alamat dinas ka,dfaeeeeeeeeeeeeeeeee

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH
DI KABUPATEN NIAS SUMATERA UTARA

Oleh :
YADESMAN TELAUMBANUA
10614031

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2017

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan  sudah  menjadi  salah  satu  unsur  utama  dalam  menunjang kelangsungan
kehidupan  sejak   manusia  pertama   kali   menempati   bumi.   Lahan  berfungsi   sebagai  tempat
manusia   beraktivitas   untuk   mempertahankan   eksistensi.   Aktivitas   yang   pertama   kali
dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam.

Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi seiring pertumbuhan populasi
dan   perkembangan   peradaban   manusia.   Hal   ini   akhirnya   menimbulkan   permasalahan
kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta
dinamika   pembangunan.   Lahan   yang   semula   berfungsi   sebagai   media   bercocok   tanam,
berangsur­angsur   berubah   menjadi   multifungsi   pemanfaatan.   Perubahan   spesifik   dari
penggunaan   untuk   pertanian   ke   pemanfaatan   bagi   nonpertanian   yang   kemudian   dikenal
dengan istilah alih fungsi lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan
yang serius. Implikasi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam
kapasitas   penyediaan   pangan,   dan   bahkan   dalam   jangka   panjang   dapat   menimbulkan
kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi
yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek­aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial,
budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan
berdampak   terhadap   pergeseran   kondisi   ekonomi,   tata   ruang   pertanian,   serta   prioritas­
prioritas   pembangunan   pertanian   wilayah   dan   nasional   (Winoto,   1995;   Nasoetion   dan

Winoto, 1996).
Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana
tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar.
Dua   hal   terakhir   terjadi   lebih   sering   pada   masa   lampau   karena   kurangnya   pengertian

masyarakat   maupun   aparat   pemerintah   mengenai   tata   ruang   wilayah.   Alih   fungsi   dari
pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan
yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas  investasi, baik
kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006).
Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan
lahan­lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan yang semakin sempit semakin
terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja
di sektor informal dari pada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang
terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan
kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan alih fungsi lahan (Gunanto, 2007).
Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan,
bangunan   industri   dan   pemukiman.   Kondisi   demikian   mencerminkan   adanya   peningkatan
permintaan   terhadap   lahan   untuk   penggunaan   nonpertanian   yang   mengakibatkan   banyak
lahan sawah, terutama di sekitar perkotaan, mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga
dapat terjadi oleh karena kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah yang diduga akan
menyebabkan terjadi alih fungsi lahan ke tanaman pertanian lainnya.
Permasalahan tersebut diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras
nasional.   Isu   alih   fungsi   lahan   sawah   perlu   mendapat   perhatian   karena   beras   merupakan
bahan pangan utama. Ketergantungan pada impor beras akan semakin meningkat apabila isu
alih  fungsi  lahan  sawah  diabaikan.  Pasar  beras   internasional  bersifat  thin  market, artinya


ketergantungan   terhadap   impor   sifatnya   tidak   stabil   dan   akan   menimbulkan   kerawanan
pangan yang pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham, dkk, 2003).
Pemilik lahan mengalihfungsikan lahan pertaniannya untuk kepentingan nonpertanian
oleh karena mengharapkan keuntungan lebih. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama
sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada dilokasi yang berkembang. Namun, bagi
petani penggarap dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa
beralih pekerjaan. Para petani semakin terjebak dengan semakin sempitnya kesempatan kerja
sehingga akan menimbulkan masalah sosial yang pelik.
Masalah alih fungsi lahan dapat diatasi bila pemerintah daerah sangat ketat dalam hal
penataan   ruang.   Pemerintah   harus   tegas   dalam   melarang   pembangunan   perumahan   dan
industri   yang   hendak   menggunakan   lahan   di   kawasan   pertanian.   Alih   fungsi   lahan   dapat
dicegah   dengan   menjadikan   sektor   pertanian   sebagai   lapangan   usaha   yang   menarik   dan
bergengsi   secara  alami.   Alih  fungsi  lahan  yang  terjadi   tanpa   kendali   dapat   menimbulkan
persoalan ketahanan pangan, lingkungan dan ketenagakerjaan (Syahyuti, 2007).
Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten yang dalam sepuluh tahun terakhir terus
mengalami alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian. Alih fungsi ini mengakibatkan luas
lahan pertanian di Kabupaten Nias khususnya padi sawah cenderung mengalami penurunan.
Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah jenis lahan sawah menjadi lahan
kering   dan   lahan   non   pertanian,   seperti   digunakan   untuk   bangunan,   dan   hal­hal   lain

