Kedaulatan Sovereignty Negara State dan

Nama

: Pasulina Sidabutar

NIM

: 1101112287

Jurusan

: Hubungan Internasional

Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
Dosen

: Yusnarida Eka Nizmi, M.Si

KEDAULATAN
(Gabriella Slomp)
Terdapat kesepakatan luas yang setuju bahwa kedaulatan merupakan salah satu kata
penting dalam hubungan internasional. Namun, pada abad ke-21 masih ada ketidaksepakatan

mengenai makna, peran dan signifikansi dari kedaulatan. Di satu sisi kedaulatan negara
berguna untuk membela hak rakyat dalam membangun identitas dan melindungi otonomi dan
penentuan nasib sendiri terhadap gangguan eksternal. Namun sebaliknya, kedaulatan negara
juga bisa menjadikan pemerintahan menjadi buruk dan melakukan kekejaman domestik,
bahkan genosida, dengan impunitas. Pada bab inilah akan dijelaskan apa sebenarnya
kedaulatan tersebut, dan analisis mengenai implikasi dari kedaulatan negara pada hubungan
internasional. Pertama, karya-karya Jean Bodin dan Thomas Hobbes akan digunakan untuk
menjelaskan definisi dan tujuan kedaulatan. Kedua, akan adanya pertimbangan terhadap
respon mengenai teori kedaulatan klasik pada abad kedelapan belas, kesembilan belas dan
kedua puluh, yang terfokus pada pemikiran Immanuel Kant. Ketiga, kedaulatan akan
dipertimbangkan ke dalam tiga pasang kata sifat; eksternal dan internal, hukum dan politik,
keras dan berpori. Relevansi kontemporer dari kedaulatan tidak dapat diremehkan, dan
konsekuensi dari memahami arti kedaulatan akan meningkatkan pemahaman setiap urusan
internasional.
Menuju Suatu Defenisi
Menurut Aristoteles, setiap definisi kedaulatan harus terlebih dahulu menetapkan
kapan dan untuk apa tujuan kedaulatan memasuki dunia politik dan menembus wacana
politik. Mengenai asal usul kedaulatan yang sangat penting keberadaannya pada Hubungan
Internasional, terdapat beberapa mazhab pemikiran yang berbeda. Primordialists percaya
bahwa konsep kedaulatan dipelopori oleh para penulis kuno seperti Aristoteles, Polybius dan

Dionysius dari Halicarnassus. Tetapi konsep kedaulatan juga ditemukan dalam tulisan-tulisan
Ulpian, Agustinus, Dante, Ockham, Marsilius dan Machiavelli (modernis). Modernis percaya
bahwa kedaulatan merupakan fenomena modern yang berhubungan dengan kelahiran dan
pertumbuhan bangsa pada abad ketujuh belas dan pertama sekali diteorikan oleh Jean Bodin
dan Thomas Hobbes.

Tujuan dan Arti Kedaulatan Negara Menurut Jean Bodin
Kedaulatan negara menurut pandangan Bodin adalah sebagai kendaraan untuk kohesi
internal, ketertiban dan perdamaian yang dibutuhkan untuk nencapai kemakmuran.
Kedaulatan adalah kekuasaan mutlak dan abadi dari sebuah persemakmuran. Bodin
membedakan antara atribut dan karakteristik dari kekuatan berdaulat. Atribut utama dari
kedaulatan Bodin adalah kekuatan untuk memberikan hukum tanpa persetujuan dari yang
lain, baik yang lebih besar, sama, atau di bawahnya. Atribut lainnya adalah kekuatan untuk
menyatakan perang dan membuat perdamaian, kekuasaan untuk menunjuk hakim dan
petugas, kekuatan untuk memungut pajak dan sebagainya, semua ini merupakan konsekuensi
dari kedaulatan presiden sebagai kepala negara. Karakteristik kedaulatan menurut Bodin
adalah. Pertama, kekuasaan yang berdaulat itu mutlak; dalam bahasa Latin, ab Legibus
solutus (Atau tidak terikat oleh hukum). Bodin menjelaskan kedaulatan yang tidak dapat
dibatasi oleh hukum karena berdaulat adalah sumber hukum . Kedua, kedaulatan adalah tanpa
syarat: "kedaulatan yang diberikan kepada seorang pangeran agar tunduk pada kewajibannya,

