KEBIJAKAN PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDO

KEBIJAKAN PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Tugas ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Masalah Kebijakan Pembangunan

Disusun Oleh:
Argo Fahma A.
Johan Balik S.
Abdul Mafahir
Martiyas Dwi Prasetyo
Intan Mala Sari
Ghaniy Sanaubar

201310180311117
201310180311124
201310180311129
201310180311139
201310180311147
201310180311162

ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk banyak di Asia.
Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237,6 juta jiwa (BPS, 2010),
diperkirakan meningkat pada setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
seharusnya berkontribusi positif terhadap kegiatan
ekonomi. Namun pada
kenyataannya, tingginya pertumbuhan penduduk tersebut malah memberikan dampak
yang cukup serius. Keadaan yang menunjukkan terus meningkatnya jumlah penduduk
ini justru memicu berbagai masalah, salah satu diantaranya adalah masalah
kemiskinan. Kemiskinan merupakan fenomena serius yang dihadapi Indonesia saat
ini.
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi
pusat perhatian pemerintah di Indonesia karena terbilang cukup sulit untuk
mengatasinya. Terkadang ada kalanya suatu kemiskinan harus benar-benar terjadi

karena adanya suatu kondisi yang memaksa seseorang untuk miskin misalnya krisis
ekonomi, juga gaya hidup dan budaya yang justru mengakibatkan masyarakat
Indonesia itu menjadi miskin. Hal tersebut diperparah dengan banyaknya rumah
tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional sehingga banyak penduduk
yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan.
Kemiskinan rentan ditandai dengan sejumlah besar penduduk Indonesia yang
hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Perbedaan antara penduduk
miskin dengan hampir miskin sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan karena
masyarakat yang berpengeluaran antara 1 sampai 2 dolar AS per hari, namun pada
kenyatataanya masyarakat di Indonesia cenderung berpengeluaran 1.55 dolar AS per
hari. Hal ini juga kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Selain itu,
ukuran kemiskinan yang didasarkan pada pendapatan juga menjadi penyebab
kemiskinan di Indonesia.
Ukuran kemiskinan yang didasarkan pada pendapatan mempertimbangkan
pada dimensi kesejahteraan. Namun, ukuran ini justru tidak menggambarkan batas
kemiskinan yang sebenarnya. Pasalnya, banyak orang yang mungkin tidak tergolong
miskin dari segi pendapatan dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya
akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan
manusia. Hal tersebut didukung dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) di Indonesia pada peringkat 109 dari 175 negara yang diukur (United Nations

Development Program, 2007) menjadi pertanda bahwa relatif rendahnya kualitas
hidup sebagian besar rakyat Indonesia yang menjadi masalah krusial dan belum
mendapatkan jalan keluar. Di samping itu, perbedaan antar daerah juga merupakan
ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Keragaman kemiskinan antar wilayah yang merupakan ciri khas Indonesia,
diantaranya tercerminkan dengan adanya perbedaan antara daerah perdesaan dan
perkotaan. Dalam hal ini kemiskinan lebih dominan terjadi di masyarakat perdesaan.
Data menunjukkan tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia, dimana bila dilihat dari
2

persentase penduduk miskin (Head Count Index atau rasio penduduk miskin terhadap
total penduduk), penduduk miskin di perdesaan (20,33%) lebih banyak daripada yang
berada di perkotaan (13,57%). Dari data tersebut dapat dicermati bahwa jumlah
penduduk miskin di perdesaan jauh lebih besar dari yang berada di perkotaan (BPS,
2003:1). Tetapi yang terpenting adalah dengan melintasi kepulauan Indonesia yang
sangat luas, akan ditemui kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri.
Kemiskinan antar wilayah masih belum menemukan jalan keluar. Kemiskinan
antar wilayah di Indonesia disebabkan oleh tidak meratanya pelayanan dasar antar
daerah. Hal ini diperparah dengan kurangnya sarana-prasarana di daerah-daerah
terpencil. Di Jawa rata-rata jarak rumah tangga ke puskesmas terdekat adalah empat

kilometer, sedangkan di Papua 32 kilometer. Data menunjukkan kemiskinan di Jawa
Bali adalah 15,7 persen, sedangkan di Papua adalah 38,7 persen. Hal ini yang
menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia bagian timur lebih tinggi daripada
Indonesia bagian barat.
Tingginya tingkat kemiskinan yang melanda wilayah Indonesia bagian timur
yang terbilang masih belum mendapatkan jalan keluar menyebabkan pemerintah
melakukan beberapa kebijakan pembangunan dengan maksimal untuk mengurangi
jumlah penduduk miskin. Namun, bukan hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur,
karena sebagian besar masyarakat miskin juga hidup di wilayah Indonesia bagian
barat. Kebijakan pemerintah untuk mengentaskan masalah kemiskinan diantaranya
adalah dengan menjadikan pertumbuhan ekonomi, pelayanan masyarakat untuk
memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, menjadikan belanja
pemerintah bermanfaat bagi penduduk miskin, serta kebijakan yang memihak kepada
kelompok atau orang miskin.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu strategi untuk mengurangi
jumlah penduduk miskin. Hal tersebut merupakan kunci bagi upaya untuk
menghubungkan penduduk miskin dengan proses pertumbuhan, bahkan baik dalam
konteks perdesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan
wilayah dan kepulauan. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek
ketimpangan wilayah. Tidak hanya itu, berkaitan dengan padatnya konsentrasi

distribusi pendapatan Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan
penduduk akan dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan
kemiskinan. Di samping itu, pelayanan masyarakat untuk memperbaiki indikatorindikator pembangunan manusia juga merupakan hal mutlak dalam penanganan
kemiskinan di Indonesia.
Perbaikan indikator-indikator pembangunan manusia merupakan kunci dalam
menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Hal ini lebih dari
sekedar yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan
perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan
proses kepemerintahan. Pasalnya ciri ketimpangan wilayah dicerminkan oleh
perbedaan dalam akses layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya
perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Di
sisi lain, kebijakan pemerintah yang menjadikan belanja pemerintah dapat bermanfaat
bagi penduduk miskin merupakan upaya dalam mengentaskan kemiskinan di
Indonesia.