sebagainya.
Oleh   karena   itu,   selain   untuk   melihat   laju   alih   fungsi   lahan   penelitian   ini   juga
bertujuan untuk melihat proyeksi luas lahan sawah sepuluh tahun mendatang dan dampaknya
terhadap   kecukupan   pangan   serta   apa   saja   yang   menjadi   motivasi   atau   faktor   yang
mendorong masyarakat mengalihfungsikan lahan.

Identifikasi Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan untuk diidentifikasi berdasarkan uraian latar
belakang diatas, yaitu:
1. Bagaimana   laju   alih   fungsi   lahan   sawah   dalam   sepuluh   tahun   terakhir   di   daerah
penelitian ?
2. Bagaimana   motivasi   petani   dalam   mempertahankan   maupun   mengalihfungsikan
lahannya di daerah penelitian ?
3. Bagaimana proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sepuluh tahun mendatang di
daerah penelitian ?
4. Bagaimana   dampak   alih   fungsi   lahan   sawah   terhadap   kecukupan   pangan   sepuluh
tahun mendatang di daerah penelitan?

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk  menganalisis   laju   alih   fungsi   lahan  sawah  dalam  sepuluh   tahun  terakhir  di
daerah penelitian.
2. Untuk   mengetahui   motivasi   petani   dalam   mempertahankan   lahannya   ataupun
mengalihfungsikan lahannya di daerah penelitian.
3. Untuk menganalisis proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi di daerah penelitian
sepuluh tahun kedepan.
4. Untuk   menganalisis   dampak   alih   fungsi   lahan   sawah   terhadap   kecukupan   pangan
sepuluh tahun mendatang di daerah penelitan.

TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Lahan Sawah
Lahan   sawah   dapat   dianggap   sebagai   barang   publik,   karena   selain   memberikan
manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat
sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal
penyediaan   pangan,   penyediaan   kesempatan   kerja,   penyediaan   sumber   pendapatan   bagi
masyarakat   dan   daerah,   sarana   penumbuhan   rasa   kebersamaan   (gotong   royong),   sarana
pelestarian  kebudayaan  tradisional,  sarana  pencegahan  urbanisasi,  serta  sarana  pariwisata.
Manfaat   tidak   langsung   terkait   dengan   fungsinya   sebagai   salah   satu   wahana   pelestari

lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana
untuk mempertahankan keragaman hayati (Rahmanto, dkk, 2002).

Defenisi Alih Fungsi
Lestari   (2009)   mendefinisikan   alih   fungsi   lahan   atau   lazimnya   disebut   sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula   (seperti   yang   direncanakan)   menjadi   fungsi   lain   yang   menjadi   dampak   negatif
(masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat
diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor­faktor yang secara
garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Fakta Alih Fungsi Lahan

Kebutuhan   lahan   untuk   kegiatan   nonpertanian   cenderung   terus   meningkat   seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi
lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan
jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di
sekitarnya   juga   beralih   fungsi   secara   progresif.   Menurut   Irawan   (2005),   hal   tersebut
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau

industri   di   suatu   lokasi   alih   fungsi   lahan,   maka   aksesibilitas   di   lokasi   tersebut   menjadi
semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan
di   sekitarnya   meningkat.   Kedua,   peningkatan   harga   lahan   selanjutnya   dapat   merangsang
petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku
pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya
lahan­lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas
lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya
3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan
sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan  nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut
telah  beralih  fungsi  menjadi  perumahan  (30%), industri  (65%),  dan  sisanya  (5%)  beralih
fungsi penggunaan tanah lain.
Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di
luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau
Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan
untuk   kegiatan  nonpertanian  dan   sisanya   untuk  kegiatan   bukan  sawah.   Alih  fungsi  lahan
sebagian besar untuk kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.

Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap

alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan
penduduk atas lahan juga lebih tinggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada
umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
4. Pembangunan   prasarana   dan   sarana   pemukiman,   kawasan   industri,   dan   sebagainya
cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan
topografi   seperti   itu   (terutama   di   Pulau   Jawa)   ekosistem   pertaniannya   dominan   areal
persawahan.
Fenomena   alih   fungsi   lahan   pertanian   sudah   menjadi   perhatian   semua   pihak.
Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah
beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Hasil penelitian
tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar
4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA
(42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.

