B1J010045 10.
II. TELAAH PUSTAKA
Kromium merupakan unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami.
Kromium adalah suatu logam putih kebiruan dan mengkristal bentuk kubus. Unsur
ini mempunyai empat rumus oksidasi yang umum yaitu Cr2+, Cr3+, Cr5+, dan Cr6+
(P3O-LIPI, 1994). Umumnya di alam krom ditemukan dalam bentuk krom
bervalensi III (Cr3+) dan krom bervalensi VI (Cr6+) (Fatmawati et al., 2009). Industri
utama yang menghasilkan kromium trivalent adalah pewarnaan tekstil. Kromium
heksavalen bersumber dari buangan pelapisan logam dan industri akhir produksi zat
warna (pigmen) (Saidy & Badruzsaufari, 2009).
Krom heksavalen dilaporkan lebih toksik dibandingkan dengan krom trivalen,
dikarenakan sifatnya mudah larut dalam air dan membentuk oksianion divalen yaitu
kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-) (Susilaningsih, 1992). Hasil penelitian
Vymazal (1995) juga menginformasikan bahwa krom heksavalen mempunyai
kekuatan lebih besar untuk mengoksidasi, mudah larut dalam air dan lebih mudah
melewati membran biologi dibanding dengan krom trivalen. Cr (IV) bersifat lebih
toksik dan bertindak sebagai oksidator yang sangat kuat, sedangkan Cr (III)
merupakan bentuk yang lebih stabil dalam perairan (Taliwongso & Prayatni, 2005).
Krom trivalen mempunyai sifat mirip dengan besi (III), sukar terlarut pada pH di atas
5 dan mudah dioksidasi (Susanti & Henny, 2008).
Menurut Richard & Alain (1991), tingkat toksisitas logam berat tergantung
pada spesiesnya dan tahapan perkembangannya. Kondisi toksik terjadi jika
organisme tidak dapat mengatasi perubahan konsentrasi logam tersebut secara
langsung, yakni akumulasi pada jaringan atau organ ekskresi (Hutagalung, 1991).
Sifat toksis pada krom dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, timbulnya
penyakit seperti kerusakan pada ginjal bahkan pada konsentrasi lanjut dapat
menyebabkan kematian (Okamura & Isao, 1994). Akumulasi krom yang tinggi akan
bio.unsoed.ac.id
sangat membahayakan bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kromium dapat
terakumulasi dalam organ-organ tubuh dan bersifat kronis yang akhirnya
mengakibatkan kematian organisme akuatik. Hal ini disebabkan logam berat dapat
mengganggu kerja organ vital dalam tubuh organisme air termasuk ikan dan dapat
menembus membran sel (Buerge & Huge, 1997).
Hasil penelitian OECD (1998) menunjukkan bahwa umur larva yang sesuai
untuk uji toksisitas pada ikan mas (Cyprinus carpio) adalah lebih dari 4 hari,
3
sedangkan umur larva yang sesuai untuk uji toksisitas pada zebrafish (Brachydanio
rerio) adalah 8-10 hari. Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakan untuk
menyatakan kisaran konsentrasi letal atau toksik adalah konsentrasi letal tengah
(LC50). LC50 dilakukan untuk menentukan dosis yang dapat membunuh 50% ikan uji
(Lu, 1995).
Menurut Sutisna & Ratno (1995), fase larva ada dua macam yaitu pro-larva
dan post-larva.
a. Fase Pro-larva
Fase pro-larva pada ikan ditandai dengan masih adanya yolk dalam kantong.
Dalam hal ini larva belum membutuhkan pakan tambahan dari luar tubuh.