kedaulatan atau kekuasaan absolute. Ketiga, kedaulatan tidak akuntabel seperti raja tidak
bertanggung jawab kepada warga negaranya. Keempat, kedaulatan tidak terpisahkan.
Kedaulatan tidak terbatas baik dalam kekuasaan, fungsi, atau waktu.
Bodin percaya bahwa hanya kekuatan yang tangguh dan tertinggi yang mampu
melindungi persemakmuran dari musuh internal dan eksternal untuk memberikan ketertiban
dan perdamaian. Dengan merumuskan teori pertama kedaulatan negara zaman modern, Bodin
mengungkapkan sensitivitas historis yang besar dan akan menyadarkan betapa pentingnya
keberadaan negara atau bangsa.
Tujuan dan Arti Kedaulatan Negara Menurut Thomas Hobbes
Pandangan Thomas Hobbes mengenai kedaulatan negara hampir sama dengan
pandangan Bodin, dimana kedaulatan dijadikan negara sebagai sarana untuk mengambil
keuntungan dari rakyatnya akibat kekurangpahaman rakyat tentang tujuan dari negara yang
berdaulat. Yang seharusnya negara yang berdaulat berfungsi untuk melindungi warga negara
justru menjadi penguras rakyat yang berdiri kokoh dibalik kedaulatan yang mereka miliki.
warga hanya memiliki hak untuk menolak jika membahayakan hidupnya. Tapi dari beberapa
karakteristik kedaulatan negara yang dibuat oleh Bodin, mendapat pertentangan dari Hobbes,
yaitu karakteristik kedaulatan yang mengatakan bahwa kedaulatan itu tidak terbatas. Hobbes
mencoba untuk menawarkan penjelasan yang rasional untuk menganggapi kekuasaan tak
terbatas bagi kepala negara. Dia menunjukkan bahwa, dari alam, kami memiliki hak untuk
menggunakan segala cara untuk membuat pertahanan diri karena selamanya bahaya akan

terus ada. Kami memasuki kondisi politik dengan maksud untuk mempercayakan kepala
negara sebagai pertahanan dan keamanan. Sebagai akhir dari kekuasaan berdaulat adalah
perlindungan hidup kita dan pelestarian perdamaian, akan masuk akal untuk menerapkan
pembatasan pada kekuasaan berdaulat karena hal ini akan membatasi kemampuan untuk
melindungi kelangsungan hidup kita. Oleh karena itu, kekuasaan berdaulat harus dibatasi.
Hobbes juga memberikan argumen bahwa kedaulatan memberikan perlindungan karena
ketaatan dan bahwa perlindungan yang mutlak membutuhkan ketaatan yang mutlak agar bisa

menjadi kekuasaan yang mutlak dan berdaulat. Bagi Hobbes, sebuah negara yang tidak bisa
memberikan perlindungan tidak akan mendapat ketaatan dari rakyatnya dan negara tersebut
bisa dikatakan bukan negara.
Kedaulatan Menurut Immanuel Kant
Kant dianggap sebagai salah satu bapak liberalisme dan kosmopolitanisme. Seperti
yang dikatakan oleh Richard Tuck dan Howard Williams, Kant mencoba untuk
menggabungkan gagasan kedaulatan Hobbes dengan teori pemerintahan konstitusional
terbatas. Dalam sebuah esai berjudul On the Common Saying: ‘This May be True in Theory,
but it does not Apply in Practice’, Kant menantang pandangan Hobbes bahwa negara hanya
dapat melindungi kehidupan warganya. Tidak setuju dengan Hobbes, Kant berpendapat
bahwa sebuah negara yang berdaulat harus melindungi hak-hak dasar manusia seperti
kebebasan, kesetaraan dan independensi individu (Kant 1991: 74). Selain itu, Kant juga

