KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KEMISKINAN

Kebijakan Pemberantasan Kemiskinan
Oleh : Agus Ngadino, SH, MH.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan diberbagai daerah dalam
waktu dekat ini mesti menjadi momentum penting untuk mewujudkan impian bangsa
Indonesia tentang kemakmuran masyarakat dari kemiskinan. Isu yang secara yuridis
menjadi prioritas dalam upaya program pembangunan nasional. Karena itu tak dapat
disangkal lagi ini harus menjadi isu utama bagi para calon kepala daerah. Suatu amanat
yang sudah digariskan untuk mewujudkan tujuan negara yang dimuat dalam konstitusi.
Pilihan yan memberi ruang kepada pemerintah untuk menggerakkan pembangunan yang
dianut dalam konsep welfare state (negara kesejahteraan)
Berakar dari konsep welfare state maka sudah seharusnya politik hukum menjadi
lebih memihak pada rakyat. Dengan pemberian freies ermessen (kekuasaaan diskresi)
dibuat dengan mewujudkan kebijaksanaan pembangunan mengarah pada pemberantasan
kemiskinan. Jangan sampai menambah kemiskinan atau semakin “memiskinkan” yang
sudah miskin. Ambang batas kemiskinan harus diselamatkan. Karena itu harus ada upaya
pemerataan dalam mebuat harmonisasi kepentingan. Harus ada keseimbangan antara
kepentingan pembangunan dan penyelamatan kehidupan masyarakat kecil. Pembangunan
terus dilaksanakan, tetapi juga harus ada upaya penyelamatan atas dampak pembangunan.
Negara melalui pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab dan peran besar dalam
mewujudkan semua itu. Karena itu perlu pemerintah yang kuat dalam mewujudkan itu.

Salah satunya dimanefestasikan dengan hadirnya seseorang pemimpin yang memiliki visi,
misi, dan program yang jelas dalam pemberantasan kemiskinan.
Kesadaran akan isu pemberantasan kemiskinan sebenarnya sudah menjadi isu
internasional. Seperti tiap tanggal 17 Oktober 2007 jutaan warga dunia memperingati hari
pemberantasan kemiskinan sedunia (International Day of Poverty Eradication). Peringatan
tersebut menjadi refleksi untuk kembali mempertanyakan tangnggung jawab negara atas
nasib rakyatnya dalam status miskin. Secara konstitusional tentu patut menjadi pertanyaan
karena menurut UUD 1945 pasal 34 jelas mengatur hal tersebut. Pasal 34 ayat (1) fakir

miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Pasal 34 ayat (2) Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pasal 34
ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
HAM diatur dalam Pasal 34 merupakan HAM yang menyatakan komitmen negara
terhadap kelompok masyarakat marjinal. Ketentuan Pasal 34 ini sesuai dengan tujuan
Negara Repunlik Indonesia yang diamanatkan dalam pembukauan UUD 1945, yang
menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk “memajukan kesejahteraan umum…. Dan
keadilan sosial….”. konsekuensinya, timbul kewajiban negara yang memelihara fakir
miskin dan anak-anak terlantar sebagai perwujudan dan pengamalan dari sila kelima

Pancasila. Implementasi dari pasal ini antara lain dituangkan dalam UU Nomor 53 tahun
1974 (LN Nomor 53 tahun 1974) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Selain itu Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan pasal tersebut
berkaitan dengandasar kesejahteraan dan keadilan, pekerjaan yang diharapkan adalah yang
layak bagi kemanusiaan. Pasal ini mengisyaratkan adanya kewajiban Pemerintah untuk
memberantas pengangguran dan keharusan untuk mengusahakan supaya setiap warga
negara bisa dapat pekerjaan dengan nafkah yang layak untuk hidup. Pekerjaan dalam
konteks ini adalah kerja yang layak bagi penghidupan dan bukan kerja yang diwarnai oleh
penindasan atau eksploitasi, melainkan harus layak untuk penghidupan.
Realitas kemiskinan Negara Indonesia yang berdasatkan data Badan Pusat Statistik
per Juli 2007 menunjukkan bahwa masyarakat miskin Indonesia berjumlah 37,17 Juta
orang. Sedangkan menurut data di PBB angka kemiskinan mencapai 70 juta bila mengacu
standart Bank Dunia, yang mengkategorikan orang miskin jika berpenghasilan dibawah dua
dolar per hari, masyarakat miskin di Indonesia lebih banyak lagi. Kondisi kemiskinan
tersebut ternyata cukup besar dan bahkan dapat semakin bertambah pada masa krisis
sekarang ini.
Fakta lain yang menentukan realitas kemiskinan di Indonesia adalah makin
derasnya laju migrasi tenaga kerja di luar negeri. Ini memperlihatklan bahwa lapangan


kerja tak tersedia di Indonesia. Tahun lalu berdasarkan laporan perkembangan pencapaian
tujuan Pembangunan Milenium negara-negara Asia dan Pasifik, Indonesia masih
dikategorikan sebagai negara yang lamban dalam pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium jika tidak dibarengi dengan kemauan politik dan anggaran negara yang prorakyat
miskin.
Ironisnya angka statistik menjadi bahan politik, tidak ada standar ukuran sehingga
hanya berdasarkan kepentingan kelompok, konsolidasi tidak berjalan dengan baik, antar
instansi pemerintah punya target yang berbeda. Angka statistik hanya menjadi tampilan
hanya

sekedar alat justifikasi untuk mempertahankan suatu kepentingan. Disisi lain

masyarakat juga terjebak dari data statistik tersebut hanya umtuk kepentingan pragmatis.
Masuk sebagai daftar miskin demi mendapatkan dana sosial yang sebenarnya bukan
untuknya.
Prioritas pemberantasan kemiskinan harus berdasarkan pada amanat UndangUndang Dasar yaitu dengan membuat prioritas kebijakan berorientasi atas lima hal yaitu,
pertama; pekerjaan dengan penghidupan yang layak; perlu ada sistem penciptaan lapangan
tenaga kerja yang berintegrasi dengan lembaga pendidikan. Oleh karena itu perlu penataan
institusi dan anggaran dalam mengatasi adanya pengangguran. Hal ini penting karena ini
jauh lebih mudah dibandingkan dengan beberapa negara yang mempunyai kebijakan

menanggung rakyatnya yang masih pengangguran atau lanjut usia. Kedua; pendidikan;
komitmen untuk menanggung pendidikan anak dari keluarga miskin serta tetap konsisten
melaksanakan amanah UUD 1945 tentang 20% anggaran pendidikan. Ketiga; menata akses
yang sederhana tentang pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Keempat; pelayanan
umum; peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas pelayanan umum dengan tetap menjaga
agar tidak mengikis kepentingan rakyat kecil dengan berbagai retribusi yang memberatkan.
Kelima; partisipasi publik; membuka ruang yang seluas-luasnya untuk partisipasi publik
dalam pengambilan kebijakan dan membatasi pragmatisme dalam politik yang cenderung
mengambil tindakan yang bersifat jangka pendek saja. Karena partisipasi publik menjadi
unsur penting dalam konteks pembangunan ekonomi rakyat.