T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekuatan Pembuktian Tindak Pidana ECommerce Berbasis Nilai Keadilan T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai transaksi
elektronik/e-commerce karena tidak bisa dipungkiri perkembangan teknologi
dan informasi

pada saat ini semakin pesat yang memudahkan pekerjaan

maupun kebutuhan setiap individu contohnya jika kita menginginkan suatu
barang maka kita bisa memesan barang tersebut secara online (transaksi
elektronik/e-commerce) namun perkembangan ini juga menimbulkan berbagai
masalah seperti penipuan online yang meresahkan masyarakat. Lalu Pembaca
pasti bertanya bagaimana cara pembuktian tentang transaksi online ? bisa
menggunakan tim cyber dari kepolisian yang khusus menangani masalah
tersebut namun Penulis akan mengkaji seberapa kuat pembuktian tindak
pidana

e-commerce

berbasis


nilai

keadilan

yang

menempatkan

pertanggungjawaban secara proposional sesuai dengan nilai perbuatan pelaku
tersebut agar Hakim dalam menjatuhkan pidana seadil mungkin tanpa
merugikan pelaku dan korban.
Sebelumnya Penulis akan membahas mengenai sejarah e-commerce yang
dimulai dari pengertian istilah Perdagangan elektronik (bahasa Inggris:
electronic commerce atau e-commerce) adalah penyebaran, pembelian,

penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti
internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce
dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem
manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.

Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-commerce ini sebagai
aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan
transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (Supply
Chain Management), pemasaran elektronik (e-marketing), atau pemasaran

online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction

1

processing), pertukaran data elektronik (Electronic Data Interchange /EDI),

dll.
E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan ebusiness lebih luas, tidak hanya sekadar perniagaan tetapi mencakup juga

pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll.
Selain teknologi jaringan www, e-commerce juga memerlukan teknologi
basisdata atau pangkalan data (databases), surat elektronik (e-mail), dan
bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman
barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.
Istilah "perdagangan elektronik" telah berubah sejalan dengan waktu.

Awalnya, perdagangan elektronik berarti pemanfaatan transaksi komersial,
seperti penggunaan Electronic Data Interchange/EDI untuk mengirim
dokumen komersial seperti pesanan pembelian atau invoice secara elektronik.
Kemudian "perdagangan elektronik" berkembang menjadi suatu aktivitas
yang mempunyai istilah yang lebih tepat "perdagangan web" — pembelian
barang dan jasa melalui World Wide Web melalui server aman (HTTPS),
protokol server khusus yang menggunakan enkripsi untuk merahasiakan data
penting pelanggan.
Model "perdagangan elektronik" di Indonesia:
a. Iklan Baris, merupakan salah satu bentuk e-commerce yang tergolong
sederhana, bisa dianggap sebagai evolusi/ perkembangan dari iklan baris
yang biasanya ditemui di koran-koran ke dalam dunia online. Penjual
yang menggunakan social media atau forum untuk beriklan, biasanya
tidak bisa langsung menyelesaikan transaksi pada website yang
bersangkutan. Namun penjual dan pembeli harus berkomunikasi secara
langsung untuk bertransaksi. Contoh iklan baris: OLX.co.id (sebelumnya
Tokobagus), Berniaga, dan FJB-Kaskus.
b. Retail, merupakan jenis e-commerce yang di mana semua proses jual-beli
dilakukan melalui sistem yang sudah diterapkan oleh situs retail yang
bersangkutan. Oleh karena itu, kegiatan jual-beli di retail relatif aman,


2

namun biasanya pilihan produk yang tersedia tidak terlalu banyak, atau
hanya fokus ke satu-dua kategori produk. Contoh retail: Berrybenzka,
Zalora, dan Lazada.
c. Marketplace, bisa dianggap sebagai penyedia jasa mall online, namun
yang berjualan bukan penyedia website, melainkan anggota-anggota yang
mendaftar untuk berjualan di website marketplace yang bersangkutan.
Marketplace umumnya menyediakan lapisan keamanan tambahan untuk

setiap transaksi yang terjadi, seperti sistem pembayaran escrow atau lebih
umum dikenal sebagai rekening bersama. Jadi setiap terjadi transaksi di
dalam sistem marketplace tersebut, pihak marketplace akan menjadi
pihak ketiga yang menerima pembayaran dan menjaganya hingga produk
sudah dikirimkan oleh penjual dan diterima oleh pembeli. Setelah proses
pengiriman selesai, barulah uang pembayaran diteruskan ke pihak
penjual. Contoh marketplace: Qoo10 Indonesia, Elevenia, Lamindo
Indonesia, Rakuten Belanja Online, Bukalapak, dan Tokopedia.
Beberapa aplikasi umum yang berhubungan dengan e-commerce adalah:

a. E-mail dan Messaging
b. Content Management Systems
c. Dokumen, spreadsheet, database
d. Akunting dan sistem keuangan
e. Informasi pengiriman dan pemesanan
f. Pelaporan informasi dari klien dan enterprise
g. Sistem pembayaran domestik dan internasional
h. Newsgroup
i. On-line Shopping
j. Conferencing
k. Online Banking/internet Banking
l. Product Digital/Non Digital
m. Online SEO1.

