Analisis Partisipasi Politik Saat Pemilu

ANALISIS PARTISIPASI POLITIK SAAT PEMILU INDONESIA TAHUN 1999:
PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM MASA LIBERALISASI POLITIK
( Yovi Arista ),

NIM. 14010112140150, No. absen: 19
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto,SH, Tembalang, Semarang 1269
A. Pendahuluan
Partisipasi politik di dalam negara demokrasi menjadi indikator dari penyelenggar aa n
negara yang berbasis pada kedaulatan rakyat. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi,
dalam sejarahnya telah mewujudkan pemilu untuk memobilisasi partisipasi politik rakyat
untuk memilih anggota legislatif (Pileg) dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres). Tercatat sudah sebelas kali Indonesia melangsungk an pemilu (1955, 1971, 1977,
1982. 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014). Namun jika dilihat juga dalam sejarah
dinamika politiknya, Indonesia terpetakan menjalani beberapa orde dan rezim yang berkuasa
yaitu pasca kemerdekaan (Orde Lama), Orde Baru, era Reformasi, dan pasca Reformas i.
Rezim-rezim tersebut pada kenyataannya berpengaruh pada proses politik dan demokrasi
sebagai sistem yang dianut, seperti pada era Orde Lama yang menganut sistem presidensil
kemudian parlementer yang dipengaruhi kuat oleh figur Soekarno. Awal perkembangan
demokrasi di Indonesia dapat dikatakan terjadi pada tahun 1965 ketika kudeta militer
meruntuhkan kekuasaan Soekarno dan mentransisi rezim Orde Lama. Namun kudeta tersebut

tidak memberikan

ruang bagi masyarakat sipil untuk

berpartisipasi mengkonstr uks i

perubahan, sejak itulah rezim Soeharto atau Orde Baru yang cenderung otoriter dan
sentralistik dijalankan.
Rezim Orde Baru berhasil membentuk mesin-mesin politik dan ekonomi yang
menjadikan kewenangan menjadi begitu dan kuat luas hingga mampu membatasi hak-hak
serta ruang gerak dari pers dan masyarakat sipil, meskipun pembangunan dirasa lebih efektif.
Awal proses transisi ke arah demokrasi yang lebih baik dapat dikatakan terjadi pada tahun
1998 ketika kekuatan dan gerakan-gerakan dari elemen masyarakat mendesak adanya
reformasi dan rezim berkuasa untuk mundur dari jabatannya. Hal ini seakan menjadi puncak
dari kekecewaan masyarakat atas segala bentuk instabilitas dalam aspek ekonomi, politik, dan

1

hukum yang terjadi pada saat itu. Atas desakan yang begitu kuat serta instabilitas keamanan
dalam negeri yang terjadi, pada akhirnya Presiden Soeharto menyatakan mundur dari

jabatannya sebagai Presiden dan menyerahkan kewenangan kepada B.J Habibie selaku Wakil
Presiden pada saat itu.
Di bawah kendali Presiden Habibie, masyarakat mendesak untuk mempercepat
dilaksanakannya pemilu untuk merombak struktur pemerintahan yang ototiter kepada yang
pro-demokrasi. Hal ini yang kemudian meng’kutub’kan adanya kelompok status quo yang
tidak setuju dengan adanya liberalisasi politik serta kelompok yang pro dengan adanya
liberalisasi. Hingga pada akhirnya dilaksanakannya Pemilu 1999 untuk memilih anggota
legislatif yang kemudian ditujukan untuk memilih Presiden. Pemilu 1999 menjadi pemilu
pertama di dalam masa transisi menuju reformasi dari rezim Orde Baru. Hal yang kemudian
menarik adalah bagaimana partisipasi politik yang terbentuk atas proses politik yang terjadi
pada masa transisi ini.

B. Pembahasan
Pemilu 1999 pada kenyataan adalah sebuah pemilu dipercepat atas dorongan dari
masyarakat dan dunia internasional untuk merubah keputusan dari Pemilu 1997 yang
menyatakan pemilu berikutnya diselenggarakan di tahun 2002. Hal itu didasari oleh rasa
ketidakpercayaan kepada pemerintahan rezim Orde Baru yang tersisa pasca reformasi. Hingga
pada akhirnya Pemilu dapat diselenggarakan 13 bulan setelah Presiden Habibie berkuasa.
Pemilu 1999 diadakan untuk memilih anggota legislatif untuk kemudian menentukan Presiden
dan Wakil Presiden melalui Sidang Istimewa MPR/DPR.

B.1 Pemilu 1999 sebagai sebuah awal proses transisi/liberalisasi politik
Melalui perubahan regulasi perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu dan partai
politik,

upaya melangsungkan Pemilu 1999 berhasil mengkonversi fokus usaha-usaha

reformasi yang sebelumnya banyak dikemudikan oleh tokoh-tokoh politik dan mahasiswa
melalui demonstrasi kepada sebuah proses politik melalui aktifnya peran partai politik dan
lembaga negara yang mewenanginya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pemilu 1999 dijadikan
media untuk memproyeksikan negara untuk bertransisi ke arah demokrasi melalui liberalisas i
politik atas jatuhnya rezim otoriter.