Faktor­Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Menurut   Lestari   (2009)   proses   alih   fungsi   lahan   pertanian   ke   penggunaan

nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal.

Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan,
demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal.
Faktor   ini   lebih   melihat   sisi   yang   disebabkan   oleh   kondisi   sosial­ekonomi   rumah
tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan.
Yaitu aspek   regulasi   yang   dikeluarkan   oleh   pemerintah   pusat maupun daerah
yang   berkaitan   dengan   perubahan   fungsi   lahan   pertanian.   Kelemahan   pada
aspekregulasi  atau  peraturan  itu   sendiri  terutama  terkait   dengan  masalah  kekuatan
hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab
alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis
ekonomi.   Hal  tersebut   menyebabkan   banyak   petani  menjual   asetnya   berupa   sawah  untuk
memenuhi   kebutuhan   hidup   yang   berdampak   meningkatkan   alih   fungsi   lahan   sawah   dan
makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak­pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan
paling banyak mengalami alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa

dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing­masing sawah tadah hujan 310
ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah
irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada
sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di
Jawa  makin  menguatkan  indikasi  bahwa  kebijakan  pengendalian  alih  fungsi  lahan  sawah
yang ada tidak efekttif.
Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian terutama
ditentukan oleh :

1. Rendahnya  nilai  sewa  tanah  (land  rent);  lahan  sawah  yang  berada  disekitar  pusat
pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman dan industri.
2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
3. Semakin   menonjolnya   tujuan   jangka   pendek   yaitu   memperbesar   pendapatan   asli
daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam
di era otonomi.
Produksi   padi   secara   nasional   terus   meningkat   setiap   tahun,   tetapi   dengan   laju
pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama
melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda, 2006).


Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah
Alih   fungsi   lahan   sawah   ke   penggunaan   nonpertanian   dapat   berdampak   terhadap
turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana
berkaitan   dengan   aspek­aspek   perubahan   orientasi   ekonomi, sosial,   budaya,   dan   politik
masyarakat.
Berdasarkan   penelitian   yang   dilakukan   oleh   Rahmanto,   dkk   (2002),   ditinjau   dari
aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18
tahun (1981­1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta
ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984­1997 yang berkisar antara
1,5­ 2,5 juta ton/tahun.
Alih     fungsi     lahan     sawah     juga     menyebabkan     hilangnya     kesempatan petani
memperoleh   pendapatan   dari   usahataninya.   Dalam   penelitian Rahmanto, dkk (2002)
juga menyebutkan, hilangnya pendapatan dari usahatani sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur

mencapai Rp 1,5 ­ Rp 2 juta/Ha/tahun dan kehilangan kesempatan kerja mencapai kisaran
300 ­ 480 HOK/Ha/tahun. Perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi
juga   ikut   berkurang,   masing­masing   sebesar   Rp   46   ­   Rp   91   ribu   dan   Rp   45   ­   Rp   114
ribu/Ha/tahun akibat terjadinya alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) terkonsentrasinya
pembangunan   perumahan   dan   industri   di   Pulau   Jawa,   di   satu   sisi   menambah   terbukanya
lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga
menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara
lain :
1. Berkurangnya   luas   sawah   yang   mengakibatkan   turunnya   produksi   padi,   yang
mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta
mengakibatkan   bergesernya   lapangan   kerja   dari   sektor   pertanian   ke   nonpertanian.
Apabila   tenaga   kerja   tidak   terserap   seluruhnya   akan   meningkatkan   angka
pengangguran.
2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak
optimal pemanfaatannya.
3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri,
sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan
tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah
tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa sedangkan
pencetakan   sawah   baru  yang   sangat   besar   biayanya   di   luar   Pulau   Jawa   seperti   di
Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.
Menurut Sudirja (2008) alih fungsi lahan pertanian bukan hanya sekedar memberi

dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat pula membawa dampak
positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi sejumlah petani terutama buruh tani
yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat
mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi lahan yang
dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan hak pemilikan
lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan, pemanfaatan lahan tersebut
untuk   kegiatan   non   pertanian.   Dampak   alih   fungsi   lahan   pertanian   terhadap   masalah
pengadaan   pangan   pada   dasarnya   terjadi   pada   tahap   kedua.   Namun   tahap   kedua   tersebut
secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan
pertanian   dimiliki   oleh   petani.   Oleh   karena   itu   pengendalian   pemanfaatan   lahan   untuk
kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:
1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan
2. Mengendalikan   dampak   alih   fungsi   lahan   tanaman   pangan   tersebut   terhadap
keseimbangan pengadaan pangan.

