6%) adalah yang terbanyak. Nyeri tenggorokan paling sedikit dikeluhkan 2 (3,5%).

Tabel 5.2.11. Distribusi frekuensi abses retrofaring berdasarkan keluhan tambahan

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 0 0 1 0 2 0 0 0 0 0 33,3 0 66,7 0 0 0

Total 3 100

Berdasarkan tabel 5.2.11 didapatkan 2 (66,7%) penderita abses retrofaring dengan keluhan tambahan nyeri menelan. Keluhan utama nyeri leher dikeluhkan 1 (33,3%) penderita.


(28)

Tabel 5.2.12. Distribusi frekuensi abses parafaring berdasarkan keluhan tambahan

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 0 2 0 1 1 1 0 0 0 40 0 20 20 20 0 0

Total 5 100

Berdasarkan tabel 5.2.12 didapatkan 2 (40%) penderita abses parafaring dengan keluhan pembengkakan di leher. Keluhan nyeri menelan, nyeri leher dan demam masing-maisng dikeluhkan 1 (20%) penderita.

Tabel 5.2.13. Distribusi frekuensi abses submandibula berdasarkan keluhan tambahan

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 1 4 5 2 4 4 1 3 4,2 16,7 20,8 8,3 16,7 16,7 4,2 12,5


(29)

Berdasarkan tabel 5.2.13 didapatkan 5 (20,8%) penderita abses submandibula mengeluhkan nyeri leher. Keluhan pembengkakan di leher, nyeri menelan dan demam masing-masing 4 (16,7%) penderita.

Tabel 5.2.14. Distribusi frekuensi abses peritonsilar berdasarkan keluhan tambahan

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan

Demam Nyeri tenggorokan

Potatoes voice

3 2 2 2 0 3 1 1

35,7 14,3 14,3 14,3 0 35,7

7,1 7,1

Total 14 100

Berdasarkan tabel 5.2.14 didapatkan keluhan terbanyak adalah trismus dan demam masing-masing 3 (35,7%) penderita yang mengeluhkan. Keluhan yang paling sedikit dikeluhkah adalah nyeri tenggorokan dan potatoes voice maisng-maisng 1 (7,1%) penderita)


(30)

Tabel 5.2.15. Distribusi frekuensi angina ludwig berdasarkan keluhan tambahan

Keluhan utama N %

Trismus

Pembengkakan di leher Nyeri leher Sulit menelan Nyeri menelan Demam Nyeri tenggorokan Potatoes voice 0 0 1 0 2 0 0 2 0 0 20 0 40 0 0 40%

Total 5 100

Berdasarkan tabel 5.2.15 didapatkan keluhan nyeri menelan dan potatoes voice masing-masing 2 (40%) penderita. Keluhan nyeri leher 1 (20%) penderita.

5.2.6. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan riwayat penyakit/etiologi

Tabel 5.2.16. Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan riwayat penyakit/etiologi

Riwayat penyakit/etiologi N %

Infeksi gigi Penyakit sistemik Tonsilitis,faringiris Infeksi telinga 29 5 13 4 56,9 9,8 25,5 7,8


(31)

Berdasarkan tabel 5.2.16 didapatkan riwayat penyakit abses leher dalampaling banyak adalah infeksi gigi, yaitu 29 (56,9%) penderita. Riwayat penyakit paling sedikit adalah infeksi telinga dijumpai 4 (7,8%) penderita.

5.3 Pembahasan

Penelitian yang menggunakan cross sectionalini merupakan data sekunder dari 51 penderita abses leher dalam di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2012-2014. Distribusi penderita dijabarkan di bawah ini.

5.3.1 Distribusi frekuensi infeksi leher dalam berdasarkan jenis abses leher dalam

Dari hasil penelitian ini didapatkan penderita abses leher dalam berdasarkan ruang yang terlibat terbanyak adalah ruang submandibula yaitu 24 (47,1%) diikuti dengan ruang peritonsilar 14 (27,5%) penderita, ruang parafaring dan angina ludwid masing-masing 5 (9,8%) penderita, serta yang paling sedikit ruang retrofaring 3 (5,9%) penderita.

Pada penelitian ini ruang submandibula adalah ruang yang terbanyak dijumpai. Abses submandibula lebih sering terjadi karena penyebab abses submandibula bersumber dari infeksi gigi molar dua dan tiga, rongga mulut, wajah, faring. Kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain dapat juga menjadi penyebab terjadinya abses submandibula (Raharjo, 2008; Ballenger, 1994). Pada penelitian ini abses retrofaring adalah ruang yang paling sedikit terjadi dan dialami oleh penderita dewasa dengan riwayat faringitis. Hal ini jarang terjadi karena pada umumnya abses retrofaring lebih sering terjadi pada anak-anak. Namun seperti kita ketahui bahwa abses retrofaring pada orang dewasa sering terjadi akibat adanya trauma tumpul atau infeksi pada mukosa faring dan perluasan abses dari struktur yang berdekatan (Fachruddin D, 2007)

Pada penelitian Yang et al(2008) pada 100 kasus infeksi leher dalam yang dilakukan April 2001 sampai Oktober 2006 didapatkan abses submandibula 35%,


(32)

hyoid 26%, retrofaring 13%, dan ruang karotis 11%. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit Juan Canalejo di Spanyol pada 77 kasus infeksileher dalam, dijumpai abses submandibula adalah ruang yang paling banyak terlibat, 23 penderita (29%) (Regiero et al., 2006).

Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Murray et al tahun 2011 pada 117 penderita infeksi leher dalam, dijumpai ruang leher dalam yang paling banyak dijumpai adalah peritonsil yaitu 49% diikuti dengan abses retrofaring 22 % dan yang paling sedikit adalah abses parafaring 2%.

5.3.2 Distribusi frekuensi infeksi leher dalam berdasarkan umur dan jenis kelamin

Dari hasil penelitian ini didapatkan penderita abses leher dalam terbanyak adalah pada kelompok umur >40 tahun. Persentase terendah terdapat pada kelompok retrofaring, parafaring umur 0-20 tahun. Menurut ruang yang terlibat pada abses submandibula, angina ludwig dan peritonsilar kelompok umur yang terbanyak adalah pada kelompok umur >40 tahun. Sedangkan pada abses parafaring dan retrofaring kelompok umur terbanyak adalah pada kelompok umur 21-40 tahun. Pada penelitian ini penderita abses leher dalam banyak terjadi pada kelompok umur >40 tahun, hal ini karena faktor-faktor adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, gangguan sistem yang dapat menjadi etiologi terjadinya abses leher dalam. Sedangkan pada kelompok umur 21-40 tahun, banyaknya penderita abses leher dalam karena kejadian infeksi yang sering terjadi pada kelompok usia ini (Raharjo SP, 2013)

Berdasarkan jenis kelamin, penderita abses leher dalam pada penelitian ini terdiri dari 30 (58,8%) penderita laki-laki dan 21 (41,2%) penderita perempuan. Pada penelitian ini penderita abses leher dalam lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang kemungkinan menyebabkan terjadinya abses leher dalam disini seperti banyaknya penderita laki-laki dengan riwayat merokok dan kurangnya kebersihan gigi dan


(33)

gigi, merokok, kebersihan rongga mulut, mungkin dapat diduga sebagai bahan pertimbangan. Sedangkan kemungkinan faktor predisposisi lainnya seperti penyakit DM, HIV diduga juga memperberat kemungkinan terjadinya abses leher dalam (Raharjo SP, 2013).

Pada penelitian Lee et al (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher dalam dari tahun 1995-2004. Pada penelitian tersebut penderita abses leher dalam lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 89 penderita laki-laki dan 69 penderita perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai umur rata-rata 35,4 tahun. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Shailesh et alterhadap 298 kasus abses leher dalam, dijumpai 182 penderita laki-laki dan 116 penderita wanita dengan perbandingan 1,57:1. Usia penderita abses leher dalam dari 6 bulan-78 tahun dengan usia rata-rata 36,7 tahun (R. Shailesh et al.,2013).

5.3.3 Distribusi frekuensi infeksi leher dalam berdasarkan keluhan utama dan keluhan tambahan

Dari hasil penelitian ini didapatkan keluhan utama abses leher dalam yang paling banyak adalah keluhan pembengkakan di leher, yaitu 17 (33,3%) penderita diikuti dengan keluhan trismus 16 (31,4%) penderita. Hal ini dikarenakan banyaknya abses submandibula yang dijumpai dengan keluhan pembengkakan leher. Dan pada umumnya penderita datang ke rumah sakit setelah adanya keluhan pembengkakan leher, sehingga keluhan sebelumnya sering diabaikan. Sedangkan keluhan tambahan abses leher dalam yang paling banyak adalah sulit menelan dan nyeri leher 9 (17,6%) penderita. Keluhan utama dan keluhan tambahan saling berkaitan , namun penderita abses leher dalam sulit untuk membedakan antara keluhan utama dan keluhan tambahan sehingga penyampaiannya terkadang terbalik. Menurut penderita , keluhan utama dan tambahan merupakan 1 keluhan yang sama yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit.


(34)

Keluhan pembengkakan leher adalah hal yang paling sering dikeluhkan oleh penderita infeksi leher dalam. Pada pemeriksaan terlihat pembengkakan di daerah submandibula sampai ke leher. Bila pembengkakan terbatas pada bagian atas milohioid, terlihat penonjolan dibawah lidah sehingga lidah terangkat dan terdorong ke belakang. Dalam waktu 12-24 jam infeksi dapat belanjut menembus otot milohioid masuk ke ruang submaksila dan selanjutnya menyebar sampai ke daerah leher dan klavikula. Pada daerah submental teraba keras seperti papan, nyeri sentuh dan jarang disertai fruktuasi. Pada stadium lanjut penderita tampak sakit berat, suhu badan naik (Raharjo SP, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Abshirini et al abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat (Abshirini H et al.,2010). Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Shailesh et al yang dilakukan pada 298 kasus abses leher dalam, dijumpai keluhan terbanyak adalah pembengkakan leher yaitu 289 penderita sedangkan pada 9 penderita abses retrofaring tidak dijumpai keluhan pembengkakan leher (R. Shailesh et al., 2013). Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Lee et al pada 158 kasus abses leher dalam, dijumpai keluhan yang paling banyak pada infeksi leher dalam adalah pembengkakan di leher yaitu sebanyak 74,7% (Lee et al., 2007).

