hukum humaniter dan invasi AS ke Irak

Konsep Pre-emptive war Amerika Serikat sebagai Antisipatory SelfDefense dalam Melawan Terorisme ditinjau dari Hukum Humaniter
Oleh : Husnul Chotimah Rahanyamtel (201310360311173)

Pendahuluan
Hukum internasional merupakan sebuah aturan yang mengatur hubungan antar
negara, bukan hanya negara namun juga aktor-aktor lainnya yakni negara dengan non negara
dan non negara dengan non negara. Hukum internasional selalu mengalami perkembangan
karena kondisi dunia tidak bersifar statis akan tetapi bersifat dinamis yang selalu bergerak
dari waktu ke waktu, hukum internasional selalu disesuaikan dengan kondisi dunia agar
terciptanya suatu keseimbangan. Salah satu perkembangan dari Hukum Internasional adalah
adanya International Humanitarian Law, ILH (Hukum Internasional Humaniter) atau juga
disebut sebagai “hukum perang”. Ada banyak sarjana yang mencoba menjelaskan apa yang
dimaksud dengan hukum perang. Lauterpacht secara singkat mengatakan laws of war are the
rules of the law of nations respecting warfare.1
Hukum humaniter dibuat untuk mengatur kekuatan senjata jika terjadi perang. Hukum
ini bukan berarti untuk menghentikan suatu perang yang telah terjadi akan tetapi mengurangi
penderitaan yang di alami ketika terjadi perang yang tidak dapat lagi di cegah. Ada upaya
pengaturan yang dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan baik
bagi masyarakat awam atau penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil),
maupun bagi korban perang dan anggota “combatant” (pelaku pertempuran) yang terluka.2
Hukum Humaniter Internasional mengenal dua kategori konflik bersenjata, yaitu

International Armed Conflict dan Non-International Armed Conflict. International Armed
Conflict adalah pertikaian bersenjata yang melibatkan dua atau lebih negara yang sifatnya
internasional, sedangkan Non International Armed Conflict adalah pertikaian bersenjata yang
dilakukan antara angkatan bersenjata pemerintahan suatu negara dengan angkatan bersenjata
yang terorganisir atau pertikaian antara dua atau lebih angkatan bersenjata yang terorganisir,
yang sifatnya domestik.

1 H. Lauterpacht, Oppenhelm’s International Law, Vol 11, 1955, hlm. 226
2 T. May Rudy, Hukum Internasional 2, cet ke 2, 2006, hlm. 80

Sementara isu yang muncul sekitar abad ke 20 adalah pertikaian bersenjata yang
dilakukan oleh suatu negara dengan kelompok brsenjata yang tidak terorganisir. Kejahatan
bersenjata seperti ini sering terjadi, sehingga untuk mengamankan stabilitas suatu negara dari
kejahatan bersenjata muncullah sebuah konsep Antisipatory self defence yang terdapat pada
pasal 51 piagam PBB.3 Pengertian self defence atau “bela-diri” pada saat ini telah meliputi
konsep pre emptive strike sebagaimana yang di klaim oleh Amerika Serikat dalam perang
melawan terorisme. Hal ini sebagai respon dari penyerangan teroris ke WTC, yang dikenal
dengan peristiwa 9/11, pemerintahan Bush mendeklarasikan Perang melawan Terorisme.
Untuk melancarkan aksinya, Bush kemudian berlindung dibalik antisipatory self-defense
untuk menjustifikasi aksinya. Namun prinsip pre-emptive strike telah menimbulkan

kontroversi yang amat politis. Sebab, prinsip tersebut telah menyimpang dari pengertian yang
sebenarnya.4 Sehingga apakah prinsip Pre emptive strike yang digunakan oleh Amerika
dalam melawan teroris dibenarkan oleh hukum ? dan bagaimanakah relevansinya dengan
hukum humaniter ?
Pembahasan
Pada tahun 2001 dunia di gemparkan dengan sebuah serangan teroris kepada Amerika
Serikat. Tepatnya pada tanggal 9 November 2001 yang dikenal dengan peristiwa WTC 9/11.
Kelompok teroris melakukan aksinya dengan membajak empat pesawat Amerika, 2 pesawat
di tabrakan ke menara kembar World Trade Centre (WTC) di New York oleh pesawat United
Airlines 175 di pagi hari waktu New York, selang beberapa jam kemudian salah satu pesawat
Amerika yakni American Airlines di tabrakan ke gedung Pentagon di Washington yang
merupakan gedung pertahanan AS. Hari naas bagi Amerika di tambah lagi dengan berita
bahwa ada sebuah pesawat United Airlines 93 di jatuhkan di Pennsylvania yang diduga
hendak menabrak gedung putih atau gedung kongres (Capital Hall).
Terorisme
Peristiwa ini membuat George W Bush murka dan mengumandangkan deklarasi
“perang melawan teroris”. Sejak saat itu pemahaman terhadap terorisme telah berubah.
Dalam situs terrorismfiles.org, di tuliskan bahwa istilah terorisme telah muncul pada abad ke
-18 yang mana untuk menunjukkan aksi-aksi anarkis di Eropa Barat, Rusia dan AS. Para
pelaku aksi kekerasan itu pada saat itu percaya bahwa untuk melakukan sebuah perubahan