Aspek Kebijakan Dalam Alih Fungsi Lahan
Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan
sawah   sudah   banyak   dibuat.   Akan   tetapi,   hingga   kini   implementasinya   belum   berhasil
diwujudkan secara optimal. Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) hal ini antara lain karena
kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian
alih   fungsi   lahan   sawah   tersebut.   Terdapat   tiga   kendala   mendasar   yang   menjadi   alasan
mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :
1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya

alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih  fungsi lahan
tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian
lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan­peraturan pengendaliah alih fungsi lahan
baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan­perusahaan atau
badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian
ke   nonpertanian.   Oleh   karena   itu,   perubahan   penggunaan   lahan   sawah   ke
nonpertanian   yang   dilakukan   secara   individual/perorangan   belum   tersentuh   oleh
peraturan­peraturan   tersebut,   dimana   perubahan   lahan   yang   dilakukan   secara
individual diperkirakan sangat luas.
3. Kendala   Konsistensi   Perencanaan.   RTRW   yang   kemudian   dilanjutkan   dengan
mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam  pengendalian
untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam
kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan
lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.
Menurut   penelitian   yang   dilakukan   oleh   Widjanarko,   dkk   (2006)   dalam   konteks
pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang hidup dari sektor
nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada perubahan
pola   pemanfaatan   lahan   pertanian   di   Pulau   Jawa   yaitu   faktor   privatisasi   pembangunan
kawasan   industri,   pembangunan   pemukiman   skala   besar   dan   kota   baru,   serta   deregulasi
investasi   dan   kemudahan   perizinan.   Tiga   kebijakan   nasional   yang   berpengaruh   langsung
terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah :
1. Kebijakan   privatisasi   pembangunan   kawasan   industri   sesuai   Keputusan   Presiden
Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk

melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya
sesuai   dengan   mekanisme   pasar.   Dampak   kebijakan   ini   sangat   berpengaruh   pada
peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi
subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan  fungsi
lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru.
Akibat   ikutan   dari   penerapan   kebijakan   ini   ialah   munculnya   spekulan   yang
mendorong minat para petani menjual lahannya.
Sehingga   terlihat   bahwa  sering  sekali   terjadi  ketidakserasian  antar   kebijakan  yang
dikeluarkan   pemerintah   untuk   mengatasi   alih   fungsi   yang   justru   sering   sekali   justru
meningkatkan laju alih fungsi lahan terutama lahan sawah.

Teori Lokasi
Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatan­kekuatan pasar, sistem
administratif   yang   dikembangkan   pemerintah,   dan   kepentingan   politik.   Pemerintah   di
sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya memegang peran kunci dalam alokasi
lahan seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti kepemilikan lahan
misalnya hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya (Prayudho, 2009).
Model   klasik  dari   alokasi   lahan  adalah  model  Ricardo  (Ricardian   Rent).  Menurut
model   ini,   alokasi   lahan   akan   mengarah   pada   penggunaan   yang  menghasilkan   surplus
ekonomi  (land  rent) yang  lebih  tinggi,  yang  tergantung  pada  derajat  kualitas   lahan  yang
ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan lahan. Menurut pendekatan von Thunen nilai
land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya.
Pendekatan ini mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh

lahan   yang   kualitasnya   homogen.   Tataguna   lahan   yang   dihasilkan   dapat   dipresentasikan
sebagi cincin­cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut.
Pendekatan von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti
luas   yang   berkembang   disekeliling   daerah   perkotaan   yang   merupakan   pasar   komoditi
pertanian tersebut (Prayudho, 2009).