Menurut Effendie (1997), ciri-ciri pro-larva adalah masih adanya yolk, tubuh
transparan dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya, serta adanya
sirip dada dan sirip ekor (caudal fin) walaupun bentuknya belum sempurna. Mulut
dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung halus, pada
saat tersebut pakan didapatkan dari yolk yang belum habis terserap.
b. Fase Post-larva
Fase post-larva pada ikan ditandai dengan menyusut sisa kantong yolk dan timbul
lipatan sirip serta mulai terlihat pigmen. Pada fase ini larva sudah memerlukan
pakan tambahan dari luar tubuhnya. Menurut Effendie (1997), masa post-larva
ikan ialah masa mulai habisnya yolk sampai terbentuk organ-organ baru atau
penyempurnaan organ-organ yang ada. Pada akhir fase tersebut, secara morfologi
larva telah memiliki bentuk tubuh hampir seperti induknya. Pada tahap ini sirip
punggung (dorsal fin) sudah mulai dapat dibedakan, sudah ada garis bentuk sirip
ekor (caudal fin) dan larva ikan sudah lebih aktif berenang.
Menurut Laurila & Ismo (1990), perkembangan larva dimulai dari telur
menetas sampai dengan terbentuknya organ-organ lengkap. Tahapan perkembangan
larva pada ikan Carassius carassius L. dimulai saat telur menetas, diikuti habisnya
bio.unsoed.ac.id
yolk, tumbuhnya duri pada sirip ekor (caudal fin), terbentuknya sirip-sirip secara
jelas dan menghilangnya lipatan sirip preanal. Leis & Denise (1983) dalam Usman et
al. (2003), membagi perkembangan larva ikan kerapu atas 4 fase yaitu: (1) fase yolk
sac yaitu mulai dari menetas hingga yolk habis, (2) fase preflexion yaitu dimulai dari
yolk habis terserap sampai terbentuk spina, (3) fase flexion yaitu dimulai dari
terbentuknya spina, calon sirip ekor (caudal fin), perut dan punggung sampai
4
hilangnya spina, (4) fase pasca flexion yaitu dimulainya dari hilang atau tereduksinya
spina sampai menjadi juvenil.
Larva ikan Carassius auratus L. pada umur antara 7-8 hari pasca menetas,
sirip-sirip belum terdiferensiasi, ujung apikal sirip ekor (caudal fin) masih membulat.
Pada umur antara 15-18 hari dengan panjang rata-rata 7,9 mm sirip ekor (caudal fin)
bercagak, sirip punggung (dorsal fin) terdiferensiasi dan pigmentasi kulit banyak.
Umur antara 22-23 hari pasca menetas memperlihatkan perkembangan sirip
punggung (dorsal fin), sirip dubur (anal fin) sudah terdiferensiasi dan berduri,
sementara sirip perut (abdominal fin) terbentuk tunas (Battle, 1940).
Salah satu larva ikan model yang dapat digunakan untuk penelitian ini adalah
larva ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Ikan ini merupakan ikan asli Indonesia yang
hidup di sungai-sungai dan rawa-rawa. Ciri-ciri ikan nilem hampir serupa dengan
ikan mas. Ciri-cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba.
Sirip punggung disokong oleh tiga jari-jari keras dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor
bercagak, bentuknya simetris. Sirip dubur disokong oleh 3 jari-jari keras dan 5 jarijari lunak. Sirip perut disokong oleh 1 jari-jari keras dan 13-15 jari-jari lunak. Jumlah
sisik-sisik gurat sisi ada 33-36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak memanjang dan
pipih, ujung mulut runcing dengan moncong terlipat, serta bintik hitam besar pada
ekornya. Ikan ini termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang
penempel yang disebut epifit dan perifit (Djuhanda, 1981). Ikan Nilem hidup di air
tawar. Jenis ikan ini menyukai air yang jernih atau daerah-daerah pegunungan. Nilem
mudah berkembang biak dan tumbuh di perairan bebas seperti rawa-rawa dan danaudanau (Djuhanda, 1991).
Jenis ikan nilem banyak dibudidayakan oleh masyarakat sehingga jumlahnya
melimpah. Menurut data statistik Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas tahun
2011, ikan nilem merupakan salah satu komoditas utama perikanan air tawar di
Kabupaten Banyumas. Tahun 2011 produksi ikan nilem di Kabupaten Banyumas
bio.unsoed.ac.id
mencapai 699. 689 kg atau naik 10,43% dari tahun 2010.