Hal yang berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Agricio et alterhadap 65 penderita infeksi leher dalam dijumpai keluhan terbanyak adalah nyeri 89,2% (Agricio et al., 2004).

5.3.4 Distribusi frekuensi abses leher dalam berdasarkan riwayat penyakit atau etiologi

hasil penelitian ini didapatkan riwayat penyakit abses leher dalam yang paling banyak adalah sakit gigi, yaitu 29 (56,9%) penderita.Pada penelitian ini


(35)

disebabkan oleh infeksi gigi dan mulut. Perjalanan penyakit abses leher dalam dapat berasal dari riwayat penyakit yang merupakan sumber infeksi leher dalam.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suebara dan kawan-kawan di São Paulo Santa Casa, Brazil pada 80 kasus abses leher dalam dijumpai penyebab terbanyak adalah infeksi gigi yaitu 27,5% dan tonsilitis sebanyak 22,5% (Suebara et al., 2008). Hal yang sama pada penelitian lain yang dilakukan terhadap 150 kasus abses leher dalam di Parana Brazil dari Januari 2000-Januari 2007 dijumpai 37% sumber infeksi pada infeksi leher dalam adalah infeksi gigi, diikuti oleh penyebab yang tidak jelas 33%, infeksi faring dan tonsil 20%, dan sisanya infeksi lain-lain (Matzelle et al., 2009).

Hal yang berbeda pada penelitian Lee dan kawan-kawan yang menemukan etiologi terbanyak penyebab infeksi leher dalam adalah tidak jelas/tidak diketahui sebanyak 116 (73,4%) penderita (Lee et al.,2007).

Infeksi gigi merupakan sumber infeksi terbanyak yang dapat mengakibatkan terjadinya abses leher dalam. Kebersihan mulut dan gigi yang kurang diperhatikan dan penyalahgunaan obat intravena bisa pula menjadi faktor tersering pada orang dewasa. Selain itu penyakit infeksi saluran nafas atas, trauma, benda asing juga merupakan etiologi dari infeksi leher dalam (Raharjo SP, 2013).


(36)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Jenis abses leher dalam yang paling banyak adalah abses submandibula yaitu sebanyak 24 penderita (47,1%) dan yang paling sedikit abses retrofaring sebanyak 3 penderita (5,9%).

2. Umur penderita untuk jenis abses leher dalam yang paling banyak dijumpai adalah >40 tahun kecuali pada abses parafaring dan retrofaring, dimana umur penderita terbanyak adalah 21-40 tahun.

3. Berdasarkan jenis kelamin, abses leher dalam yang terbanyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki dengan perbandingan 1,42 : 1.

4. Keluhan utama yang paling banyak dijumpai pada penderita abses leher dalam adalah pembengkakan di leher (33,3%), sedangkan keluhan tambahan paling banyak adalah sulit menelan dan nyeri leher (17,6%). 5. Berdasarkan riwayat penyakit, infeksi gigi pada 29 penderita (56,9%)

merupakan riwayat penyakit tersering pada abses leher dalam dan yang paling jarang adalah infeksi telinga 4 penderita (7,8%).

6.2 Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut yaitu:

1. Bagi RSUP H. Adam Malik Medan khususnya bagian rekam medik sebaiknya dapat melengkapi dan meningkatkan kualitas data rekam medik


(37)

pasien, sehingga dapat memberikan data yang lebih akurat bagi penelitian selanjutnya.

2. Diharapkan penelitian berikutnya menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak agar hasil yang di dapat lebih akurat.


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula (Gadre AK, Gadre KC, 2006).

Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut modifikasi dari Hollingshead berdasarkan penampang panjang leher yaitu ruang retrofaring, danger space, ruang prevertebral dan ruang viseral vaskular. Berdasarkan lokasinya di atas atau di bawah tulang hyoid. Ruangan yang berada di atas tulang Hyoid, dibagi menjadi ruang submandibula, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang parafaring dan ruang temporal. Sedangkan yang terdapat di bawah os hyoid terdiri dari ruang pretrakea dan ruang suprasternal (Quinn FB, Buyten J, 2005).


(39)

Gambar 2.1 Potongan aksial leher setinggi orofaring (Gadre AK, Gadre KC, 2006)

Gambar 2.2 Potongan obliq leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006)

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem muskuloapenouretik,yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagiandari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan (Gadre AK, Gadre KC, 2006; Abshirini H, 2010), yaitu

1. lapisan superfisial 2. lapisan tengah 3. lapisan dalam 2.1.1 Ruang potensial leher dalam

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerahsepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid .

A. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari: 1) ruang retrofaring

2) ruang bahaya (danger space) 3) ruang prevertebra.