3

Menjadikan belanja pemerintah bermanfaat bagi penduduk miskin merupakan
upaya untuk membantu masyarakat Indonesia dalam menghadapi kemiskinan (baik
dari segi pendapatan-maupun non pendapatan). Dalam hal ini pengeluaran pemerintah

dapat digunakan untuk membantu masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan dari
segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan social modern yang meningkatkan
kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Pengeluaran
pemerintah juga dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator
pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan dari aspek
non-pendapatan. Di samping hal tersebut, kebijakan yang memihak kepada kelompok
atau orang miskin juga merupakan kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Kebijakan yang memihak kepada kelompok atau orang miskinmem
prioritaskan tiga hal yaitu memperkuat kapasitas ekonomi kelompok miskin,
memberikan modal yang memadahi sehingga ada proses transformasi ekonomi untuk
menanggulangi kemiskinan dan perlindungan bagi kelompok atau orang miskin agar
berdaya dalam meningkatkan skill produksi dan kemampuan sumber daya manusia
lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang penelitian di atas telah disinggung tentang kemiskinan dan
ketimpangan distribusi pendapatan. Sehubungan dengan hal di atas, maka peneliti
menemukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi kemiskinan di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana kebijakan di Indonesia saat ini untuk mengentaskan kemiskinan?
3. Bagaimana kebijakan yang seharusnya diterapkan untuk mengentaskan

kemiskinan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kondisi kemiskinan di Indonesia saat ini.
2. Untuk mengetahui kebijakan di Indonesia saat ini untuk mengentaskan
kemiskinan.
3. Untuk menjelaskan kebijakan yang seharusnya diterapkan untuk mengentaskan
kemiskinan di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Ada pun manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi Pemerintah Pusat

4

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi
pemerintah pusat dalam menganalisis kesenjangan pendapatan terhadap
tingkat kemiskinan.
2. Bagi calon peneliti
Penelitian ini untuk menambahkan wawasan peneliti yang berhubungan

dengan kesenjangan pendapatan terhada tingkat kemiskinan di Indonesia,
dan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi
untuk melakukan penelitian sejenis lainnya.

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kemiskinan
Garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga adalah senilai
2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg beras setiap orang per
tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini yang setara denngan nilai beras
dimaksudkan ini untuk dapat membandingkan tingkat hidup antar waktu dan
perbedaan harga kebutuhan harga pokok antar wilayah. Pendapat Sajogyo ini pada
masa berikutnya dapat kritikan dari Both dan Sundrum, karena dalam kenyataannya
beras tidak merupakan bahan kebutuhan pokok penduduk pedesaan yang miskin
terutama di Pulau Jawa (Sajogyo, 1997).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan
pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan

dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka perkiraan pada 2001 1,1 milyar orang di
dunia mengonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 milyar orang di dunia mengonsumsi
kurang dari $2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam
Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat
pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup di bawah garis
kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi, nilai dari $1 juga
mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut. Meskipun kemiskinan yang paling
parah terdapat di dunia berkembang, ada bukti tentang kemiskinan di setiap region. Di
negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke
sana kemari dan daerah pinggiran kota yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai
kondisi kolektif masyarakat miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini
biasanya disebut sebagai negara berkembang.
Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (2007) agar seseorang dapat hidup
layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu
perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan,
kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis
kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan
makanan.


B. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
1) Faktor penyebab kemiskinan menurut Paul Spicker (2002, Poverty and the
Welfare State : Dispelling the Myths, A Catalyst Working Paper, London:
Catalyzt.) penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam empat mahzab:

6



Individual explanation, diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu
sendiri: malas, pilihan yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan,
belum siap memiliki anak dan sebagainya.



Familial explanation, akibat faktor keturunan, dimana antar generasi terjadi
ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat pendidikan.




Subcultural explanation, akibat karakteristik perilaku suatu lingkungan
yang berakibat pada moral dari masyarakat.



Structural explanations, menganggap kemiskinan sebagai produk dari
masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan
status atau hak.

2) Faktor penyebab kemiskinan menurut Sharp et al. (Sharp, A. M., Register, C.A.,
Grimes, P.W. (2000), Economics of Social Issues 14th edition, New york:
Irwin/McGraw-Hill) meliputi:


Rendahnya kualitas angkatan kerja.
Salah satu penyebab terjaadinya kemiskinan adalah karena rendahnya
kualitas angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka
buta huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta
huruf sebesar 1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka
diatas 50%.



Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.
Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja
(capital-to-labour rations) menghasilkan produktivitas yang rendah yang
pada akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan.



Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.
Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai
tingkat produktivitas yang rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah
menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan
dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat
penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari
penggunaan alat-alat produksi yang masih tradisional.



Penggunaan sumberdaya yang tidak efisien.
Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh
dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya
masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi.



Pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur
sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini
7

mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan.
Kekurangan bahan pangan merupakan salah satu indikasi terjadinya
kemiskinan.
3) Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000:107) sebagai berikut:


Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidak samaan pola
kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan
timpang, penduduk miskin hanya memilki sumber daya dalam jumlah yang
terbatas dan kualitasnya rendah.



Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena
kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya juga
rendah, upahnyapun rendah.



Kemiskinan muncul karena perbedaan akses dan modal.

4) Sendalam Ismawan (2003:102) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan
keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.
Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses manusia mempunyai
keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali
menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan apa yang
seharusnya dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan
dalam melakukan pilihan, akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan
hidupnya menjadi terhambat.
5) Penyebab kemiskinan menurut Nazara, Suhaisil (2007:23) sebagai berikut:


Kemiskinan selalu dikaitkan dengan ketidakmampuan dalam mencapai
pendidikan tinggi.
Hal ini berkaitan dengan mahalnya biaya pendidikan, walaupun pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan uang bayaran
di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP),
namun komponen biaya pendidikan lain yang harus dikeluarkan masih
cukup tinggi, seperti uang buku dan seragam sekolah. Biaya yang harus
dikeluarkan orang miskin untuk menyekolahkan anaknya juga harus
termasuk biaya kehilangan dari pendapatan (apportunity cost) jika anak
mereka bekerja.



Kemiskinan juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu.
Di Indonesia kemiskinan selalu terkait dengan sektor pekerjaan di bidang
pertanian untuk daerah pedesaan dan sektor informal di daerah perkotaan.
Pada tahun 2004 terdapat 68,7 persen dari 36,10 juta orang miskin tinggal
di daerah pedesaan dan 60 persen diantaranya memiliki kegiatan utama di
sektor pertanian (Sudaryanto dan Rusastra: 2006), hal ini diperkuat dengan
hasil studi yang dilakukan oleh Suryahadi et al. (2006), yang menemukan
bahwa selama periode 1984 dan 2002, baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan, sektor pertanian merupakan penyebab utama kemiskinan. Dalam
8

studi tersebut juga ditemukan bahwa sektor pertanian sektor pertanian
menyumbang lebih dari 50 persen terhadap total kemiskinan di Indonesia
dan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan industri.
Dengan demikian tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian
menyebabkan kemiskinan diantara kepala rumah tangga yang bekerja di
sektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
bekerja di sektor lainnya.


Hubungan antara kemiskinan dan gender.
Di Indonesia sangat terasa sekali dimensi gender dalam kemiskinan, yaitu
dari beberapa indikator kemiskinan seperti tingkat buta huruf, angka
pengangguran, pekerja di sektor informal dan lain-lainnya, penduduk
perempuan memiliki posisi yang lebih tidak menguntungkan daripada
penduduk laki-laki (ILO:2004).



Hubungan antara kemiskinan dengan kurangnya akses terhadap berbagai
pelayanan dasar infrastruktur.
Sistem infrastruktur yang baik akan meningkatkan pendapatan orang miskin
secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan layanan kesehatan,
pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air dan kondisi
sanitasi yang lebih baik (Sida; 1996).



Lokasi geografis.
Ini berkaitan dengan kemiskinan karena ada dua hal. Pertama, kondisi alam
yang terukur dalam potensi kesuburan tanah dan kekayaa alam. Kedua,
pemerataan pembangunan, baik yang berhubungan dengan pembangunan
desa dan kota, ataupun pembangunan antar provinsi di Indonesia. Selain itu
dalam melihat kemiskinan ada dimensi lain yaitu dimensi bukan
pendapatan, seperti rendahnya pencapaian di bidang pendidikan dan
penyediaan akses paa pelayanan dasar di berbagai daerah terutama di
wilayah timur Indonesia, hal ini semakin mempertegas adanya kesenjangan
berdasarkan lokasi geografis.

9

Faktor-faktor tersebut ada keterkaitan satu sama lainnya yang
membentuk lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Rumah
tangga miskin pada umunya berpendidikan rendah dan terpusat di daerah
pedesaan, karena berpendidikan rendah, maka produktivitasnya rendah
sehingga imbalan yang akan diperoleh tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan.
Akibatnya, rumah tangga miksin pula pada generasi berikutnya. Selain itu,
adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal
juga menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas
Gambar 1.1
Lingkaran Setan Kemiskinan (The Vicious Circle of
Poverty)
Ketidaksempurnaan pasar,
Keterbelakangan,
Ketertinggalan

Kekurangan
Modal
Produktivitas
Rendah

Investasi Rendah

Tabungan Rendah

Pendapatan
Rendah

Sumber: Tulus Tambunan T.H. 2008 dalam
Pembangunan Ekonomi & Utang Luar Negeri
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang diterima. Rendahnya
pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi.
Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya1.

C. Karakteristik Rumah Tangga Miskin
1) Karakteristik Demografi Kepala Rumah Tangga Miskin
Beberapa karakteristik demografi tentang kepala rumah tangga miskin
yang dapat dianalisis sesuai dengan ketersediaan data mencakup rata-rata jumlah
anggota rumah tangga, wanita sebagai kepala rumah tangga, dan rata-rata usia
1 Ragnar Nurkse, ekonom pembangunan ternama di tahun 1953, yang mengatakan: “a poor country is poor
because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin).