5
Kromium merupakan unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami.
Kromium adalah suatu logam putih kebiruan dan mengkristal bentuk kubus. Unsur
ini mempunyai empat rumus oksidasi yang umum yaitu Cr2+, Cr3+, Cr5+, dan Cr6+
(P3O-LIPI, 1994). Umumnya di alam krom ditemukan dalam bentuk krom
bervalensi III (Cr3+) dan krom bervalensi VI (Cr6+) (Fatmawati et al., 2009). Industri
utama yang menghasilkan kromium trivalent adalah pewarnaan tekstil. Kromium
heksavalen bersumber dari buangan pelapisan logam dan industri akhir produksi zat
warna (pigmen) (Saidy & Badruzsaufari, 2009).
Krom heksavalen dilaporkan lebih toksik dibandingkan dengan krom trivalen,
dikarenakan sifatnya mudah larut dalam air dan membentuk oksianion divalen yaitu
kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-) (Susilaningsih, 1992). Hasil penelitian
Vymazal (1995) juga menginformasikan bahwa krom heksavalen mempunyai
kekuatan lebih besar untuk mengoksidasi, mudah larut dalam air dan lebih mudah
melewati membran biologi dibanding dengan krom trivalen. Cr (IV) bersifat lebih
toksik dan bertindak sebagai oksidator yang sangat kuat, sedangkan Cr (III)
merupakan bentuk yang lebih stabil dalam perairan (Taliwongso & Prayatni, 2005).
Krom trivalen mempunyai sifat mirip dengan besi (III), sukar terlarut pada pH di atas
5 dan mudah dioksidasi (Susanti & Henny, 2008).
Menurut Richard & Alain (1991), tingkat toksisitas logam berat tergantung
pada spesiesnya dan tahapan perkembangannya. Kondisi toksik terjadi jika
organisme tidak dapat mengatasi perubahan konsentrasi logam tersebut secara
langsung, yakni akumulasi pada jaringan atau organ ekskresi (Hutagalung, 1991).
Sifat toksis pada krom dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, timbulnya
penyakit seperti kerusakan pada ginjal bahkan pada konsentrasi lanjut dapat
menyebabkan kematian (Okamura & Isao, 1994). Akumulasi krom yang tinggi akan
bio.unsoed.ac.id
sangat membahayakan bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kromium dapat
terakumulasi dalam organ-organ tubuh dan bersifat kronis yang akhirnya
mengakibatkan kematian organisme akuatik. Hal ini disebabkan logam berat dapat
mengganggu kerja organ vital dalam tubuh organisme air termasuk ikan dan dapat
menembus membran sel (Buerge & Huge, 1997).
Hasil penelitian OECD (1998) menunjukkan bahwa umur larva yang sesuai
untuk uji toksisitas pada ikan mas (Cyprinus carpio) adalah lebih dari 4 hari,
3
sedangkan umur larva yang sesuai untuk uji toksisitas pada zebrafish (Brachydanio
rerio) adalah 8-10 hari. Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakan untuk
menyatakan kisaran konsentrasi letal atau toksik adalah konsentrasi letal tengah
(LC50). LC50 dilakukan untuk menentukan dosis yang dapat membunuh 50% ikan uji
(Lu, 1995).
Menurut Sutisna & Ratno (1995), fase larva ada dua macam yaitu pro-larva
dan post-larva.
a. Fase Pro-larva
Fase pro-larva pada ikan ditandai dengan masih adanya yolk dalam kantong.
Dalam hal ini larva belum membutuhkan pakan tambahan dari luar tubuh.