(40)

B. Ruang suprahioid terdiri dari: 1) ruang submandibula 2) ruang parafaring 3) ruang parotis 4) ruang mastikor 5) ruang peritonsil 6) ruang temporalis

C. Ruang infrahioid : ruang pretrekeal (Gadre AK, Gadre KC, 2006;Murray A.D, Marcincuk M.C, 2010).

Gambar 2.3 Potongan Sagital Leher (Gadre AK, Gadre KC, 2006). 2.2 Definisi Abses Leher Dalam

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavum jaringan karena terjadinya proses infeksi ,paling sering bakteri dan parasit. Selain itu , dapat juga disebabkan oleh


(41)

merupakan mekanisme pertahanan jaringan dalam upaya mencegah penyebaran atau perluasan daerah infeksi ke bagian lain dari tubuh (DORLAND).

Abses leher dalam merupakan akumulasi nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorokan,sinus paranasal, telinga dan leher (Ballenger JJ, 1991; Abshirini H, 2010).

2.3 Epidemiologi

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

Murray et al (2011) di Inggris memperoleh 117 anak-anak yang mendapat terapi abses leher dalam pada rentang waktu 6 tahun. Abses peritonsil 49%, abses retrofaring 22%, abses submandibula 14%, abses bukkal 11%, abses parafaring 2%, lainnya 2%.

Sakaguchi et al (1997), melaporkan pada 91 kasus infeksi leher dalam dari tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.

Huang et al(2004) di departemen otolaringologi di National Taiwan University Hospital,dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).


(42)

sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.

Menurut Suebara A.B et al (2008) di Brazil, pada 80 penderita abses leher dalam yang ditatalaksana di unit gawat darurat dari tahun 1997 sampai 2003, didapatkan penderita abses leher dalam pria lebih banyak dari pada wanita dengan rincian 55 pria dan 25 wanita.Selain itu, letak abses leher dalam terbanyak di submandibula sebanyak 36 orang, parafaring dan submandibula 13 orang, hanya parafaring sebanyak 15 orang, bagian posterior leher sebanyak 5 orang. Sedangkan pada parafaring, mediastinal dan ruang pleural sebanyak 5 orang, retrofaring sebanyak 1 orang, retrofaring dan mediastinal sebanyak 1 orang, parafaring dan mediastinal sebanyak 1 orang, dan daerah mastoid dan submandibula sebanyak 1 orang .

2.4 Patogenesis

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob (Chuang YC, Wang HW, 2008; Yang S.W et al., 2008)

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus


(43)

infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila (Yang S.W, 2008, Rosen EJ, 2002).

Odontogenik merupakan penyebab abses leher dalam tersering (27,5%), diikuti oleh penyakit tonsilar (22,5%), infeksi kulit (8,75%) dan infeksi parotid (6,25%). Penyebab yang tidak jelas sebanyak 25 % pada 20 pasien. Penyebab lainnya (10%) adalah tuberkulosis ganglionar dengan abses sebanyak 3 orang, trauma lokal sebanyak 2 0rang, otitis media sebanyak 1 orang, infeksi kista thyroglossal sebanyak 1 orang {Suebara A.B et al., 2008). (Tabel 2.1)

Tabel 2.1 Penyebab abses leher dalam (Suebara A.B et al., 2008).

Penyebab Jumlah %

Odontogenic Tonsillar Skin infection Parotid Ganglionar TB Trauma Otitis media Infected thyroglossal Unknown 22 18 7 5 3 2 1 1 20 27,5 22,5 8,7 6,2 3,7 2,5 1,2 1,2 25

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan


(44)

stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium sppPenyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya(Brook I, 2002; Parchiscar A, 2001).

2.5 Jenis-jenis Abses Leher Dalam 2.5.1 Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya merupakan lanjutan dari infeksi tonsil. Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan, hipersalivasi, nyeri telinga dan suara bergumam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil hiperemis, dan kadang terdapat detritus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring.Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif (Murray A.D, 2010; Gadre A.K, Gadre K.C, 2006; Ballenger JJ, 1991).

Etiologi

Abses peritonsil ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilits, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob (Fachruddin D, 2007).

Gejala dan Tanda

Selain gejala dan tanda tonilitis akut, terdapat juga odinofagia(nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia),mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau(foetor exore), hipersalivasi, suara gumam(hot potato voice) dan


(45)

sukar membuka mulut(trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan (Fachruddin D, 2007)..

Diagnosis

Palatunm mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemia, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah (Fachruddin D, 2007).

2.5.2 Abses retrofaring

Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada anak dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak (Al Sahab B.MD, 2004). Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun.Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan (Rao SVSM et al., 2007; Al Sahab MD, 2004; Fachruddin D, 2007).

Etiologi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah

1) Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring

2) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakeal dan endoskopi

3) Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin) (Fachruddin D, 2007)

Gejala dan tanda

Gejala utama abses retrofaring adalah nyeri dan sukar menelan. Selain itu, juga terdapat demam, leher kaku, dan dapat pula timbul sesak


(46)

peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan ini dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis (Fachruddin D, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau trauma,gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa (Fachruddin D, 2007).