2

B.2 Partisipasi Politik dalam Pemilu 1999
Jatuhnya rezim otoriter membuat animo rakyat akan reformasi begitu besar. Diajukannya
RUU tentang Partai Politik dan Pemilu yang kemudian di sahkan oleh pemerintah, juga telah
membuka arus demokratisasi dan ruang partisipasi politik yang luas. Huntington dan Nelson
dalam bukunya memaknai partisipasi politik sebagai:
Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribad i,

yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipas i
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan mantap atau sporadik, secara
damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. 1
Dalam definisi konteks partisipasi politik dapat dikatakan cukup luas. Berikut adalah
bentuk-bentuk dan kondisi yang dapat menggambarkan partisipasi politik yang dilihat dari
pelaksanaan Pemilu 1999.
Banyaknya Pembentukan Parpol
Pasca disahkannya Undang-Undang tentang Partai Politik kala itu, tercatat terdapat 184
partai politik baru yang terbentuk. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah euforia dan harapan
rakyat yang begitu besar untuk membentuk partai politik untuk kemudian membentuk
pemerintahan, tanpa ada kejelasan dan pertimbangan dalam membentuk organisasi partai
politik ini, seperti ideologi dan konsideran yang diangkat. Meskipun masih ada partai-partai
besar dan pendahulu bahkan yang dengan status quo/kontra dengan demokrasi yang masih
mencoba bertahan dalam kontestasi pemilu. Dari 184 partai yang ada, tercatat 148 partai politik
yang kemudian mendaftar ke Departemen Kehakiman untuk menjadi peserta pemilu, dan dari
148 partai, kemudian hanya 48 partai yang dinyatakan memenuhi persyaratan untuk dapat ikut
dalam kontestasi pemilu 1999.
Pemilu yang Aman
Meskipun pemilu tidak mampu mewadahi semua partai politik yang ada dan diramalka n
akan memicu konflik, pada kenyataanya tidak demikian. Pemilu dilaksanakan sesuai dengan

yang direncanakan pada 7 Juni 1999 dan berlangsung tanpa memicu satu pun masalah atau
konflik, hanya terjadi beberapa kendala terkait pendistribusian peralatan pemilu di beberapa

Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang , Jakarta :
Rineka Cipta, 1994, hal. 4
1

3

daerah. Hal ini menunjukkan bahwa di bawah segala instabilitas keadaan politik, ekonomi, dan
hukum yang terjadi, masyarakat berharap banyak dan menghargai kontestasi pemilu ini untuk
memproyeksikan keadaan negara yang lebih baik.
Munculnya Fenomena Golput
Liberalisasi politik pasca Orde Baru membuka ruang kebebasan bagi elemen masyarakat
untuk berpartisipasi dalam membawa arah negara melalui partai politik dan pemilu. Euforia
demokrasi ternyata tidak membuat semua orang ingin memiliki andil dalam arena proses
politik. Ruang kebebasan yang terbentuk juga menjadi wadah bagi sebagian rakyat untuk tidak
berpartisipasi/tidak memilih (golput) di dalam pemilu. Berbeda dengan masa Orde Baru dimana
mesin-mesin politik yang dibentuk pemerintahan berkuasa dari lembaga-lembaga negara dan
militer dimobilisasi untuk memberkuat kekuatan Soeharto sebagai Presiden, sehingga

masyarakat tidak memiliki ruang partisipasi yang luas dan tidak sejalan dengan nilai-nila i
demokrasi yang pada dasarnya dianut oleh Indonesia.
Sebuah data mencatat terjadi fenomena golput saat Pemilu 1999 sebesar 10,21 persen2 .
Pemilu 1999 menjadi pemilu dengan angka golput paling sedikit dibanding dengan pemilupemilu berikutnya. Karena menurut sebuah data, pada Pemilu 2004, angka golput meningkat
hingga 23,34 persen. Rasa ketidakpercayaan terhadap calon kandidat dan partai politik menjadi
salah satu alasan sebagian besar masyarakat untuk tidak memilih dalam pemilu.

B.3 Hasil Pemilu 1999
Pemilu 1999 diselenggarakan pada 7 Juni 1999 untuk memilih anggota legislatif (DPR)
dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar, untuk kemudian
menentukan Presiden dan Wakil Presiden melalui Sidang Istimewa. Pemilu 1999 menempatkan
PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri sebagai pemenangnya dengan
perolehan 33,74%, partai ini yang selalu di anak tirikan pada masa Orde Baru. Kemudian
disusul oleh Partai Golkar dengan perolehan 22,44% suara. Dan di jajaran ketiga adalah Partai
PKB dengan perolehan 12,61%, disusul oleh PPP dan PAN yang memperoleh perolehan suara
lebih kecil.