menantang klaim Hobbes bahwa sebuah operasi negara dalam sistem internasional ditandai
dengan anarki (berasal dari Yunani, kurangnya arche , atau aturan) cukup bisa melindungi
warga negaranya. Sementara Kant menerima prinsip Hobbes bahwa fungsi dari negara yang
berdaulat adalah untuk memberikan perlindungan sebagai pertukaran ketaatan dari rakyat.
Letak Kedaulatan
Kedaulatan bisa diberikan kepada monarki, dalam sebuah pemerintahan terpilih atau
seluruh orang (kedaulatan rakyat).
Kedaulatan Internal dan Eksternal
Kedaulatan Internal adalah kekuasaan tertinggi dimana negara memiliki kekuasaan
atas warga negaranya sendiri dalam batas-batas sendiri atau sebagai lembaga tertinggi dalam
pengambilan keputusan dan penegakan kewenangan dalam spesifik wilayah dan terhadap
populasi. Sebaliknya, kedaulatan eksternal mewujudkan prinsip penentuan nasib sendiri dan
menunjukkan bahwa dalam hubungan internasional setiap negara berada pada posisi
kemerdekaan masing-masing negara. Kedaulatan eksternal mengacu pada tidak adanya
otoritas internasional tertinggi. Singkatnya, doktrin kedaulatan mengatakan bahwa kedaulatan
menyiratkan klaim ganda; otonomi dalam kebijakan luar negeri dan kompetensi eksklusif
dalam urusan internal (Evans dan Newnham 1998: 504).
Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Politik
Kedaulatan hukum atau kedaulatan de jure berbeda dengan kedaulatan politik atau
kedaulatan de facto sebagai sebanyak konsep kewenangan yang berbeda dari konsep

kekuasaan. Kedaulatan hukum berdasarkan pada perintah, kedaulatan politik bukan
didasarkan pada daya untuk memastikan kepatuhan. Kebanyakan pemikir setuju bahwa baik
kedaulatan politik ataupun kedaulatan hukum merupakan suatu bentuk hidup dari kedaulatan
mereka sendiri. Seperti yang diamati oleh Anto- Nio Gramsci, kedaulatan politik yang
didasarkan sepenuhnya pada monopoli kekuasaan koersif tidak akan cukup untuk menjadi
sebuah rezim bertahan. Sebaliknya, kedaulatan hukum tanpa kemampuan untuk menegakkan
perintah akan membawa moral belaka. Memang, perbedaan politik/hukum tidak

menggambarkan dua jenis kedaulatan tetapi dua sisi fenomena yang sama, dan dengan
demikian nilai perbedaan politik/hukum terutama heuristik dan analitis dalam hal itu
menyoroti sifat berlapis-lapis dari konsep kedaulatan.
Kedaulatan Keras dan Kedaulatan Berpori
Ada juga perbedaan antara kedaulatan berpori dan keras, hingga dua puluh satu abad
mengalami jenis yang sangat berbeda yang dijelaskan oleh Bodin dan Hobbes. Teori
Globalisasi menyatakan bahwa batas-batas negara adalah permeabel, dan bahwa garis
pembatas antara lingkungan internal dan eksternal sebuah negara akan kabur seiring
berjalannya waktu. Akibatnya, ada argumen bahwa gagasan kedaulatan akhirnya akan
ditinggalkan sebagai akibat dari perkembangan integrasi seperti Uni Eropa.
Kesimpulan
Secara sederhana, Bodin dan Hobbes mengatakan bahwa sistem negara didasarkan

pada kedaulatan yang terbatas, tidak terbagi, dan mutlak yang berarti bahwa
negara yang berdaulat merupakan hakim tertinggi dalam kasus mereka sendiri, memiliki hak
mutlak untuk berperang sesuka mereka, dan dapat memperlakukan warga negara mereka
sesuai dengan yang mereka inginkan. Dengan kata lain kedaulatan negara menurut
pandangan Bodin dan Hobbes adalah sebagai kendaraan untuk kohesi internal, ketertiban dan
perdamaian yang dibutuhkan untuk nencapai kemakmuran. Kedaulatan adalah kekuasaan
mutlak dan abadi dari sebuah persemakmuran.