2.5.3 Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator. Gejala abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas (Abshirini H et al., 2010; Mckellop JA, 2010).

Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :

1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (M.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.


(47)

2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan mastoid. Vertebra servikal juga dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses.

3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula (Fachruddin D, 2007).

Gejala dan tanda

Gejala klinis utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitsr angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial (Fachruddin D, 2007). Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinis. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan (Fachruddin D, 2007).

2.5.4 Abses Submandibula

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur banyak, Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus. Ludwig’s angina merupakan sellulitis di daerah sub mandibula dengan tidak ada fokal abses. Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang (Murray A.D, 2011; Mckellop JA, 2010). Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob (Fachruddin D, 2007).


(48)

Gejala dan tanda

Pada Abses submandibula terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan (Fachruddin D, 2007)

2.5.4 Angina ludovici

Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut yang disebabkan oleh kuman aerob dan anaerob.Terdapat nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak nafas karena sumbatan jalan nafas.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici” , dapat terjadi fluktuasi (Fachruddin D, 2007).

2.6 Pola kuman

Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang jarang ditemukan (Rosen EJ, 2002; Kirse JD, Roberson DW, 2011)

Genus stafilokokus yang memiliki kepentingan klinis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat patogen utama pada manusia dan bersifat koagulase-positif. Dengan sifat koagulase ini memiliki potensi


(49)

sehingga menyulitkan tubuh untuk melakukan fagositosis. Infeksi S. aureus dapat bersifat hebat, terlokalisir, nyeri membentuk supurasi dan cepat sembuh dengan drainase pus (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007).

Staphylococcus epidermidis bersifat koagulase-negatif dan bersifat flora normal pada tubuh manusia seperti di saluran nafas atas. Infeksi dapat terjadi akibat adanya trauma atau inflantasi alat-alat, pada daya tahan tubuh yang rendah. Supurasi lokal merupakan ciri khas infeksi stafilokokus baik koagulase-positif maupun koagulase negatif. Dari fokus manapun, organisme dapat menyebar melalui vena maupun limfatik ke bagian tubuh lain. Supurasi dalam vena yang menimbulkan trombosis merupakan gambaran umum penyebaran tersebut (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..

Streptokokus mempunyai berbagai group sesuai dengan sifat dari kuman tersebut dan tidak ada satu sistem yang bisa mengklasifikasikannya secara sempurna. Yang banyak berperan pada abses leher dalam adalah

Streptococcus viridan, Streptococcus α-haemolyticus, Streptococcus β

-haemolyticus, dan Streptococcus pneumonia. Temuan klinis akibat infeksi streptokokus ini sangat bervariasi tergantung sifat biologi organisme penyebab, respon imun penjamu, dan tempat infeksi. Salah satu yang ditakutkan akibat infeksi streptokokus group A adalah terjadinya glomerulonefritis dan demam reumatik akibat reaksi hipersensitivitas terhadap kuman tersebut (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..

Entrobacteriaceae merupakan batang gram negatif yang besar dan heterogen. Pembiakan pada agar MacConkey, dapat tumbuh secara aerob maupun anaerob (fakultatif anaerob). Yang termasuk dalam famili ini antara lain Klebsiella sp, Proteus sp, E. coli. Klebsiella pneumonia terdapat dalam saluran nafas pada sekitar 5% individu normal. Proteus sp menimbulkan infeksi pada manusia hanya bila kuman keluar dari saluran cerna (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007)..

Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen oportunistik dalam tubuh manusia, bersifat invasif dan patogen nasokomial yang penting.


(50)

dibentuk akibat pseudomas merupakan pus yang hijau kebiruan (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007).

Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah: 1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari metabolisme anaerob. 2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa. 3. Adanya gas dalam jaringan. 4. Hasil biakan aerob negatif (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007).

Bacteroides termasuk kelompok besar basilus gram negatif dan tampak seperti batang yang tipis atau kokobasilus. Spesies bacteroides merupakan flora normal di dalam usus dan bagian tubuh lainnya. Pada infeksi bactroides sering dihubungkan dengan kuman-kuman lainnya. Spesies Prevotella juga termasuk kelompok basilus gram negatif dan tampak seperti batang yang tipis atau kokobasilus. Pada infeksi kuman ini sering bersamaan dengan anaerob lainnya terutam peptostreptococcus.

Fusobacterium merupakan bakteri batang pleomorfik gram negatif. Sebagian besar spesies menghasilkan asam butirat dan merubah treonin menjadi asam propionat. Kuman ini sering diisolasi dari mukasa yang terinfeksi. Kadang kuman ini menjadi satu-satunya kuman yang diisolasi dari infeksi atau abses yang ada Spesies peptostreptococcus merupakan spesies kokus gram positif dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi. Ditemukan di kulit dan merupakan flora normal di mukosa (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007).

Berbagai penelitian tentang kuman penyebab abses leher dalam telah banyak dilakukan. Botin et al (2003) mendapatkan Peptostreptococus, Streptococus viridan, Streptococus intermedius berkaitan dengan infeksi gigi sebagai sumber infeksi abses leher dalam dan mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah stafilokokus dan streptokokus.