3 Mengenai hak semua anggota PBB untuk melakukan tindakan bela diri apabila terjadi “armed attack” atau
serangan bersenjata
4 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, 2006. Hlm. 250

politik dalam suatu negara adalah dengan membunuh orang-orang yang sedang berkuasa.
Selama kurun waktu 1865-1905, sejumlah raja,perdana meneri, presiden dan pejabat menteri
lainnya telah terbunuh baik melalui penembakan maupun serangan bom.
Disamping itu, ada pula yang mengaitkan istilah teroisme dengan kekerasan
pemerintah yang bertujuan untuk menjamin rakyat dapat menaati pemerintah tersebut.
Pengertian terorisme dalam hal ini sangat menguntungkan bagi para pelaku terorisme negara
yang memegang kekuasaan, mereka dapat mengontrol pikiran dan perasaan. Namun
pengertian sebenarnya dari terorisme menjadi terlupakan dan konsep ini lalu ditujukan
terutama untuk pembalasan oleh individu atau kelompok terhadap pihak yang lebih kuat.
Noam Chomsky mencatat : “ walaupun istilah ini pernah diterapkan kepada para kaisar yang
menindas rakyat mereka sendiri dan dunia, sekarang pemakainnya dibatasi hanya untuk
pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat.” (Chomsky dalam Husaini 2003:129).
Chomsky sendiri berpendapat bahwa kata”terorisme” telah mengalami pergantian makna
yang mana pada mulanya berarti tindakan kekerasan-disertai sadisme- yang dimaksudkan
untuk menakut-nakuti lawan. Namun dalam kamus Adikuasa, terorisme adalah tindakan
protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok-kelompok kecil.5

Menurut rangkuman dari pandangan Hasnan,Plano dan Olton, Griffiths dan
O’Callaghan, serta Oots memunculkan sebuah defenisi bahwa terorisme adalah aksi
kekerasan dalam bentuk pengacuaan keamanan yang dilancarkan oleh individu,kelompok,
maupun negara demi mencapai tujuan-tujuan bernuansa politik. 6 Kembali lagi menurut
pandangan Chomsky pengertian Terorisme bersifat subjektif tergantung siapa yang memaknai
arti dari terorisme tersebut. Bagi palestina Israel adalah teroris berbeda pendepatnya jika
dilihat dari pendapat Amerika yang mengatakan bahwa Israel bukanlah teroris karena pada
dasarnya konsep terorisme didasarkan pada kepentingan ideologi dan kepentingan.
Dalam kaitan itulah Amerika menunjukkan arogansinya mendefenisikan teroris sesuai
ssesuka hatinya. Seperti dalam pidatonya Bush mengatakan bahwa “ Very nation in very
region now has a decision to make: either you are with us, or you are with the terorist” ( 20
september 2001). Hal ini menunjukkan arogansi Amerika dimana dia memaksa negara-negara
untuk bergabung bersama Amerika melawan teroris atau negara tersebut masuk dalam
kategori teroris. Amerika juga berhak menunjuk siapa saja yang di anggap sebagai teroris dan
di sepakati masyarakat internasional karena merasa sebagai negara adidaya.
5 Noam Chomsky & Jalaludin Rakhmat, Menguak Tabir Terorisme Internasional, 1991. Hlm 14
6 A. Safril Mubah, Menguak Ulah Neokons, 2007. Hlm152