BANGSA DAN NEGARA
(Archie Simpson)
Dalam bab ini, konsep 'bangsa' dan 'negara' akan diuraikan bersamaan dengan konsepkonsep lain yang berhubungan seperti penentuan nasib sendiri, nasionalisme, kedaulatan dan
negara kebangsaan. Kata-kata ini merupakan konsep inti dalam hubungan internasional,
karena sebagian dari kata-kata tersebut merupakan unit utama dalam disiplin ilmu, tetapi juga
karena kata-kata ini biasanya menjadi pusat banyak teori, masalah dan tema yang sedang
dipelajari. Sengketa tentang kewarganegaraan, penentuan jati diri dan kenegaraan telah
menyebabkan banyak perang sepanjang sejarah termasuk perang dunia dua pada abad kedua
puluh. Ini berarti bahwa pengetahuan tentang kebangsaan, negara dan kedaulatan sangat
penting bagi semua mahasiswa hubungan internasional.
Benedict Anderson menyarankan agar bangsa menjadi sebuah komunitas yang
dibayangkan dimana bangsa adalah konstruksi sosial daripada fenomena sosial yang terjadi

secara perwujudan. Anderson berpendapat bahwa sebagai komunitas yang dibayangkan,
bangsa yang terbatas, berdaulat dan merupakan suatu komunitas (seperti melibatkan
perkawanan). Argumen di sini adalah bahwa ide bangsa ini lahir dari modernitas dan telah
dibuat oleh sejumlah faktor-faktor terkait seperti evolusi dari industrialisasi pencetakan, lalu
urbanisasi, dan melalui perkembangan historis seperti Reformasi, revolusi (dalam Perancis,
Amerika Serikat dan di tempat lain) dan meningkatnya peran negara. Kebangsaan adalah
kepemilikan oleh kelompok tertentu dan bukan merupakan orang lain. Sebuah rasa yang kuat
antara Mereka dan Kita menjadikan hal ini bermetamorfosis menjadi wilayah politik.
Gagasan bangsa sebagai sebuah unit politik merupakan inti dari nasionalisme.
Nasionalisme
Sebagai doktrin politik, nasionalisme adalah keyakinan bahwa masyarakat dunia
terbagi menjadi bangsa-bangsa, dan masing-masing Negara ini memiliki hak untuk
menentukan nasib sendiri, baik sebagai unit pemerintahan dalam bangsa atau sebagai negara
kebangsaan mereka sendiri. Sebagai budaya yang ideal, nasionalisme adalah klaim bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki banyak identitas. Sebagai moral yang ideal, nasionalisme
adalah etika pengorbanan heroik, yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam
pertahanan bangsa dalam melawan musuh, internal maupun eksternal. (Ignatieff 1994)
Nasionalisme adalah sebuah kekuatan utama di balik pecahnya negara dan kerajaan
dan penciptaan negara baru dan menyediakan sumber kesetiaan kepada negara. Akibatnya
nasionalisme sering dikutip sebagai sumber perang, konflik etnis, penganiayaan terhadap

minoritas dan beligerensi.
Berikut jenis-jenis nasionalisme:




Nasionalisme Civic: sebuah 'kontrak sosial' antara warga negara dan negara.
Nasionalisme Etnis: biasanya melibatkan prinsip keturunan yang kuat.
Nasionalisme Budaya: Bangsa terikat bersama melalui rasa kebersamaan terhadap
budaya.





Nasionalisme Liberal: Nasionalisme yang berdasar pada prinsip-prinsip kesetaraan,
kebebasan, toleransi, hak-hak individu dan identitas.
Pan-nasionalisme : Bentuk dari nasionalisme etnis dan budaya berbagai kelompok
yang beda negara bagian tetapi fitur atau karakteristiknya sama.
Nasionalisme Diaspora: pengelompokan national para mantan pejuang yang tinggal di

luar tanah air mereka atau negara.