(51)

Tabel. 2.2 Kuman Penyebab Abses leher dalam (Abshirini H, 2010),

Jenis Kuman Jumlah

pasien

% kultur +

Streptococcus viridans 63 39 Staphylococcus epidermidis 46 28 Staphylococcus aureus 35 22

Bactroides Sp 22 14

Streptococcus β-haemolyticus 34 21

Klebsiella pneumonia 11 6,8 Streptococcus pneumonia 10 6,2

Mycobacterium tb 10 6,2

Anaerob gram negatif 9 5,5

Neisseria sp 8 4,9

Peptostreptococcus 8 4,9

Jamur 8 4,9

Enterobacter 7 4,3

Bacillus sp 6 3,7

Propionibacterium 6 3,7

Acinetobacter 5 3,1

Actinimicosis israelii 3 1,9

Proteus sp 3 1,9

Klepsiella sp 3 1,9

Bifidobacterium 3 1,9

Microaerophilic streptococcus

3 1,9

Enterococcus sp 3 1,9

Moraxtella catarrhalis 2 1,2


(52)

Menurut Abshirini H (2010), pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam mendapatkan; stafilokokus 77%, Streptococcus β-haemolitycus 12,5%, Entrobacter 12,5%, Streptococcus α-haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%, Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar dkk,12 dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap 186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman, 24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman. Kuman terbanyak Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob terbanyak adalah bacteroides sp 14%. ( tabel 2.2)

Tabel 2.3 Pola kelompok kuman pada abses leher dalam (Brook I, 2002)

Hasil jumlah kasus Positif kuman 89 Kuman tunggal 38(42,7%) Gram positif aerob 14 Gram negatif aerob 21 Anaerob 3

Kuman campuran 51 (57,3%) Aerob saja 13

Gram positif saja 5 Gram negatif saja 1 Kedua gram 7 Anaerob saja 2 Campuran aerob-anaerob 36

Brook I (2002) menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang et al(2008)dari 100 pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman


(53)

Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia, Stapylococcus aureus. Kuman anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 2.3)

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang, periode April 2010 sampai dengan Oktober 2010 terdapat sebanyak 22 pasien abses leher dalam dan dilakukan kultur kuman penyebab, didapatkan 16 (73%) spesimen tumbuh kuman aerob, 6 (27%) tidak tumbuh kuman aerob dan 2 (9%) tumbuh jamur yaitu Candida sp(Rusli Muhammad, 2012). (Tabel 2.4)

infeksi leher dalam ditemukan 88 (74,6%) spesimen mengandung kuman anaerob. Kuman anaerob saja 19,5%, kuman aerob dan fakultatif saja 16,9%, campuran kuman aerob dan anaerob 55,1%, dan 8,5% tidak tumbuh kuman. Dari kuman anaerob tumbuh didapatkan gram negatif anaerob 50,8%, yaitu; Bacteroides fragillis 3,9%, Fusobacterium sp 9,4%, Prevotella spp 30,5%, lain-lain 7%, gram positif anaerob 49,2%, yaitu: Actinomycess spp 11,7%, Eubacterium spp 11,7%, lactobacillus spp 6,2%, propionibacterium spp 4,7%, kokus gram positif 10,9%

Tabel 2.4 Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang periode April 2010-Oktober 2010 (kuman aerob) (Rusli Muhammad, 2012)

Jenis Kuman Jumlah %

Streptocccus α haemoliticus 6 37

Klepsiella sp 4 25

Enterobacter sp 3 19

Staphylococcus aureus 2 12,5 Staphilococcus epidermidis 1 6

E. Coli 1 6

Proteus vulgaris 1 6


(54)

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang baik (Fachruddin D, 2007; Chuang YC; 2006; Kirse JD, 2001)

Menurut Poe et al (1996) penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama (Brook I, 2001). Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Jenis kuman yang bervariasi menyulitkan dalam pemberian antibiotik tanpa adanya uji kepekaan tersebut.

Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SWet al (2008)melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi penecillin, clindamycin dan gentamicin, kombinasi ceftriaxone dan clindamycin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan clindamycin, kombinasi penecillin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%.

Penecillin merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamicin


(55)

streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus pemakaian clindamycin pada infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.

Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab.Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, clindamycin, carbapenem, sefoxitine, atau kombinasi penecillin dan β-lactam inhibitor merupakan obat terpilih (Brook I, 2002).

Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram negatif.Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap Haemofillus influenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin (Yang SW et al., 2008). 2.8 Komplikasi

Kejadian komplikasi abses leher dalam menurun sejak pemakaian antibiotik yang lebih luas. Walau demikian tetap harus waspada terhadap tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin sangat berbahaya. Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi yang potensial terjadi pada abses leher dalam terutama Ludwig’s angina. Ruptur abses, baik spontan atau akibat manipulasi, dapat mengakibatkan terjadinya pneumonia, abses paru maupun empiema (Fachruddin D, 2007; Rosen EJ, 2002).