Setelah peristiwa 11 september isu mengenai terorisme terlihat tampak dengan nyata
dan jelas, dunia sudah tidak lagi ditakuti oleh isu-isu fasisme ataupun komunis namun isu

internasional yang di perdengungkan sekarang adalah isu terorisme. Charles Krauthamer
mengatakan Jika ancaman terhadap dunia pada 1930-an dan 1940-an adalah fasisme,
pertengahan abad ke-20 adalah komunisme ,maka kini, di awal abad ke-21 berganti
radikalisme Islam dan Arab ( krautahmmer 2004:20). Selain itu Menteri Luar Negeri
Jerman juga mengatakan hal yang serupa pada pidatonya di hadapan Komisi Hak Asasi
Manusia PBB, “the 11th September and its consequences have reoriented world politics and
this is not without implications for human rights policy.”7
Kebijakan AS Memerangi Teroris
Presiden George W. Bush dalam merespon peristiwa WTC 11 september mengambil
keputusan kebijakan luar negri Amerika Serikat untuk memerangi dan menghentikan aksi
teroris yang dapat membahayakan keselamatan Amerika Serikat sebagai negra adidaya.
Menururt Bush dalang dari semua peristiwa ini terpusat pada Osama bin Laden dan
organisasinya, Osama yang di bantu oleh pemerintahan Afganistan dan Irak. Bush menuduh
Osama adalah aktor utama dalam peritiwa naas trersebut.
Awal munculnya tudingan Bush ini didasarkan pada informasi dan penemuanpenemuan yang dikembangkan oleh pemerintahan AS. Kurang dari 24 jam setelah WTC
meledak, Osama sudah dinyatakan sebagai buronan oleh Federal Bureau Investigation (FBI).
Di sisi lain, Central Intelligence Allegency (CIA) juga menyatakan bahwa satu-satunya
tertuduh adalah Osama karena memiliki cukup dana,organisasi,serta kenekatan dalam
melakukan serangan di beberapa institusi Amerika, termasuk peledakan Kedutaan Besar AS
di Afrika Timur pada 1998 (Husaini 2001: 10-11).

Dengan penemuan yang di klaim oleh Amerika Serikat bahwa kejadian runtuhnya
gedung WTC pada 11 september 2001 merupakan penyerangan oleh terorisme dalam hal ini
yakni Osama Bin laden yang dibantu oleh rezim Taliban di Afghanistan dan juga Irak. Maka
Amerika mengumumkan perang terhadap kelompok tersebut (Al-Qaeda, Rezim Taliban dan
Sadam Husein). Pengumuman akan strategi perang terhadap terorisme ini mengemukakan
konsep “preemptive use of force” yang di klaim oleh Amerika Serikat sebagai hak atas
self-defence. Dengan konsep ini Amerika melakukan invasi ke Irak dan Afganistan untuk
7 Joschka Fisher, Federal Minister of Foreign Affairs, “Anti-Terrorism Meassures Are No Ezxcuse For Human
Rights Violations”, 58th Session of the Commision Of The Human Rights, Geneva, 20 March 2002,
www.unhcr.ch (diakses 13 oktober 2014)

memerangi teroris yang memiliki dampak negatif yang sangat banyak. Hal ini yang masih
menjadi perdebatan hingga sekarang yakni konsep pre emptive strike.
Pre emptive strike dalam Antisipatory Self-Defense
Jika terjadi sebuah ancaman yang besar dan sebuah negara bisa berpotensi menjadi
korban dari ancaman tersebut tidak hanya bisa berdiam diri saja menunggu ancaman tersebut
namun harus melakukan tindakan bela diri atau self defense. Sehingga self-defense dapat
diterima dalam hukum kebiasaaan. Kasus klasik yang menjadi dasar dan sering dikaitkan
dengan doktrin ini adalah insiden Caroline. Pada tahun 1983, kapal Inggris melakukan
penyerangan terhadap kapal The Caroline yang menampung persenjataan oleh para

pemberontak kanada untuk menyerang pemerintah kanada ketika berada di dermaga Amerika
Serikat.8 Komunikasi yang terjalin anatara menteri luar negeri Amerika Webster dan
pemerintah Inggris saat itu menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Inggris
adalah sebagai bentuk dari “The Nescessity of self-defense and preservation”.
Insiden ini menghasilkan Webster Formula bahwa anticipatory self-defense dalam
hubungan internasional hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa dan memenuhi kriteria
berikut :
1. Instant (berlangsung sangat cepat)
2. Overwhelming (keadaan terpaksa yang luarbiasa)
3. There no alternative (tidak ada pilihan lain)
4. No moment for deliberation (tidak ada waktu untuk bermusyawarah)
Peristiwa Caroline secara tidak langsung tertanam prinsip-prinsip yang kuat sebagai
Jus ad belum dan Jus in bello9. Menurut Grotius yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar
Kusumaatmadja memberikan arti dari kedua prinsip tersebut.
a. Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal
bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata.
b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, Jus in bello terbagi menjadi
dua, yaitu:
 Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, termasuk permbatasanpembatasannya yang terdapat dalam konvensi-konvensi Den Haag.
8 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar., op.cit. Hlm. 256