Keterangan :
A : Pusat Pasar
B : Industri
C : Perumahan

Land rent

Kurva A

Kurva B
 Kurva C
 Kurva D

A

B  C

D

Jarak dari pasar

Sumber : Tarigan, 2006

Gambar 2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen
Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa komersial (pusat
kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi. Cincin­cincin B, C, dan D masing­
masing   merepresentasikan   penggunaan   lahan  untuk   industri,   perumahan,   dan   pertanian.
Meningkatnya land rent secara relatif akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa­jasa
komersial sehingga menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B
(kawasan   industri)   terkonversi   menjadi   A.   Demikian   seterusnya,   sehingga   konversi   lahan
pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam sistem pasar,
alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan  land  rent  lebih rendah ke
aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi ( Tarigan, 2006).
Alih   fungsi   lahan   sawah   tidak   terlepas   dari   situasi   ekonomi   secara keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan
cepat   sehingga   sektor   tersebut   membutuhkan   lahan   yang   lebih   luas.   Lahan   sawah   yang
terletak dekat dengan sumber ekonomi akan mengalami pergeseran penggunaan kebentuk

lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena
land   rent  persatuan   luas   yang   diperoleh   dari   aktivitas   baru   lebih   tinggi   daripada   yang
dihasilkan sawah (Prayudho, 2009).
Hubungan antara nilai  land rent  dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai
kompetisi   penggunaan   sektor   komersial   dan   strategis,   mempunyai   hubungan   yang   erat.
Sektor   tersebut   berada   pada   kawasan   strategis   dengan  land   rent  yang   tinggi,   sebaliknya
sektor yang kurang mempunyai nilai komersial  nilai  rentnya semakin kecil.  Economic rent
sama dengan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya
total. Suatu lahan sekurang­kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu :
1. Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan.
2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan.
3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan.
4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.
Umumnya  land   rent  yang   mencerminkan   mekanisme   pasar   hanya   mencakup
ricardian rent  dan  locational rent.  Ecological rent  dan  sosiological  rent  tidak sepenuhnya
terjangkau mekanisme pasar (Prayudho, 2009).
Alih   fungsi   lahan   sawah   yang   terjadi   ditentukan   juga   oleh   pertumbuhan   sektor
tanaman pangan, dalam hal ini mengenai nilai hasil sawah. Nilai inilah yang menjadi dasar
individu mengalihfungsikan lahannya. Menurut teori oportunitas yang menjadi dasar asumsi
Wiliamson bahwa oportunisme merupakan tindakan  mengutamakan kepentingan diri dengan
menggunakan akal untuk berusaha mengeksploitasi situasi demi keuntungan (Priyadi, 2009).  Hal
tersebut   sesuai   dengan   teori   lokasi   neo   klasik   yang   menyatakan   bahwa   s ubstitusi   diantara

berbagai  penggunaan   faktor   produksi   dimungkinkan   agar   dicapai   keuntungan   maksimum.
Artinya alih fungsi lahan sawah terjadi akibat penggantian faktor produksi sedemikian rupa

semata­mata untuk memperoleh keuntungan maksimum (Prayudho, 2009).

Proyeksi Alih Fungsi Lahan dengan Analisis Tren
Pembangunan   ekonomi   di   Indonesia   yang   terus   berkembang   telah   mengakibatkan
tingginya permintaan akan lahan. Lahan merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga alih
fungsi lahan, terutama dari pertanian ke non pertanian tidak dapat dihindari. Berdasarkan
penelitian yang  dilakukan  oleh Sudirja (2008),  lahan sawah dalam periode  1999 – 2001,
mengalami penurunan sebesar 63.686 Ha untuk padi sawah, sebesar 231.973 Ha untuk padi
ladang, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 Ha yang menunjukkan betapa
lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka.
Hasil   penelitian   Sudirja   (2008)   menunjukkan   pula   bahwa   sampai   tahun   2020
diperkirakan akan terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 807.500 Ha yakni 680.000 Ha di
Jawa,   30.000   Ha   di   Bali,   62.500   Ha   di   Sumatera   dan   35.000   Ha   di   Sulawesi.   Proyeksi
tersebut di teliti melalui suatu metode proyeksi dengan analisis tren.
Tren adalah salah satu peralatan statistik  yang dapat digunakan untuk memperkiraan
keadaan  dimasa  yang  akan  datang  berdasarkan  pada  data masa lalu. Tren juga merupakan
gerakan dan data deret berkala selama beberapa tahun dan cenderung menuju pada suatu
arah, dimana arah tersebut bisa naik, turun maupun mendatar (Ibrahim, 2009).
Perhitungan tren linear menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan metode
kuadrat terkecil (least square method), yang dapat dinyatakan dalam bentuk : Y = a + b (x).
Proyeksi ini menjelaskan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Tren linear
dilihat   melalui   garis   lurus   pada   grafik   tren   yang   dibentuk   berdasarkan   data   proyeksi.
Penyimpangan tren menunjukkan besarnya kesalahan nilai proyeksi dengan data yang aktual
(Pasaribu, 1981).