10

kepala rumah tangga. Untuk perbandingan, data disajikan dalam bentuk
perbandingan, data disajikan dalam bentuk perbandingan antara rumah tangga
miskin dan rumah tangga tidak miskin. Dilihat menurut rata-rata jumlah anggota
rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan
dengan rumah tangga tidak miskin.
Hal ini diyakini karena rumah tangga miskin cenderung mempunyai
tingkat kelahiran yang tinggi. Kenyataan bahwa rumah tangga miskin umumnya
memiliki keterbatasan akses terhadap pendapatan dan kesehatan yang dapat
mengakibatkan kurangnya pemenuhan gizi anak-anak rumah tangga miskin,
jumlah anggota rumah tangga yang besar pada gilirannya dapat menghambat
peningkatan sumberdaya manusia di masa depan yang dalam hal ini adalah anakanak. Jika hal ini terjadi maka mereka akan mewarisi (tetap hidup dalam
kemiskinan) di masa mendatang.
2) Karakteristik Pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin
Pendidikan berkaitan erat dengan kemiskinan. Orang yang berpendidikan
lebih baik cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik pula. Karena
orang yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih baik untuk
mendapatkan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebi tinggi dibanding mereka
yang berpendidikan rendah. Dengan demikian orang yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah memiliki peluang yang yang lebih kecil untuk menjadi
miskin dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Untuk melihat
kecenderungan tersebut, beberapa karakteristik pendidikan seperti rata-rata
lamanya sekolah, kemampuan baca tulis, dan tingkat pendidikan yang ditamatkan
kepala rumah tangga miskin menarik untuk dicermati.
3) Karakteristik Ketenagakerjaan Kepala Rumah Tangga Miskin
Salah satu indikator tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah sumber
penghasilan utama rumah tangga. Sumber penghasilan utama umumnya terkait
erat dengan tingkat penghasilan. Misalnya penghasilan/upah yang bersumber dari
pekerjaan di sektor formal cenderung lebih tinggi dibandingkan upah yang
bersumber dari pekerjaan informal. Dengan demikian rumah tangga yang
memiliki sumber penghasilan utama berasal dari sektor akan cenderung lebih
sejahtera (dalam arti memiliki penghasilan yang lebih tinggi) dibandingkan
dengan rumah tangga yang sumber penghasilan utamanya berasal dari sektor
informal.
Dua karakteristik utama ketenagakerjaan yang diharapkan mampu
menggambarkan perbedaan antara rumah tangga miskin dan rumah tangga tidak
miskin berdasarkan ketersediaan data yang ada adalah lapangan usaha atau
sektor dan jumlah jam kerja seminggu.

D. Mengukur Kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau
11

hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase
penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di baah garis
kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil
sehingga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemjuan yang
diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan disepanjang waktu.
Rumus dalam perhitungan garis kemiskinan (Menurut BPS) ialah:
GK =GKM +GKBM

Keterangan:
GK

= Garis Kemiskinan

GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKBM= Garis Kemiskinan Bukan Makanan
Kebutuhan minimum makanan yang disertakan dengan 2100 kalori per
kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis
komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll)
Garis kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan.

E. Konsep Kemiskinan
Ada tiga macam konsep kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan
relatif, dan kemiskinan subyektif2. Kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat
ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick). Masing-masing negara mempunyai
batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda sebab kebutuhan hidup dasar
masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya
dipastikan, konsep kemiskinan ini mengenal garis batas kemiskinan.
Konsep kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan “the idea of relative
standard” yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya
adalah kemiskinan disuatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan kemiskinan
pada suatu waktu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan semacam ini
lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgement) anggota
masyarakattertentu dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini
juga dikritik, terutama karena sangat sulit dan terus berubah-ubah. Layak bagi
komunitas tertentuboleh jadi tidak layak bagi komunitas lain, demikian juga layak
pada saat sekarang boleh jadi tidak untuk mendatang.

2 Sunyoto Usman, 2004.

12

Sedangkan kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan persaan kelompok
miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardstick, tidak
memperhitungkan the idea of relatives standard. Kelompok yang menurut ukuran
kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi menganggap dirinya sendiri
miskin atau sebaliknya. Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong hidup
dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap seperti itu. Oleh karenanya,
konsep ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemisinan
dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya.

F. Dimensi Kemiskinan
Ada dua macam persepekti yang lazim dipergunakan untuk mendekati
masalah kemiskinan, yaitu perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif
struktural atau situasional (situational perspective)3. Perspektif kultural mendekati
masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, yaitu individual, keluarga, dan
masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim
disebut dengan a strong feeling of marginality seperti sikap parokial, apatisme,
fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung, dan inferior. Pada tingkat
keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free
union or consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama
ditunjukkan oleh tidak terintergasinya kaum miskin dengan institusi-institusi
masyarakat yang efektif. Mereka sering kali mendapat perlakuan sebagai obyek yang
perlu digarap daripada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.
Sedangkan menurut perspektif situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai
dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang
memperhatikan pemerataan hasil pembangunan.
Secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui
“institutional arrangements” yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita.
Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada
“kelemahan diri”, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural seperti diungkap
diatas. Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan
strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dilaksanakan serta dari pengambilan
posisi pemerintahan dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi.