9 Louis-Philippe Rouillard, The Caroline Case : Anticipatory Self-Defense in Contemporary International
Law, Miskolc Journal of International Law (2004)



Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban
perang, baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi
Jenewa.10

Kedua hukum tersebut sering dipakai dalam beberapa kasus sengketa internasional
dan telah dimasukkan sebagai hukum kebiasaan internasional sebagai self-defense.
Self defense kemudian di atur dalam pasal 51 piagam PBB yang mengatur mengenai
hak semua anggota PBB untuk melakukan tindakan bela diri apabila terjadi “armed attack”
atau serangan bersenjata. Terjadi perbedaan yang besar terkait pemahaman dalam luasnya
cakupan self-defense, terutama terkait dengan persoalan interpretasi atas pasal 51, kelompok
yang memilih interpretasi luas beranggapan bahwa, pertama, referensi atas ‘inherent right’
dalam pasal 51menyediakan sebuah hukum kebiasaan atas hak untuk self-defense. Kedua,
hak dalam hukum memberikan pengertian yang lebih luas dan tidak hanya atas serangan
bersenjata.
Sedangkan kelompok kedua yang mengadvokasikan pengertian yang sempit

berpemahaman bahwa interpretasi yang dilakukan oleh kelompok pertama bertentangan
dengan maksud yang dituju oleh pasal 51. Sehingga, pada saat yang bersamaan pasal tersebut
menjadi tidak relevan bilamana memberikan justifikasi atas self-defense tanpa batasan. Sebab
bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional.11
Agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam self-defense, pengadilan membuat batasan
bersifat prosedural. Pertama, harus terdapatnya bukti akan adanya sebuah serangan
bersenjata oleh negara A terhadap negara B. Kedua, negara B harus memiliki pemahaman
bahwa ia telah menjadi subjek dari serangan negara A. Ketiga, setelah itu negara B harus
meminta pertolongan terhadap negara lain. Keempat, negara lain tersebut tidak mendasarkan
alasan tindakannya pada pemahamannya sendiri. 12 Jika kita lihat pada kasus invasi Amerika
ke Irak maka perbuatan Amerika tidak sesuai dengan batasan yang telah diberikan oleh
International Court of Justice (ICJ) sebagai badan peradilan internasional. Pada poin pertama
Amerika tidak memiliki bukti apapun bahwa Irak akan melakukan serangan terhadap
Amerika ataupun negara lainnya, AS hanya berlandaskan pada informasi bahwa Irak
memiliki senjata pembunuh massal yang tidak terbukti. Kedua, Amerika salah persepsi

10 T. May Rudy., op.cit. Hlm. 80
11 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar., op.cit. Hlm.256
12 Ibid.


karena pada dasarnya Irak tidak ingin melakukan serangan pada negara manapun. Ketiga dan
keempat, Amerika hanya mengambil tindakan sendiri tanpa perundingan terlebih dahulu.
Penggunaan kekerasan dalam self-defense adalah muncul doktrin pre emptive. Konsep
pre emptive strike adalah tindakan “menyerang duluan” yang dilakukan oleh suatu negara
atau organisasi internasional kepada negara yang lain atas kesalahan yang dilakukan negara
tersebut seperti stabilitas politik dan kesalahan-kesalahan lainnya yang terdapat dalam
perjanjian internasional ( misalkan pelanggaran HAM ). Pre-emptive strike

sebagai

anticipatory self- defence umumnya dipahami sebagai penggunaan kekerasan yang dilakukan
sebagai respon terhadap sebuah ancaman yang nyata.13 O’connell menjelaskan bahwa sebuah
tindakan pre- emptive yang dilakukan dalam rangka self-defence merujuk pada sebuah
keadaan dimana salah satu pihak menggunakan kekerasan untuk menghentikan segala
bentuk kemungkinan dari penyerangan yang diyakini akan terjadi oleh pihak atau negara
lain, walaupun belum ada serangan yang teraktualisasikan.
Hukum Humaniter
Hukum humaniter seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan hukum
perang. Aturan dasar tentang Hukum Humaniter Internasional yang modern dikembangkan
sejak seratus tahun yang lalu, mulai dari Konvensi Jenewa 1864 yang mengeluarkan