Negara
Sepanjang sejarah negara sudah ada dalam berbagai bentuk, dari negara-negara kota
Yunani kuno hingga negara-negara feodal dari periode abad pertengahan dengan sistem
modern negara hingga saat ini.
Perdamaian Westphalia juga mengkodifikasikan fitur penting kenegaraan, yaitu
kedaulatan. Perdamaian Westphalia membentuk dinamika kedaulatan internal dan eksternal,
kedaulatan yang merupakan inti dari setiap diskusi yang melibatkan negara. kedaulatan
Internal, juga dikenal sebagai kedaulatan dalam negeri, yang melibatkan sejumlah fitur
penting. Pertama, bahwa dalam negara berada satu sumber tunggal(final) atau kekuasaan dan
otoritas. Hinsley menulis tentang kedaulatan, menyatakan gagasan bahwa ada otoritas final
dan mutlak dalam masyarakat politik dan tidak ada otoritas final dan mutlak ada di tempat
lain '(Hinsley 1966: 21). Oleh karena itu Kedaulatan otoritas khusus dalam suatu wilayah
akan melebihi bentuk-bentuk otoritas lain. Kedua, prinsip non-intervensi didirikan, yang
berarti bahwa politik internal masing-masing negara harus dihormati oleh yang lain negara.
Dalam Piagam PBB sebagai Pasal 2 (4), disebutkan: 'Semua anggota harus menjaga
diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun, atau dengan cara lain tidak
konsisten dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 'Ketiga, negara memiliki institusi

politik mereka sendiri yang bertanggung jawab untuk mengatur negara, membuat undangundang, menyediakan barang publik dan menjamin keamanan warga. lembaga-lembaga
politik seperti eksekutif, yudikatif atau legislatif adalah pelaksana kedaulatan dalam negara.
Pengakuan dari lembaga-lembaga politik oleh warga melegitimasi kedaulatan internal negara
dan erat terkait dengan isu nasionalisme, penentuan nasib sendiri dan kedaulatan rakyat yang
berada dalam batas-batas negara. (Kedaulatan umumnya adalah tempat dimana politik
otoritas negara berasal dari warga negara.)
Kedaulatan eksternal berhubungan dengan dua faktor. Yang pertama adalah
pengakuan. Amerika secara formal mengakui negara lain melalui jalan diplomatik dan
perjanjian internasional. Pengakuan adalah pengakuan dari keberadaan negara dalam politik
internasional oleh lain negara. Bagaimanapun juga terdapat kebingungan mengenai isu
jumlah negara yang diperlukan untuk mengakui negara baru. Sebagai aturan umum,
pengakuan oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB telah menjadi penting bagi
keabsahan dari setiap negara baru. Faktor kedua yang berkaitan dengan kedaulatan eksternal
adalah kesetaraan hukum. Sementara negara berbeda secara ekonomi, militer, politik dan
dalam hal teritorial dan penduduk, secara hukum adalah sama. Ini berarti bahwa pada
dasarnya negara memiliki hak yang sama diantara hukum internasional. Misalnya, agar suatu

negara memiliki kedaulatan yang sama seperti negara lain, suatu negara dapat
menandatangani perjanjian, bergabung dengan organisasi internasional dan mempertahankan
kedaulatan negeri mereka. Kualitas negara adalah derivatif dalam arti bahwa ia mampu
mengenali negaranya sendiri, mengerti bahwa negara memiliki kapasitas tertentu, dan bahwa
negara merupakan anggota dari komunitas internasional.
Montevideo, tahun 1933 dalam Konvensi tentang Hak dan Kewajiban Negara
menetapkan empat kriteria utama kenegaraan, yaitu: penduduk, wilayah, pemerintah, dan
kemampuan melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Sarjana Alan James (1986)
berpendapat bahwa kriteria kelima adalah adanya kemerdekaan yang konstitusional. Sarjana
Alan James (1986) berpendapat bahwa kriteria tidak tertulis kelima ada, bahwa 'kemerdekaan
konstitusional'.
Kriteria pertama, memiliki populasi yang tetap, menyiratkan bahwa harus ada tingkat
kelahiran. Pengecualian hanya untuk aturan ini adalah Negara Kota Vatikan di mana
penduduk memutuskan profesional dasar, yakni mereka menentukan kewarganegaraan
Vatikan dengan mengangkat berdasarkan profesi mereka.
Kriteria kedua adalah wilayah, secara sederhana merupakan daratan. Teritorial adalah
aspek sentral dari kenegaraan dan merupakan fondasi fisik negara. Hal ini menunjukkan
bahwa struktur buatan manusia tidak dapat dianggap sebagai wilayah yang sah.
Kriteria ketiga adalah pemerintah. Di sini hukum internasional tidak menentukan jenis
dari pemerintah. Pemerintah terbuat dari institusi politik yang penting yang dirancang untuk
membuat keputusan bagi rakyat secara keseluruhan dan mengelola proses kebijakan.
Pemerintah terdiri dari pejabat tinggi yitu pengambil keputusan dalam negara dan merupakan
salah satu kunci pelaksana kedaulatan negeri. Ada banyak jenis pemerintah model demokrasi
(presiden atau parlemen), model teokratis (seperti dalam Vatican City), monarki (seperti di
Arab Saudi atau Thailand), kekuasaan otoriter (Melalui militer diktator atau satu partai
negara), atau pemerintahan totaliter (di mana pemerintah berusaha untuk menembus dan
benar-benar merubah masyarakat). Pemerintah masing-masing negara berbeda karena setiap
negara memiliki sejarah yang berbeda, ukuran teritorial dan lokasi. Intinya di sini adalah
pemerintah harus ada dalam bentuk apapun dalam rangka membentuk Negara.
Kriteria keempat adalah pengakuan. Memiliki kemampuan melakukan hubungan
dengan negara lain berarti sudah memiliki pengakuan dari negara lain sebagai negara yang
berdaulat. Agar diakui oleh negara-negara lain harus ada beberapa bentuk pemerintahan. Ada
sejumlah negara di dunia yang saat ini yang memiliki wilayah, penduduk dan pemerintah dan
mungkin memiliki kapasitas untuk berhubungan dengan negara-negara lain tetapi, karena
alasan-alasan politik, maka negara tersebut tidak diakui secara luas. Kurangnya pengakuan
berarti mereka tidak dapat dianggap sebagai negara berdaulat dan akibatnya mereka tidak
memiliki kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara lain.