G. Indikator Kemiskinan
Tabel 1.1. Indikator Kemiskinan
Sajogyo (1997)
Mengukur
kemiskinan dari
tingkat konsumsi

Bank Dunia
Mengukur
kemiskinan
dengan

BPS
Mengukur
kemiskinan
dari

Keterangan
Jika ketiganya
diterapkan di Indonesia,
maka yang paling

3 Sunyoto Usman, 2004.

13

beras perkapita
pertahun:
 Jika konsumsi
di bawah 420
kg untuk kota
= miskin.
 Jika konsumsi
di bawah 320
kg untuk
perdesaan =
miskin.

mematok
pengeluaran
minimal
perkapita
pengeluaran US tiap bulan.
$ 1 per hari. Jika
di bawah itu
termasuk
kategori
kemiskinan
absolut.

mendekati dengan
keadaan di Indonesia
adalah ukuran menurut
Sajogyo (1997).
Sedangkan ukuran
menurut Bank Dunia
kurang efektif jika
diterapkan di Indonesia
karena US $ 1 dolar
kira-kira Rp 14.000,sedangkan konsumsi
makan saja butuh tiga
kali sehari.

Sumber: Penulis, 2015
H. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari
negara untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang
ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusi, dan ideologis
terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Simon Kuznet dalam Todaro, 2004).
Sedangkan menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan
output perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi berhubungan erat
dengan kenikan output perkapita dimana ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu
sisi output totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya.

I. Indikator Pembangunan Manusia
Menurut BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian
pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM
dihitung berdasarkan data yang dapat menggambarkan keempat komponen yaitu
angka harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf dan ratarata lama sekolah mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan, dan
kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat
dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang
ewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM
dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat,
pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Untuk mengukur dimensi kesehatan,
digunakan angka umur harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi
pengetahuan digunakan gabungan indicator angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indicator
kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity).
1. Angka Harapan Hidup
Angka Harapan Hidup (AHH) adalah rata-rata perkiraan banyak tahun
yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Angka harapan hidup
14

dihitung menggunakan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada dua
jenis data yang digunakan dalam perhitungan Angka Harapan Hidup yaitu Anak
Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Paket program Mortpack
digunakan untuk menghitung angka harapan hidup berdasarkan input data ALH
dan AMH. Selanjutnya dipilih metode Trussel dengan model West yang sesuai
dengan histori kependudukan dan kondisi Indonesia dan negara-negara Asia
Tenggara umumnya (Preston, 2004).
2. Tingkat Pendidikan
Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua
indikator, yaitu rata-rata lama sekolah (mean years schooling) dan angka melek
huruf. Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan
oleh penduduk usia 15 tahun ke atas menjalani pendidikan formal. Sedangkan
ngka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat
membaca dan menulis huruf latin dana tau huruf lainnya. Proses
perhitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing
diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek
huruf diberi bobot dua per tiga.
Untuk perhitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai
kesepakatan beberapa negara. Batas maksimum untuk angka melek huruf,
adalah 100 sedangkan batas minimum 0 (nol). Hal ini menggambarkan kondisi
100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol
mencerminkan kondisi sebaliknya. Sementara batas maksimum untuk rata-rata
lam sekolah adalah 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun. Batas
maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan maksimum setara
lulus Sekolah Menengah Atas.
3. Standar Hidup Layak
Standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang
dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi.
UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan mengukur standar hidup
layak menggunakan Produk Domestik Bruto riil yang disesuaikan, sedangkan
BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran
pengeluaran perkapita riil.

J. Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.
Konsep perhtungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran pemerintah
menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan pendapatan
nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Variabel-variabel yang berada
diruas kanan disebut permintaan agregat. Variabel G melambangkan pengeluaran
pemerintah (Government expenditures). Membandingkan nilai G terhadap Y, serta
mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi
pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan
nasional dan seberapa penting perananan pemerintah dalam perekonomian nasional.
15

Pengeluaran pemerintah merupakan kombinasi prosuk yang dihasilkan untuk
menyediakan barang publik dan pelayanan kepada masyarakat yang memuat pilihan
atas keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan fiscal dikenal ada beberapa
kebijakan anggaran di dalamnya yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus dan
anggaran defisit. Jika pemerintah merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi
untuk mengurangi tingkat kemiskinan, maka pemerintah dapat meningkatkan
pengeluaran untuk pengentasan kemiskinan.

16

BAB III
PEMBAHASAN
A. Kondisi Kemiskinan di Indonesia
1. Penduduk Indonesia Rentan terhadap Kemiskinan
Angka kemiskinan nasional menyembunyikan sejumlah besar penduduk
yang hidup sedikit saja diatas garis kemiskinan nasional. Hampir 41 persen
dari seluruh rakyat Indonesia hidup diantara garis kemiskinan 1 dan 2 dolar AS
per hari, dan garis kemiskinan nasional (kira-kira 1,55 dolar AS per hari),
suatu aspek kemiskinan yang luar biasa dan menentukan di Indonesia (Gambar
1.2). Analisis menunjukkan bahwa perbedaan antara penduduk miskin dan
yang hampir miskin sangat kecil, menunjukkan bahwa strategi
penanggulangan kemiskinan hendaknya dipusatkan pada kesejahteraan mereka
yang masuk dalam dua kelompok berpenghasilan paling rendah. Hal ini juga
berarti bahwa kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia.
Walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk
Indonesia tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka pernah jatuh
miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan. Data terakhir
juga mengindisikan tingkat pergerakan tinggi (masuk dan keluar) kemiskinan
Gambar 1.2