pernyataan “for the amelioration of the conditions of the wounded in armies in the field”
(perbaikan terhadap kondisi para tentara di medan perang) yang dicetuskan oleh Henry
Dunant (pendiri Internatinal Committee of the Red Cross tahun 1863, yang dianggap sebagai
pengawas Hukum Humaniter Internasional), konferensi – konferensi Den Hag 1800 dan
1907, Protokol jenewa 1925 tentang pelarangan gas beracun dan senjata biologis, dan
konvensi ICRC 1929 yang digunakan sebagai ukuran dasar dari Hukum Humaniter
Internasional, dan empat Konvensi Jenewa 1949 serta dua Protokol Tambahan terhadap
Konvensi – Konvensi Jenewa 1977.14
Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam dua situasi atau menyediakan dua
sistem perlindungan yang telah di tandatangani oleh sejumlah negara berupaprotoko; resmi
yang disebut sebagai Protocols Additional to the Geneva Convenients of 12 Agustus 1949
yang merupakan tambahan dari Konvensi Jenewa tahun 1949 yaitu15 :
13 Abdul G. Hamid, The Legality of Anticipatory Self-Defense in the 21st Century World Order: A ReAppraisal, 4g41. Netherlands International Law Review (2007).
14 Claire de Than dan Edwin Shorts, International Criminal Law and Human Rights, LONDON Sweet and
Maxwell, 2003, hal. 117
15 T. May Rudy., op.cit. Hlm. 88

1. Protokol I yang mengatur perlindungan terhadap korban dari pertikaian bersenjata
yang bersifat internasional. Pihak – pihak yang termasuk di dalam situasi ini
adalah:
a. personil militer yang terluka atau sakit di medan pertempuran darat, dan
anggota dinas medis angkatan bersenjata;
b. personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam dalam
pertempuran laut, dan anggota dinas medis angkatan laut;
c. tawanan perang
d. penduduk sipil, misalnya : warga negara asing di wilayah negara yang terlibat
konflik termasuk pengungsi, orang sipil di wilayah kependudukan, tahanan
sipil dan internir, dan personil medis dan rohaniwan atau satuan pertahanan
sipil (perlindungan massa).
2. Protokol II berhubungan dengan perlindungan korban pertikaian bersenjata yang
bersifat non- internasional.
Hukum humaniter sering pula terjadi pengkodifikasian yang juga menimbulkan
terminologi baru bahwa ada hak dan kewajiban dari beberapa pihak untuk melakukan
internvensi dijadikan setara dengan pembenaran dilakukannya intervensi persenjataan demi
alasan-alasan kemanusiaan.
Humanitarian Intervention
Humanitarian Intervention adalah penggunaan kekerasan oleh sebuah negara ataupun
kelompok negara melintasi batas negara lain yang bertujuan untuk melindungi bahkan
mengakhiri penyebaran pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental selain warga
negara tempat agresi tersebut, tanpa adanya ijin dari otoritas dari wilayah negara yang
dimasuki.16
Persoalan intervensi adalah sebuah kontroversi yang sering diperdebatkan dalam
hukum internasional. Shaw menyatakan bahwa, intervensi kemanusiaan termasuk salah satu
persoalan rumit dalam hukum internasional terutama ketika dikaitkan dengan pasal 2 (4). 17
Meskipun dalam piagam PBB melarang adanya intervensi terhadap negara lain namun dalam
hukum internasional dapat dilakukan intervensi dengan beberapa syarat. Sebuah intervensi
yang dapat dibenarkan atas dasar humanitarian harus memiliki minimal empat aspek18 :
16 J. Z. Holzgrefe, The Humanitarian Intervention Debate, yang diambil dari buku Humanitarian Intervention
Ethical Legal and Political Dillemas, diedit oleh J.Z. Holzgrefe dan Robert O. Keohane, Cambridge University
Press, 2003, hal. 18.
17 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge Univeraity Press, 1997. Hlm. 802
18 John O’Brien, International Law, Routledge – Cavendish, 2009, hal. 687.