Menurut Effendie (1997), ciri-ciri pro-larva adalah masih adanya yolk, tubuh
transparan dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya, serta adanya
sirip dada dan sirip ekor (caudal fin) walaupun bentuknya belum sempurna. Mulut
dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung halus, pada
saat tersebut pakan didapatkan dari yolk yang belum habis terserap.
b. Fase Post-larva
Fase post-larva pada ikan ditandai dengan menyusut sisa kantong yolk dan timbul
lipatan sirip serta mulai terlihat pigmen. Pada fase ini larva sudah memerlukan
pakan tambahan dari luar tubuhnya. Menurut Effendie (1997), masa post-larva
ikan ialah masa mulai habisnya yolk sampai terbentuk organ-organ baru atau
penyempurnaan organ-organ yang ada. Pada akhir fase tersebut, secara morfologi
larva telah memiliki bentuk tubuh hampir seperti induknya. Pada tahap ini sirip
punggung (dorsal fin) sudah mulai dapat dibedakan, sudah ada garis bentuk sirip
ekor (caudal fin) dan larva ikan sudah lebih aktif berenang.
Menurut Laurila & Ismo (1990), perkembangan larva dimulai dari telur
menetas sampai dengan terbentuknya organ-organ lengkap. Tahapan perkembangan
larva pada ikan Carassius carassius L. dimulai saat telur menetas, diikuti habisnya
bio.unsoed.ac.id
yolk, tumbuhnya duri pada sirip ekor (caudal fin), terbentuknya sirip-sirip secara
jelas dan menghilangnya lipatan sirip preanal. Leis & Denise (1983) dalam Usman et
al. (2003), membagi perkembangan larva ikan kerapu atas 4 fase yaitu: (1) fase yolk
sac yaitu mulai dari menetas hingga yolk habis, (2) fase preflexion yaitu dimulai dari
yolk habis terserap sampai terbentuk spina, (3) fase flexion yaitu dimulai dari
terbentuknya spina, calon sirip ekor (caudal fin), perut dan punggung sampai
4
hilangnya spina, (4) fase pasca flexion yaitu dimulainya dari hilang atau tereduksinya
spina sampai menjadi juvenil.
Larva ikan Carassius auratus L. pada umur antara 7-8 hari pasca menetas,
sirip-sirip belum terdiferensiasi, ujung apikal sirip ekor (caudal fin) masih membulat.
Pada umur antara 15-18 hari dengan panjang rata-rata 7,9 mm sirip ekor (caudal fin)
bercagak, sirip punggung (dorsal fin) terdiferensiasi dan pigmentasi kulit banyak.
Umur antara 22-23 hari pasca menetas memperlihatkan perkembangan sirip
punggung (dorsal fin), sirip dubur (anal fin) sudah terdiferensiasi dan berduri,
sementara sirip perut (abdominal fin) terbentuk tunas (Battle, 1940).
Salah satu larva ikan model yang dapat digunakan untuk penelitian ini adalah
larva ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Ikan ini merupakan ikan asli Indonesia yang
hidup di sungai-sungai dan rawa-rawa. Ciri-ciri ikan nilem hampir serupa dengan
ikan mas. Ciri-cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba.
Sirip punggung disokong oleh tiga jari-jari keras dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor
bercagak, bentuknya simetris. Sirip dubur disokong oleh 3 jari-jari keras dan 5 jarijari lunak. Sirip perut disokong oleh 1 jari-jari keras dan 13-15 jari-jari lunak. Jumlah
sisik-sisik gurat sisi ada 33-36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak memanjang dan
pipih, ujung mulut runcing dengan moncong terlipat, serta bintik hitam besar pada
ekornya. Ikan ini termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang
penempel yang disebut epifit dan perifit (Djuhanda, 1981). Ikan Nilem hidup di air
tawar. Jenis ikan ini menyukai air yang jernih atau daerah-daerah pegunungan. Nilem
mudah berkembang biak dan tumbuh di perairan bebas seperti rawa-rawa dan danaudanau (Djuhanda, 1991).
Jenis ikan nilem banyak dibudidayakan oleh masyarakat sehingga jumlahnya
melimpah. Menurut data statistik Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas tahun
2011, ikan nilem merupakan salah satu komoditas utama perikanan air tawar di
Kabupaten Banyumas. Tahun 2011 produksi ikan nilem di Kabupaten Banyumas
bio.unsoed.ac.id
mencapai 699. 689 kg atau naik 10,43% dari tahun 2010.
5