Komplikasi vaskuler seperti trombosis vena jugularis dan ruptur arteri karotis. Trombosis vena jugularis ditandai dengan adanya demam, menggigil, nyeri dan bengkak sepanjang otot sternokleidomastoideus pada saat badan membungkuk atau rukuk. Dapat terjadi bakteremia maupun sepsis. Kejadian


(56)

jugularis. Penyebab terbanyak adalah bakteri Fusobacterium necroforum, dan pada penyalahgunaan obat suntik penyebab terbanyak adalah stafilokokus (Rosen EJ, 2002)

Ruptur arteri karotis merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Ini biasanya terjadi pada abses parafaring bagian poststiloid, infeksi meluas ke bungkus karotis. Mediastinitis dapat terjadi akibat perluasan infeksi melalui viseral anterior, vaskuler viseral, maupun daerah retrofaring dan danger space. Pasien akan mengeluhkan nyeri dada dan sukar bernafas (Rosen EJ, 2002).


(57)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher tergantung ruang mana yang terlibat.Secara anatomi daerah potensial leher dalam merupakan daerah yang sangat komplek. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher dalam secara mutlak diperlukan untuk memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang ade kuat(Fachruddin D, 2007).

Gejala dan tanda klinis abses leher dalam tergantung ruang leher dalam yang terinfeksi dan secara umum sama dengan gejala infeksi pada umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Nyeri tenggorokan dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam dapat menjadi suatu komplikasi yang serius yang mengakibatkan obstruksi jalan napas,kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna yang berakhir pada kematian (Fachruddin D,2007). Gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat (Abshirini H et al.,2010).

Etiologi infeksi di daerah leher dapat beraneka ragam. Infeksi tonsil (45%), infeksi gigi (43%),dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%) adalah penyebab paling sering abses leher dalam (Parhiscar A, HarEl G,2001).Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran


(58)

penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran(Fachruddin D,2007). Asmar dikutip Murray et al,mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob,dan 50 % pasien ditemukan kuman anaerob (Baba Y et al.,2009).

Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina Ludovici (Ludwig’s angina). Di departemen THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping itu, higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke parafaring. Saat ini infeksi leher dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak, dan infeksi gigi pada orang dewasa (Paparella: Volume III: Head and Neck, 1991).

Pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat, disamping melakukan drainase abses secara optimal walaupun tidak ada angka estimasi yang diperoleh terhadap kejadian abses leher dalam, namun diperkirakan kejadian abses leher dalam menurun secara bermakna sejak pemakaian antibiotik (Murray A.D.MD, Marcincuk M.C.MD,2010). Pemeriksaan kultur kuman dan ujikepekaan antibiotik terhadap kuman sangat diperlukan untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien. Namun, hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara empiris.Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun


(59)

Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angkakejadian infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaranklinis penyakit ini. Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien dengan status immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa (Gadre AK,Gadre KC,2006;Fachruddin D,2007;Schreiner C et al.,2012).

Berdasarkan uraian di atas dan mengingat belum adanya data yang saya jumpai tentang gambaran kasus abses leher dalam di RSUP H. Adam Malik Medan. Oleh karena itu, penulis membuat karya tulis ilmiah dengan judul

“Gambaran Kasus Abses Leher Dalam di RSUP H. Adam Malik Medan

tahun 2012-2014”. 1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari karya tulis ilmiah ini adalah :

“Bagaimana gambaran kasus abses leher dalam di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2014”.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui gambaran kasus abses leher dalam di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi proporsi penderita abses leher dalam berdasarkan jenis-jenis abses leher dalam.

2. Mengetahui distribusi proporsi penderitaabses leher dalam menurut sosiodemografi antara lain : umur dan jenis kelamin. 3. Mengetahui distribusi proporsi penderita abses leher dalam


(60)

4. Mengetahui distribusi proporsi penderita abses leher dalam berdasarkan riwayat penyakit

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk : 1.4.1 Bagi Peneliti

1. Meningkatkan pengetahuan tentang gambaran kasus abses leher dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.4.2 Bagi RSUP Haji Adam Malik

1. Menambah dasar ilmiah tentang gambaran kasus abses leher dalam di di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Sebagai referensi terbaru dalam upaya pencegahan kejadian abses leher di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(61)

ABSTRAK

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2014

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Infeksi leher dalam ini masih merupakan kasus kedaruratan THT-KL meski angka kejadiannya telah menurun sejak diperkenalkannya antibiotik. Hal ini dikarenakan abses leher dalam dapat menyebabkan komplikasi yang fatal dan berujung pada kematian.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran abses leher dalam di departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012-2014. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif terhadap 51 penderita abses leher dalam dari tahun 2012 sampai 2014. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling

Hasil dan kesimpulan penelitian dari 51 penderita yaitu abses terbanyak adalah abses submandibula 47,1% dan abses yang paling sedikit adalah abses retrofaring 5,9 %. Abses leher dalam lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan 1,42 : 1 dengan kelompok umur terbanyak >40 tahun 49 % dan kelompok umur yang paling sedikit 0-20 tahun 7,8%. Keluhan pembengkakan di leher 33,3 % merupakan keluhan utama terbanyak yang dikeluhkan, sedangkan keluhan tambahan terbanyak adalah sulit menelan dan nyeri leher masing-masing 17,6%. Infeksi gigi 56,9% adalah riwayat penyakit terbanyak menjadi etiologi abses leher dalam, diikuti faringitis dan tonsilitis 25,5%, penyakit sistemik 9,8% dan Infeksi telinga 7,8%.