1. Di dalam sebuah kedaulatan itu sudah harus ada sebuah ancaman yang
membahayakan hak asasi manusia, bahkan yang memiliki potensi hilangnya
nyawa manusia dalam skala yang sangat besar.
2. Intervensi tersebut harus dibatasi dalam hal melindungi hak asasi manusia saja.
3. Tindakan yang diambil haruslah bukan merupakan permintaan dari pemerintahan
dimana kedaulatan dimasuki.
4. Tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari Resolusi Dewan
Keamanan PBB.
Invasi Amerika ke Irak
Invasi yang dilakukan Amerika terhadapa Irak mendapatkan banyak perlawanan dari
masyarakat Internasional. Ada yang beranggapan bahwa pemikiran Amerika untuk
menginvasi Irak sudah terencana sebelum pemerintahan Bush, seperti yang diakatakan oleh
Safril Mubah dalam bukunya Menyingkap Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi
Terorisme. Di dalam bukunya ia mengatakan bahwa invasi yang dilakukan oleh Amerika ke
Irak telah terstruktur jauh sebelum terpilihnya bush, ide mengenai invasi ini dibangun ulah
pemikir-pemikir Neokonservatif, namun baru dapat terealisasikan ketika pemerintahan Bush
dan bertepatan dengan peristiwa WTC 9/11 yang dijadikan sebagai alasan untuk melakukan
invasi.
Lewat National Security Strategy pada september 2002, bush mengklaim bahwa hak
untuk menyerang negara lain timbul dari hak untuk melindungi diri dari bahaya yang dapat
melukai masyarakatnya. Meskipun belum di temukan imminent attack dari negara tersebut
dan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari negara lain. Hal ini yang di klaim Amerika
sebagai Preemptive use of force. Apa yang dikatakan oleh bush ini telah melanggar batasanbatasan dalam penggunaan self defense.
Berbagai pernyataan bernada dukungan dari dalam pemerintahan Bush, semakin
membulatkan tekadnya untuk menginvasi Irak. AS kemudian memberikan ultimatum kepada
Saddam Husein yang diduga kuat ole AS sebagai salah satu penyumbang terbesar dan terlibat
dalam kegiatan teroris. Jika sampai tanggal 17 maret 2003, Saddam belum menghancurkan
senjata pemusnah masalnya, maka Irak akan di serang tanpa persetujuan DK PBB.
Akhirnya, tiga hari setelah batas ultimatum tersebut (20 maret 2003), AS melancarkan
serangan militer secara unilateral ke Irak tanpa dukungan PBB. Invasi dengan target utama
Saddam itu berlangsung tidak begitu lama. Tak sampai dua bulan, militer AS berhasil
menduduki ibu kota Baghdad dan menjadikan istana Saddam sebagai tempat pesta

kemenangannya. Sadam berhasil di gulingkan namun baru dapat ditangka ada akhir 2003. 19
Bagi Bush, AS bertindak secara preemptive dan telah diatur dalam piagam PBB meskipun
tanpa persetujuan dari PBB. Dewan Keamanan telah memberikan kewenangan terhadap
tindakan - tindakan preemptive lewat resolusi - resolusinya seperti Resolusi 678 tahun 1990,
dan Resolusi 687 tahun 1991, yang memutuskan bahwa Irak harus menghentikan penggunaan
senjata – senjatanya untuk aksi – aksi peperangan, dan pemerintahannya harus melaksanakan
kegiatan pembersihan terhadap aksi - aksi terorisme yang berkembang di wilayah tersebut. 20
Penafsiran terhadap resolusi ini menuai perdebatan, menurut Prancis, Rusia dan cina
menjelaskan secaara eksplisit bahwa dalam mengadopsi resolusi ini tidak diperkenankan
adanya use of force apabila Irak terbukti telah melanggar resolusi ini. Namun AS bersikukuh
dengan pendapatnay untuk tetap use of force sebagaibentuk dari preemptive. Invasi yang telah
dialakukan AS terhadap Irak telah memakan ratusan bahkan ribuan koban. Prilaku Amerika
telah melanggar hukum humaniter dimana AS tidak hahnya membunuh para terorisakan
tetapi warga sipil, dan juga mereka yang dituduh sebagai teroris namuntidak terbukti.
Doktrin ini telah mempengaruhi bahkan mengubah makna dari kedaulatan yang
membuat masyarakat memberikan pandangan bahwa harus ada intervensi lebih jauh dari
pada hanya sekedar use of force. Ada tiga pandangan yang dapat dikemukakan berdasarkan
analisa dari Alex J. Bellamy :
1. Optimists View, yang menganggap bahwa intervensi dalam hal humanitarian
emergencies dapat diambil hanya apabila keadaan sebuah negara sedang
dipertaruhkan dalam keadaan bahaya. Dalam pandangan ini jika kita hubungkan
dengan intervensi AS terhadap Irak tidak terbukti karena tidak memiliki dampak yang
nyata karena fokus dari AS adalah pemusnahan senjata massal yang pada akhirnya
tidak dapat dibuktikan tudingan AS tersebut
2. Pandangan adanya penggantian makna dari humanitarian intervention dengan lebih
berorientasi pada obsesi tujuan akhir yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran pelanggaran. Tujuan awal yang dikehendaki oleh prinsip humanitarian intervention
yang dilakukan Amerika Serikat dalam proses rekonstruksi Irak karena adanya perang
terhadap terorisme namun pada akhirnya dipakai sebagai alat untuk merealisasikan
tujuan akhir mereka dengan berorientasi pada penambahan - penambahan pasukan
baik dari negeri sendiri maupun dengan koalisi dengan negara lain. Hal ini
19 A. Safril. Mubah., op.cit. Hlm.196
20 Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1441 yang menyebutkan tentang Resolusi 678 dan 687 tentang
ketentuan bahwa Irak harus melakukan kegiatan pelucutan senjata dan pembersihan terhadap kegiatan –
kegiatan terorisme di wilayahnya.