Sumber: Susenas Panel Data, 2006.
selama periode tersebut, lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun
2004 tidak miskin pada tahun 2003.
Ukuran Kemiskinan Rentan:
Indeks Angka Kemiskinan (poverty headcount index, Po): Indeks ini adalah
angka jumlah penduduk yang memiliki tingkat konsumsi di bawah garis
17

kemiskinan. indeks ini, yang kadang-kadang disebut sebagai angka insiden
kemiskinan (poverty incidence)
2. Kemiskinan dari Segi Non-Pendapatan
Apabila mempertimbangkan semua dimensi kesejahteraan konsumsi
yang memadai, kerentanan yang berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses
terhadap infrastruktur dasar maka hamper separuh rakyat Indonesia dapat
dianggap telah mengalami paling sedikit satu jenis kemiskinan. dalam
beberapa tahun terakhir, Indonesia memang telah mencapai beberapa
kemajuan dibidang pembangunan manusia. Telah terjadi perbaikan nyata
pencapaian jenjang pendidikan pada tingkat sekolah dasar, perbaikan dalam
cangkupan pelayanan kesehatan dasar (khususnya dalam hal bantuan
persalinan dan imunisasi), dan penurunan sangat besar angka kematian anak.
Akan tetapi, untuk beberapa indikator yang terkait dengan MDG (sasaran
pembangunan millennium), Indonesia gagal mencapai kemajuan yang berarti
dan tetinggal dari negara-negara lain di kawasan yang sama. Bidang-bidang
kuunci yang patut diwaspadai adalah:


Angka gizi bermasalah (malnutrisi) yang tinggi dan bahkan meningkat
pada tahun-taun terakhir. Seperempat anak di bawah usia lima tahun
menderita gizi bermasalah di Indonesia, dengan angka gizi buruk tetap
sama dalam tahun-tahun terakhir kendati telah terjadi penurunan angka
kemiskinan.



Kesehatan ibu hamil yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan negaranegara di kawasan yang sama, angka kematian ibu di Indonesia adalah
307 (untuk 100.000 kelahiran hidup), tiga kali lebih besar dari Vietnam
dan enam kali lebih besar dari China dan Malaysia, hanya sekitar 72
persen persalinan dibantu oleh bidan terlatih.



Lemahnya hasil (outcomes) dari pendidikan. Angka peralihan dari sekolah
dasar ke sekolah menengah masih rendah, khususnya diantara penduduk
miskin: diantara kelompok umur 16-18 tahun kelompok perlima
termiskin, hanya 55 persen lulus SMP, sedangkan angka untuk kelompok
perlima terkaya adalah 89 persen untuk kelompok (kohor) yang sama.



Rendahnya akses terhadap air bersih, khususnya di antara penduduk
miskin. Untuk kelompok perlima paling rendah, hanya 48 persen yang
memiliki akses air bersih di daerah perdesaan, sedangkan untuk perkotaan
78 persen.



Akses terhadap sanitasi merupakan masalah sangat penting. Delapan
puluh persen penduduk miskin di perdesaan dan 59 persen penduduk
miskin di pekotaan tidak memiliki akses terhadap tangka septik,
sementara itu hanya kurang dari satu persen dari seluruh penduduk
Indonesia yang terlayani oleh saluran pembuangan kotoran berpipa.

3. Ketimpangan Kemiskinan antar Wilayah

18

Keragaman antar wilayah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya
tercerminkan dengan adanya perbedaan antara daerah perdesaan dan
perkotaan. Di perdesaan, terdapat sekitar 57 persen dari penduduk miskin di
Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki akses terhadap pelayanan
infrastruktur dasar. Hanya sekitar 50 persen penduduk miskin di perdesaan
mempunyai akses terhadap sumber air bersih, dibandingkan dengan 80 persen
Gambar 1.3
bagi penduduk miskin di perkotaan. Tetapi yang penting, dengan melintasi
kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui perbedaan dalam kantongkantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri. Misalnya, angka kemiskinan
di Jawa/bali adalah 15,7 persen, sedangkan di Papua adalah 38,7 persen.
Pelayanan dasar juga tidak merata antar daerah, karena kurangnya sarana di

19

daerah-daerah terpencil. Di Jawa rata-rata jarak rumah tangga ke puskesmas
terdekat adalah empat kilometer, sedangkan di Papua 32 kilometer. Sementara
itu, 66 persen kelompok perlima termiskin di Jawa/Bali mempunyai akses
terhadap air bersih, sedangkan utntuk Kalimantan hanya 35 persen dan untuk
Papua hanya 9 persen. Walaupun tingkat kemiskinan jauh lebih tinggi di
Indonesia bagian imur dan daerah-daerah terpencil, tetapi kebanyakan dari
penduduk miskin hidup di Indonesia bagian Baratyang berpenduduk padat.
Contohnya, walaupun angka kemiskinan di Jawa/Bali relative rendah, pulau-

pulau tersebut dihuni oleh 57 persen dari jumlah total penduduk miskin
Indonesia, dibandingkan dengan Papua, yang hanya memiliki 3 persen dari
jumlah total penduduk miskin.
Sumber: Susenas 2004
20

Ketimpangan antarwilayah dari segi kemiskinan non-pendapatan ini
berkorelasi secara luas dengan tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah
kepulauan. Sebagian provinsi yang memiliki angka kemiskinan tertinggi juga
menunjukkan angka angka tertinggi dari segi kekurangan (deprivasi) lainnya.
Secara keseluruhan provinsi Nusa Tenggara, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan
Papua tertinggal dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dalam upaya
pemberantasan kemiskinan multidimensi.