Analisis tren memperlihatkan kecendrungan ketersediaan lahan dalam hal ini yaitu
usahatani padi dan kecenderungan alih fungsi lahan sawah serta kemungkinan pencetakan
sawah baru di masa yang akan datang. Hasil proyeksiini dapat memperkirakan kebutuhan
pangan   masyarakat   serta   kebutuhan   lain   yang   berbasis   pada   penggunaan   lahan.   Melalui
proyeksi ini dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada
intervensi terhadap kecenderungan yang ada saat ini (Ibrahim, 2009).

Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai ekonomis. Luasan tanah
pertanian tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian
ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas
pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat sehingga
timbul alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, infrastruktur
dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi
tidak   lepas   dari   kepentingan   berbagai   pihak   seperti   pemerintah,   swasta   dan   komunitas
(masyarakat).   Alih   fungsi   lahan   adalah   perubahan   fungsi   sebagian   atau   seluruh   kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa
dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Masalah alih fungsi lahan pertanian terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama
di wilayah­wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan
yang   tinggi   pada   daerah   pusat   perekonomian   ataupun   yang   berada   disekitar   pusat
perekonomian   menyebabkan   tekanan   terhadap   lahan   pertanian   pada   penggunaan
nonpertanian.   Tekanan   terhadap   lahan   pertanian   tersebut   berwujud   terhadap   penyempitan
rata­rata  penguasaan   lahan   oleh   petani.   Keadaan   tersebut   jelas   tidak   kondusif   bagi

keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang.
Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah
penduduk yang terus meningkat juga menjadi faktor pendorong semakin meningkatnya laju
alih fungsi lahan selain petani sendiri kurang memiliki motivasi atau keinginan yang cukup
kuat untuk mempertahankan lahan sawahnya. Kondisi atau dorongan ekonomi bisa menjadi
motivasi atau faktor pendorong petani untuk mengalihfungsikan lahannya.
Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten yang dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir
terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten
Nias cenderung mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak beralih fungsi adalah jenis
lahan sawah, yang beralih fungsi menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih
fungsi dilihat berdasarkan data luas lahan sawah di Kabupaten Nias yang diperoleh dari BPS
serta   berdasarkan   motivasi   petani   dalam   mempertahankan   maupun   mengalih   fungsikan
lahannya.   Proyeksi   luas   lahan   sawah   dan   produksi   padi   akan   dianilis   trennya   melalui
kecenderungan laju alih fungsi secara regresi linier sederhana. Hasil proyeksi ini nantinya
akan menjadi alat analisis untuk melihat dampak alihfungsi terhadap kecukupan pangan di
Kabupaten  Nias  sepuluh tahun yang akan datang dengan kondisi alih fungsi lahan sawah
sekarang.
Berdasarkan   kerangka   pemikiran   diatas,   lebih   jelasnya   dapat   dilihat   pada   gambar
skema kerangka pemikiran berikut :
Luas Lahan Sawah
Kab. Nias

Laju Alih Fungsi Lahan

Motivasi Petani

Proyeksi Luas Lahan dan
Produksi Padi

Dampak Alih Fungsi
Lahan Sawah
Terhadap Kecukupan Pangan

Keterangan :
: menunjukkan pengaruh
Gambar 3. Skema kerangka pemikiran
Hipotesa Penelitian
Proyeksi tren linier dengan metode analisis regresi membuat asumsi bahwa kondisi
yang terjadi dimasa lampau akan terus berlanjut ke masa yang akan datang (Tarigan, 2006).
Oleh karena itu dapat ditarik hipotesa 1, diproyeksi luas lahan sawah dan produksi beras
sepuluh   tahun   mendatang   di   Kabupaten  Nias  cenderung   menurun   dan   hipotesa   2,
diproyeksikan   pula   bahwa   dampak   alih   fungsi   lahan   sawah   terhadap   kecukupan   pangan
sepuluh tahun mendatang akan menyebabkan defisit kebutuhan beras di Kabupaten Nias.