1

https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik diakses pada tanggal 17 Juni 2017 pukul
18.59 WIB

3


Transaksi e-commerce telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan
internasional. Dibuktikan dengan adanya UNCITRAL Komisi Khusus PBB
mengeluarkan 2 guidelines yang terkait dengan transaksi elektronik yaitu
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment
1996, United Nations Publication, New York, 1999, dan UNCITRAL Model
Law on Electronic Signature with Guide to Enactment 2001, United Nations
Publication, New York,2002.

Dalam

kegiatan

e-commerce

dikenal

adanya

dokumen-dokumen


elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang
dibuat di atas kertas. Terdapat beberapa keuntungan jika dokumen elektronik
dilengkapi

dengan

penggunaan

digital

signature

yaitu

terjaminnya

authenticity (ensure), integrity, non repudiation, and confidentiality 2.

Pengertian transaksi elektronik (e-commerce) berdasarkan Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan
dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media
elektronik lainnya3.
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti
yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat
bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk
keyakinannya4. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.
Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika
seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,
padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk
2

Ahmad M.Ramli, Kekuatan Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-Commerce
Dalam Sistem Hukum Indonesia, Makalah disampaikan pada Kongres Ikatan Notaris Indonesia,
Bandung 23 Januari 2003, Hlm.12-19.
3
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

Dan Transaksi Elektronik
4
Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung,
2003, Hlm. 11.

4

mencari kebenaran materiil (Hakim aktif menemukan fakta yang terjadi
sebenarnya), berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan
kebenaran formil (Kebenaran yang diperoleh berdasarkan fakta yang
diperoleh). Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa
ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan
tempat (negara). Berikut ini Penulis akan menguraikan keempat sistem atau
teori pembuktian tersebut di atas sebagai berikut:
1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Dikatakan secara positif, karena hanya

didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang,

maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut
juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). Sistem ini
menitikberatkan pada adanya bukti yang sah menurut undang-undang.
Meskipun hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, namun apabila ada
bukti yang sah menurut undang-undang, maka ia dapat menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa. Jadi misalnya ada dua orang saksi yang telah
disumpah secara istimewa dan mengatakan kesalahan terdakwa maka
hakim mesti menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa meskipun
barangkali hakim itu berkeyakinan bahwa terdakwa adalah tidak berdosa.
Demikian sebaliknya apabila syarat berupa dua saksi itu tidak dipenuhi,
maka hakim mesti membebaskan terdakwa dari tuntutan walaupun hakim
berkeyakinan bahwa terdakwalah yang berdosa.
2. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. Sistem
atau teori ini terlalu besar memberi kebebasan kepada hakim sehingga sulit
untuk diawasi. Sehingga dengan adanya hal demikian terdakwa atau
penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Menurut sistem
ini, dianggap cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu
keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.
Dalam sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan
apa suatu keadaan harus dianggap telah terbukti.


5

3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang
logis (La Conviction Rais onnee). Menurut teori ini hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian

disertai dengan

suatu

kesimpulan yang berlandaskan kepada aturan-aturan pembuktian tertentu.
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena
hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya. Sistem ini
memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di
samping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijk). HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned.Sv yang lama dan yang

baru semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasar undangundang secara negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan
dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 Herziene Inlands Reglement
(HIRt. Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas nyata bahwa pembuktian
harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat-alat bukti
yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat
bukti tersebut. Hak tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan
yang tersebut pada Pasal 294 ayat (1) Herziene Inlands Reglement (HIR)
yang berbunyi: “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika
hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah
terjadi. Perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang yang didakwa
itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”.
Selanjutnya Penulis akan mengkaji kekuatan pembuktian beserta
legalitasnya agar para pihak bisa memperoleh ganti rugi dan keadilan sesuai
dengan kegiatannya tersebut. Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang

6

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik mengenai alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut:
a.

alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan

b.

alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4
serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Berdasarkan Pasal 184 ayat
(1) KUHAP alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk , dan keterangan terdakwa. Sedangkan berdasarkan Pasal
185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi merupakan informasi atau
keterangan yang diperoleh dari seorang atau lebih (saksi) tentang suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri. Keterangan saksi hanya akan menjadi alat bukti apabila
disampaikan di depan persidangan. Keterangan seorang saksi tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya (Pasal 185 ayat (2) KUHAP). Prinsip ini
disebut unus testis nulus testis yang artinya satu saksi bukanlah saksi
sehingga keterangan seorang saksi tersebut harus didukung oleh alat bukti
yang lain misalnya keterangan ahli, petunjuk ataupun keterangan
terdakwa. Alat bukti informasi elektronik dan dokumen eleketronik
sebagai perluasan alat bukti surat, atau sama kedudukan dan fungsinya
sebagai alat bukti surat, maka alat bukti informasi elektronik dan
dokumen elektronik juga berkedudukan dan berfungsi sama dengan alat
bukti surat dalam hal digunakan sebagai bahan untuk membentuk alat
bukti petunjuk. Meskipun kedudukan dan fungsi alat bukti informasi
elektronik dan dokumen elektronik sama dengan alat bukti surat, namun
ada batas-batas keberlakuannya. Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik ditentukan bahwa ketentuan mengenai informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak berlaku untuk:

7

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang
berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum
acara perdata, pidana, dan administrasi negara; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta5.
Bagaimana dengan pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara
dengan alasan yang memberatkan dan meringankan ? berdasarkan Pasal 36
dan Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik terdapat lima dasar pemberatan
yaitu:
1. Atas dasar akibat merugikan bagi orang lain (Pasal 36 jo. 51 ayat (2));
2. Atas dasar yang menyangkut eksploitasi seksual anak (Pasal 52 ayat (1));
3. Atas dasar objek tindak pidana-Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Pemerintah (Pasal 52 ayat (2));
4. Atas dasar objek tindak pidana: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik badan strategis (Pasal 52 ayat (3));
5. Atas dasar subjek hukum korporasi-pembuatnya (Pasal 52 ayat (4)).
Asas berlakunya hukum pidana kodifikasi adalah hukum pidana
kodifikasi berlaku untuk semua hukum pidana baik yang ada di dalam maupun
di luar kodifikasi, kecuali ditentukan dan diatur secara khusus di luar
kodifikasi 6. Demikian juga halnya dengan hukum acara pidana ITE, pada
dasarnya tetap berlaku hukum acara pidana dalam KUHAP. Disamping itu
berlaku pula hukum acara pidana tentang penyidikan yang diatur secara
khusus dalam Bab X Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan asas lex
specialis derogat legi generali, maka aturan hal khusus itulah yang
5

Adami Chazawi, Tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (Penyerangan terhadap
kepentingan hukum pemanfaatan teknologi informasi dan elektronik), Media Nusa Creative,
Malang, 2015, Hlm. 227.
6
Pasal 103 KUHP jo. Pasal 2 KUHAP.

8

diberlakukan

7

.Oleh karena itu, alat bukti informasi elektronik dan dokumen

elektronik mempunyai nilai yang sama dengan alat bukti surat dalam hal
membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa menurut Pasal 183
KUHAP.
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang ITE, selain berlaku seluruh
ketentuan mengenai penyidikan dalam kodifikasi hukum acara (Bab IV
Bagian Kesatu dan Kedua KUHAP) berlaku pula ketentuan khusus tentang
penyidikan dalam Bab X Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik. Dalam tiga Pasal tersebut hanya mengatur tentang dua hal saja
yang bersifat khusus yaitu:
-

Pertama, tentang penyidik dan hak atau kewenangannya serta
prosedur yang harus dipenuhi dalam hal melaksanakan kewenangan
melakukan penyidikan tersebut (Pasal 43);

-

Kedua, tentang alat bukti yang dapat digunakan dalam hal penyidikan,
penuntutan dan dalam sidang pengadilan perkara tindak pidana ITE
(Pasal 44).