Negara Kebangsaan

Istilah bangsa sering disalahartikan sebagai sinonim dari negara jangka panjang,
padahal masing-masing memiliki arti yang berbeda. Istilah negara kebangsaan juga sering
dikutip sebagai negara yang berdaulat, tetapi pada saat ini sangat sedikit kegara kebangsaan
yang asli di sistem internasional. Pada tahun 1972 sarjana Walker Connor menghitung dari
132 negara, hanya 12 yang bisa dikatakan benar-benar homogen dan 25 negara yang
memiliki 90 persen rakyatnya yang berasal dari satu kelompok etnis (Connor 1972: 320).
Mungkin jika dilakukan pengulangan dari penelitian ini pada saat ini, negara yang benarbenar homogen tidak akan dijumpai lagi. Ini disebabkan adanya pernikahan yang berbeda
kewarganegaraan atau percampuran warga negara asing atau efek dari globalisasi.
Jadi, sebenarnya istilah negara kebangsaan merupakan negara yang benar-benar atau
asli seluruh warga negara berasal dari satu kelompok etnis saja. Berbeda dengan istilah
negara, dalam negara bisa terdapat lebih dari satu etnis, tetapi yang disebut sebagai negara
kebangsaan hanya memiliki satu etnis saja dalam masyarakatnya.

KEKUASAAN (KEKUATAN )
(Roger Carey)