2

https://ugm.ac.id/id/berita/361fenomena.golput.ketidakpercayaan.pada.partai.politik.dan.figur.kandidat


4

Hasil pemilu ini dianggap sebagian partai tidak valid atau tidak sesuai dengan azas yang
dijunjung (jujur dan adil) oleh sebagian partai peserta pemilu. Hal ini yang menjadi alasan bagi
mereka untuk tidak menandatangani berita acara terkait hasil pemilu. Namun setelah melalui
segelintir proses hasil pemilu dianggap sah dan valid oleh Presiden Habibie. Kemudian melalui
Sidang Istimewa, parlemen yang terbentuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden, yang
akhirnya menempatkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB sebagai Presiden RI ke-4 dan
Megawati Soekarnoputri dari PDI-P sebagai Wakil Presidennya.
Dalam prosesnya, banyak kalangan tidak puas dengan hasil proses politik dari hasil
Pemilu 1999 ini. Hal ini dikarenakan perilaku politisi di parlemen yang sangat tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan pemilih. Keterkejutan budaya ( cultural shock) menjadi salah satu
penyebabnya, agen politik di pemerintahan dianggap belum mampu beradaptasi dengan
struktur baru yang diharapkan lebih demokratis, nuansa Orde Baru masih dapat dirasakan.
Partai politik yang ada pun tidak mampu menjadi media arbitrase konflik, namun justru menjadi
sumber konflik itu sendiri. Hal-hal ini yang juga kemudian turut mempengaruhi perilaku dan
partisipasi politik masyarakat di kemudian hari.

C. Penutup

Pemilu 1999 adalah satu dari penyelenggaraan pemilu dalam sejarah Indonesia. Pemilu
1999 dapat dikatakan berbeda dengan pemilu yang diselenggarakan sebelum ataupun
sesudahnya.

Yang membedakan

adalah karena Pemilu

1999 diselenggarakan

untuk

merestruktur pemerintahan di tangkat legislatif untuk kemudian menentukan Presiden dan
Wakil Presiden pasca runtuhnya rezim Orde Baru atas paksaan dan tuntutan dari masyarakat
karena distrust dani instabilitas keadaan di berbagai aspek. Sehingga Pemilu 1999 adalah
pemilu yang dilaksanakan dalam masa transisi dari sistem yang cenderung otoriter kepada
sistem yang lebih demokratis, hal ini yang kemudian disebut sebagai liberalisasi politik.
Proses liberalisasi berdampak pada terbentuknya ruang yang lebih luas bagi partisipas i
rakyat. Animo dan harapan masyarakat begitu besar kepada pelaksanaan Pemilu 1999 untuk
memproyeksikan keadaan Indonesia yang lebih baik. Dengan animo dan sistem yang leb ih

demokratis ini kemudian menyebabkan banyaknya partai politik yang bermunculan untuk ikut
berkompetisi dalam kontestasi pemilu. Hingga tercatat ada 48 partai di antaranya dinyatakan
berhak untuk menjadi peserta dalam Pemilu 1999. Liberalisasi politik pada kenyataanya tidak

5

hanya menjadi wadah bagi masyarakat untuk ikut andil berpartisipasi politik, tetapi juga
menjadi ruang bagi rakyat untuk tidak berpartisipasi atau tidak memilih dalam pemilu. Hal ini
yang kemudian dikenal sebagai fenomena golput (Golongan Putih) yang muncul pada era ini.
Besarnya harapan akan kehidupan bernegara yang lebih baik juga menjadikan pelaksanaan
pemilu lancar tanpa adanya suatu konflik yang berarti. Sehingga dapat dikatakan bahwa
partisipasi politik masyarakat pada Pemilu 1999 cukup tinggi.
Besarnya harapan masyarakat akan kehidupan

bernegara yang lebih baik pada

kenyataannya tidak diiringi dengan kinerja politisi yang baik. Karena pemerintahan hasil
Pemilu 1999 dianggap belum mampu memproyeksikan negara demokrasi yang baik. Partai
politik pun belum menjadi media abitrase konflik dan pendidikan politik yang baik. Hal-hal ini
yang kemudian mempengaruhi sikap, perilaku, serta partisipasi politik masyarakat di kemudian

hari.

D. Daftar Pustaka
Buku:
Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Bantul:YAPPIKA
Djojosoekarto,

Agung.

2008. Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia.

Jakarta:Kemitraan
Pambudi, Himawan S. 2003. Menuju Demokrasi Terkonsolidasi. Yogyakarta:Lappera Pustaka
Utama
Rahmat, Arifin. 1998. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC
Huntington, Samuel P. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta

6


Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Saat Melawan Bangsa Sendiri

0 60 1

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63