mengakibatkan banyaknya pelanggaran baik terhadap prinsip - prinsip humanitarian
intervention itu sendiri maupun dalam perlakuan terhadap rakyat sipil di Irak, seperti
yang dinyatakan oleh co-chair International Commission on Intervention and State
Sovereignty Gareth Evans bahwa justifikasi terhadap humanitarian intervention secara
inkonsisten di Irak sangat melemahkan prinsip responsibility to protect sebagai
prinsip yang dipakai dalam penanganan akibat - akibat perang.21
3. Pandangan ketiga adalah adanya kriteria dari International Commission on
intervention and State Sovereignty tentang humanitarian intervention harus dilihat
sebagai batasan - batasan yang dapat mencegah negara - negara dalam melakukan
pelanggaran - pelanggaran dalam melaksanakannya. Kriteria – kriteria ini harus
terbentuk dari berbagai konsensus antar negara. Amerika beranggapan bahwa
Intervensi yang dilakukannya telah disetujui oleh negara-negara lainnya yang mana
telah memberikan mandat kepada resolusi Dewan Keamanan PBB, yang merupakan
badan tertinggi pengambilan keputusan untuk persoalan keamanan dunia dan
resolusinya harus diterima oleh semua negara. Resolusi inilah yang dianggap AS
bahwa tindakannya telah disetujui oleh negara-negara lainnya. Namun pada
kenyataannya tidak semua negara menyetujui reolusi ini. Sehingga menimbulkan
keraguan akan kredibilitas tindakan dari Amerika Serikat terhadap Irak karena
tindakannya bukanlah merupakan sebuah konsensus secara langsung antar negara,
namun berdasarkan mandat yang hanya tersirat dari sebuah resolusi Dewan
Keamanan yang belum tentu diterima seluruh negara.

Kesimpulan
Doktrin Preemptive strike yang digunakan oleh Amerika Serikat sebagai bentuk dari
Self-defense dan humanitarian interventioan diragukan kredibilitasnya. Amerika megeluarkan
doktrin preemptive ini sebagai bentuk perlawanan terhadap serangan teroris pada 11
september 2001 yang menabrakan beberapa bangunan di Amerika. Dengan doktrin ini dan
juga beralaskan humanitarian internvention, Amerika melakukan invasi ke Irak dengan
alasan bahwa Sadam Husein ikut berkerja sama dengan para teroris untuk menghancurkan
Amerika dan juga karena Irak menyimpan senjata pemusnah massal yang dapat
menghancurkan dunia. Membawa isu-isu HAM dan teroris Amerika melakukan penyerangan
21 Gareth Evans, When Is It Right To Fight, Survival 46 No.3, 2004, diakses dari
http://www.cfr.org/content/publications/attachments/59-1.pdf