Setiap pemeriksaan kekuasaan harus dimulai dengan pemeriksaan daya yang
digunakan melalui pendekatan konteksnya. Kekuatan militer dan politik sepertinya sedikit
lebih lemah dibandingkan kekuatan komoditas seperti sumber daya ekonomi, kekuatan
militer dan politik sepertinya masih sulit ditransformasikan menjadi bentuk dari kekuasaan.
Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat didefinisikan sebagai kemampuan
suatu negara dalam memberi pengaruh atau control terhadap tindakan negara lain. Hal ini
dapat memberikan pengaruh nyata baik melalui perang atau sanksi, atau pengakuan oleh
negara lain yang berpotensi bagi keuntungan negara dan ini dapat dilakukan secara sadar atau
tidak sadar. Kekuasaan memiliki tujuan. Para pemimpin negara membuat asumsi bahwa
kekuatan akan memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau memperpanjang
kepentingan nasional meskipun sudah tercapai dan akan memungkinkan mereka untuk
membela proyek dan tujuan negara. Oleh karena itu kekuasaan memiliki banyak elemen
abstrak dalam komposisinya. Ini mungkin lebih baik, karena itu, Akan lebih baik untuk
berusaha mengukur kekuatan pada beberapa jenis skala politik. Misalnya, kemampuan untuk
mencapai tujuan bukan hanya tergantung pada jumlah kepala militer, tetapi juga harus
mantap dalam ketenagakerjaan atau rudal, pangsa pasar atau kapasitas.
Kekuasaan terdiri dari berbagai segi tetapi dapat didefinisikan dalam dua bentuk yang
berbeda yaitu hard power dan soft power. Hard power adalah kemampuan secara fisik yang
menyakitkan dan merusak, biasanya terkait dengan kekuatan militer dan pndekatan fisik. Soft
power adalah kemampuan untuk menekan dan mempengaruhi tanpa menggunakan ancaman
fisik.
Unsur persepsi sangat penting, karena tindakan negara bukan hasil dari beberapa
logika deterministik atau tindakan tak terlihat atau rencana. Hal ini membuat para pengambil
keputusan untuk memutuskan dan individu untuk bertindak. Orang-orang ini bertindak atas
keyakinan mereka atau persepsi mereka mengenai dunia. Mereka tidak tahu yang dipikirkan
orang lain. Maka masuklah kekuasaan para pengambil keputusan itu tanpa disadari oleh
individu-individu tersebut.
Kekuatan Militer
Penulis klasik seperti Thucydides dan Pericles mengasosiakan kekuatan sebagai
kemampuan militer. Begitu juga dengan Sun Tsu, menyamakan kekuatan dengan kemampuan
militer, dan Mao Tse Tung yang sangat terkenal dengan catatanya, bahwa kekuatan keluar
dari mulut pistol. Pakar hubungan internasional pada abad kedua puluh seperti E.H. Carr,
Hans Morgenthau dan Kenneth Waltz juga mengasosiasikan kekuasaan negara sebagai
kekuatan militer. Secara tradisional, kekuatan militer digunakan untuk memaksakan
kehendak dari kedaulatan yang satu dari kedaulatan yang lain, atau untuk melawan kekuatan
lain yang berdaulat.

Aliansi

Persepsi dari kekuatan atau kelemahan militer telah lama membawa negara untuk
masuk ke aliansi, yang tidak selalu dengan tujuan peninggian diri. Karena dihadapkan dengan
ancaman keadaan tertentu mungkin sebuah negara akan berpikiran untuk menambah
kekuatan yang memadai untuk menolak ancaman atau untuk melestarikan nilai-nilai dan akan
memilih jalan menambah kekuatannya dengan memasuki aliansi baik dengan negara lain
yang menghadapi ancaman yang sama atau mirip, atau dengan berhubungan dengan negara
lain yang menganut sistem nilai yang serupa. Oleh karena itu, soal kelayakan Aliansi
bukanlah pilihan. Jika masyarakat sempurna negara tidak mungkin masuk ke dalam aliansi,
karena manfaat aliansi tidak setimpal dengan kontribusi negara '(seperti yang telah menjadi
tema konstan dalam NATO).
Aliansi adalah asosiasi (formal maupun informal) antar negara, tetapi tidak selalu
pada dimensi keamanan.
Kekuatan Nuklir dan Pencegahannya
Pesatnya perkembangan teknologi militer dan senjata nuklir akibat dari
Perang Dunia Kedua menyebabkan penyalahgunaan kekuatan militer. Perang termo-nuklir
antara kekuatan besar dianggap sebagai pilihan yang salah. Adanya keinginan untuk
melakukan perang nuklir antar negara besar, harus dicegah. Konsep pencegahan bukanlah hal
yang baru lagi dan terbatas pada bidang politik internasional saja. Pepatah militer yang
mengatakan 'adanya unjuk kekuatan tetapi tidak harus menggunakan kekerasanr’ telah ada
sepanjang masyarakat telah berkonflik dan konsep menghukum pelaku untuk menghalangi
orang lain adalah contoh sederhana pencegahan dalam masyarakat sipil. Pencegahan adalah
tindakan yang diambil oleh suatu negara atau aliansi untuk mencegah aksi bermusuhan oleh
negara lain, biasanya dengan meyakinkan penyerang bahwa manfaat dari perang tidak akan
sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Setiap negara bertindak untuk menambah senjata
sebagai alat keamanan, negara lain menafsirkan tindakan ini sebagai ancaman dan
membangun senjata mereka juga sebagai respon, sehingga menggangu keamanan kedua
negara dan berpotensi ke arah perang senjata.
Kekuatan Ekonomi
Sampai saat ini, para sarjana belum memberikan perhatian besar terhadap unsur
kekuatan ekonomi dalam sistem politik internasional. Tetapi kenyataannya dewasa ini dapat
kita lihat pada sistem internasional saat ini bahwa tingkat perekonomian suatu negara sangat
berpengaruh pada kekuatan yang dimiliki oleh negara tersebut. Negara yang ekonominya
maju, pasti memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding dengan negara yang ekonominya
rendah. Misalnya, seperti negara Amerika Serikat yang ekonominya maju, membuat negara
tersebut ditakuti dan ditinggikan oleh negara-negara yang ada di dunia ini. Hal ini
menyebabkan Amerika Serikat memiliki kekuasaan yang tinggi terhadap negara-negara yang
lain. Intinya kekuasaan suatu negara sangat dipengaruhi oleh tingkat perekonomian negara
tersebut.
Kontrol Sumberdaya dan Distribusi