B. Kebijakan di Indonesia Saat Ini untuk Mengentaskan Kemiskinan
Di Indonesia, kemiskinan telah menjadi agenda kebijakan yang telah
lama, dan beragam carapun telah diterapkan. Tujuan kebijakan tersebut diarahkan
untuk menanggulangi masalah kemiskinan, mengurangi angka kemiskinan dan
mengangkat derajat orang miskin. Sejumlah kebijakan dan program khususnya
yang fokus pada upaya penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada
pemberdayaan, infrastruktur, dan kapasitas di perdesaan yaitu Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) Perdesaan, PUAP, PPIP dan juga
program-program yang berasal dari pemerintah daerah.
1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri)
PNPM-Mandiri merupakan program andalan pemerintah dalam
percepatan penanggulangan kemiskinan serta perluasan kesempatan kerja.
Dalam penetapan program ini telah mengalami beberapa penyempurnaan
yang secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Sidang Kabinet
tanggal 7 September 2006, dimana Presiden menetapkan kebijakan
pemerintah untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan
kesempatan kerja melalui pemberdayaan masyarakat; (2) 12 September
2006 : Menko Kesra, Menko Perekonomian dan menteri-menteri terkait
sepakat “Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)” sebagai
instrument dalam percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan
kesempatan kerja; (3) ditindaklanjuti Menko Kesra mengusulkan kepada
Menteri Keuangan untuk alokasi dana BLM (Bantuan Langsung
Masyarakat), Mendagri minta Gubernur, Bupati/Walikota menyampaikan
usulan lokasi, Bappeas merancang pendanaan PNPM-Mandiri dan pada
tanggal 30 April 2007 meluncurkan PNPM-Mandiri di Kota Palu, Provinsi
Sulawesi Tengah.


Prinsip-prinsip PNPM-Mandiri
Pada dasarnya program-program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan melalui PNPM-Mandiri, didasarkan pada prinsipprinsip:
a) Pemberdayaan masyarakat (community driven development/CDD),
penguatan ekonomi local/kerakyatan, dan kegiatan padat karya;

21

b) Prioritas kelompok masyarakat paling miskin dan rentan pada
desa-desa/kampong yang paling miskin;
c) Partisipatif: melibatkan semua penduduk desa;
d) Transparansi;
e) Open Menu: kelompok dapat menentukan sendiri kegiatan
pembangunan yang dipilih tetapi tidak tercantum dalam negative
list.
f) Kompetitif: desa-desa dalam kecamatan harus berkompetisi untuk
memperbaiki kualitas kegiatan dan cost effectiveness.
g)

Lebih luas kepada masyarakat Desentralisasi: manajemen dan
pengembalian keputusan pada tingkat local.

h) Sederhana: tidak ada prosedur yang kompleks;
i) Pendanaan: co-sharing antara pemerintah pusat, pemda, dan
kelompok masyarakat.


Pendekatan PNPM-Mandiri
Disadari bahwa penanggulangan kemiskinan akan dapat
mencapai hasil yang optimal jika telah mampu melibatkan partisipasi
dari masyarakat. Oleh karena itu program yang akan dijalankan
didasarkan pada pendekatan yang mampu mendorong masyarakat
untuk turut serta secara proaktif dalam program tersebut. Untuk
mendukung upaya tersebut maka pendekatan yang akan ditempuh
adalah sebagai berikut :
a) Basis kecamatan sebagai lokus program masyarakat sebagai pelaku
utama;
b) Memberikan kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat
dalam pengambilan keputusan pembangunan.
c) Sinergi masyarakat dengan pemerintah dalam penanggulangan
kemiskinan.
d) Mendayagunakan potensi
karakteristik wilayah.

dan

sumberdaya

lokal

sesuai

e) Menerapkan pendekatan budaya lokal dalam proses pembangunan.


Komponen Kegiatan
PNPM dalam implementasinya disukung oleh beberaa komponen
kegiatan utama, diantaranya:
a) Pengembangan Masyarakat:
22

Kegiatan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat melalui
refleksi kemiskinan, pemetaan masalah, potensi dan kebutuhan,
perencanaan
partisipatif,
pengorganisasian
masyarakat,
pemanfaatan sumberdaya, pemantauan, hingga pemeliharaan hasilhasil pembangunan.
b) Bantuan Langsung Masyarakat:
Dana stimulant sebagai sarana untuk mengimplementasikan
kegiatan yang telah direncanakan oleh masyarakat. Khusus untuk
desa-desa tertinggal dialokasikan dana Rp250 juta perdesa.
c) Peningkatan Kapasitas Pemerintah:
Pendampingan untuk pemerintah daerah dalam memfasilitasi
kegiatan masyarakat.
d) Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program:
Kegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok
peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan program, pengendalian
mutu, kegiatan studi dan evaluasi, serta untuk penyempurnaan dan
pengembangan program.
2. Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan PUAP adalah
merupakan program dari Kementrian Pertanian untuk mengatasi kemiskinan
dan menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi kesenjangan
pembangunan yang ada antar wilayah pusat dengan daerah serta kesenjangan
antar subsektor yang ada. Program PUAP diatur dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor: 16/Permentan/OT.140/2/2008 tentang PUAP.
Program PUAP dimulai sejak tahun 2008 yang berupa pemberian
bantuan modal kepada pemilik dan atau petani penggarap skala kecil, petani
atau peternak, buruh tani ataupun rumah tangga tani yang penyalurannya
melalui Gapoktan selaku sebagai pelaksana program PUAP, sedangkan untuk
manajemen usaha tani dapat ditangani oleh Penyelia Mitra Tani (PMT) dan
Penyuluhan sebagai Pendamping Gapoktan PUAP. Hal ini dilakukan dengan
tujuan Gapoktan dapat menjadi lembaga ekonomi yang dipunyai dan dikelola
oleh petani. Pemberian dana PUAP diutamakan untuk daerah-daerah yang
tertinggal namun yang memiliki potensi pengembangan agribisnis
(Kementrian Pertanian, 2014).
Melalui pendampigan Penyelia Mitra Tani (PMT) dan Penyuluh,
Gapoktan pelaksana program PUAP harus dapat membentuk unti usaha
otonom, meliputi unit usaha simpan pinjam/LKM-A, unit usaha saprodi, unit
usaha budidaya, unit usaha pengolahan, unit usaha pemasaran hasil dan jasa
penunjang lainnya, sehingga dan BLM-PUAP yang disalurkan kepada
Gapoktan dapat dimanfaatkan dan dikelola secara berkelanjtan untuk
kepentingan anggota.
23