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang
hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah
peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu
hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan
ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Istilah tindak pidana merupakan
terjemahan dari “strafbaar feit”. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan
delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Pasal 1
KUHP dijelaskan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum
adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan
7

Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik

9

sebelum perbuatan itu dilakukan. Berdasarkan rumusan yang ada maka delik
(strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: suatu perbuatan manusia,

perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang,
perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan8.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas
untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat9.
Seperti yang diungkapkan oleh Moeljatno, yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut istilah Beliau yakni perbuatan pidana
adalah: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut”10.
Keadilan yang wajib disediakan oleh setiap sistem hukum adalah keadilan
yang berdimensi spiritual yang berada di kedalaman konsep kemerdekaan
sebagai hak segala bangsa itu sendiri. Pancasila mengatur keseimbangan
takaran spiritual atau rohaniah dengan jasmaniah. Sebagai contoh yaitu tidak
boleh mencuri tetapi kalau di dalam keadilan bermartabat ada seorang yang
mencuri karena kebutuhan atau mencuri untuk makan maka seharusnya
hukum dan sistem hukum berdasarkan pancasila akan menerapkan perlakuan
yang berbeda dengan subyek tindak pidana yang mencuri karena hedonisme11.
Landasan teori yang digunakan dalam permasalahan yang Penulis akan
bahas pada analisis adalah teori pembuktian yang sudah dikemukakan diatas,
teori negara hukum dan teori keadilan khususnya teori keadilan bermatabat
yang dipopulerkan oleh Prof. Dr. Teguh Prasetyo,SH.,M.Si.

8

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cet.,Kelima, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hlm 47.
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 2000, Hlm.62.
10
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hlm.54.
11
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Cet.,Kesatu, Nusa Media,
Bandung, 2015, Hlm.106.
9

10

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk
mengkaji permasalahan tersebut dengan judul “Kekuatan Pembuktian
Tindak Pidana E-Commerce Berbasis Nilai Keadilan”.

B. Pembatasan Masalah
Penulis hanya akan membahas dan menganalisis mengenai kekuatan
pembuktian tindak pidana e-commerce berbasis nilai keadilan yang
menempatkan pertanggungjawaban secara proposional sesuai dengan nilai
perbuatan.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana kekuatan pembuktian tindak pidana e-commerce berbasis nilai
keadilan ?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian adalah:
Mengetahui dan menganalisis kekuatan pembuktian tindak pidana ecommerce berbasis nilai keadilan

E. Manfaat Penelitian
Penulis berharap skripsi ini dapat membawa manfaat berupa:
1. Manfaat Teoritik: Penelitian ini dapat memperkembangkan dan
menyumbang untuk studi tentang Pertanggungjawaban pembuktian
tindak pidana e-commerce berbasis nilai keadilan secara proposional
sesuai dengan nilai perbuatan para pihak.
2. Manfaat Praktis: Penelitian ini kiranya dapat dijadikan acuan
pertimbangann dan pembuatan keputusan dalam rangka pembuktian
tindak pidana e-commerce berbasis nilai keadilan secara proposional
sesuai dengan nilai perbuatan para pihak, misalnya melalui
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana.

11

F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor yang sangat penting untuk
menentukan keberhasilan dari suatu penelitian. Selain itu, penelitian pada
umumnya juga digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan
memecahkan masalah tersebut. Secara lebih luas lagi Sugiyono
menjelaskan bahwa metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan,
dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada
gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan
mengantisipasi masalah12
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum dengan
pendekatan hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan
penilitan kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder13.
2. Sumber Data
Sumber data berasal dari:
a. Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan

Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan
b. Bahan hukum sekunder yaitu teori dan berbagai literatur yang
terkait dengan penelitian ini14; khususnya tentang atau yang
berkaitan dengan pembuktian tindak pidana e-commerce berbasis
nilai keadilan.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan

data

dilakukan

dengan

studi

pustaka

yaitu

mengumpulkan data dengan cara mempelajari berbagai buku, tulisan
atau karya ilmiah lain yang relevan dengan penelitian ini.
12

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan:Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung, 2009, Hlm.6.
13
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penilitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,Hlm.
24.
14
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2012,
Hlm. 296.

12

4. Unit Amatan
Yang menjadi unit amatan adalah ketentuan hukum mengenai
pembuktian tindak pidana e-commerce berbasis nilai keadilan.
5. Unit Analisa
Yang menjadi unit analisa adalah pembuktian tindak pidana ecommerce berbasis nilai keadilan.
6. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dicermati, diolah dan
dianalisa secara deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan
salah satu dari jenis penelitian kualitatif. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau fakta, keadaan,
fenomena, dan variabel yang terjadi saat penelitian berlangsung
dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi.Penelitian ini
menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi
yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu
masyarakat, pertentangan antara dua keadaan atau lebih, hubungan
antar variabel yang timbul, perbedaan antar fakta yang ada serta
pengaruhnya terhadap suatu kondisi.15

15

Nazir,M, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, 1988, Hlm. 25

13