di bebrapa negara di Timur Tengah. Invasi yang dilakukan Amerika berhasil menumbangkan
Sadam Husein dari kursi pemerintahannya dan juga mendapatkan hukuman gantung.
Serangan Amerika ke Irak mengakibatkan ribuan orang meninggal dan ribuan lainnya
megalami luka fisik maupun psikologi. Korbannya juga mencakup warga sipil yang tidak tau
menau akan serangan teroris. Amerika pada dasarnya telah melanggar Hukum Humaniter
karena di dalam hukum tersebut warga sipil, combotant tidak boleh dibunuh, disiksa dan
sebagainya. Akan tetapi keserakahan Amerika menutup mata hati mereka dengan membunuh
siapapun orang yang berada didepan mata yang dicurigai sebagai teroris, tidak hanya itu
pelanggaran yang dilakukan Amerika juga terjadi ketika ia melakukan penahanan terhadap
beberapa orang yang diduga teroris di penjara Guantanamo, tahanan ini tidak diperlakukan
dengan semestinya. Sementara dalam hukum humaniter tahanan perang tidak boleh disiksa
dan tetap di berikan haknya.
Doktrin preemptive dan humanitarian intervention yang dilakukan Amerika tidak
ditempatkan pada tempat yang semestinya, Amerika hanya bertindak semaunya saja. Hal ini
menunjukkan ambisi Bush melindungi masyarakatnya dari musuh yang belum jelas. Terbukti
ketika invasi yang dilakukan ternyata tidak ditemukan senjata pemusnah massal yang
dituding Amerika. Semua yang dilakukan hanya untuk menutupi tujuan Amerika sebenarnya.
Tindakan yang semula karena kejadian 11 september diperluas dengan kpentingankepentingan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan preemptive yang mana dampaknya
tidak hanya pada materil namun juga pada pereekonomian dunia.
Doktrin preemptive use of force oleh Amerika Serikat bisa dikatakan sah secara
internasional pada awal tujuannya karena memiliki unsur - unsur yang tersirat dalam Piagam
PBB yang memberikan mandat kepada Dewan Keamanan untuk memutuskan masalah
-masalah keamanan dunia lewat resolusi - resolusi, untuk kemudian dinyatakan sebagai dasar
pelaksanaan agresi oleh pemerintahan Bush. Namun kredibilitas terhadap tindakan ini sangat
diragukan dengan melihat dampak yang timbul setelahnya karena hal – hal yang menjadi
dasar pelaksanaan agresi sampai saat ini tidak ditemukan kebenarannya. Humanitarian
Intervention yang dilaksanakan sebagai penanganan dampak agresi juga tidak memiliki dasar
hukum yang jelas karena tidak dilaksanakan berdasarkan konsensus secara menyeluruh dari
berbagai sisi , baik oleh negara - negara, maupun kombinasi antara Piagam PBB, konvensi konvensi tentang hak asasi manusia, dan hukum kebiasaan internasional.

Para sarjana,ilmuwan, negara dan organisasi internsional seharusnya lebih jeli dalam
menafsirkan suatu hukum Intrernasional, tidak boleh hanya menggunakan prinsip-prinsip
dalam hukum internasional untuk memuaskan kepentingan sendiri tanpa memperhitungkan
damapak yang akan terjadi selain itu sanksi yang diberikan kepada suatu negara seharunya
tegas tak memandang apapun. Meskipun pada kenyataannya kontrol dalam dunia intrnasional
hanya dikuasai oleh negara-negara power namun setidaknya ada kontribusi dari negaranegara lain untuk meminimalisir dampak yang terjadi kemudian.
Melihat sekarang isu teroris yang semakin berkembang maka sudah sepatutnya
dibuatkan suatu aturan tentang teroris yang rational. Apalagi isu mengenai ISIS yang
sekarang menjadi isu hangat terlihat sekali peran Amerika dan beberapa negara lainnya
berambisi untuk menghancurkan teroris. Hal ini sudah menjamur sejak peristiwa 11/9
sehingga isu teroris sangat rentan dengan intervensi suatu negara terhadap kedaulatan negara
lain , penulisa hanya berharap peristiwa ISIS tidak berakhir tragis dengan kejadian yang
terjadi Irak dan beberapa negar-negara lainnya. Perbuatan Amerika perlu mendapat perhatian
dari masyarakat internasional untuk menghentikan tindaka-tindakan Amerika yang tidak
“berprekemanusiaan” yang berdampak pada semua aspek dengan analisa-analisa dari para
pelajar untuk menetapkan standar yang leih komprehensive mengenai preemptive of force dan
humanitarian intervention.

Daftar Pustaka
Chomsky, Noam dan Hamid Basyaib, Menguak Tabir Terorisme Internasional,
Bandung: MIZAN, 1986;
Haryomataram, Hukum Humaniter, Jakarta: CV Rajawali, 1984;
Mubah, Safril, Menguak Ulah NEOKONS Menyingkap Agenda Terselubung Amerika
dalam Memerangi Terorisme,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007;
Rudy,T. May, Hukum Internasional 1, Bandung : PT Refika Aditama, 2001;
Rudy,T. May, Hukum Internasional 2, Bandung : PT Refika Aditama, 2002;
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Bandung : PT Refika Aditama, 2006 ;
Trihoni, Yustina, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional Dan Hukum
Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013;