Pendampingan Gapoktan PUAP dapat diartikan secara luas yaitu
sebagai sebuah membantu, mengarahkan dan mendukung terhadap
individu/kelompok tani anggota Gapoktan melalui perumusan masalah,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi dalam pengembangan
usahanya.


Tujuan PUAP
a) Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan
dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai
dengan potensi wilayah;
b) Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pelaku usaha
agribisnis, pengurus Gapoktan, Penyuluhan dan Penyelia Mitra Tani
(PMT);
c) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk
pengembangan kegiatan usaha agribisnis; dan
d) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring
atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.



Sasaran PUAP
Sasaran PUAP yaitu sebagai berikut:
a) Berkembangnya usaha agribisnis di desa miskin sesuai dengan
potensi pertanian desa;
b) Berkembangnya Gapoktan yang dimilki dan dikelola oleh petani
untuk menjadi kelembagaan ekonomi;
c) Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin,
petani/peternak (pemilik dan/atau penggarap) skala kecil, buruh tani;
dan
d) Berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus
usaha.



Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan output antara lain:
a) Tersalurkannya dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP
2015 kepada petani, buruh tani dan rumah tangga tani miskin
anggota Gapoktan sebagai modal untuk melakukan usaha produktif
pertanian; dan
b) Terlaksananya fasilitasi penguatan kapasitas dan kemampuan
sumber daya manusia pengelola Gapoktan, Penyuluh dan PMT.
Indikator keberhasilan outcome antara lain:
24

a) Meningkatnya kemampuan Gapoktan dalam memfasilitasi dan
mengelola bantuan modal usaha untuk petani anggota baik petani
pemilik penggarap, petani penggarap, buruh tani maupun rumah
tangga tani;
b) Meningkatnya jumlah petani, buruh tani dan rumah tangga tani yang
mendapatkan bantuan modal usaha; dan
c) Meningkatnya aktivitas kegiatan usaha agribisnis (hulu, budidaya
dan hilir) di perdesaan.
Sedangkan indikator benefit dan impact antara lain:
a) Berkembangnya usaha agribisnis di perdesaan;
b) Berfungsinya Gaoktan sebagai lembaga ekonomi petani di
perdesaan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; dan
c) Berkurangnya jumlah petani miskin dan penganggurn di perdesaan.
3. Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP)
Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) merupakan
salah satu program pembangunan infrastruktur untuk kawasan desa dalam
kategori berkembang yang berbasis pada partisipasi masyarakat. PPIP berada
di bawah payung kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri. PPIP yang dilatarbelakangi semangat untuk mendukung
upaya pengentasan kemiskinan di kawasan perdesaan dan merupakan program
lanjutan dari program pembangunan infrastruktur perdesaan sebelumnya,
dengan pendekatan salah satunya adalah keberpihakan kepada orang miskin,
yaitu orientasi kegiatan baik dalam proses maupun pemanfaatan yang hasilnya
diupayakan dapat berdampak langsung pada penduduk miskin.
 Tujuan Program
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui perbaikan
akses masyarakat miskin terhadap infrastruktur dasar perdesaan.
a) Tersedianya infrastruktur perdesaan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, berkualitas, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan;
b) Meningkatnya
kemampuan
masyarakat
penyelenggaraan infrastruktur perdesaan;

perdesaan

dalam

c) Meningkatnya lapangan kerja bagi masyarakat perdesaan;
d) Meningkatnya kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam
memfasilitasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di
perdesaan;

25

e) Mendorong terlaksananya penyelenggaraan pembangunan prasrana
perdesaan yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
 Komponen Program
a) Pekerjaan infrastrutur yang mendukung aksesibilitas, yaitu jalan dan
jembatan perdesaan.
b) Pekerjaan infrastrutur yang mendukung produksi pangan, yaitu irigasi
perdesaan.
c) Pekerjaan infrastrutur yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat, yaitu penyediaan air minum dan sanitasi perdesaan.

C. Kebijakan Terkait Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
1. Menjadikan Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Penduduk Miskin
Pertumbuhan ekonomi akan dan telah menjadi landasan bagi
penanggulangan kemiskinan. pertama, langkah menjadikan pertumbuhan
bermanfaat bagi penduduk miskin merupakan kunci bagi upaya untuk
menghubungkan penduduk miskin dengan proses pertumbuhan, baik dalam
konteks perdesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan
berdasarkan wilayah dan kepulauan. Hal ini sangat mendasar dalam
menangani aspek ketimpangan antarwilayah. Kedua, dalam menangani ciri
kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi distribusi
pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan kepadatan
penduduk akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta
kerentanan kemiskinan. jalan keluarnya adalah dengan:


Peningkatan Produktivitas Pertanian
Hal ini bias terjadi a