Minyak, seperti mineral lainnya, merupakan komoditi global. Uniknya, minyak
merupakan elemen kunci dalam pembangunan ekonomi di setiap negara di dunia, namun
distribusi cadangan minyak tidak merata dan konsumen utama bukan pemasok utama. Untuk
mengontrol cara produksi minyak adalah menggunakan kekuatan yang sangat besar untuk
mengatur pasokan dan harga dan dampak ekonomi negara-negara pembelian. Produsen kartel
seperti OPEC bekerja untuk mengatur pasokan dan untuk menyelaraskan permintaan
sedemikian rupa untuk memberikan manfaat ekonomi kepada semua pihak. Mekanisme
regulasi tersebut bekerja dengan baik pada saat pasokan dan permintaan berada dalam
kesetimbangan, namun sebagian besar dari situasi abad dua puluh satu permintaan untuk
sumber daya minyak telah meningkat lebih cepat dari pasokan, menguntungkan produsen dan
memberikan pendapatan yang besar kepada negara-negara produsen. Akhirnya, Organisasi
Negara Pengekspor Minyak (OPEC) diciptakan pada tahun 1960 untuk mengkoordinasikan
dan menyatukan kebijakan perminyakan, menjamin harga yang adil dan stabil dan untuk
menjamin keteraturan pasokan minyak ke negara konsumen. Kekuatan Internet yang tumbuh
dengan pesat menjadi sebagai sarana komunikasi dunia. Komunikasi instan telah merubah
cara melakukan bisnis, dan dengan proporsi bisnis yang tinggi perdagangan yang dilakukan
melalui Internet dengan kapasitas dan kemauan untuk menargetkan dan mengganggu bisnis
dari negara yang lain akan memunculkan kekuatan terhadap gangguan ekonomi dan sosial.
Kesimpulan
Pertimbangan kekuasaan dalam literatur konvensional masih didominasi oleh konsepkonsep kekuasaan militer. Namun, berakhirnya Perang Dingin dan liberalisasi perdagangan
telah mengakibatkan peningkatan dalam kekuatan ekonomi. Meningkatnya perdagangan
dunia yang bersekutu dengan perusahaan multinasional pengadaan bahan baku dan
manufaktur pada skala global, telah memindahkan kekuasaan dari negara menjadi dilakukan
oleh individu. Perkembangan komunikasi elektronik menciptakan suatu kerentanan baru bagi
perusahaan dan negara. Mereka yang dapat menyerang media elektronik menggunakan
kekuatan potensial yang sangat besar. Sifat kekuasaan berubah dengan cepat dan menjadi
semakin menyebar. Power bergerak menjauh dari negara terhadap perusahaan dan bahkan
perorangan, banyak yang berpendapat bahwa pendiri Microsoft Bill Gates akan lebih kuat
daripada Presiden AS. Wujud kekuasaan tidak lagi bisa sepenuhnya dikuasai oleh negara dan
aktor non-negara tetapi akan memperoleh arti yang semakin besar. Sebagai hasilnya, abad
kedua puluh satu segala sesuatunya mungkin akan semakin sulit untuk dikelola.