(62)

ABSTRACT

THE DESCRIBING OF DEEP NECK INFECTION CASES AT H.ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN IN 2012-2014

A deep neck infection is a abscess in potential space between the fascia of deep neck due to many infections, such as teeth, mouth, throat, paranasal sinuses, ear and neck depend on which space being infected. Deep neck infection is still emergency case at ENS-HNS although Infective involvement of these spaces has substantially declined by antibiotics consumption. It was because a deep neck infection can cause resulting a fatal complication and dead for the end.The purpose of this study was to identify the describing of deep neck infection at ENS-HNS departement H.Adam Malik general hospital ini 2012-2014. The method was a descriptive study of 51 deep neck infection patients in 2012-2014. Sample was taken by total sampling method.

Result and conclusion of this study from 51 patients was submandibula abscess 47,1% as the most happened and retrofaring 5,9% as the most rare. A deep neck infection more happened on men than women 1,42:1 with aged group >40 years 49%, 21-40 years 43,1%, and 0-20 years 7,8%. Swelling of neck 33,3% was the most main complaint, and the other complaint was diffucutt throat and pain neck each 17,6%. Tooth infection 56,9% is the most disease history that become etiology of deep neck infection, followed by faringitis and tonsilitis 25,5%, sistemic disease 9,8% and ear infection 7,8%.


(63)

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2014

Oleh :

VERA ANGRAINI

120100290

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(64)

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2014

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

VERA ANGRAINI

120100290

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(65)

(1)

vii

5.2.6 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam

Berdasarkan Riwayat Penyakit ... 39

5.3 Pembahasan ... 40

5.3.1 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam Berdasarkan Jenis Abses Leher Dalam ... 40

5.3.2 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 41

5.3.3 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam Berdasarkan Keluhan Utama dan Keluhan Tambahan 42 5.3.4 Distribusi Frekuensi Abses Leher dalam Berdasarkan Riwayat Penyakit ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1 Kesimpulan ... 46

6.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(2)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Penyebab abses leher dalam ... 10 Tabel 2.2. Kuman penyebab abses leher dalam ... 18 Tabel 2.3. Pola kelompok kuman abses leher dalam ... 20 Tabel 2.4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr.

M.Djamil Padang periode April 2010-Oktober 2010

(kuman aerob) ... 21 Tabel 5.2.1 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam

Berdasarkan Jenis Abses Leher Dalam ... 31 Tabel 5.2.2 Distribusi Frekuensi Abses Leher

Dalam Berdasarkan Umur ... .. 32 Tabel 5.2.3 Distribusi Frekuensi Abses Leher

Dalam Berdasarkan Jenis Kelamin ... ... 32 Tabel 5.2.4 Distribusi Frekuensi Abses Leher

Dalam Secara umum Berdasarkan Keluhan Utama ... 33 Tabel 5.2.5 Distribusi Frekuensi Abses retrofaring

Berdasarkan Keluhan Utama ... 33 Tabel 5.2.6 Distribusi Frekuensi Abses parafaring

Berdasarkan Keluhan Utama ... 34 Tabel 5.2.7 Distribusi Frekuensi Abses Submandibula Berdasarkan

Keluhan Utama ... 34 Tabel 5.2.8 Distribusi Frekuensi Abses Peritonsilar Berdasarkan

Keluhan Utama ... 35 Tabel 5.2.9 Distribusi Frekuensi Angina Ludwig Berdasarkan Keluhan

Utama ... 36 Tabel 5.2.10 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam Secara

umum Berdasarkan Keluhan Tambahan ... 36 Tabel 5.2.11 Distribusi Frekuensi Abses Retrofaring


(3)

ix

Tabel 5.2.12 Distribusi Frekuensi Abses Parafaring

Berdasarkan Keluhan Tambahan ... 37 Tabel 5.2.13 Distribusi Frekuensi Abses Submandibula Berdasarkan

Keluhan Tambahan ... 38 Tabel 5.2.14 Distribusi Frekuensi Abses Peritonsilar Berdasarkan

Keluhan Tambahan ... 38 Tabel 5.2.15 Distribusi Frekuensi Angina ludwig Berdasarkan Keluhan

Tambahan ... 39 Tabel 5.2.16 Distribusi Frekuensi Abses Leher Dalam Berdasarkan


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Potongan aksial setinggi orofaring... 5

Gambar 2.2. Potongan obliq leher ... 6

Gambar 2.3. Potongan sagital leher... 7


(5)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Ethical Clearance LAMPIRAN 3 Data Induk Pasien


(6)

DAFTAR SINGKATAN

AP : Anterior posterior